Kronik Mei 1998

Bulan Mei 1998 adalah bulan yang sangat bersejarah bagi Indonesia. Seorang raja yang berkuasa selama 32 tahun, mundur dari jabatannya. Ada banyak cerita yang berkembang terkait peristiwa Mei 1998. Namun, ada beberapa peristiwa yang tidak sempat terekam oleh media massa, padahal peristiwa-peristiwa itu sebenarnya penting, bahkan menjadi kunci mundurnya seorang Soeharto dari jabatan presiden.

Sejarah perjalanan Cak Nun menemani rakyat kecil sejak akhir tahun 70-an pada akhirnya—mau tidak mau—bersinggungan dengan penguasa. Cak Nun memilih untuk membangun ‘panggungnya’ sendiri di Indonesia, beliau tidak membutuhkan tumpangan gerbong orang lain untuk berbuat sesuatu di Indonesia. Perlawanan Cak Nun terhadap ketidakadilan Orde Baru terlontar keras, baik melalui tulisan di surat kabar, puisi atau pementasan teater. Beberapa kali Cak Nun mengalami pencekalan oleh aparat dan dilarang tampil bahkan untuk sekedar membaca puisi.

Pada awal 90-an, Cak Nun sempat masuk dalam susunan pengurus ICMI pimpinan BJ. Habibie. Kemunculan ICMI saat itu dinilai publik sebagai wadah yang disediakan oleh pemerintah untuk mengakomodir suara umat Islam. Situasi politik terkait kekuasaan Soeharto sebenarnya sudah mulai bergejolak sejak awal 90-an. Terlebih ketika Soeharto memutuskan untuk menyematkan gelar “H.M” didepan namanya dan mulai menggunakan peci. Dalam arti lain, kepemimpinan Indonesia saat itu mulai beralih dari ‘Islam-Jawa’ ke ‘Jawa-Islam’, dari ‘Hijau-Merah’ ke ‘Merah-Hijau’ Bagi dunia Barat, Indonesia boleh maju asalkan jangan menggunakan identitas Islam, sehingga keputusan Soeharto saat itu dinilai oleh Barat sebagai proses “islamisasi”. Hal itu jelas sangat ditentang oleh Barat.

Soeharto kembali terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia periode ke-7. Sebenarnya, Soeharto sangat mengerti bahwa ia sudah tidak diterima oleh rakyat ketika ia kembali dipilih oleh DPR untuk menjadi presiden periode 1998-2003. Isu reformasi mulai bergaung namun Soeharto bergeming. Soeharto menganggap bahwa reformasi dilaksanakan paling cepat pada tahun 2003. Awal bulan Mei 1998, demonstrasi besar-besaran mulai muncul. Diawali kerusuhan di Medan, 5 Mei 1998. Soeharto tidak menggubris, bahkan pada 9 Mei 1998 ia terbang menuju Kairo untuk menghadiri KTT G-15 dan baru kembali ke Indonesia pada tanggal 15 Mei 1998 dinihari.


Pada 8 Mei 1998, Cak Nun menulis sebuah artikel yang berjudul Selebaran Terang Benderang; Tentang 11 Mei, Dewan Negara, dll. Tulisan tersebut dirilis berdasarkan situasi sosial masyarakat saat itu yang mulai digoncang oleh krisis moneter. Dalam tulisannya, Cak Nun menyarankan kepada Soeharto agar segera meyerahkan kekuasaan kepada rakyat untuk menghindari bertambahnya korban moril maupun materiil. Sejak awal, Cak Nun menyarankan solusi yang sangat moderat, dimana Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada rakyat dengan cara mendirikan sebuah lembaga semacam “dewan negara” yang terdiri atas beberapa pejabat yang berkuasa saat itu dan dipadukan dengan beberapa tokoh reformasi yang dipandang mewakili suara mahasiswa. Dalam tulisannya, Cak Nun sudah memperingatkan apabila Soeharto tetap teguh—bahwa dia masih layak menjadi presiden—maka keadaan bisa menjadi lebih genting.

11 Mei 1998 dalam forum maiyahan PadhangmBulan di Jombang, Cak Nun mengajak jamaah melantunkan wirid dan zikir bersama kemudian dipuncaki pembacaan hizb nashr oleh Ibu Chalimah (Ibunda Cak Nun). “Bangsa Indonesia sudah tidak punya waktu lagi sekarang. Bapak Presiden RI hanya mendapatkan kesempatan satu kali lagi untuk mendapatkan indzar dari Allah dan peringatan dari rakyatnya. Hanya satu kali lagi peringatan itu ada, kalau peringatan ini masih tetap membikin beliau summun bukmun `umyun fahum lâ-yarji`ûn, maka kita semua harus siap di hari-hari yang akan datang lebih parah dari hari-hari sebelumnya,” ucap Cak Nun mengawali PadhangmBulan saat tu.

Padhangmbulan—embrio Maiyah Nusantara—merupakan forum yang sangat fenomenal pada dekade 90-an. Sosok Cak Nun yang sentral dalam forum ini menjadi daya tarik tersendiri sehingga dalam sejarahnya jumlah jamaah yang hadir pernah mencapai angka 40.000. Cak Dil—adik Cak Nun yang ikut menginisasi forum Padhangmbulan—mengingat ketika itu begitu padatnya jadwal undangan Cak Nun untuk berceramah. Forum Padhangmbulan kemudian melahirkan forum-forum lain; Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta, Gambang Syafaat, Bangbang Wetan, dll.

Pada Padhangmbulan 11 Mei 1998, Cak Nun juga menyampaikan pesan dari beberapa kyai dan ulama yang mendapat isyarah tentang Indonesia, dimana dalam hari-hari ke depan akan terjadi serangkaian peristiwa yang sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia.

“Kyai-kyai yang masih murni, maksum, yang masih dilindungi oleh Allah—terutama di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah bagian utara, Jawa Barat bagian selatan—mendapatkan isyarat, isyarah, yang semuanya gelap, menyedihkan, yang semuanya mengandung darah. Marilah kita pada malam hari ini benar-benar ber-istighasah pada Allah supaya kita di dalam lindungan Allah. Supaya kita bisa melacak satu-persatu apa yang kita hadapi.

“Wal-tandhur nafsun mâ- qaddamat lighad. Kita hitung setiap kemungkinan ke depan, yang menyangkut Pak Harto, ABRI, pemerintah, gerakan mahasiswa, dengan tetap berlindung pada Allah dan menggunakan bil-hikmah mauidhatil hasanah dan tetap menggunakan khairul umuri ausathuhâ.

“Kita akan mencari jalan yang paling sedikit ongkosnya, yang paling sedikit korbannya dan kita akan rundingkan secara pelan-pelan tanpa menyalahkan siapa-siapa,” ungkap Cak Nun saat itu. Cak Nun mengajak jamaah untuk memperbanyak membaca ayat Kursi dalam beberapa hari kedepan mengingat pertanda-pertanda yang ada.


12 Mei 1998. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tertembak pada saat melakukan demonstrasi secara damai di dalam kampus. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie. Beberapa hari sebelumnya, seorang mahasiswa di Yogyakarta juga menjadi korban meninggal dalam sebuah demonstrasi; Moses Gatutkaca.

13-14 Mei 1998. Kerusuhan meluas hingga ke beberapa kota di Indonesia seperti Medan dan Surakarta. Mobil, motor, gedung, POM bensin dibakar massa. Penjarahan terjadi di banyak tempat. Etnis Tionghoa menjadi sasaran utama kerusuhan saat itu. Publik internasional mengecam keras peristiwa itu. Pada tanggal 15 Mei 1998, sepulang dari Mesir, Soeharto masih bergeming dan tidak menuruti kemauan demonstran yang menginginkannya mundur dari jabatan presiden. Soeharto justru seakan membangun benteng tinggi sebagai pertahanan dengan menghimbau kepada demonstran untuk menghentikan unjuk rasa dan meminta mahasiswa untuk kembali ke kampus.

16 Mei 1998. Melihat situasi dan kondisi Indonesia yang krusial, beberapa tokoh nasional mengadakan pertemuan di Hotel Regent, Jakarta. Mereka diantaranya adalah Nurcholis Madjid (Cak Nur), Utomo Dananjaya, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Ekky Syahruddin dan Fahmi Idris. Mereka berkumpul menyusun sebuah draft untuk disampaikan kepada Soeharto yang intinya meminta dengan legowo kepada Soeharto untuk mundur dari kursi kepresidenan. Lengser keprabon. Oleh Nurcholis Madjid naskah itu diberi judul Khusnul Khatimah. Karena isi dari naskah tersebut lebih pada niat, kesadaran dan konteks khusnul khatimah dimana Soeharto sebagai pelaku “khusnul khatimah”-nya..

Dalam naskah tersebut, Cak Nur memberi 4 pilihan formula reformasi kepada Soeharto. Ke-4 formula tersebut adalah: satu, reformasi dalam kerangka sistem Orde Baru seperti yang pernah dungkapkan oleh Soeharto sendiri di depan pimpinan fraksi di DPR; dua, reformasi dalam kerangka sistem yang sama sekali lain dari sistem Orde Baru, dimana Soeharto sebagai presiden akan digantikan oleh orang lain melalui jalan konstitusi; tiga, reformasi melalui proses pergantian kekuasan politik radikal (kudeta); dan empat, reformasi jalan tengah yang melibatkan tokoh-tokoh reformasi dengan membentuk sebuah lembaga semacam ‘dewan negara’. Pada 17 Mei 1998, naskah Khusnul Khatimah dikonferensiperskan di Hotel Wisata Internasional, Jakarta.

Seperti sebuah cerita dalam khasanah muthola’ah—buku cerita anak-anak dalam bahasa arab, dalam sebuah cerita dikisahkan sekelompok tikus yang merasa terganggu dengan kehadiran seekor kucing yang terus mengganggu kehidupan mereka. Sehingga dalam sebuah rapat diputuskanlah untuk mengalungkan sebuah kalung lonceng untuk dikaitkan ke leher kucing. Solusi didapatkan, kemudian persoalan lain muncul: siapa yang akan mengalungkan kalung tersebut?

Begitulah kira-kira yang dihadapi oleh Cak Nur dan beberapa tokoh setelah menyusun Khusnul Khatimah. Sosok Soeharto yang saat itu begitu kuat seperti macan, diperlukan diplomasi yang luar biasa untuk menghadapinya. Bahkan untuk sekedar menyerahkan sebuah surat usulan agar mundur dari jabatan presiden, tokoh-tokoh tersebut tidak gegabah untuk memilih orang yang tepat untuk menyerahkannya kepada Soeharto. Pilihan jatuh kepada Saadilah Mursyid yang saat itu menjabat menteri sekretaris negara. Esoknya, 18 Mei 1998, isi dan pokok-pokok naskah tersebut oleh Saadillah Mursyid disampaikan kepada Soeharto.


Setelah dipelajari Soeharto, beberapa jam kemudian Saadillah Mursyid dipanggil Soeharto dan Soeharto menyatakan bersedia mengikuti saran-saran untuk mundur dan meminta bertemu dengan orang-orang yang menyarankannya lengser secara ‘khusnul khatimah‘. Soeharto sendiri yang kemudian menghubungi Cak Nur dan menyatakan bersedia untuk mundur dan akan mengumumkannya esok (19 Mei 1998) di depan publik dengan ditemani tokoh-tokoh yang menyarankan untuk mundur. Cak Nur dalam sebuah wawancara dengan Tempo menyatakan cukup kaget dengan keputusan Soeharto yang begitu cepatnya. Sehingga Cak Nur mengiyakan ajakan pertemuan Soeharto dengan beberapa tokoh esoknya, memastikan apakah Soeharto benar akan mengundurkan diri.

Di Gedung DPR, pada 18 Mei sore, sekitar pukul 15.00 WIB, Harmoko—saat itu menjabat sebagai Ketua MPR—ditemani wakil-wakil ketua MPR seolah mengambil jalan aman, dengan suara lantang ia meminta Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Aksi Harmoko ini kemudian oleh keluarga Cendana dianggap sebagai bentuk pengkhianatan. Malam harinya, Wiranto—saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI—mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Harmoko bukanlah kehendak institusi MPR namun hanya pernyataan personal, meskipun Harmoko ketika menyampaikan permohonan tersebut dilakukan bersamaan secara kolektif dengan pimpinan lainnya.


19 Mei 1998. Pukul 09.00 WIB. Beberapa tokoh nasional datang ke istana bertemu Soeharto. Mereka adalah: K.H. Abdurrahman Wahid, K.H. Ali Yafie, Prof. Malik Fadjar, Yusril Ihza Mahendra, K.H. Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagja, K.H Ma’ruf Amien, Nurcholis Madjid dan Emha Ainun Nadjib. Pertemuan yang berlangsung selama 2,5 jam itu tujuan utamanya adalah merundingkan bagaimana prosedur turunnya Soeharto agar proses berjalan secara konstitusional, arif dan tidak menimbulkan gejolak dan juga tidak memperparah kondisi sosial masyarakat yang saat itu sedang rentan.

Sejak 18 Mei malam, ada beberapa bom yang dipasang di beberapa titik vital di Jakarta, 18 diantaranya dipasang di beberapa POM bensin, 16 lainnya berada di titik tol perbatasan Jakarta dengan kota-kota di sekitarnya. Gedung Graha Purna Yudha akan meletus, memutus jalan Gatot Subroto. Jika Bom tersebut diledakkan, Jakarta sebagai pusat negara dipastikan aman dari sentuhan orang-orang diluar Jakarta. Sehingga, apabila terjadi kekosongan pemerintahan, militer dapat segera mengambil alih kekuasaan. Karena militer masih berada di genggaman Soeharto maka militer sangat menjaga negara, pada saat itu posisi Soeharto sangat riskan. Jangan sampai negara berada dalam keadaan vakum. Ketika tokoh-tokoh tersebut bertemu dengan Soeharto di istana negara, beberapa tank-tank milik TNI Angkatan Darat bersiaga di sekitar istana. Salah satu tank memonitor pertemuan tokoh-tokoh tersebut bersama Soeharto. Dalam tank tersebut terdapat seorang tentara yang memegang remote kendali peledakan 16 bom. Ada 3 rumus diledakkannya 16 bom tersebut, 1, Apabila Soeharto memberi kode. 2, Soeharto diam lebih dari 1 menit. 3, Soeharto pingsan dalam pertemuan. Perlu dicatat, pertemuan pada malam itu bukanlah pertemuan dalam rangka negosiasi tentang kekuasaan dengan Soeharto.

Berdasarkan pengakuan Cak Nur, Soeharto dalam pertemuan tersebut sudah menyiapkan draft surat keputusan yang akan ia bacakan pada saat pengumuman pengunduran dirinya. Ternyata pengumuman yang disusun oleh Soeharto berbeda dengan draft Khusnul Khotimah yang disampaikan sehari sebelumnya. Sehingga pertemuan pada 19 Mei 1998—yang dalam pertemuan itu juga dikuti oleh Yusril Ihza Mahendra,—Cak Nur meminta Yusril untuk mengoreksi draft pengumuman yang disusun oleh Soeharto. Meskipun kemudian Soeharto sudah menyepakati susunan pengumuman yang baru, Soeharto tampak belum 100% ingin melepaskan “mahkota”-nya.
Soeharto kemudian mengusulkan untuk membentuk sebuah komite reformasi, usulan tersebut disepakati namun Cak Nur memberikan syarat agar 9 tokoh yang terlibat dalam pertemuan 19 Mei 1998 tersebut tidak dilibatkan dalam komite reformasi. Syarat tersebut disetujui Soeharto, tetapi Soeharto menampakkan wajah kekecewaan lantaran Cak Nur menolak terlibat dalam komite reformasi.

Kemudian diusulkanlah 3 gagasan kepada Soeharto: Soeharto turun beserta para kabinetnya; MPR/DPR bubar—karena parlemen pada saat itu merupakan hasil dari rezim Orde baru; dan dibentuknya komite reformasi. Komite reformasi inilah yang nantinya memegang kekuasaan sementara dan segera mengangkat pejabat kepala negara sementara. Pada saat itu Amien Rais adalah sosok yang dinilai oleh banyak pihak sebagai orang yang paling pantas menduduki jabatan tersebut. Amien Rais adalah orang yang pada hari-hari itu disebut oleh BBC dan CNN sebagai “Mr. President”.

Cak Nur menyarankan kepada Soeharto agar beliau sendiri yang memimpin komite reformasi, dengan asumsi agar proses peralihan kekuasaan diminimalisir tingkat konflik sosialnya. Seharusnya, saran agar Soeharto yang memimpin reformasi harus dipahami dalam konteks ‘khusnul khatimah’, karena orang yang melakukan banyak kesalahan-kesalahan di masa lalu adalah dia juga yang bertanggung jawab terhadap reformasi. Dia harus memulai reformasi dari dalam dirinya sendiri, kemudian memperbaikinya lalu bertanggung jawab terhadap kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya, membayarkan sesuatu yang harus dibayar, mengembalikan apa yang harus dikembalikan sesuai dengan aturan agama dan undang-undang yang berlaku.


Pada rancangan awal, Komite Reformasi ini layaknya MPR-S yang bertugas selama enam bulan dengan agenda mengubah undang-undang partai politik dan Pemilu, serta mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu. Beberapa tokoh yang terlibat dalam Komite Reformasi ini diantaranya: K.H Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Adnan Buyung Nasution, Kwik Kian Gie, YB Mangunwijaya, Akbar Tanjung, Daniel Saparringga, Arbi Sanit, Anas Urbaningrum, AM Fatwa, Joewono Soedarsono, Wiranto, Yusril Ihza Mahendra, serta beberapa rektor universitas ternama seperti UI, UGM, Undip, Unair, Unpad, IPB dan IAIN Syarif Hidayatullah. Total berjumlah 45 orang, dengan komposisi 42 orang reformis dan 3 orang dari orde baru—Soeharto, Wiranto dan Akbar Tandjung.

Malam harinya beredar kabar bahwa 14 menteri dalam kabinet pembangunan VII menyatakan mengundurkan diri. Mereka menandatangani sebuah surat yang isinya menolak duduk dalam komite reformasi maupun kabinet baru yang telah di-reshuffle. Surat tersebut ditandatangani di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Pada malam itu pula beredar kabar bahwa Amien Rais akan mengerahkan massa esok harinya (20 Mei 1998) ke Monas. Long march tersebut akhirnya dibatalkan sendiri oleh Amien Rais.

20 Mei 1998. Amien Rais, dalam sebuah konferensi pers, marah besar kepada Cak Nur (Nurcholis Madjid), Cak Nur dituding oleh Amien Rais terkait komite reformasi yang digagasnya. Amien beranggapan bahwa komite reformasi adalah strategi licik Soeharto yang tetap ingin berkuasa. Cak Nur hanya tersenyum dengan lapang dada. Setelahnya, komite reformasi disalahpahami oleh kebanyakan tokoh reformasi. Ada yang beranggapan bertemunya beberapa tokoh dengan Soeharto pada 19 Mei bertujuan menginginkan kekuasaan. Dan masuknya nama Soeharto dalam komite reformasi tidak disepakati oleh para kaum reformis saat itu. Seolah-olah publik sudah sangat traumatik kepada Soeharto, sehingga Amien Rais tidak percaya kepada komite reformasi. Semua khawatir bahwa adanya Soeharto dalam komite akan turut campur dalam komite reformasi. Sayangnya, Cak Nur tidak sanggup menjelaskan kepada Amien Rais dan publik bahwa komite reformasi adalah bentuk awal dari gerakan reformasi total.


Ada 3 hal yang menyebabkan Soeharto saat itu mengambil keputusan untuk mundur. Pertama desakan mahasiswa dan amuk rakyat. Kedua, Soeharto gagal merayu Cak Nur untuk memimpin komite reformasi—sebagai catatan, 10 menit sebelum pertemuan, Cak Nur dan Cak Nun berjabat tangan membuat gentlemen agreement, menyatakan bahwa beliau berdua tidak bersedia masuk institusi apapun dalam pemerintahan yang menggantikan Soeharto. Hal ini semata-mata untuk memberi contoh kepada masyarakat bahwa yang dilakukan bukanlah bertujuan kekuasaan. Ketiga, sebagian besar menteri-menterinya mengundurkan diri malam sebelumnya, sehingga mau tidak mau Soeharto harus lengser.

Yang menjadi penyebab utama terjadinya kerusuhan dan amuk massa dibeberapa kota besar di Indonesia adalah melemahnya kurs mata uang rupiah saat itu, bahkan mencapai 10 kali lipat dari kurs biasanya. Hal ini menjadi pemantik kerusuhan di beberapa kota. Harga bahan-bahan pokok melambung tinggi, rakyat tidak memiliki daya beli. Militer masih berada dalam genggaman Soeharto, dan demonstrasi mahasiswa saat itu tidak begitu mengkhawatirkan Soeharto terhadap kursi kepresidenannya. 1 bulan sebelumnya, Soeharto sudah menyarankan mahasiswa agar segera menghentikan demonstrasi dan kembali beraktivitas di kampus masing-masing. Soeharto mempunyai formula sendiri untuk menenangkan mahasiswa. Namun, sebagai presiden yang njawani ia tidak tahan melihat amarah rakyat yang sudah meluas.

Pada malam harinya (20 Mei 1998), pukul 20.00 WIB, Soeharto menerima surat pernyataan 14 menteri yang tidak bersedia diikutkan dalam institusi Komite Reformasi maupun Kabinet Reformasi yang rencananya adalah kabinet baru yang akan di susun oleh Soeharto. Pukul 23.00, Yusril Ihza Mahendra bersama Mensesneg Syaadilah Mursyid dipanggil menghadap Soeharto ke Cendana, saat itu anak-anak Soeharto juga berkumpul. Wiranto bahkan harus bolak-balik Cendana-kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan yang diambil Soeharto. Ketika kabar keputusan Soeharto akan mundur dan kekuasaan akan diserahkan kepada B.J. Habibie sampai kepada Cak Nur, Cak Nur berucap, “Kekuasaan Habibie harus kita beri isian cek, dia nggak boleh ngisi sendiri seenaknya. Bukan cek kosong!” Kemudian, pada pukul 23.00 WIB, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) melalui beberapa sahabatnya menghubungi wartawan lokal mapupun asing. Konferensi pers segera dilaksanakan. Sebuah naskah yang diketik oleh Cak Nun akan dibacakan oleh Cak Nur, dengan sebelumnya Cak Nun akan menjelaskan tentang naskah tersebut. Naskah tersebut disusun di sebuah rumah, di Jalan Indramayu no 14 Jakarta.


Berikut adalah kutipan dari naskah yang disusun malam itu.

Kami adalah pribadi-pribadi warga negara yang merasa ikut terpanggil memenuhi kewajiban bersama menyangga keutuhan bangsa dan negara, dengan ini menyatakan:

Sesudah BJ Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan UUD 1945, menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Soeharto atas sikap beliau yang arif bijaksana dan penuh kebesaran jiwa memenuhi keinginan masyarakat luas untuk berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dalam rangka Reformasi.

Kami bersepakat bahwa Presiden BJ Habibie memimpin pemerintahan transisi sampai dengan Sidang Umum MPR baru dalam waktu 6 bulan.

Presiden harus segera menyusun Kabinet Reformasi yang sepenuhnya mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia, dan yang terdiri dari orang-orang yang bersih dari kolusi, korupsi, kroniisme dan nepotisme.

Pemerintah harus secepat mungkin melahirkan paket UU Politik, UU Anti Monopoli, UU Anti Korupsi serta UU Pers; sesuai dengan ide dan aspirasi Reformasi.

Pemerintah harus menyelenggarakan Pemilu dan Sidang Umum MPR dalam 6 (enam) bulan berdasarkan paket Pemilu yang baru.

Pemerintah harus dengan sungguh-sungguh dan secara efektif melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, kroniisme dan nepotisme.



Jakarta, 21 Mei 1998, pukul 00.30 WIB 


Tertanda: 

Nurcholish Madjid,
 Emha Ainun Nadjib, 
A Malik Fadjar
, Utomo Danandjaya,
 S Drajat

Secara tiba-tiba, menjelang konferensi pers, Amien Rais datang. Saat Amien Rais datang, Cak Nur masih berada di dalam rumah, sedangkan 4 tokoh lainnya sudah siap di lokasi konferensi pers. Yang terjadi saat konferensi pers ternyata diluar skenario. Acara yang seharusnya dibuka oleh Utomo Dananjaya, dilanjutkan dengan penjelasan singkat oleh Cak Nun yang terjadi justru diluar skenario. Dalam membaca naskah tersebut, Cak Nur beberapa kali melakukan kesalahan ucapan, sehingga ada beberapa poin yang harus diulang agar sesuai dengan naskah yang sudah disusun. Di akhir pembacaan naskah, Cak Nur berucap: Jakarta, 21 Mei 1998, pukul 00.30 WIB, Tertanda: Nurcholis Madjid-Amien Rais.

11137159_10205523611744144_1052786859236116250_n

Foto: Kompas


21 Mei 1998. Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Kekecewaannya tergambar jelas dalam pidato pengunduran dirinya:

Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke-7, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. 

Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada didalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI.

Sesudah pernyataan mundurnya Soeharto, B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Inilah yang kemudian menjadi awal mula kesalahan reformasi. Karena seharusnya, yang dilakukan adalah reformasi total, yaitu: Soeharto lengser beserta seluruh kabinetnya, begitu juga MPR dan DPR saat itu. Namun yang terjadi adalah mengangkat anak emas Soeharto menjadi Presiden RI ke-3. Kemudian Panglima ABRI Wiranto mengatakan dalam pidatonya bahwa ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan mantan Presiden Soeharto beserta keluarganya.

Dari rangkaian peristiwa yang terjadi menjelang 21 Mei 1998 bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa “akad nikah” lengsernya Soeharto sebenarnya sudah terjadi pada tanggal 18 Mei 1998, beberapa jam setelah Soeharto menerima draft Khusnul Khotimah yang diserahkan oleh Mensesneg Saadilah Mursyid. Pertemuan Soeharto pada 19 Mei 1998 merupakan bentuk “resepsi” dari sebuah keputusan besar yang diambil oleh Soeharto sehari sebelumnya. Di beberapa forum, Cak Nun sering bercerita seperti apa suasana yang terjadi dalam pertemuan pagi itu di istana negara. Suasana yang tercipta ternyata jauh dari kata tegang. Soeharto benar-benar sudah pasrah dan siap mengumumkan pengunduran dirinya.


Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, menghadapi Soeharto saat itu membutuhkan sebuah diplomasi yang khusus, tidak boleh serampangan karena akan berakibat fatal. Soeharto saat itu adalah seorang pemimpin yang sangat kuat, ibaratnya seperti macan. Seekor macan jangan dipertemukan dengan macan yang lain sehingga yang terjadi justru sebuah perkelahian. Hal inilah yang saya lihat menjadi sebuah alasan mendasar mengapa Amien Rais tidak dilibatkan dalam pertemuan 19 Mei 1998 di istana negara. Meskipun sudah direncanakan sebelumnya (tidak melibatkan Amien Rais), Cak Nur tetap menanyakan kepada Soeharto apakah Amien Rais perlu dilibatkan dalam pertemuan tersebut atau tidak. Soeharto menjawab: Jangan dulu lah.

Banyak orang bertanya-tanya, apa peran Cak Nun dalam rangkaian peristiwa lengsernya Soeharto tahun 1998. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Cak Nun adalah tokoh yang sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto yang jelas-jelas merugikan rakyat. Bagi masyarakat mainstream saat itu merupakan hal yang aneh jika tiba-tiba Cak Nun “berdamai” dengan Soeharto untuk kemudian mau diajak duduk bersama di istana. Di kemudian hari Cak Nun bahkan mendapatkan fitnah menerima harta dari Soeharto. Pertemuan selama 2,5 jam itu seakan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap sosok Cak Nun. Bahkan mungkin banyak orang yang sampai hari ini tidak percaya bahwa Cak Nun adalah orang yang mengajari Soeharto untuk mengucapkan: Tidak jadi presiden, tidak patheken.

Ada sebuah komentar menarik yang keluar dari Novia Kolopaking, istri Cak Nun, “Sampeyan dulu disukai setiap mengkritik Pak Harto karena mereka benci kepada Pak Harto, padahal sampeyan mengkritik tidak karena membenci si hamba Allah itu sebagai manusia, melainkan karena wajib menjalankan keadilan dan amar makruf nahi munkar….”

Sepertinya memang ada sebuah hal yang tidak dipahami sepenuhnya oleh rakyat Indonesia. Di saat semua orang beranggapan bahwa Soeharto adalah musuh bersama, pada saat bersamaan mereka juga menutup pintu taubat bagi Soeharto untuk menebus semua dosa-dosa dan kesalahan yang diperbuatnya selama 32 tahun. Masyarakat luas tidak mau tahu, pokoknya Soeharto harus diadili. Tetapi mereka tidak memperhitungkan bahwa sebenarnya Soeharto masih memilki kekuatan politik bahkan setelah ia lengser. Masyarakat tidak pernah memahami bahwa Soeharto lah orang yang memerintahkan ABRI untuk memberikan dukungan kepada B.J. Habibie saat ia menggantikan Soeharto.


Dalam sebuah artikel yang dimuat oleh Sindo, 18 Januari 2008, Cak Nun menjelaskan formula Ikrar Khusnul Khotimah yang ditawarkan kepada Soeharto 1 tahun setelah lengsernya Soeharto. Cak Nun memulai penjelasannya dengan sebuah cerita pengalaman pribadinya ketika masih kecil. Sepulang sekolah, Cak Nun melewati sebuah kebun timun. Karena merasa haus, Cak Nun kecil memetik sebuah mentimun untuk kemudian ia makan. Ternyata perstiwa tersebut diketahui oleh si pemilik kebun. Pemilik tersebut meneriaki Cak Nun dengan sebutan maling. Cak Nun merasa bersalah dengan perbuatan tersebut, sehingga kemudian ketika tiba di rumah Cak Nun menuju langgar untuk menunaikan salat dzuhur dan meminta ampunan kepada Allah atas perbuatan dosa yang telah dilakukan.

Ternyata bagi ibunda Cak Nun, persoalan tersebut tidak dengan begitu mudahnya diselesaikan. Cak Nun kemudian dibawa ibundanya menuju rumah si pemilik kebun mentimun dan menyuruhnya untuk meminta maaf kepada si pemilik kebun. Setelahnya, ibunda Cak Nun juga memohon maaf kepada si pemilik kebun atas perbuatan anaknya. Setelah itu, Ibunda Cak Nun tersenyum bahagia karena telah mengajarkan kepada anaknya bagaimana cara menyelesaikan persoalan pencurian.

Metode itulah yang kemudian digunakan oleh Cak Nun kepada Soeharto. Setelah Cak Nun menyadari bahwa reformasi yang digaungkan sebelum Soeharto lengser ternyata tidak mencapai titik klimaksnya, Cak Nun kemudian memutuskan untuk kembali menemani masyarakat-masyarakat kecil yang saat itu masih diterpa krisis moneter. Bersama Mini KiaiKanjeng, Cak Nun berkeliling di kampung-kampung di Jakarta untuk sekedar mengajak masyarakat bersholawat, pada saat itulah kemudian dikenal Hamas; Himpunan Masyarakat Sholawat.

Keputusan Cak Nun yang menyingkir dari hingar bingar euforia reformasi itu ternyata justru membuat Cak Nun beberapa kali diminta Soeharto untuk bertemu di Cendana. Dalam kesempatan itulah kemudian Cak Nun menawarkan formula Ikrar Khusnul Khotimah. Sebuah ikrar yang berisi 4 sumpah Soeharto sebagai tanda bahwa Soeharto siap untuk melakukan taubat nasuha.


Cak Nun menawarkan kepada Soeharto untuk tampil dalam sebuah forum Ikrar Khusnul Khatimah. Dalam forum itu, Soeharto bertekad untuk membayar semua dosa dan memastikan mengakhiri kehidupan dengan kebaikan-kebaikan. Cak Nun mengajukan sebuah naskah berjudul Ikrar Khusnul Khatimah kepada Soeharto. Naskah tersebut berisi 4 sumpah Soeharto kepada Allah SWT.

Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia lagi.

Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan Presiden Republik Indonesia.

Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan segala kesalahan saya selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia.

Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas mengembalikan harta rakyat yang dibuktikan oleh Pengadilan Negara.

Naskah tersebut kemudian ditandatangani oleh Soeharto. Naskah tersebut sedianya akan dibaca Soeharto dalam sebuah upacara di Masjid Baiturrahman 21 Mei 1999. Namun acara ini urung dilaksanakan karena beberapa pengamat politik saat itu mencurigai bahwa Ikrar Khusnul Khatimah adalah upaya Soeharto dalam menghindari pengadilan negara. Faktanya, sampai akhir hayatnya, 4 sumpah dalam Ikrar Khusnul Khatimah tersebut tidak dibacakan dan tidak sekali pun Soeharto duduk di kursi di pengadilan manapun di negeri ini sebagai terdakwa. Bahkan setelah Soeharto lengser, ia tidak sekalipun meminta suaka ke luar negeri.

17 tahun peristiwa itu berlalu, kita lihat sekarang adalah munculnya soeharto-soeharto di berbagai elemen pemerintahan. Sejarah tinggal sejarah, tergantung siapa yang memegang kekuasaan pada saat itu. Sejarah sangat mungkin dimanipulasi. Kekuasaan memang sangat menggiurkan, apalagi jika kursi kekuasaan itu jaraknya hanya beberapa meter saja dari pandangan manusia. Ah, andai saja pergantian pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi berjalan secara total melalui Komite Reformasi, mungkin tingkat kekecewaan rakyat tidak sebesar sekarang. Semoga tulisan saya yang panjang ini mampu membuat anda para pembaca untuk memetakan: apakah Soeharto terpaksa turun atau memang Soeharto benar-benar legowo untuk mundur dari jabatan Presiden saat itu.

Wallahu a’lam.


Pustaka:
  • Arsip Gatra

– Bau Mesiu & Amis Darah di Trisakti; Gatra Nomor 27/IV, 23 Mei 1998.

– Detik-detik Yang Menegangkan; Gatra Nomor 28/IV, 30 Mei 1998.

– Dia Menyerah Di Ruang Berkarpet Merah; Gatra Nomor 28/IV, 30 Mei 1998.

– Khusnul Khatimah, Esai Cak Nun; Gatra edisi Februari 1999.

  • Arsip Forum

– Hari-hari Terakhir Kekuasaan Pak Harto; Tidak Mau Militer Mengambil Alih, Wawancara dengan Yusril hza Mahendra; Forum 30 Mei 1998.

  • Arsip Tempo

– Perjanjian Penting, oleh Goenawan Muhammad; Edisi. 41/XXI/08 – 14 Desember 1990.

– Mundurnya Sang Ontoseno; Edisi. 27/XXI/31 Agustus – 06 September 1991.

– Lakon Politik Pak Kanjeng, oleh Nirwan Dewanto; Edisi. 39/XXIII/27 November – 03 Desember 1993.

– Ia Tak Pernah Melarang Emha; Edisi. 12/XXIV/21 – 27 Mei 1994.

– ABRI: Ulang Tahun Di Tengah Hujatan; Edisi. 01/XXIIIIIII/06 – 12 Oktober 1998.

– Krisis Mengantarkan Soeharto ke Jurang Kehancuran; Edisi. 13/XXIIIIIII/29 Desember – 04 Januari 1999.

– Dua Hari Yang Menentukan; Edisi. 13/XXIIIIIII/29 Desember – 04 Januari 1999.

– Liputan Khusus Wawancara Dengan Cak Nur; Dibalik Detik-detik Itu; Edisi 12/XXXII/19/25 Mei 2003.

  • Arsip Jawa Pos

– Lengser Keprabon Itu Akhirnya Berlangsung Juga; Jawa Pos, 22 Mei 1998.

– Victory Lap, Sujud Syukur Sampai Nyemplung Kolam; Jawa Pos, 22 Mei 1998.

  • Arsip Kompas

– Cerita Dibalik Lengsernya Soeharto; Kompas, 27 Mei 1998.

  • Arsip Sindo

– Selamat Tinggal Pak Harto! ; Artikel Cak Nun; Sindo, 18 Januari 2008.

  • Arsip Suara Pembaruan

– Soeharto Menyatakan Berhenti; Suara Pembaruan Daily, 21 Mei 1998.

– Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana – Kesaksian Seorang Rakyat Kecil, Zaituna 1999.

  • Arsip Perpustakaan Emha Ainun Nadjib, Rumah Maiyah, Kadipiro – Yogyakarta.
  • Arsip KenduriCinta.com

Comments

Comments are closed.