Ngalap Berkah di Kenduri Cinta

KESEMPATAN UNTUK bersalaman dengan Cak Nun di Kenduri Cinta usai Maiyahan merupakan sebuah kesempatan yang sangat langka. Seringkali Cak Nun memang harus segera menuju bandara setelah Maiyahan di Kenduri Cinta usai, entah karena harus segera kembali ke Yogyakarta atau juga karena setelah Kenduri Cinta sudah harus berada di kota lain karena memang sudah dijadwalkan untuk agenda selanjutnya. Maka, momen bersalaman seperti yang terjadi di Kenduri Cinta edisi Maret 2017 lalu merupakan momen yang sangat sayang untuk dilewatkan. Dan seperti biasanya, Cak Nun pun melayani semua Jama’ah yang secara bergiliran ingin bersalaman dan mencium tangan beliau, tidak sedikit pula dari mereka yang memeluk tubuh Cak Nun, ada juga yang membawa air mineral untuk minta didoakan oleh Cak Nun. Sebelumnya, tradisi salaman setelah Maiyahan di Kenduri Cinta tidak begitu lazim dilakukan.

Seingat saya, antusiasme Jama’ah Kenduri Cinta untuk bersalaman dengan Cak Nun usai Maiyahan baru terlihat dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Dulu, Cak Nun bahkan usai Kenduri Cinta jika jadwal penerbangan menuju Yogyakarta tidak mepet di pagi hari setelah Maiyahan di Taman Ismail Marzuki ini, Cak Nun masih sempat untuk duduk santai, cangkruk bersama beberapa penggiat juga jama’ah Kenduri Cinta di panggung. Sambil menikmati kopi dan kudapan ringan jajanan pasar, juga rokok tentunya, sangat akrab. Obrolan pun mengalir, sembari menunggu waktu subuh, juga karena jadwal penerbangan untuk kembali ke Yogyakarta tidak terburu-buru, sehingga Cak Nun tidak harus segera menuju ke bandara usai Maiyahan di Kenduri Cinta.

Situasi ini kemudian berubah drastis dalam kurun waktu dua tahun terakhir, bahkan sejak saat Cak Nun tiba di Taman Ismail Marzuki ketika diskusi sesi awal di Kenduri Cinta berlangsung, jama’ah di samping panggung sudah menanti kedatangan Cak Nun dan berebut untuk bersalaman. Fenomena ini tidak kita jumpai di Mocopat Syafaat atau PadhangmBulan bahkan, karena lazimnya jama’ah bersalaman dengan beliau usai Maiyahan, bukan sebelum atau ketika Maiyahan berlangsung. Memang cukup beralasan, mungkin saja mereka khawatir usai Maiyahan di Kenduri Cinta, Cak Nun harus bersegera menuju bandara, sehingga tidak ada momen untuk bersalaman dengan beliau usai Maiyahan di Taman Ismail Marzuki ini.

Peristiwa seperti ini sejalan dengan membludaknya jama’ah Kenduri Cinta yang jumlahnya bertambah sangat signifikan kenaikannya dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Setidaknya saya mencatat, setelah Kenduri Cinta edisi Januari 2016 (Gerbang Wabal), pelataran Taman Ismail Marzuki sudah dipenuhi oleh jama’ah sebelum pukul sepuluh malam. Tidak jarang bahkan dari mereka yang memilih untuk berdiri sejak pukul sepuluh malam karena tidak kebagian tempat untuk duduk, sehingga seringkali ditengah-tengah diskusi Moderator meminta jama’ah untuk mengatur lagi posisi duduknya agar jama’ah yang berdiri mendapat bagian untuk duduk. Posisi duduk jama’ah akan semakin sulit lagi untuk diatur manakala hujan turun, karena tenda yang tersedia tidak mencukupi untuk menaungi jama’ah agar tidak kehujanan, maka apabila hujan turun, jama’ah akan merapat ke panggung, dan sudah pasti mereka yang berdiri lebih banyak lagi jumlahnya karena ingin terlindung dari air hujan. Bagi mereka yang tidak kebagian tempat berteduh di bawah tenda, maka mereka menggunakan karpet yang sebelumnya digunakan sebagai alas tempat duduk mereka untuk melindungi tubuh mereka agar tidak basah karena air hujan.

Begitulah kondisi jama’ah Kenduri Cinta saat ini. Jumlah mereka semakin bertambah, dan antusiasme mereka mengikuti Maiyahan di Taman Ismail Marzuki ini begitu besar, dan mereka mampu bertahan untuk duduk dan sebagian ada yang berdiri hingga Maiyahan berakhir. Mungkin juga sebagian mereka ini ada yang baru mengenal Maiyah melalui video-video yang beredar di internet, sehingga ketika mereka tahu bahwa di Jakarta juga dilaksanakan Maiyahan rutin setiap bulannya, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sementara saat ini informasi yang ada begitu mudah dan cepat disebarluaskan melalui media sosial di internet. Sangat mungkin juga mereka juga mengetahui informasi Kenduri Cinta dari media sosial. Jika para “mahasiswa” Maiyah generasi awal mungkin mengenal Cak Nun melalui tulisan-tulisan Cak Nun baik di buku maupun media massa, maka “mahasiswa” Maiyah generasi sekarang kemungkinan besar baru mengenal Cak Nun melalui video-video yang viral melalui media sosial dan internet hari ini. Maka tidak jarang dari mereka yang pada akhirnya juga tidak begitu mengenal sejarah perjalanan Cak Nun dan juga Maiyah itu sendiri.

Ngalap berkah. Jika anda tinggal di lingkungan pesantren dengan kultur Nahdliyin, istilah ngalap berkah tentu tidak asing di telingan anda. Maka, ketika seorang santri mencium tangan Kiai nya, bahkan ada yang rela mencium kaki Kiai nya, itu bukan dalam rangka pengkultusan, melainkan dalam rangka ngalap berkah. Nggolek barokahe Mbah Yai, begitu kira-kira. Dan peristiwa ngalap berkah jika anda lihat di daerah jawa timur, maka tidak akan terlihat aneh. Kenduri Cinta berlokasi di Jakarta, potret masyarakat Jakarta yang sedemikian rupa tidak lazim dengan fenomena ngalap berkah ini. Atau yang lebih detail lagi, jama’ah Kenduri Cinta ini tidak ada potongan santri nya sama sekali. Mereka datang dengan pakaian yang tidak nyantri sama sekali, sementara di Maiyah juga tidak ada penyeragaman pakaian harus berwarna tertentu, atau harus menggunakan peci dan surban misalnya. Mereka datang dengan tampilan apa adanya, tidak memerlukan pencitraan agar mereka terlihat sebagai orang alim karena datang ke forum pengajian, misalnya.

Dibalik kekurangan itu, tetap saja mereka yang baru mengenal Maiyah ini memiliki hal yang juga dibanggakan. Jika kita melihat dari tampilan pakaian mereka, nyaris tidak ada tanda-tanda bahwa mereka ini adalah orang-orang yang alim. Sebagian jama’ah perempuan memang mengenakan jilbab, tetapi jika melihat jama’ah laki-laki, kalaupun ada atribut yang bisa kita anggap sebagai tanda orang yang alim adalah banyak dari mereka yang mengenakan peci Maiyah, itupun mayoritas baru mereka beli di Warung Kenduri Cinta di sebelah belakang di samping Warung Angkringan. Lebih mengejutkan lagi, meskipun penampilan mereka ini tidak ada yang memakai sorban atau berpakaian serba putih, toh nyatanya ketika mereka diajak untuk sholawatan, mulut mereka fasih mengucapkan sya’ir-sya’ir sholawatan yang dipandu oleh Cak Nun. Sya’ir sholawatan seperti Sholawat Badar, Sholawat Alfa Salam, Sholawat Nariyah, dan sholawat-sholawat yang lain nyatanya fasih mereka lantunkan. Bisa jadi, mereka mengenal berbagai jenis sholawatan itu juga karena mereka sering menyimak beberapa nomor sholawatan KiaiKanjeng melalui video-video yang mereka tonton di internet. Dari manapun mereka mengenal jenis-jenis sholawatan itu, toh pada akhirnya mereka menemukan cara untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah SAW. Mereka yang notabene adalah kaum urban Ibukota, nyatanya sangat mencintai Kanjeng Nabi. Arek KC iso sholawatan!!

TIDAK MENGHERANKAN jika kemudian beberapa sahabat saya di Jakarta mengatakan bahwa Kenduri Cinta laksana oase di padang gersang Ibu kota. Jakarta yang selama ini lebih dikenal sebagai salah satu barometer kapitalis di Indonesia, nyatanya masih terdapat sejengkal ruang yang menyegarkan. Kenduri Cinta hadir di tengah masyarakat Jakarta yang sehari-hari menjalani kehidupan yang sangat keras dan penuh kompetisi. Siapa tertinggal, dia tertindas. Mungkin ada benarnya bagi sebagian orang tentang ungkapan bahwa Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.

Setelah Kenduri Cinta edisi Maret 2017 lalu, ketika melayani jama’ah bersalaman dengan Cak Nun, tidak sedikit juga ternyata yang mengungkapkan rasa terima kasih secara eksplisit kepada Cak Nun atas ilmu-ilmu yang disampaikan di Kenduri Cinta. Cak Nun sendiri mengatakan kepada saya di dalam mobil saat menuju tempat transit sebelum ke Bandara, bahwa fenomena tersebut adalah fenomena yang baru di Kenduri Cinta. Meskipun sebenarnya sudah semestinya seorang murid mengucapkan terima kasih kepada Guru yang sudah mengajarkan ilmu kepadanya. Artinya, mereka benar-benar merasa masih bodoh dan kemudian bertambah pengetahuannya setelah Maiyahan, melahirkan kesadaran untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada orang yang telah memberi tambahan wawasan kepada mereka merupakan hal positif yang juga patut disyukuri. Dan yang terpenting lagi adalah, bahwa mereka memiliki adab yang baik, akhlaq yang mulia. Mengucapkan terima kasih kepada Guru mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang sepele, tetapi bisa jadi justru disitulah letak keberkahan ilmu yang ia dapatkan dari gurunya.

Saya kembali teringat salah satu wasiat Imam Syafi’i kepada para muridnya. Menurut Imam Syafi’i ada 6 syarat bagi para penuntut ilmu jika ia ingin mendapatkan ilmu; kecerdasan, rakus akan ilmu, semangat untuk berjuang, bekal yang mencukupi, bersahabat dengan Guru dan waktu yang panjang. Mungkin tidak semua mampu memenuhi 6 syarat yang diwasiatkan oleh Imam Syafi’i tersebut, tetapi setidaknya satu syarat sudah mereka penuhi; Bersahabat dengan Guru. Mengungkapkan rasa terima kasih kepada Guru yang telah mentransformasikan ilmu pengetahuan dan wawasan yang baru merupakan salah satu bentuk dari persahabatan dengan Guru.

Sejalan dengan itu, mayoritas dari Jama’ah Kenduri Cinta dan Jama’ah Maiyah secara umum saat ini didominasi oleh mereka yang saat ini dikenal sebagai Generasi Millenial, dimana salah satu ciri dari Generasi Millenial ini adalah ketertarikan yang sangat tinggi terhadap Agama. Hal ini semakin menguatkan dimana dalam beberapa bulan terakhir, ketika mayoritas masyarakat di Indonesia sibuk membicarakan surat Al Maidah ayat 51, Cak Nun justru lebih sering mengajak Jama’ah Maiyah untuk mentadabburi Surat Al Maidah ayat 54. Dan menurut saya tidak berlebihan jika Cak Nun berkhusnudzon bahwa Jama’ah Maiyah saat ini adalah mereka yang disebutkan oleh Allah dalam Surat Al Maidah ayat 54, yaitu kaum yang mencintai Allah dan Allah mencintai mereka. Mungkin sebagai manusia biasa kita tidak bisa memastikan apakah Jama’ah Maiyah ini benar-benar kaum yang dimaksud dalam ayat tersebut atau bukan.

Tetapi setidaknya, kita bisa mengidentifikasi beberapa indikatornya. Semangat mereka untuk hadir pada setiap Maiyahan, kemampuan mereka untuk bertahan duduk menekun sekian jam tanpa jeda menyimak paparan-paparan narasumber, wajah-wajah mereka yang sangat antusias pada saat menyimak pendaran ilmu yang dipaparkan, tidak terlihatnya raut muka yang lelah meskipun siang hari sebelumnya tenaga dan fikiran mereka terforsir di tempat kerja mereka, bahkan tidak sedikit pula mereka yang setelah Maiyahan di Kenduri Cinta kembali harus bekerja di tempat kerja mereka. Semakin pagi, justru mereka semakin tidak ingin beranjak, semakin tidak ingin menyudahi muwajjahah di Kenduri Cinta. Dan juga, mereka satu sama lain saling menjaga setidaknya 3 keamanan; kemanan harta, nyawa dan martabat mereka. Saya rasa tidak berlebihan jika beberapa indikator tersebut menjadi alasan yang kuat bagi kita untuk ikut bersepakat dengan Cak Nun bahwa mereka inilah kaum yang dimaksud dalam surat Al Maidah ayat 54.

Apakah dengan bersalaman, memeluk tubuh atau meminta dido’akan oleh Cak Nun adalah sebuah pengkultusan? Semua orang boleh memiliki pandangan mereka masing-masing, yang pasti Cak Nun selalu mendasari bahwa di Maiyah tidak boleh ada pengkultusan. Kalaupun ada jama’ah Maiyah yang meminta dido’akan air mineralnya dan meyakini bahwa itu adalah obat, Cak Nun menegaskan bahwa Yang Maha Menyembuhkan adalah Allah. Bahwa Allah memberikan kesembuhan sebuah penyakit melalui air mineral yang dido’akan oleh Cak Nun, itu hanya sebuah wasilah. Allah memiliki hak prerogatif penuh akan menyembuhkan penyakit manusia dengan melalui media apapun, melalui air, daun, kayu, tanah, batu bahkan obat yang diresepkan oleh dokter sekalipun, kita harus memiliki keyakinan bahwa Allah lah yang menyembuhkan penyakit. Bukan air, bukan daun, bukan kayu, bukan tanah, bukan dokter, juga bukan obat.

Seperti yang juga sering disampaikan oleh Cak Nun, bahwa di Maiyah yang terpenting bukanlah ilmunya. Yang terpenting di Maiyah adalah bahwa kita semakin terbiasa untuk tetap dalam keadaan seimbang dalam berfikir. Di Maiyah, semua menyadari bahwa kebenaran yang mutlak adalah kebenaran yang dating dari Allah. Semua kebenaran yang merupakan hasil dari ijtihad personal setiap individu di Maiyah merupakan kebenaran yang bersifat relatif. Orang boleh saja bersikap keras mempertahankan kebenaran yang diyakini hari ini, padahal seharusnya ia juga memiliki kesadaran dan kewaspadaan bahwa kebenaran itu belum tentu dapat ia pegang teguh esok hari.