Tagged Idul Fitri

Idul Fitri, “Mandi Besar” Manusia dan Kebudayaan

Idul Fitri berarti telah tibanya suatu “perjalanan kembali” dari kondisi tidak fitri menjadi fitri. Dari palsu menjadi sejati. Perjalanan itu sudah pasti harus melibatkan seluruh dimensi hidup pelakunya. Ya, spiritualitasnya, ya intelektualitasnya, ya moralitasnya, ya estetika-nya, ya pergaulan sosialnya, ya keterlibatan seluruh kesejarahannya. Perjalanan kembali itu, seperti kita ketahui bersama, ditempuh dengan metode puasa.

Kepantasan Untuk Dimaafkan

Memang Allah amatlah mencintai hamba-hamba-Nya. Bacalah firman-firman-Nya. Terkadang Ia tampak begitu bersusahpayah berusaha meyakinkan agar manusia mempercayai-Nya. Di saat lain Ia seolah-olah murka karena Ia tak dinomorsatukan, melainkan dipersekutukan dengan benda-benda dan nilai-nilai yang remeh dan sepele, sehingga seandainya Ia adalah manusia, maka akan tumbuh rasa cemburu dan sakit hati yang mendalam.

Mengenang Estetika Takbiran

APA YANG tersisa dari suasana Idul Fitri pada diri Anda? Kenangan kebahagiaan bersama keluarga? Capek dan absurdnya perjalanan mudik yang tahun ini benar-benar dahsyat?  

Pada saya, yang terngiang-ngiang selalu sehabis Lebaran adalah suara-suara takbiran masal. Baik di masjid kita masing-masing, di jalanan, di teve, atau mungkin takbir dalam film The Messenger yang disuarakan secara sangat sederhana.  

Idul Fitri: Kemenangan Personal di “Tengah Kekalahan Struktural”

Pada dimensi intelektual, fitri adalah kematangan dan kemengendapan. Dengan menyaring ucapan dan ekspresi perilaku dalam puasa, dengan tradisi iktikaf yang melatih telinga batin untuk mendengarkan suara-suara yang dalam situasi-situasi normal tidak begitu terdengar, mekanisme akal manusia akan mengalami sublimasi ke dasar ilmu sejati. Ini bukan masalah ‘kebatinan’. Ilmu sejati adalah pengetahuan jernih yang membedakan antara pengetahuan yang berkualitas buih-buih dan pengetahuan yang berkualitas jernih. Antara pengetahuan yang memang membuat pemegangnya menjadi tahu, dan pengetahuan yang sia-sia, yang tidak boleh tidak ada karena ketiadaannya tidak merugikan dan keberadaannya tidak menguntungkan atau memberi hikmah.

Secangkir Kopi Untuk Idul Fitri

Berhariraya; mencari benda, menikmati benda, pokoknya yang sifatnya memenuhi wadagiyah, itu gampang. Allah menyediakan alam yang kaya raya, tinggal wasyrabu, asal laa tasrifuu. Kalau ada yang miskin apalagi faqir, berarti ada dua kemungkinan. Pertama, kita memang pilih zuhud, pilih menjadi zahid, acuh beibeh terhadap segala keduniaan. Kedua, ini yang gawat; ada sistem pengaturan kekayaan Allah yang tidak adil.

‘IED MUBARRAK, KEMENANGAN SEJATI

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, Inti-Maiyah dan semua Lingkaran Kadipiro menyampaikan ‘Ied Mubarrak Mohon Maaf Lahir Batin 1 Syawal 1435-H, semoga Allah menganugerahkan Kemenangan Sejati, kepada seluruh Jamaah dan Masyarakat Maiyah.