Perang Asimetris

DARI KETINGGIAN Gunung Sapta Arga, ibukota yang berada di utara nampak lengang dari kejauhan. Mentari pagi yang menyeka muka Abiasa memberi kehangatan dari dingin udara pegunungan. “Jika aku tidak pernah menuliskannya, apakah Mahabarata akan menjadi cerita yang terus berlangsung? Aku, Abiasa hanyalah Pertapa yang menjadi ayah dari Pandu, Destarasta dan Yamawidura. Kutuliskan Mahabarata dengan kisah perang saudara Baratayuda yang sebenarnya tidak kuinginkan terjadi. Cukuplah perang Baratayuda sebagai pelajaran bagi ummat manusia untuk menghindari peperangan. Pagi ini aku akan memicu perang Baratayuda, tapi pagi ini pula aku terus berusaha mengakhirinya.” Hamparan ilalang di sekitar Resi Abiasa bergesekkan tanpa saling melukai, bergerak-gerak tertiup hembusan angin pagi yang sesekali ke Barat dan sesekali ke Timur, kadang ke Utara  dan kadang ke Selatan.

Perkelahian Habil dan Qabil sepertinya baru saja terjadi kemarin sore. Berita runtuhnya WTC 911 dan tumbangnya rezim Sadam Husain juga seperti baru saja terdengar subuh tadi. Sementara akhir-akhir ini, setiap pagi terjadi ketegangan antara Penumpang, Driver Ojek On line dan Ojek Pangkalan. Meskipun suasana ketegangan yang terjadi tidak seperti yang terjadi di Suriah saat ini, namun besar-kecil peperangan tetap saja memunculkan kecemasan. Banyak yang tidak mampu mengambil pelajaran dari peperangan yang telah terjadi, mungkin mereka yang sedang memupuk perang belum pernah mengalami seperti yang dialami seorang ibu yang lehernya dihunus pisau oleh seseorang yang kalap karena ketahuan mencopet dan terkepung oleh warga. Mereka yang sibuk menyemai permusuhan pastinya tidak dalam posisi si ibu yang sedang disandera nyawanya dan pada saat yang sama sedang menggendong anaknya yang terlelap dalam tidur.

Perang asimetris yang sedang terjadi pada era Teknologi Informasi saat ini jauh lebih kompleks ketimbang perang-perang yang pernah terjadi. Yang terjadi bukan hanya perang fisik antara dua kekuatan pasukan yang saling berhadap-hadapan dengan amunisi dan persenjataan tempur, tetapi lipatan-lipatan peperangan yang silang sengkurat dengan tumpang tindih berbagai kepentingan dan tujuan. Dari kepentingan Ideologi, kepentingan kebudayaan tumpang tindih dengan kepentingan ekonomi yang mendasari perang. Perang opini dan pembunuhan-pembunuhan karakter terus dilangsungkan, persekongkolan kepentingan bagaikan gelembung-gelembung yang sewaktu-waktu menggelembung dan dapat seketika meletup dan hilang tanpa bekas.

Misal permainan sepak bola, penjaga gawang sengaja mengoper bola ke gelandang kiri lawan, bek kanan menelikung striker satu tim. Gelandang kanan mengecoh penonton di tribun kiri bersekongkol dengan bek kiri lawan untuk menyerang penonton sisi seberang kanan. Oleh penyelenggara pertandingan, lapangan dibuat gawangnya tidak hanya di sisi depan-belakang tapi juga ada di sisi kiri-kanan lapangan. Terang-terangan off side dibiarkan oleh hakim garis. Wasit peluitnya tidak berbunyi, sedangkan tiap pemain bawa peluit masing-masing dan penontonnya masing-masing pegang bola. Para pemodalnya main taruhan bukan hanya soal pertandingan yang berlangsung di lapangan, namun beringasnya supporter juga dipertaruhkan kalau-kalau terjadi tawur. Tidak sportif sama sekali, siapa yang kuat dan berkuasa dia yang bermain, menguasai permainan dan mempermainkan lawan.

Usaha mewujudkan kemenangan bersama pada akhirnya justru dicurigai hanya sebagai kampanye untuk menggalang kekuatan politis semata. Fair play  yang sedianya menjadi prinsip dasar setiap pertandingan dicederai oleh arogansi sepihak oleh pihak yang merasa lebih berkuasa. Ketika ketidakadilan yang terjadi melewati batasan toleransi, amuk menjadi reaksi anarki dapat menyeruak sebagai perwujudan pemberontakan. Reaksi amuk akan beragam dan berbeda antara yang disebabkan karena penindasan martabat dan pemberangusan urusan mata pencaharian. Reaksi amuk ini akan semakin mudah tersulut manakala peraturan dan hukum justru dipermainkan oleh pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab untuk menegakkan hukum. Ketika itu yang terjadi, cita-cita untuk mewujudkan kemenangan bersama akan semakin larut hanya sebagai mimpi-mimpi.

Padahal setiap orang pada dasarnya menghendaki keselamatan dan berusaha untuk menjauhi kerusakan. Namun dikarenakan kerakusan dan kesombongannya dapat berakibat terjadi kerusakan dan semakin jauh dari keselamatan. Tidak dapat dipungkiri, saat ini permainan peradaban global sedang dimainkan dengan permainan yang tidak adil. Kita yang hidup ditengah zaman ini tidak dapat berbuat banyak, setidaknya kita berusaha untuk tidak menambah kerusakan di muka bumi. Sedangkan mereka yang sedang menyemai perpecahan dan melanggengkan kekuasaan menindas terlampau jauh dari jangkauan kekuatan yang kita miliki. Namun Cinta dari Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW tidaklah pernah kurang untuk dapat melindungi kita dari tipu daya para pen-talbis yang senantiasa meragukan kekhalifahan manusia di muka bumi.