Mukadimah: NEGARA DALAM GELEMBUNG

MUKADIMAH KENDURI CINTA april 2017

YANG KITA ketahui dari berbagai literatur akademis, Negara adalah sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu dan diorganisasi oleh pemerintahan yang sah dan berdaulat. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independen.

Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain. Dengan memiliki kedaulatan, Negara berhak mengelola kekayaan alam yang ada di wilayahnya, semua yang terkandung didalam bumi, laut, gunung, hutan yang berada dalam wilayahnya menjadi hak milik yang sah bagi sebuah Negara yang menguasai wilayah tersebut.

Pada awalnya, semua kekayaan alam yang ada dalam wilayah yang dikuasai sebuah Negara dikelola dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Hingga akhirnya kapitalisme merubah itu semua. Yang awalnya bertujuan mensejahterakan seluruh ummat manusia, kini semua kekayaan alam yang terkandung di bumi, dikuasai dan dieksploitasi hanya untuk kepentingan dan keuntungan segelintir manusia saja.

Tidak terkecuali di Indonesia. Negara dengan wilayah yang sangat luas, bentangan lautan yang menghasilkan industri perikanan, kekayaan mineral yang berlimpah, wilayah perhutanan dengan tanah yang subur, menumbuhkan begitu banyak jenis pohon berkualitas, area perkebunan dan ladang pertanian yang juga tak kalah hebatnya dalam menghasilkan produk-produk unggulan, namun semua itu hingga hari ini tidak benar-benar mewujudkan cita-cita luhur yang digagas oleh para perintis Negara ini.

Entah bagaimana nasib masa depan anak cucu dari 260 juta lebih penduduk Indonesia kelak. Kekayaan alam yang seharusnya dikelola dengan baik oleh Negara agar semua rakyat merasakan kesejahteraan yang adil, rasa-rasanya menjadi mustahil untuk diwujudkan jika melihat perilaku para pengelola Negara hari ini. Hutang luar negeri yang semakin tahun semakin bertambah, aturan-aturan dan undang-undang yang disusun oleh parlemen semakin merugikan rakyat, penduduk dari Negara lain diperbolehkan memiliki dan menguasai aset-aset di Indonesia, belum lagi jutaan lembar saham perusahaan BUMN yang juga secara perlahan diperbolehkan dimiliki oleh umum. Industri hasil pertanian, perkebunan, perikanan bahkan pertambangan mineral pun tak luput dari penguasaan investor yang mayoritas datang dari Negara lain.

Pemerintah sejak dulu benar-benar tidak menyadari bahwa akibat dari itu semua akan berimbas pada kehidupan masyarakat dalam wilayah sosial, budaya, agama bahkan psikis dan mental setiap rakyatnya. Kapitalisme yang semakin menggurita hampir di semua bidang pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir orang. Mereka yang kaya semakin kaya, sementara rakyat jelata semakin tidak mungkin menikmati hasil kekayaan alam yang sudah seharusnya mereka merasakannya. Ketimpangan kehidupan sosial ini sangat terasa dampaknya, persaingan yang sangat keras kini tidak hanya dirasakan oleh para pelaku bisnis skala besar, bahkan para pedagang di wilayah pedesaan pun kini bersaing satu sama lain dengan tidak sehat.

Tidak bisa dihindarkan, demi memuaskan hasrat para pelaku kapitalisme di dunia, kehidupan sosial masyarakat pun menjadi salah satu media yang digunakan untuk mencapai kepuasan hasrat para penguasa. Politik hari ini tidak sepenuhnya digunakan untuk menunjang terwujudnya kesejahteraan rakyat. Kekuasaan yang dimiliki oleh sebuah Pemerintahan yang berkuasa, tidak benar-benar digunakan untuk mengelola Negara dengan sebaik-baiknya.

Sementara itu, sebagian rakyat semakin bosan dengan dagelan-dagelan Politik yang dipertontonkan oleh para politisi, sebagian yang lainnya merasa daripada tidak mendapatkan apa-apa, setidaknya mereka merasakan keuntungan dalam suasana Politik yang semakin carut-marut. Industri pencitraan di media massa maupun media sosial menghasilkan keuntungan popularitas dan materi bagi segelintir orang. Tak perduli nilai-nilai luhur dan etika yang sudah mereka tinggalkan, yang penting perut tetap kenyang dan dapur tetap ngebul.

Masyarakat pun kemudian semakin terbiasa mengalami dan menjalani pilihan-pilihan yang sebenarnya mereka sudah mengetahui bahwa pilihan apapun yang mereka pilih bukanlah pilihan yang terbaik. Kita semakin terbiasa dengan pilihan yang terbatas. Dalam kehidupan politik, jika kita tidak memihak A maka kita akan dianggap memihak B. Meskipun ada pilihan yang lain, pada momen tertentu kita hanya akan mendapat justifikasi pilihan yang terbatas. Juga dalam kehidupan beragama, kita seringkali masih terpetakan dalam wilayah yang sangat sempit, antara Sunni-Syi’ah, NU-Muhammadiyah, belum lagi dengan label-label yang sebenarnya diciptakan oleh orang lain, kemudian kita mengakuinya; Liberal, Sekuler, Radikal, Moderat, Ortodoks, Fundamentalis dan sebagainya. Kita benar-benar terjebak dalam dunia Multiple Choice yang tak kunjung selesai.

Bertuhan setengah hati. Itulah gambaran nyata manusia hari ini. Agama hanya difahami sebagai identitas. Agama hanya digunakan sebagai label. Tuhan tidak benar-benar dilibatkan dalam setiap perilaku hidup manusia. Tuhan hanya dianggap berada di tempat-tempat ibadah. Sementara di laut, di gunung, di pasar, di toko, di kantor, di gedung parlemen hingga di istana Negara, Tuhan tidak benar-benar dilibatkan. Kita sangat jarang mempertanyakan apakah setiap keputusan yang kita ambil benar-benar adalah keputusan yang dimaui oleh Tuhan atau tidak. Manusia memang diberi sedikit hak menjadi Khalifah di bumi, tetapi bukan berarti manusia memiliki hak menjadi penguasa sepenuhnya atas apa yang ada di bumi.

Manusia yang diciptakan oleh Tuhan secara utuh justru memilih untuk memasuki gelembung-gelembung yang mereka ciptakan sendiri. Seolah-olah ada wacana bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai manusia yang radikal, sementara lainnya ada yang moderat, ada yang liberal, ada yang Syi’ah, ada yang Sunni, ada yang NU, ada yang Muhammadiyah, ada yang Sosialis, ada yang Komunis, ada yang Islam, ada yang Hindu, ada yang Katholik dan lain sebagainya.

Manusia sangat amnesia pada kepastian bahwa Tuhan menciptakan mereka dalam bentuk yang sebaik-baiknya bentuk, laqod kholaqnal insaana fii ahsani taqwiim.