Idul Fitri, “Mandi Besar” Manusia dan Kebudayaan

UNTUK MEMBICARAKAN Idul Fitri, kita bisa memakai  acuan firman yang mana pun dari Al-Qur`an. Artinya—minimal pada cara pendekatan yang saya pakai—bisa memakai ayat mana pun dan surah mana pun. Sebab Al-Qur`an itu, meskipun terdiri dari mega titik-titik makna, garis-garis, sendi-sendi, sudut-sudut, maupun ornamen-ornamen: namun—atau justru karena itu—adalah suatu kebulatan

Kebulatan bisa menggambarkan suatu semesta yang tak terhingga, sekaligus ia sekadar sebuah titik. Di dalamnya, arah dan diferensiasi garis-garis dan ruangan berlaku relative: artinya, semua itu kembali kepada atau menjadi hakikat kebulatan itu sendiri.

Titik, garis, dan ruang itu, tinggal diproyeksi apa artinya secara teologis, secara kosmologis, serta secara filosofis. Ketika pada perhubungan antara ketiganya Anda berjumpa dengan kaitan timbal balik antara din dan ushuluddin, jarak antara fiqh dan ushulul-fiqh, atau mungkin rentang pemahaman pengetahuan, kemudian dengan teknologi dan aplikasi kebudayaan dan perdaban—di hadapan mata Anda jadi terhamparkan cakrawala dari yang bernama kebulatan atas titik tersbut di atas.

Kebulatan dan titik itu menggejala ketika kita berpikir tentang strukturalisme yang berlangsung dengan dan dalam sistem-sistem seperti lukisan ombak gelombang dengan gerakan-gerakannya secara ruang dan oleh waktu. Kebulatan dan titik itu pulalah yang kita sebut jumbuh dalam konteks transendensi budi daya kemanusiaan, atau  tauhid dalam bahasa keagamaan.

Namun, tradisi penciptaan Allah atau hukum alam, juga menentukan hal yang disebut sebagai titik-titik refleksi. Yakni, suatu ambilan yang terefektif dan terefisien, atau wilayah kausalitas yang “pragmatis”. Anda bisa menyembuhkan sakit kepala dengan jungkir balik menggerak-gerakkan seluruh tubuh, tetapi barangkali lebih efektif dan efisien untuk merekayasa kesembuhan itu dari titik-titik refleksi tertentu. Demikian juga untuk memperbincangkan Idul Fitri, Anda bisa mengambil ayat apa saja dan dari surah apa saja, tetapi pasti lebih “ekonomis” apabila dipilih wilayah-wilayah firman tertentu.


MAKA, saya ingin mengambil sejumlah “titik refleksi” firman. Pertama, titik fitri atau fitrah.

Idul Fitri berarti telah tibanya suatu “perjalanan kembali” dari kondisi tidak fitri menjadi fitri. Dari palsu menjadi sejati. Perjalanan itu sudah pasti harus melibatkan seluruh dimensi hidup pelakunya. Ya, spiritualitasnya, ya intelektualitasnya, ya moralitasnya, ya estetika-nya, ya pergaulan sosialnya, ya keterlibatan seluruh kesejarahannya. Perjalanan kembali itu, seperti kita ketahui bersama, ditempuh dengan metode puasa.

Kemudian titik yang lain: kondisi fitri itu misalkan kita acukan ke definisi ahsani taqwîm. Itu Tuhan yang bikin istilah: artinya “sebaik-baik makhluk yang Dia ciptakan”. Lantas kondisi tidak fitri itu kadar-kadar kepalsuan, penyelewengan, atau pengingkaran—dalam sistem nilai Tuhan—yang disebut asfala sâfilîn. Artinya, yang terendah dari yang rendah-rendah. Tentu saja asfala sâfilîn ini titik ekstrem dari kepalsuan yang dicapai oleh manusia: kita mengerti bersama bahwa mungkin tidak seorang pun yang benar-benar bisa kita kategorikan sebagai asfala sâfilîn, tetapi sekadar memiliki atau berada pada kadar “aspal” yang berbeda-beda.

Konteks yang terakhir ini bisa kita analogkan dengan kenyataan bahwa tak ada manusia yang sungguh-sungguh Muslim seperti juga tak ada manusia yang sungguh-sungguh kafir. Pendekatannya di sini lebih objektif untuk kita acukan ke “nilai” atau “potensi” yang dimiliki seseorang, bukan pada manusianya. Maksud saya, lebih baik pakai istilah kufur atau unsur kekafiran dalam perbuatan seseorang, daripada kafir.

Memang, pada tataran syariat atau hukum formal seseorang bisa disebut Muslim asal dia telah mengucapkan syahadatain, dan disebut kafir begitu dia mencabut ikrarnya. Tetapi, syariat hanyalah salah satu dimensi dari kehidupan yang bulat ini.

Demikianlah, maka acuan palsu dan sejati, perjalanan kembali ke fitri, juga menjauhi kadar asfala sâfilîn untuk menemukan kembali ahsani taqwîm—bisa kita temukan danuraikan dalam berbagai kerangka konteks.


BERADA di atas taraf materi, tumbuhan, dan hewan, manusia adalah makhluk yang berketumbuhan, bernyawa, memiliki tak kurang dari tiga puluh enam jenis nafsu, serta—atau tetapi juga—dibekali akal budi atau kecerdasan nalar.

Seandainya manusia tak punya daya intelek, maka fitrah manusia cukup ditolokukuri oleh output pemuaian fisiknya dan manifestasi nafsu-nafsunya—dan dia sama sekali tak dipersalahkan atau “tak menjadi palsu” apabila hidupnya dikendalikan oleh nafsu-nafsu tersebut. Juga ketika nafsu-nafsu itu mewujud dalam bentuk-bentuk pelaksanaan hidup yang bagus atau indah. Binatang pun memiliki naluri dan intuisi estetika, umpamanya. Artinya, jika pelaksanaan estetika kemanusiaan tidak diimbangi atau ditata bersama dengan daya akal budi, maka dia belum lebih tinggi harkatnya dibanding binatang.

Oleh karena itu, apakah manusia bergeser ke wilayah kepalsuan atau tidak, sesungguhnya ditentukan terutama oleh eksplorasi daya intelek. Daya inilah yang membuat manusia sanggup mengarahkan arah cita rasa keindahannya, membatasi keinginannya, serta mendewasakan kehendak dan cita-citanya.

Pada kemungkinan lain, jika daya intelek manusia dipakai justru untuk memanjakan nafsu-nafsu, maka muatan kemajuan peradaban manusia justru memiliki arah terbalik dari kutub nilai ahsani taqwîm.

Kemudian, kita tinggal membuat “daftar” seberapa jauh manusia memasuki wilayah asfala sâfilîn. Misalnya, egoisme, sikap asosial, atau ketidakadilan. Anda tinggal mengisikan di lajur ini: ketidakpedulian sosial, akumulasi kesejahteraan, otoritarianisme politik, sentralisme kekuatan-kekuatan sejarah, dan sebagainya. Artinya, kita bisa memuatkan padanya gejala atau data-data asfala sâfilîn dari pergaulan antarmanusia, perhubungan profesional, strukturalisme ekonomi dan politik, dan seterusnya.

Silakan Anda memperhatikan kembali, menjelang Idul Fitri ini, apa saja di lingkungan Anda—termasuk lingkungan internal diri kita sendiri—yang potensial menjadi asfala sâfilîn. Anda juga silakan membaca koran, majalah, dan buku-buku, untuk menemukan berpuluh-puluh ribu asfala sâfilîn dalam sejarah yang kita selenggarakan bersama ini.

Sesudah itu baru kita perkirakan seberapa mungkin Idul Fitri atau “perjalanan kembali” ke kondisi ahsani taqwîm itu kita laksanakan. Insya Allah kita akan menemukan keprihatinan besar di situ. Jangankan Idul Fitri sosial struktural, sedangkan Idul Fitri personal saja susahnya bukan main.

Menjelang Idul Fitri 1411 ini, kita justru sangat gencar mendengar dan membaca berita tentang berbagai jenis perampokan resmi maupun tak resmi, berbagai modus ketidakadilan dan ketidakbenaran; belum lagi apabila kita baca-baca kembali “PR-PR” rutin dari problem negara dan masyarakat hampir di setiap bidang yang bagai tak akan habis-habisnya.

Diam-diam kita merasa “ampang” dan “risi” kepada Tuhan dalam memasuki hari agung Idul Fitri ini, karena sedemikian banyak kasus-kasus asfala sâfilîn di bidang hukum, politik, ekonomi, bahkan kebudayaan.


PADA JUDUL tulisan ini, saya memilih istilah mandi besar untuk menggambarkan perjalanan memperoleh kembali kondisi fitri manusia dan kebudayaannya.

Para ilmuwan sejak lama sepakat bahwa Idul Fitri atau “mandi besar” untuk mencuci sejarah kita dari problem-problem dan penyakitnya adalah dengan “penyelesaian struktural”. Maka, mari bayangkan Idul Fitri macam apa yang bisa kita capai dewasa ini?

Pertanyaan itu paralel dengan pertanyaan sebelumnya: Puasa macam apa yang bisa kita lakukan dalam mekanisme sosial kita? Sejauh ini puasa kita baru tingkat elementer: tidak makan dari subuh hingga maghrib; alangkah sederhananya.

Kita pura-pura percaya bahwa puasa adalah metode untuk menempuh perjalanan kembali ke kefitrian, adalah cara untuk “mandi besar” atau untuk membersihkan diri dari dosa-dosa besar maupun kecil. Tetapi, kita mengongkosi kepercayaan itu dengan dekadensi pemahaman metode puasa: begitu berbuka ketika maghrib, kita merasa telah sukses berpuasa.

Padahal, tolok ukur keberhasilan puasa adalah pada kefitrian perilaku sosial, kefitrian tatanan sistem, kefitrian manajemen dunia politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan.

Mohon maaf saya tampak “pesimistik”, tetapi itu semata-mata karena saya ngeri dimarahi oleh Tuhan.

dari: surat kepada kanjeng nabi — mizan, 1996