Mengenal Cak Nun, dari “Tombo Ati” hingga Kenduri Cinta

SETIDAKNYA ADA tiga kemungkinan seandainya kita hidup di era Rasulullah SAW. Pertama, kita beriman kepada Rasulullah SAW, setia dan berbaiat kepada beliau, meyakini ketauhidan Allah yang beliau ajarkan, patuh dan taat terhadap segala perintah dan menjauhi semua larangan. Kedua, kita berada satu kubu dengan Abu Jahal, yang tidak mempercayai segala informasi yang disampaikan oleh Kanjeng Nabi, bahkan kita ikut melempari batu kepada beliau ketika berdakwah. Ketiga, acuh. Tidak peduli apa yang disampaikan oleh Kanjeng Nabi pun juga tidak berniat untuk bergabung dalam faksi Abu Jahal. Yang penting hidup enak, bisa makan, kebutuhan sehari-hari tercukupi.

Meskipun demikian ada juga opsi keempat; tidak bersama dengan Abu Bakar, juga tidak bergabung dengan Abu Jahal, juga tidak bersikap acuh, tetapi menjadi abu-abu; Menjadi kelompok Oportunis, mana yang memberikan kita keuntungan, disitulah kita berpihak. Kalau hari ini Abu Bakar memberikan keuntungan kepada kita, kita bersama Abu Bakar. Kalau esok Abu Jahal menguntungkan kita, kita bersama Abu Jahal. Sepertinya kemungkinan keempat inilah yang menjadi pilihan terbanyak jika kita hidup satu era dengan Kanjeng Nabi.

Karena kita tidak terbiasa untuk kalah. Kita hidup dalam dinamika kehidupan yang memiliki opsi menang dan kalah. Dan sayangnya, mayoritas dari kita lebih siap untuk menang daripada kalah. Sebutkan pertandingan kehidupan yang pernah anda alami, ketika anda menang maka anda akan sangat siap untuk merayakan kemenangan. Tetapi manakala anda mengalami kekalahan, sekuat apapun kata ikhlas keluar dari mulut anda, tetap saja ada rasa sakit dalam hati anda yang diam-diam menyelinap menyiksa batin anda.

Kita selalu menganggap bahwa menang itu baik, kalah itu buruk. Sehingga kita terjebak dalam dinamika perang batin dalam diri kita, kalau menang kita bahagia, kalau kalah kita bersedih. Padahal, sejatinya hidup tidak berlaku demikian. Ada kemenangan yang buruk, ada juga kekalahan yang baik. Sylvian Wiltord mencetak gol penyama kedudukan di detik-detik akhir waktu normal, para pemain dan tim ofisial Timnas Italia di bangku cadangan yang sebelumnya sudah berdiri, berangkulan, bersiap merayakan kemenangan, seketika menjadi jatuh mentalnya setelah gol Wiltord tercipta. Sebaliknya, para pemain dan tim ofisial di bangku cadangan Timnas Perancis terlecut semangatnya. 11 pemain Perancis di lapangan seakan mendapat energi baru, karena mereka berhasil memaksa Italia untuk memainkan babak tambahan waktu. Mental para pemain Italia terlanjur jatuh.

Golden Goal yang dinanti akhirnya tiba. Gol penentu David Trezeguet ke gawang Fransesco Toldo pada Piala Eropa 2000 di babak tambahan waktu adalah kemenangan bagi Perancis, tetapi sekaligus kekalahan bagi Italia. Kekalahan Italia adalah kebahagiaan bagi Perancis, dan kemenangan Perancis adalah kesedihan bagi Italia. Begitulah jika kita sedikit menggeser sudut pandang kita ketika memandang sebuah peristiwa.

Beberapa tahun sebelum Final Piala Eropa tahun 2000 itu, Album Kado Muhammad memperkenalkan saya dengan sosok Emha Ainun Nadjib. Sebagai seorang anak yang menikmati masa kanak-kanak di tahun 90-an, belum pernah sekalipun saat itu saya membaca tulisan beliau baik melalui buku maupun surat kabar dan majalah. Saat itu bahkan saya tidak mengetahui bahwa beliau pernah mementaskan “Lautan Jilbab”, “Pak Kanjeng” dan “Perahu Retak” yang kesemuanya sangat fenomenal. Saya tidak mengetahui bahwa saat itu buku “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”, “Slilit Sang Kiai”, Bola-bola Kultural”, “Markesot Bertutur” dan puluhan buku beliau lainnya sudah diterbitkan.

Album Kado Muhammad yang ternyata meninggalkan kesan yang begitu dalam. Tentu saja saat itu masih berupa kaset, diputar dalam perangat elektronik tape recorder. Ayah saya membelinya dari sebuah toko kaset, yang jauh dari rumah kami yang berada di desa. Dalam lagu Tombo Ati, bukan hanya 5 ramuan penenang hati yang diperkenalkan oleh beliau kepada saya, tetapi juga Sya’ir Abu Nawas, yang kemudian begitu familiar dalam kehidupan saya sehari-hari beberapa tahun kemudian ketika saya menjalani episode mondok di Gontor. Karena dalam lagu tersebut, cuplikan Sya’ir Abu Nawas dilantunkan dalam struktur nada yang sama dengan Tombo Ati. Mungkin, Cak Nun terinspirasi dari Sya’ir Abu Nawas yang di Gontor selalu dilantunkan oleh para santri ketika jeda antara adzan dan iqomah di setiap waktu sholat, karena beliau memiliki episode menjalani kehidupan di Gontor di tahun 60-an, maka tidak mengherankan jika beliau familiar dengan lantunan Sya’ir Abu Nawas ini.

Meskipun kemudian saya mengetahui bahwa Cak Nun pernah juga mondok di Gontor, nyatanya saat saya berada di Gontor pun tidak mengetahui bahwa “Santri-santri Khidir” pernah di pentaskan di Gontor. Satu-satunya dokumentasi yang pernah saya lihat adalah pementasan Cak Nun bersama KiaiKanjeng pada peringatan 70 tahun Gontor. Itupun hanya dalam berupa sebuah foto kecil di sebuah buku agenda. Tentu saja saya turut bersyukur karena tahun lalu beliau kembali dilibatkan dalam peringatan 90 tahun Gontor, bersama KiaiKanjeng tentunya.

Sekian tahun kemudian, tepatnya di bulan Februari tahun 2009, itulah pertama kali saya bertemu langsung dengan sosok Muhammad Ainun Nadjib. Saat itu, lembaga pendidikan tempat saya mengabdikan diri saya di Yogyakarta menyelenggarakan sebuah event Nasional dan di puncak event tersebut, kami selaku panitia bersepakat mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng. Itulah sesi perkenalan saya dengan beliau yang kedua. Dan pasti terdengar aneh, saat itu saya tinggal di sekitaran Wirobrajan, Yogyakarta, tetapi belum pernah sekalipun saya datang ke Kadipiro apalagi ke Kasihan, karena memang saat itu juga saya belum mengenal pitulasan. Betapa kasihan sekali saya…

Setelah pementasan itu, saya kemudian mencari informasi sebisa mungkin tentang Cak Nun melalui internet. Saat itu, jaringan HSDPA baru masuk ke Yogyakarta, dan jejak digital yang saya dapatkan pun tidak begitu banyak. Di Youtube misalnya, video beliau tidak sebanyak hari ini. Begitu juga dengan tulisan-tulisan beliau. Sungguh Jama’ah Maiyah hari ini sangat dimudahkan dengan Internet, karena hanya dalam sekejap saja mampu mencari informasi terbaru tentang Maiyah hari ini.

Video Maiyahan pertama yang saya tonton di Youtube adalah dokumentasi beliau di Kenduri Cinta. Dari video itulah saya melihat sosok egaliter dalam diri Cak Nun. Dalam video itu, beliau tidak mengenakan peci Maiyah, tidak mengenakan baju dan sarung berwarna putih. Dan yang disampaikan beliau saat itu juga bukan ceramah tentang Agama, melainkan tentang Politik. Dari situlah kemudian saya mengenal Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Bangbang Wetan dan PadhangmBulan tentunya, melalui media sosial Twitter. Dan saya menikmati masa-masa dimana livetweet di setiap Maiyahan adalah sebuah ritual Maiyahan dunia maya yang mengasyikkan. Live Streaming?, itulah keberuntungan yang lain bagi Jama’ah Maiyah hari ini.

Hari-hari berikutnya, saya menikmati reportase-reportase Maiyahan yang dipublikasi di website Kenduri Cinta, karena saat itu memang hanya dari website ini informasi tentang Maiyah saya dapatkan. Di Media sosial pun Maiyah belum semeriah hari ini, meskipun saya sudah memiliki akun di Facebook dan Twitter sejak tahun 2009, kemeriahan Maiyah di tahun-tahun awal masuknya media sosial ke Indonesia tidak seperti saat ini. Hari ini, Maiyah begitu fenomenal. Dokumentasi berupa Video, Audio, Teks hingga meme bertebaran. Dokumentasi yang sudah di-upload, kemudian di-download­ lalu di-upload ulang. Semarak!

Dan di Kenduri Cinta saya mengenal lebih dalam lagi tentang sosok Muhammad Ainun Nadjib dan Maiyah. Manuskrip-manuskrip perjalanan dan perjuangan beliau, baik yang diceritakan oleh beberapa teman Kenduri Cinta maupun dari dokumentasi-dokumentasi yang saya dapatkan. Dan memang benar pada akhirnya, begitu sulit mengklaisifkasi sosok Muhammad Ainun Nadjib. Ada yang menyebut beliau sebagai Kiai, ada yang menyebut beliau sebagai Negarawan, beliau juga dikenal sebagai seorang Budayawan, beliau bukan seorang Profesor tetapi sudah ratusan seminar yang menghadirkan beliau sebagai pembicara, beliau tak punya Lembaga Bantuan Hukum juga bukan seorang aktivis dari sebuah LSM tetapi banyak konflik horisontal dimana beliau terlibat dalam proses mediasi dan advokasinya, entah sudah berapa ribu nama anak yang dimintakan kepada beliau, dan ternyata tidak sedikit pula yang meminta disembuhkan penyakitnya kepada beliau, padahal beliau bukan dokter. Beliau begitu dekat dengan rakyat kecil.

Tentu saja tempaan hidup beliau di Menturo yang membentuk pribadi beliau hari ini. Beliau sering menyebut bahwa beliau adalah manusia Puasa. Beliau pernah memiliki kesempatan untuk menjadi seorang Menteri di tahun 80-an, tetapi kesempatan itu tidak beliau ambil. Beliau merasa bahwa ada orang lain yang lebih pantas untuk menjadi Menteri daripada beliau sendiri. Beliau memiliki kesempatan yang sangat besar untuk menjadi Presiden, dan lagi-lagi kesempatan itu tidak beliau ambil. Tidak ikut berebut kursi, karena beliau sudah memiliki kursinya sendiri. Cara beliau mengalahkan diri sendiri, ilmu yang masih terus menerus saya pelajari hingga hari ini.

Cobalah anda nikmati kembali nomor-nomor di Album Kado Muhammad, lalu anda baca kembali salah satu tulisan beliau; Surat Kepada Kanjeng Nabi. Kemudian perlahan kembali melihat ke belakang bagaimana proses beliau bersama KiaiKanjeng mempopulerkan kembali Sholawatan di Indonesia. Sehingga kemudian kita pelan-pelan juga akan memahami ungkapan; gondhelan klambine Kanjeng Nabi.

Untuk mengenal sosok Nabi Muhammad SAW, semua orang memiliki caranya sendiri. Untuk mencintai dan mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW, setiap orang juga berhak menggunakan caranya sendiri yang ia yakini. Dan, Cak Nun adalah orang yang membuat saya mengenal lebih dalam sosok Muhammad bin Abdullah, manusia yang paling agung itu. Muhammad Ainun Nadjib adalah orang yang mengajarkan kesadaran dalam diri saya bahwa jangan sampai ada manusia yang lebih populer dari Nabi Muhammad SAW. Mbah Nun adalah orang yang menyadarkan saya bahwa Nur Muhammad masih bersama kita hingga hari ini.

Nah, di era “Muhammad Ainun Nadjib” ini, dimanakah posisi kita sebenarnya. Berada di gerbong “Abu Bakar”, gerbong “Abu Jahal”, gerbong Oportunis atau gerbong abu-abu?