By Fahmi Agustian

Cerita Dari Sudut Dapur Kenduri Cinta

Banyak yang menganggap bahwa kami para Penggiat Kenduri Cinta adalah orang-orang “Ring 1” Emha Ainun Nadjib di Jakarta. Padahal, justru yang pertama kali dilakukan oleh “kakak-kakak” kami di Kenduri Cinta adalah untuk membuang jauh-jauh harapan “menjadi orang dekatnya Cak Nun”. Mereka ini, adalah anak-anak yang sudah sangat lega, sangat ikhlas jikalau hingga akhir acara tidak sempat bersalaman dan mencium tangan Cak Nun, guru yang mereka cintai. Menahan rindu satu bulan sekali, dan ketika bertemu, belum tentu bisa untuk sekedar mencium tangan beliau. Bagi mereka, melihat Jama’ah Kenduri Cinta bergembira malam itu adalah kepuasan yang tidak ternilai harganya. Mereka-mereka itu, pada Jum’at kedua setiap bulannya selalu ditanya oleh Jama’ah dengan sebuah pertanyaan; “Cak Nun hadir nggak malam ini?”. Pertanyaan yang sebenarnya mereka tidak mengetahui jawabannya. Mereka tidak mungkin menjawab “iya”, karena memang mereka sama sekali tidak mengetahui apakah Cak Nun hadir di Kenduri Cinta atau tidak. Sementara, mereka juga tidak mungkin menjawab “tidak”, karena bisa jadi ternyata Cak Nun hadir malam itu.

From Beginner to be Learner

Pada rentang waktu 2012-2013, ketika Internet semakin mudah diakses, yang kemudian saya manfaatkan dari internet adalah mencari informasi sebanyak mungkin tentang “Emha Ainun Nadjib”. Tentu saja, ketika mencari informasi tentang beliau maka akan tersambung benang merah dengan KiaiKanjeng dan Maiyah. Baik itu reportase Maiyahan, tulisan-tulisan beliau di media massa, maupun yang dipublikasikan oleh beberapa JM di blog-blog mereka saat itu, yang masih sangat sedikit sekali. Berbeda dengan hari ini, arsip-arsip tulisan beliau begitu banyak dipublikasikan oleh orang di Internet. Saya mengalami masa-masa ketika saya mencari kata kunci “Cak Nun”, “Emha Ainun Nadjib” dan beberapa kata kunci lain yang berkaitan dengan beliau, tidak pernah lebih dari 10 halaman di mesin pencari Google. Sehingga informasi yang saya dapatkan tentang beliau saat itu, sangat sedikit.

Mengenal Cak Nun, dari “Tombo Ati” hingga Kenduri Cinta

SETIDAKNYA ADA tiga kemungkinan seandainya kita hidup di era Rasulullah SAW. Pertama, kita beriman kepada Rasulullah SAW, setia dan berbaiat kepada beliau, meyakini ketauhidan Allah yang beliau ajarkan, patuh dan taat terhadap segala perintah dan menjauhi semua larangan. Kedua, kita berada satu kubu dengan Abu Jahal, yang tidak mempercayai segala informasi yang disampaikan oleh Kanjeng Nabi, bahkan kita ikut melempari batu kepada beliau ketika berdakwah. Ketiga, acuh. Tidak peduli apa yang disampaikan oleh Kanjeng Nabi pun juga tidak berniat untuk bergabung dalam faksi Abu Jahal. Yang penting hidup enak, bisa makan, kebutuhan sehari-hari tercukupi.

Meskipun demikian ada juga opsi keempat; tidak bersama dengan Abu Bakar, juga tidak bergabung dengan Abu Jahal, juga tidak bersikap acuh, tetapi menjadi abu-abu; Menjadi kelompok Oportunis, mana yang memberikan kita keuntungan, disitulah kita berpihak. Kalau hari ini Abu Bakar memberikan keuntungan kepada kita, kita bersama Abu Bakar. Kalau esok Abu Jahal menguntungkan kita, kita bersama Abu Jahal. Sepertinya kemungkinan keempat inilah yang menjadi pilihan terbanyak jika kita hidup satu era dengan Kanjeng Nabi.

Ngalap Berkah di Kenduri Cinta

Ngalap berkah. Jika anda tinggal di lingkungan pesantren dengan kultur Nahdliyin, istilah ngalap berkah tentu tidak asing di telingan anda. Maka, ketika seorang santri mencium tangan Kiai nya, bahkan ada yang rela mencium kaki Kiai nya, itu bukan dalam rangka pengkultusan, melainkan dalam rangka ngalap berkah. Nggolek barokah Mbah Yai, begitu kira-kira. Dan peristiwa ngalap berkah jika anda lihat di daerah jawa timur, maka tidak akan terlihat aneh. Kenduri Cinta berlokasi di Jakarta, potret masyarakat Jakarta yang sedemikian rupa tidak lazim dengan fenomena ngalap berkah ini. Atau yang lebih detail lagi, jama’ah Kenduri Cinta ini tidak ada potongan santri nya sama sekali. Mereka datang dengan pakaian yang tidak nyantri sama sekali, sementata di Maiyah juga tidak ada penyeragaman pakaian harus berwarna tertentu, atau harus menggunakan peci dan surban misalnya. Mereka datang dengan tampilan apa adanya, tidak memerlukan Pencitraan agar mereka terlihat sebagai orang alim karena datang ke forum pengajian, misalnya.

Keberkahan Warung Ketan Susu

Sekitar 6 kilometer dari Taman Ismail Marzuki, tepatnya di daerah Kemayoran, terdapat sebuah warung yang sangat sederhana. Bukan sebuah warung yang besar, bukan juga sebuah outlet franchise makanan siap saji, melainkan sebuah warung kecil dan sederhana di pinggir jalan; Ketan Susu Kemayoran. Meskipun berada di pinggir jalan, warung ini merupakan warung yang sangat legendaris dan terkenal. Adalah Pak Tasnian yang mengawali berjualan kudapan ketan ini, hingga saat ini usaha keluarga tersebut dikelola oleh 7 bersaudara dan tetap menjaga orisinalitasnya.

Berproses dalam “minadh-dhulumaati”, untuk menuju “ilaa An-Nuuri”

Bangbang Wetan adalah salah satu simpul Maiyah yang sudah turut serta menanamkan nilai-nilai Maiyah kepada siapapun yang hadir. Semua, satu sama lain saling mengamankan nyawa, martabat dan harta mereka. Sehingga dalam lingkaran Maiyah terjamin tidak akan ditemui kotoran-kotoran batin, tidak ada kepalsuan niat, tidak ada kecurangan fikiran sehingga Allah tetap mencurahkan kasih sayangnya kepada Jamaah Maiyah. Jamaah Maiyah berkumpul bukan dalam rangka membangun kekuatan untuk berlaku sombong, congkak dan angkuh di dunia. Maiyah justru menanamkan sikap kesadaran bahwa dunia memang layak untuk dinomorduakan. Jamaah Maiyah berkumpul di setiap Maiyahan dalam rangka membangkitkan pengetahuan, ilmu dan kesadaran kepahaman dan kemengertian akan dusta dunia.

Memperjalani Ihtifal Maiyah

JIKA TAHUN 2009 silam di Padhangmbulan dilaksanakan event Haflah Maiyah Nusantara, mungkin bagi sebagian Jamaah Maiyah yang hadir saat itu mengira bahwa Ihtifal Maiyah kali ini diselenggarakan dalam kemasan yang sama. Ihtifal sendiri secara arti bahasa artinya adalah pertemuan silaturahmi. Artinya bisa difahami bahwa Ihtifal Maiyah adalah sebuah agenda yang memiliki konteks utama Silaturahmi semua elemen yang ada di Maiyah.

Berbeda dengan Haflah, yang memiliki arti Perayaan, Pesta atau Upacara, sehingga kemasan yang terkandung dalam Haflah Maiyah sangat berbeda dengan Ihtifal Maiyah. Menurut pandangan saya sendiri setidaknya bahwa pada Ihtifal Maiyah kali ini, hampir semua Jamaah Maiyah yang hadir, termasuk juga Penggiat Simpul Maiyah didalamnya, benar-benar mempersiapkan diri masing-masing dalam menyambut “hari raya” Maiyah ini.

Menerka Kepingan Puzzle 100 Daur

Ada sebuah aturan baku dalam menikmati DAUR; jangan tertipu dengan judulnya. Karena isi tulisan bisa jauh berbeda dari judulnya, tetapi disinilah letak keasyikan saya menikmati DAUR. Kepingan puzzle ini sesekali kita rangkai, kemudian pada saatnya nanti kita rubah lagi susunannya. Dan sekali lagi saya menemukan satu kunci; Tadabbur. Cak Nun menyadarkan Jamaah Maiyah bahwa semua manusia seharusnya melakukan tadabbur, terhadap apa saja yang mereka temui. Ayat-ayat Allah tidak hanya terbatas dalam Al Qur’an saja, alam semesta dengan segala perilaku dan peristiwanya juga merupakan Ayatullah. Maka Cak Nun memberikan satu fondasi berfikir, bahwa tadabbur adalah proses dimana kita mencari manfaat sebaik-baiknya untuk kebaikan bersama dan menjadi pemantik untuk bertambahnya iman dalam diri kita, dari apapun saja yang kita temui.

Kronik Mei 1998

Cak Nun menawarkan kepada Soeharto untuk tampil dalam sebuah forum Ikrar Khusnul Khatimah. Dalam forum itu, Soeharto bertekad untuk membayar semua dosa dan memastikan mengakhiri kehidupan dengan kebaikan-kebaikan. Cak Nun mengajukan sebuah naskah berjudul Ikrar Khusnul Khatimah kepada Soeharto, berisi 4 sumpah Soeharto kepada Allah SWT.

Sudah Sampai Mana Hijrah Kita?

Sebuah pesan yang juga merujuk pada kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW, bahwa kesepian dan keterkucilan merupakan sebuah bumbu dalam proses berhijrah setiap individu manusia, baik dalam skala kecil maupun besar.