Terdiam Dalam Perang

TERDIAM MEMATUNG, Sri Bathara Kresna menggenggam tali-tali kekang kuda-kuda yang nampak sedang berlari tanpa tujuan. Kereta yang dikendarai tetap diam meski otot-otot puluhan kuda meregang berusaha menggeret-nya. Waktu seolah berhenti. Sang Arjuna yang berdiri dibelakang tidak bergerak, diantara hendak mengambil anak panah atau mencari keberadaan Basukarna untuk dijadikan sasaran tembak busur panah-nya. Patung Arjuna Wijaya terdiam ditengah Baratayuda yang tidak kunjung berakhir.

Perang Baratayuda adalah perang saudara antara Pandawa dan Kurawa. Meskipun perang ini dianggap sebagai perang suci, tetapi perang saudara semacam ini bukanlah sesuatu yang pantas diinginkan terjadi dalam kehidupan nyata. Apalagi jika ada yang justru berusaha untuk menyelenggarakan, merancang, memanipulasi keadaan, menghasut dan memprovokasi terjadinya perang saudara, jelas usaha orang-orang yang berusaha mengobarkan perang semacam itu telah menyimpang dari kemanusiaan. Namun jika ketidakadilan terus terjadi justru dilanggengkan oleh penguasa yang semestinya mengayomi masyarakat, sadarilah bahwa rakyat bukanlah budak. Kemanusiaan-pun akan berontak jika penindasan terjadi dan martabat terinjak-injak.

Secara langsung atau tidak, rangkaian aksi-aksi Bela Islam di Ibukota tidak dapat dihilangkan ketersambungannya dengan PILKADA DKI yang saat ini memasuki tahap ke-2 dan kaitannya dengan kasus hukum yang menyangkut Basuki Tjahaya Purnama. Dari 411, 212 hingga yang terbaru 313 bukanlah angka-angka yang tercetus begitu saja. Ada keterkaitan yang saling sambung merangkai. Namun terlepas dari itu, untuk mengumpulkan massa dengan jumlah begitu banyak jelas tidak cukup hanya bermodal pendanaan, bungkusan nasi, koordinasi dan management pengamanan aksi lapangan saja.Untuk menggerakkan massa dengan jumlah massif perlu akumulasi kehendak yang kolektif apalagi untuk menjadikan aksi dapat berlangsung kondusif.

Penangkapan dan penahanan para elite aktivis yang dilakukan menjelang aksi-aksi itu dengan berbagai tuduhan termasuk tuduhan makar, dilangsungkan guna melakukan pencegahan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun usaha-usaha penangkapan dan penahanan terhadap mereka hanyalah bersifat reaktif terhadap situasi yang berkembang. Padahal, pokok persoalannya adalah adanya ketidak adilan hukum, asas kesamaan di mata hukum tidak terjadi. Ada yang jelas sedang mati-matian dilindungi menggunakan hukum dan di lain sisi ada yang secara serampangan ditindak dengan mengatasnamakan hukum.

Derap kuda-kuda yang menarik kereta pada Patung Arjuna Wijaya tidak nampak serempak. Ada yang sedang menghentakkan keras-keras kaki kirinya ada yang menghujamkan kuku-kuku kaki kanannya ke bumi. Sebagian ada yang menengadah menampakkan keperkasaannya, sebagian ada yang meringkik seolah kepayahan menarik kereta dan sebagian ada yang berusaha berbalik arah. Dari kejauhan kuda-kuda itu nampak sedang benar-benar mengarak kereta ke satu arah yang sama. Namun jika di zoom in, jelas kuda-kuda itu sedang berlari kocar-kacir. Tak jelas apa yang sedang diburu. Kusir berdiri tegap menggenggam erat tali kekang, namun kuda-kuda hanya berlari sekenanya. Meskipun nampak kearah yang sama, namun tujuannya entah kemana.

Kontinuitas dan medan perjuangan ummat manusia di dunia tidak lain untuk membangun cita-cita hidupnya termasuk akhirat. Aktivitas individu-individu dalam kebhinekaan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, saling menghormati dan menjaga kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara kesejarahan Indonesia mau tidak-mau menjadi rumah yang wajib untuk dijaga keamanannya dan diwujudkan kesejahteraan rakyatnya. Khidmat bijaksana dengan bermusyawarah untuk mengedepankan kepentingan bersama sudah semestinya diutamakan. Ego-ego golongan dan kepentingan politik sesaat semestinya mampu di redam demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih bersifat abadi. Hukum bukanlah alat untuk kekuasaan pemerintah, namun berfungsi sebagai sarana supaya tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dapat terwujud.