Kepantasan Untuk Dimaafkan

BARANGKALIAnda pernah membaca sebuah hadis qudsi yang menggambarkan betapa nranyak makhluk yang bernama manusia. Itu pun tak hanya di antara sesama manusia, tapi juga terhadap Tuhannya.

Allah menggambarkan hamba-hamba-Nya melakukan dosa dan dosa, menumpuknya dari hari ke hari, sampai pada akhirnya tiba pada suatu keadaan—mungkin penyesalan, mungkin rasa jijik pada dirinya sendiri—sehingga membutuhkan permaafan Allah. Dan Allah, yang Mahabaik itu, sudah barang tentu memaafkannya.

Tapi kemudian kesalahan-kesalahan ditumpuknya lagi, dan akhirnya cemas dan memohon ampun lagi, dan Allah lagi-lagi mengampuninya pula. Hal demikian terulang terus-menerus dalam kehidupan. Sampai akhirnya sang hamba tiba-tiba meninggal dunia sebelum sempat melakukan pertobatan kepada-Nya.

Namun apa kata-Nya? “Aku pun tetap juga memaafkannya”.

Bukankah memang Allah memiliki tak kurang dari lima sifat pemaaf atau pengampun? Kenapa tak satu saja? Bukankah dengan cukup satu pengampunan seluruh dosa besar dan dosa kecil umat manusia menjadi leleh, menguap, dan sirna?

Mungkin karena masing-masing sifat pemaaf-Nya memiliki aksentuasi fungsionalnya sendiri. Atau barangkali itu merupakan sindiran Allah, betapa manusia bukan saja “tempat kesalahan dan kekhilafan”, melainkan bahkan punya kecenderungan untuk memelihara, bernikmat-nikmat, dan membanggakan kesalahan secara berlebihan—secara substantif, secara ruang, maupun secara waktu.

Sedemikian tinggi potensi manusia untuk melakukan kesalahan, dosa, penyelewengan, penindasan, pembudakan, ketidakjujuran, dan ketidakadilan; sehingga rasanya tak cukup “dilayani” hanya dengan satu sifat pemaah Allah.

Penyair Abu Nawas melawak pula: “Dosa-dosa hamba bagaikan timbunan pasir di sepanjang pantai. Maka siapa lagi yang pantas mengampuni hamba selain Engkau, ya Rabbi?” “Hamba ini tak cocok menjadi penghuni surga, ya Allah, tapi kalau harus masuk neraka ya jangan dong…”

Manusia bersikap sedemikian manja kepada Allah, mentang-mentang ia adalah ahsani taqwim, sebaik-baik ciptaan-Nya. Karya masterpiece amat cemerlang yang amat Ia cintai.

Perilaku Biadab

Ketika gunung-gunung, samudera, dan langit mengajukan protes ke langit tentang banyak perilaku biadab umat manusia yang terus saja merusakkan alam dan merusakkan diri manusia sendiri, dan kemudian gunung itu minta izin agar diperbolehkan meledakkan diri dan mengalirkan lahar panas dan batu-batu api untuk menghancurkan kota-kota manusia, Allah menjawab bahwa memang tolol benar manusia bersedia dijadikan khalifah di bumi, padahal gunung, jin, badai, dan lain-lainnya menolak. Celakanya sang khalifah ini, berbuat tidak lebih baik dari bintang-bintang dan pepohonan yang senantiasa bersujud kepada-Nya.

Manusia mentradisikan kesembronoan ruhani, keberlebihan konsumsi, menuruti kemerdekaan sampai tingkat mabuk, mengambil apa yang bukan haknya dan tidak menyampaikan apa yang seharusnya disalurkan—baik uang, harta, kambing, maupun hak asasi. Mentang-mentang Allah tidak pernah membuat mata mereka buta sebelah, rambut rontok dan bibir tiba-tiba “ndower” ketika bangun pagi di pagi hari. Mentang-mentang Allah amat setia menjaga nikmat-nikmat-Nya untuk selalu berlaku pada manusia meskipun hamba-Nya ini tidak mematuhi-Nya, bahkan membohongi-Nya dalam berbagai hal.

Memang Allah amatlah mencintai hamba-hamba-Nya. Bacalah firman-firman-Nya. Terkadang Ia tampak begitu bersusahpayah berusaha meyakinkan agar manusia mempercayai-Nya. Di saat lain Ia seolah-olah murka karena Ia tak dinomorsatukan, melainkan dipersekutukan dengan benda-benda dan nilai-nilai yang remeh dan sepele, sehingga seandainya Ia adalah manusia, maka akan tumbuh rasa cemburu dan sakit hati yang mendalam.

Keterlaluan

Atau tak jarang pula Ia seakan-akan bertanya: “Apa lagikah yang engkau dustakan dari nikmat-nikmat-Ku?” “Utusanku itu bukanlah seorang pembohong, kenapa engkau tak juga percaya kepadanya?” “Bukankah telah Aku lapangkan dadamu? Bukankah telah kuletakkan engkau di tempat yang lebih berderajat? …. Kenapa sekadar menyantuni fakir dan yatim saja engkau berkeberatan?”

Manusia memang keterlaluan. Allah tak habis-habisnya memberi, sementara ia tak habis-habisnya menuntut. Allah tak jera-jeranya mencintai, sementara manusia tak kapok-kapoknya membelakangi.

Sedangkan di antara sesama manusia saja pun diperlukan pengertian tentang kelayakan pada setiap orang untuk dimaafkan. Suatu keadaan yang relevan untuk dikutuk dan keadaan lain pantas untuk dimaafkan.

Tatkala mengajarkan Al-Fatihah, Allah menuntut manusia untuk pertama-tama mengapresiasi dan memuji-Nya, baru kemudian minta tolong dan perlindungan. Tak ada Al-Fatihah yang berbunyi “Iyyaka naʼbudu wa iyyaka nastaʻin” baru kemudian “alhamdulillah rabbil ʻalamin”.

Manusia baru layak minta ampun, minta pertolongan, dan perlindungan, kepada siapa pun—apalagi kepada Tuhan—apabila ia telah menunjukkan bukti apresiasi atau penghargaan kepada pihak yang dimintai ampun dan pertolongan.

Keadaan hidup kita, personal maupun sistemik, sampai sejauh ini masih menunjukkan sangat banyak ketidaklayakan empirik untuk dimaafkan oleh Allah.

dari: Surat Kepada Kanjeng Nabi — mizan, 1996