“Mengendarai” Al-Qur`an, Melintasi Tujuh Langit

jaburan edisi keduabelas

NAIKILAH KENDARAAN ruhani yang bernama Al-Qur`an.

Engkau tiba di langit pertama dengan mendengarkan orang yang membacanya, secara langsung maupun yang terlantunkan dari rekaman masa silam dalam memorimu.

Engkau sampai langit kedua dengan cara membacanya sendiri dengan suaramu atau dalam diammu.

Kemudian, jika engkau membacanya dengan mulutmu sekaligus mendengarkannya dengan telingamu, langit ketiga-lah tempatmu. Juga tatkala engkau membacanya dalam kebisuan dan telingamu mendengarkan suara sunyi dari dalam dirimu sendiri itu.

Dan langit keempat? Engkau mungkin mendakinya jika memulai tak sekadar membaca atau mendengarkannya, tetapi juga memahaminya.

Selapis langit lagi menyongsong langkahmu tatkala engkau menyadari bahwa pemahaman itu bergerak terus-menerus tanpa pernah berhenti. Pemahaman itu bergerak dan senantiasa bekerja, sehingga yang engkau alami kemudian bukan lagi sekadar pemahaman, melainkan pendalaman. Itulah langit kelima.

Ada pun langit keenam, pasti engkau mengerti: engkau capai ia dengan mengamalkan, mengerjakan, mewujudkan firman-firman yang kau baca, dengarkan, pahami, dan dalami itu dalam kehidupan nyata. Tetapi, masih adakah lapisan langit yang lebih tinggi dari pengamalan firman?

Itulah langit ketujuh. Langit yang engkau huni dengan menyatukan bacaan “semakan”, pemahaman, pendalaman, dan perwujudan atas firman Al-Qur`an itu dalam suatu gerak keterkaitan yang terus-menerus sehingga mencapai kematangan dan kejernihan.

Perjalanan ruhaniah menggapai tujuh langit bukanlah pengalaman jiwa asing seperti yang terkesan dari kata “mistik”, “kebatinan”, “tasawuf”, atau apa pun.

Itu perjalanan biasa saja, seperti halnya segala pengalaman dan peristiwa serta benda-benda yang kita libati setiap saat dalam kehidupan wajar.

“Langit” itu idiom. Perlambang. Penjelajahan “ke atas” bukan berarti kita sedang naik ke suatu tempat nun jauh di atas sana. Penjelajahan “ke atas” bisa kita ucapkan dengan bahasa sehari-hari: meningkatkan kualitas kemanusiaan, mutu ruhani, kematangan mental atau penjernihan kepribadian.

“Semakan”, tilawah Al-Quran, tafsir dan studi Al-Quran serta pengamalannya, bisa saja kita jajarkan dengan metode dan mekanisme kependidikan kultural biasa: persekolahan, pengajian, ceramah, lokakarya, pelatihan, praktikum, atau apa pun.

Bedanya “hanya” pada kualitas metodenya itu sendiri, serta pada kenyataan “dogmatis” bahwa membaca dan mendengarkan Al-Quran (apalagi memahami, mendalami, dan mengerjakan) memiliki nilai plus langsung dari Allah sendiri.

Itu semacam “konsesi religius”, bukan transaksi antara Tuhan dengan manusia, melainkan inisiatif kemurahan-Nya.

Hadiah Tuhan itu oleh bahasa syariat disebut pahala. Dan sayangnya, hanya bahasa semacam itulah yang populer dalam pemahaman hidup kita.

Orang diimbau baca Al- Qur`an dengan iming-iming mendapat pahala. Orang “dimobilisasi” secara psikologis untuk menaati rukun agama, untuk shalat, puasa, dan lain-lain dengan argumentasi ekonomis, yakni mendapat pahala. Kita didik untuk hanya mencari laba di hadapan Allah. Seakan-akan ia adalah “Bandar”.

Pahala itu pun kita pahami secara sangat formalistik: kapling tanah di surga, sejumlah bidadari, makanan enak-enak, sungai susu, dan terpenuhinya secara langsung segala keinginan.

Pahala amat jarang kita pahami secara kualitatif. Dalam perspektif ilmu, pahala berarti meluasnya cakrawala pengetahuan dan merekahnya ufuk makrifat. Orang melakukan sembahyang, selama ini, tanpa dimensi keilmuan, tanpa gairah memperluas cakrawala makrifat, tanpa pendalaman maknawi, tanpa kegelisahan untuk mengukur apakah jumlah shalat sepadan dengan peningkatan pencapaian langit-langit ruhani.

Orang melakukan shalat seperti pegawai yang menandatangani buku presensi, seperti serdadu berbaris, atau seperti konsumen yang membayar kredit untuk memperoleh “komoditi” yang bernama surga. Sikap orang-orang bersembahyang terhadap Tuhan sangat kapitalistik. Sedemikian rupa ‘maniak’ pahala dalam arti ekonomis ini—sehingga yang mereka Tuhankan bukanlah Tuhan itu sendiri melainkan pahala atau laba.

Dalam perspektif akidah dan tauhid, pahala ialah proses mendekatnya manusia ke maqam Tuhan dengan antara lain—metode “semakan” Al-Qur`an, memahaminya, mendalaminya, dan mengamalkannya. Orang yang banyak pahalanya dalam konteks ini identik dengan orang yang makin karib dengan Allah.

Sebab memang yang dicari oleh jiwa manusia bukan pahala, bukan surga, bukan apa pun, melainkan Allah itu sendiri.

Manusia, semua hamba Allah, melakukan perjalanan yang panjang dan sakit, untuk mutu kehidupannya sehingga mendekat kepada-Nya dan mengislam—ini artinya jumbuh dengan-Nya. Karena hakikat makhluk sesungguhnya adalah tiada. Hanya Allah yang sungguh-sungguh ada, sungguh-sungguh telah ada, akan ada, dan kekal ada.

Kehidupan nyata ialah kamar mandi di rumah, dapur, pot bunga, pagar rumah, tetangga, pasar dan politik, supermarket, dan tata ekonomi internasional, apa pun.

Bagaimana manusia menyikapi itu semua dengan metode Qurani, itulah perjalanan menembus tujuh langit yang berujung di telapak kaki-Nya.