Menerka Kepingan Puzzle 100 Daur

MENGIKUTI DENGAN runtut 100 edisi karya Cak Nun terbaru dalam rubrik DAUR merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri namun juga menjadi sebuah proses pembelajaran yang cukup menyita energi bagi otak saya untuk memahami setiap ilmu yang disampaikan oleh Cak Nun melalui tulisan-tulisan tersebut. Sejak awal Februari 2016 silam, setidaknya ada satu rutinitas wajib setiap hari yang saya masukkan kedalam list kegiatan sehari-hari; membaca DAUR. DAUR sendiri seperti yang terangkum dalam Tajuk Menyambut Daur dijelaskan berdasarkan arti kata adalah lingkaran. Tetapi dalam pemahaman kekinian Maiyah, contoh daur itu seperti terungkap dalam ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun’. Kita dari Allah dan menuju (bukan kembali) ke Allah. Bukan ‘kembali’ karena kembali tidak dimungkinkan secara waktu, sebab kita tidak bisa mundur ke belakang dalam waktu. Yang terjadi adalah kita maju terus dan karena yang dituju dan keberangkatan awalnya sama maka terbentuklah lingkaran.

Saya sendiri bukanlah generasi yang lahir pada era 70-an, dimana era tersebut adalah era produktifnya seorang Emha Ainun Nadjib dalam dunia sastra di Indonesia. Bahkan ketika “Lautan Jilbab” muncul dan sangat fenomenal, saya sendiri masih balita, mungkin. Jika ada pertanyaan dari mana saya mengenal Cak Nun maka jawaban saya adalah dari album KiaiKanjeng. Saya memang mengenal beliau pertama kali bukan dari tulisan-tulisan beliau, sehingga saya sendiri tidak merasakan langsung tulisan-tulisan beliau yang dipublikasikan oleh beberapa media massa di Indonesia pada awal 90-an.

Tentu saja kehadiran rubrik DAUR merupakan sebuah kegembiraan bagi saya pribadi, karena masih mendapat kesempatan untuk menikmati karya-karya beliau dalam bentuk tulisan yang benar-benar fresh from the oven, yang belum pernah dipublikasikan di media massa manapun sebelumnya. Apalagi dalam bentuk buku. Tulisan-tulisan yang disajikan oleh Cak Nun dalam rubrik DAUR merupakan tulisan yang benar-benar masih segar.

Sejak awal DAUR dirilis, Cak Nun sendiri menyampaikan pesan bahwa apa yang dituliskan oleh beliau bukanlah sebuah ilmu yang sudah matang. Cak Nun mengibaratkan bahwa apa yang disajikan bukanlah berupa mangga yang sudah dikupas dan diiris daging buahnya, melainkan masih berupa biji mangga, pelok. Bahkan lebih spesifik lagi, di akhir tulisan-tulisan tersebut selalu disematkan kalimat; “dari CN kepada anak-cucu dan JM”, sebuah kalimat yang sangat menegaskan betapa spesialnya tulisan-tulisan tersebut yang hanya ditujukan untuk Jamaah Maiyah.

Jamaah Maiyah adalah sekumpulan orang yang bahkan Cak Nun dan Maiyah sendiri tidak mengikatnya dengan ikatan apapun, sehingga semua orang yang hadir di Maiyah memiliki kedaulatan yang penuh atas dirinya sendiri. Di Maiyah, mereka diberi kunci-kunci ilmu yang kemudian mereka memiliki kebebasan untuk mencari lemarinya sendiri yang menurut mereka cocok dengan kunci-kunci tersebut.

Sejak awal, Cak Nun sudah memberikan sebuah aturan main dalam rubrik DAUR ini, bahwa apa yang disampaikan belum tentu akan menjadi jawaban dari persoalan yang kita hadapi hari ini. Saya sendiri menganggap bahwa DAUR yang hari ini menginjak edisi ke-100 merupakan kepingan-kepingan puzzle yang mana Jamaah Maiyah memiliki kebebasan untuk menyusunnya sendiri. Tentu saja dengan bekal ilmu yang sudah mereka dapatkan dari Maiyahan selama ini.

Apakah Cak Nun membahas Aurat dalam 2 tulisan Darurat Aurat?. Aurat dipahami oleh kebanyakan orang saat ini adalah sebagian tubuh manusia yang tidak boleh diperlihatkan dan dilihat oleh orang lain yang bukan muhrimnya. Tetapi, dalam dua tulisan tersebut Cak Nun membahas Aurat dalam ranah yang sangat substansial. Aurat bukan hanya sekedar bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh yang bukan muhrimnya, bahwa Aurat adalah sebuah wilayah yang memang ada saatnya harus diperlihatkan kepada orang lain dalam rangka untuk bertadabbur lebih dalam lagi tentang kehidupan. Ada wilayah yang memang orang lain benar-benar tidak boleh melihatnya, tetapi ada juga yang memang sebenarnya area tersebut tidak boleh diperlihatkan, tetapi untuk kepentingan tertentu dan pada saat yang tepat wilayah tersebut akan diperlihatkan. Bukan dalam rangka pamer dan mempertontonkan sesuatu yang dimiliki, tetapi dalam rangka untuk melakukan refleksi bahwa peristiwa di masa lalu sangat mungkin dijadikan pijakan untuk rencana di masa depan.

Tulisan berjudul Maiyah Lil ‘Alamiin adalah sebuah tulisan yang bagi saya pribadi merupakan satu pukulan telak dari Cak Nun. Selama ini, saya menikmati ribuan bahkan jutaaan butiran ilmu yang tersebar di Maiyah, dan semua itu seringkali saya gunakan sebagai sebuah martir yang saya lepaskan untuk menunjukkan kesombongan saya, padahal sejatinya saya adalah seorang Al Faqiir ‘Indallah. Ada satu masa dimana saya sendiri harus terseret arus dunia mainstream saat ini, ketika sebuah peradaban yang dikuasai oleh sistem kapitalis dengan segala kemajuan teknologinya, ketika internet memiliki sebuah ranting bernama media sosial yang kemudian menjadikan manusia-manusia modern lebih akrab dengan perangkat telekomunikasi ditangannya, budaya bermuajjahah satu sama lain di dunia nyata pun semakin terkikis.

Peradaban dimana manusia memiliki celah untuk tampil dibelakang topeng, melempar batu dari balik tembok besar, berteriak melalui corong pengeras suara yang entah dimana ia memegang micrphone-nya. Sebuah peradaban yang sebenarnya sangat layak kita tertawakan. Dan melalui tulisan tersebut, Cak Nun menyadarkan saya betapa saya sebenarnya masih sangat bodoh. Dari tulisan-tulisan awal di rubrik DAUR, yang ditegaskan oleh Cak Nun bahwa itu merupakan biji bukan buah, saya menyadari bahwa kali ini Jamaah Maiyah sedang dipaksa oleh beliau untuk segera “naik kelas”. Kalau sebelumnya Toto Rahardjo (Yai Tohar) sering menyindir bahwa masih banyak jamaah yang hanya “setor kuping” ketika Maiyahan, kali ini Cak Nun mulai melatih bahwa yang harus dilakukan adalah melakukan proses menanam biji yang sudah didapatkan di Maiyah. Terserah dimana ladangnya, karena Jamaah Maiyah berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda.

Dari pelok-pelok yang begitu banyak diberikan oleh Cak Nun dalam rubrik DAUR pun sebenarnya bukanlah sebuah ilmu yang kuno dan usang. Ketika masyarakat diributkan dengan isu LGBT, Cak Nun sangat indah mengemas dalam beberapa seri tulisannya. Bagi saya, tulisan tersebut merupakan satu lagi serial kepingan puzzle yang menurut saya harus saya simpan baik-baik.

Ditengah-tengah saya kelimpungan menyusun puzzle-puzzle tersebut, Cak Nun memunculkan Markesot yang kemudian dalam episode-episode selanjutnya muncul pula Kiai Sudrun. Markesot, sosok yang sebelumnya dimunculkan dalam “Markesot Bertutur”, kali ini dipertemukan dengan Kiai Sudrun. Duh, Cak…. Saya harus mengambil jeda sedikit untuk mengambil nafas agar terkumpul lagi energi saya untuk menyelami kolam DAUR ini.

Bagi saya, ada sebuah aturan baku dalam menikmati DAUR; jangan tertipu dengan judulnya. Karena isi tulisan bisa jauh berbeda dari judulnya, tetapi disinilah letak keasyikan saya menikmati DAUR. Kepingan puzzle ini sesekali saya rangkai, kemudian pada saatnya nanti saya rubah lagi susunannya. Dan sekali lagi saya menemukan satu kunci; Tadabbur. Cak Nun menyadarkan Jamaah Maiyah bahwa semua manusia seharusnya melakukan tadabbur, terhadap apa saja yang mereka temui. Ayat-ayat Allah tidak hanya terbatas dalam Al Qur’an saja, alam semesta dengan segala perilaku dan peristiwanya juga merupakan Ayatullah. Maka Cak Nun memberikan satu fondasi berfikir, bahwa tadabbur adalah proses dimana kita mencari manfaat sebaik-baiknya untuk kebaikan bersama dan menjadi pemantik untuk bertambahnya iman dalam diri kita, dari apapun saja yang kita temui.

Hari ini, genap 100 edisi DAUR terbit. Hitungan angka yang tidak sedikit, dan bagi saya satu edisi DAUR saja belum tentu bisa saya pahami dalam satu kali membaca atau bahkan dalam satu hari penuh menyelami butiran ilmu didalamnya.

Bulan ini, genap 63 tahun usia Cak Nun. Semoga selalu sehat, selalu dijaga Allah, diberkahi perjuangan-perjuangannya. Matur nuwun, Mbah Nun.