Sudah Sampai Mana Hijrah Kita?


Sebuah catatan tentang film Guru Bangsa: Tjokroaminoto

“Hanya ada satu cara ber-hijrah;
 setinggi-tinggi ilmu, sepintar-pintar siasat dan semurni-murni tauhid.”
H.O.S. Tjokroaminoto

Sebuah kesempatan yang langka bagi saya untuk menghadiri gala premiere sebuah film nasional, sehingga ketika mendapat sebuah kabar melalui blackberry messenger oleh Mas Ibrahim tentang undangan gala premiere film Guru Bangsa: Tjokroaminoto, tidak perlu berpikir panjang bagi saya untuk mengiyakan ajakan tersebut.

Sebenarnya sejak masih tinggal di Yogyakarta—sekitar awal 2012—saya mendapat informasi akan digarapnya sebuah film yang menceritakan H.O.S. Tjokroaminoto. Saat itu saya bertemu dengan Mas Erik Supit, salah seorang periset film ini. Hingga kemudian saya sendiri berpindah tempat ke Jakarta, persambungan saya dengan beberapa kawan di Kenduri Cinta, beberapa kali mendapat informasi tentang perkembangan proses penggarapan film ini.

Mas Sabrang, salah satu produser film ini pernah berpesan agar tidak membawa bekal apapun tentang H.O.S. Tjokroaminoto ketika menonton film ini. Beberapa bulan yang lalu teaser film ini dirilis, kemudian dalam video tersebut terselip wawancara dengan beberapa anak-anak muda yang kemudian tersirat sebuah pesan ternyata masih banyak yang tidak mengetahui siapa sebenarnya H.O.S. Tjokroaminoto, bahkan Mas Sabrang sendiri pernah bercerita pada suatu hari menanyakan tentang siapa sosok H.O.S. Tjokroaminoto kepada seorang anak muda, dan yang diketahui olehnya tentang H.O.S. Tjokroaminoto ternyata tidak lebih dari sekedar nama sebuah jalan di Yogyakarta. Miris.

Entah siapa yang salah, pada saat saya masih SMP dulu, dalam pelajaran IPS Sejarah diperkenalkan kepada siswa tentang organisasi-organisasi gerakan beserta para tokohnya, dan salah satunya adalah Sarekat Islam dengan tokohnya H.O.S. Tjokroaminoto. Kepingan pengetahuan saya tentang siapa H.O.S. Tjokroaminoto juga terbilang sangat sedikit, selain sebagai tokoh besar Sarekat Islam, yang saya tahu tentang H.O.S. Tjokroaminoto hanya sebatas bahwa beliau adalah salah satu jebolan Pondok Tegalsari di Ponorogo, sebuah pondok pesantren yang diasuh oleh KH. Hasan Besari yang juga melahirkan pujangga Ronggowarsito.

Kepingan informasi saya tentang H.O.S. Tjokroaminoto terhenti pada peristiwa Kongres Umat Islam tahun 1925 di Surabaya yang saat itu juga dihadiri oleh KH. Ahmad Sahal, salah seorang Trimurti Pondok Modern Gontor. Dalam kongres itu kemudian para tokoh-tokoh pemuka agama Islam menghadapi sebuah persoalan; mengapa tidak ada satupun tokoh yang menguasai bahasa Arab dan Inggris sekaligus. Kongres ini kemudian mengutus H.O.S. Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansur untuk mengikuti Kongres Umat Islam sedunia di Mekah, Arab Saudi.

Jika bukan karena film ini, mungkin saya sendiri tidak akan tahu bahwa H.O.S. Tjokroaminoto adalah mentor bagi tokoh-tokoh pergerakan sebelum kemerdekaan Indonesia: Semaoen, Sosrokardono, Moeso dan Koesno—yang kelak kita kenal sebagai Bung Karno. Bahkan tanpa film ini, mungkin saya juga tidak tahu bahwa seorang Agus Salim adalah partner H.O.S. Tjokroaminoto pada saat berkembangnya Sarekat Islam saat itu. Bung Karno bahkan disebut-sebut sebagai anak ideologis H.O.S. Tjokraminoto, sehingga bisa anda bayangkan, ketika kita mengagumi sosok Bung Karno, maka kita akan lebih kagum lagi jika mengenal siapa gurunya.

Di awal film ini digambarkan ketika H.O.S. Tjokroaminoto diinterogasi oleh Belanda dalam sebuah penjara pada tahun 1921. Dalam adegan ini H.O.S. Tjokroaminoto mengatakan bahwa KH. Hasan Besari adalah orang yang mengajarkan kepadanya tentang nilai-nilai kehidupan. Pernikahannya dengan Suharsikin, anak seorang bupati Ponorogo saat itu, pada awalnya dijalani dalam situasi yang memprihatinkan. Tjokro muda sangat ingin berhijrah untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi Bumiputra (pribumi), disaat yang bersamaan ia berhadapan dengan seorang mertua yang menjabat sebagai Bupati Ponorogo yang sudah menyerah untuk memperjuangkan kemerdekaan rakyatnya.

Hijrah dan Iqra‘. Dua kata yang disampaikan oleh gurunya ketika Tjokro masih kecil. Kata Hijrah terus terngiang dalam telinga Tjokro. Setelah hijrah ke Semarang, Tjokroaminoto kemudian kembali ke Ponorogo untuk kemudian kembali hijrah ke Surabaya bersama istri dan anak pertamanya; Utari. Surabaya yang saat itu menjadi pusat kota perdagangan di Hindia Belanda, Tjokroaminoto disambut oleh Hasan Ali yang kemudian men-support Tjokroaminoto dalam merintis sebuah pergerakan, hingga akhirnya datanglah utusan Hadji Samanhudi yang sudah mendengar kemampuan Tjokroaminoto sebagai tokoh pergerakan di Surabaya saat itu. Hadji Samanhudi kemudian bertemu dengan Tjokroaminoto dan mendirikan Sarekat Islam pada 26 Januari 1913.

Lahir bertepatan dengan letusan gunung Krakatau, Tjokroaminoto digelari Ratu Adil oleh banyak orang saat itu. Ia dianggap mampu menghadirkan harapan-harapan rakyat jelata saat itu; kemerdekaan. Dengan semangat yang tinggi melawan penindasan kolonialisme dan imperialisme, Tjokro ingin mengembalikan harkat dan martabat penduduk asli tanah ini agar menjadi manusia seutuhnya, bukan lagi seperempat manusia yang selalu direndahkan oleh para penjajah. Harapan-harapan yang diembankan oleh para pengikutnya sempat menghadirkan kekhawatiran dalam dirinya akan kegagalan mewujudkan harapan-harapan itu, sedangkan rakyat sudah sedemikian besar harapannya untuk segera lepas dari penindasan penjajah. Tjokroaminoto sendiri adalah tokoh besar Islam yang tidak gampang jumawa ditengah riuh tepuk tangan para pemujanya. Ia tetap mengukur kemampuannya dan berusaha untuk tahu diri, kapan melangkah dan untuk apa bertindak.

Ketika berbicara tentang Indonesia, hampir selalu ditarik benang merahnya ke tahun 1945, atau paling pol ke 1928. Sangat jarang sekali kita mencari tahu kapan bibit-bibit kemerdekaan Indonesia itu bertemu sebelumnya. Film ini memberikan informasi bahwa sebenarnya gagasan kemerdekaan lahir jauh-jauh hari sejak Soempah Pemoeda 1928, bahkan ketika nama Indonesia sendiri belum ada. Film ini bukanlah film yang menceritakan detail siapa sebenarnya H.O.S. Tjokroaminoto. Seperti halnya sebuah film, ia terbentur dengan durasi tayangan. Dengan durasi 160 menit, film ini setidaknya mampu menggambarkan situasi pergolakan politik di menjelang 1920. Masuknya gagasan-gagasan baru; Nasionalisme, Sosialisme dan Komunisme saat itu tidak diresahkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto. “Pembangkangan” Semaoen pun tidak membuat pemimpin Sarekat Islam ini kecil hati, ia justru berkeyakinan bahwa salah satu muridnya itu kelak akan menemukan ladang perjuangannya sendiri. Tjokroaminoto berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan gagasan-gagasan yang datang saat itu, yang salah adalah kekerasan yang digunakan untuk menggerakkannya.

Menjelang berakhirnya film, terselip sebuah pertanyaan H.O.S. Tjokroaminoto kepada Agus Salim, “Sudah sampai dimana Hijrah kita, Gus?” Agus Salim kemudian menjawab, “Mungkin Arafah.” Di akhir masa kejayaan Sarekat Islam, organisasi ini kemudian terpecah menjadi dua kubu, Sarekat Islam yang digawangi H.O.S. Tjokroaminoto dan Sarekat Islam MERAH yang digawangi oleh Semaoen.

“Selalu ada kesepian dan keterkucilan dalam setiap Hijrah,” begitulah pesan Agus Salim kepada H.O.S. Tjokroaminoto ketika mendapati organisasi yang didirikannya mulai ditinggalkan para pengikutnya. Sebuah pesan yang juga merujuk pada kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW, bahwa kesepian dan keterkucilan merupakan sebuah bumbu dalam proses berhijrah setiap individu manusia, baik dalam skala kecil maupun besar.

Salam hormat saya kepada Mas Garin Nugroho, Mas Sabrang, Mba Dewi Umaya, Mas Erik Supit serta seluruh punggawa Pic[k]Lock yang telah berhasil menyelesaikan pembuatan film ini. Benar kata Mas Sabrang, ini adalah “kata pengantar”, kita mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi tentang sosok H.O.S. Tjokroaminoto khususnya. Bahkan jika dijabarkan lebih luas lagi, ini merupakan salah satu pintu ruangan untuk mengenali siapa kita sebenarnya, siapakah bangsa ini sebenarnya, siapakah bangsa yang melahirkan Indonesia ini sebenarnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu merupakan pe-er bagi kita masing-masing ditengah kegamangan kondisi bangsa saat ini. Selamat menonton film Guru Bangsa: Tjokroaminoto mulai 9 April 2015, di bioskop-bioskop kesayangan anda.

Comments

Comments are closed.