Setan Diborgol, Mestinya Kita Juga

jaburan edisi ketigabelas

ANDA mungkin sudah pernah mendengar anekdot ini. Ada pejabat yang pulang naik haji masuk rumah sakit dengan kepala luka parah. Soalnya, ketika jumrah bukannya dia berhasil melempari setan dengan batu, tapi malah sejumlah setan melempari kepalanya.

Ketika komandan setan menanyainya kenapa melempari jemaah haji, oknum setan itu menjawab: ”Kan Tuhan sudah membagi-bagi kerjaan untuk makhluk-Nya, e…, dia malah mengerjakan hal-hal yang seharusnya dikerjakan setan.…”

Lawakan itu tak saya jamin secara substantif salah. Maka, setiap memasuki Ramadan, ada rasa cemas-cemas geli: memang setan diborgol Tuhan, tapi kita kan tidak. Kita tidak lebih oke dibanding pejabat itu dan jumlah kita sangat banyak. Maka belajar berpuasa memang penting.

Puasa itu artinya kita berhak melakukan sesuatu tapi tak melakukannya. Berhak mendapatkan, mengenyam, menikmati, tapi sengaja dan sadar menolaknya, pada batas waktu dan konteks tertentu. Berhak atas makanan, minuman, peluang, jabatan, akses, popularitas, modal, atau apa pun saja, namun dengan pertimbangan dan perhitungan tertentu, semua itu tidak diambil.

Tentu saja puasa Ramadan adalah suatu formula puasa paling bersahaja. Semacam pelatihan, zikir, atau alat pengingat bahwa kehidupan ini penuh dengan faktor yang memerlukan metode puasa. Bahwa sangat banyak hal dalam kehidupan pribadi, rumah tangga, kemasyarakatan dan kenegaraan yang perlu dipuasai, disadari batas-batas dan ruang lingkupnya.

Kehidupan manusia berangkat dari kemerdekaan, ditata dan diselamatkan oleh konsep tentang batas. Prinsip makan dan minum tidak terletak pada kebebasan konsumsi, melainkan pada ilmu batas nutrisi. Main sepak bola adalah adu keterampilan mengolah jurus di kurungan batas-batas. Manajemen adalah akurasi perumusan batas.


DALAM suatu tafsir, Islam dibagi dua. Pertama namanya ”Ibadah Mahdlah”, bersifat dogmatis dan harga mati. Jumlah wacana firmannya sekitar (hanya) 3,5 persen dari seluruh Al-Quran. Prinsipnya, ”Jangan lakukan apa pun kecuali yang Allah perintahkan”. Misalnya lima Rukun Islam: syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Jangan bersyahadat kalau Allah tak menyuruh. Juga jangan mengarang syahadat sendiri. Tak usah bikin lomba salat kreatif. Naik haji jangan ke Gunung Bawakaraeng atau Kawi.

Yang kedua, sekitar 96,5 persen wacananya dalam Al-Quran, adalah ”demokrasi”. Prinsipnya, ”Lakukan apa saja semaumu asal tidak melewati garis syariat Allah”. Silakan makan nasi ayam goreng asal jangan 8 piring, 5 ekor ayam, sambal 23 cobek, kerupuk 300 keping. Sebab, yang disebut syariat Allah antara lain adalah metabolisme dan sifat alamiah tubuh kita.

Semua perilaku individu, fisik mental intelektual spiritual, semua penataan keluarga dan kemasyarakatan, semua pengelolaan negara, manajemen perusahaan, dan apa pun saja dalam kehidupan tidak punya kemungkinan lain kecuali dibatasi oleh syariat Allah—dengan atau tanpa Tuhan memfirmankannya. Kita menjadi tua, luruh, rabun, rambut memutih, kulit keriput, dan mati—itu syariat Allah, pakai Taurat, Zabur, Injil, Quran, atau tidak. Itu yang Tuhan ungkapkan ”bertasbih kepada-Ku semua yang di langit dan di bumi”. Bahkan langit dan bumi juga hanya punya satu profesi: taat kepada-Nya.


SYARIAT dari kata syari’, artinya: jalan. Bermakna material, jasadiyah, hardware. Thariqat dari kata thariq, artinya: jalan. Tapi bermakna lebih ke software, spiritual, keilmuan, filosofi dan nilai-nilai. Dalam perjalanan hidup menjalani syariat dengan wacana dan internalisasi thariqat, manusia mengalami ma’rifat demi ma’rifat, pemahaman yang tak hanya diketahui dan disaksikan tapi juga dialami dan dibuktikan. Setiap tahap ma’rifat membawa akal manusia mengalami legitimasi atas haqiqat atau hakikat-hakikat hidup yang sejak ia belum lahir sampai sesudah kelak mati memang sudah demikian adanya.

Puasa adalah metode perilaku menuju akurasi, presisi atau ketepatan dalam menjalani apa saja dan sebagai apa saja dalam kehidupan. Menendang bola menuju gawang lawan tidak bisa memakai prinsip kebebasan menendang, pelampiasan, kepuasan menendang. Pekerjaan menendang bola harus dipuasai dengan mengukur dan merasakan seberapa keras menendang sehingga masuk gawang, pakai sudut berapa derajat proyeksi tendangan, menggunakan sisi atau sudut kaki sebelah mana agar akurasi gol bisa dicapai. Demikian juga me-manage pembangunan negara, menentukan tata kelola perekonomian, menakar ekspresi kebudayaan.

Jadi memang puasa ada ”kesaktian”-nya sendiri. Tuhan sendiri bilang, ”Ibadah yang lain untuk kepentinganmu sendiri, tapi puasamu untuk-Ku”. Tentu saja Tuhan tak butuh puasa kita: itu hanya retorika atau diplomasi-Nya untuk menunjukkan betapa pentingnya puasa bagi keselamatan peradaban umat manusia.