Keberkahan Warung Ketan Susu

KETIKA TEMAN-TEMAN penggiat berdiskusi menentukan tema Kenduri Cinta bulan Juli lalu, Cak Nun ikut memberikan urun bahan untuk didiskusikan. Sebuah tulisan pendek yang membahas tentang perbedaan antara pedagang dengan kapitalis. Tulisan yang kemudian divisualisasikan dalam rubrik Bongkah. Cak Nun memang sering terlibat dalam proses pemilihan tema Kenduri Cinta setiap bulannya.

Dalam penjelasan singkatnya itu, Cak Nun menguraikan bahwa pedagang adalah sosok manusia yang hanya memiliki satu kelamin saja, sedangkan pelaku kapitalis diibaratkan seperti seorang manusia yang seluruh tubuhnya adalah kelamin. Denotasi syahwat adalah persoalan seks, sehingga tidak salah jika syahwat kemudian identik dengan urusan kelamin. Konotasinya kemudian berkembang bahwa ada syahwat-syahwat lain dalam kehidupan manusia; syahwat politik, syahwat harta, syahwat kekuasaan, syahwat popularitas dan syahwat-syahwat lainnya yang sifatnya adalah duniawi.

Pada Kenduri Cinta bulan Juli 2016, Cak Nun menjelaskan sedikit tentang puasa dalam berdagang. Jika seorang pedagang bebek goreng menjual bebek goreng setiap hari dia menyediakan 100 porsi, maka ia tidak akan terpengaruh untuk menambah stok porsi bebek yang akan digoreng apabila target 100 porsi sudah tercapai. Dan apabila pada saat tiba waktunya warungnya tutup, meskipun belum tercapai 100 porsi terjual, maka ia akan menutup warungnya. Itulah salah satu aplikasi puasa dalam dunia perdagangan. Begitu juga dengan pedagang Es Dawet yang setiap hari ia berkeliling menjual Es Dawet, meskipun ketika ia baru menggelar lapak dagangannya ada yang hendak memborong Es Dawet yang ia jual, karena ia mengaplikasikan puasa dalam sistem perdagangannya, ia tidak akan menjual Es Dawet tersebut kepada orang yang akan memborongnya tadi. Karena yang ada dalam fikirannya adalah pelanggan yang lain yang juga memiliki hak yang sama untuk membeli Es Dawet tersebut. Yang kemudian ditawarkan oleh penjual Es Dawet adalah, apabila ada orang yang hendak membeli Es Dawet dalam partai besar, ia mempersilahkan untuk memesannya terlebih dahulu jauh-jauh hari agar ia dapat mempersiapkan bahan-bahan untuk diolah menjadi Es Dawet.

Sekitar 6 kilometer dari Taman Ismail Marzuki, tepatnya di daerah Kemayoran, terdapat sebuah warung yang sangat sederhana. Bukan sebuah warung yang besar, bukan juga sebuah outlet franchise  makanan siap saji, melainkan sebuah warung kecil dan sederhana di pinggir jalan; Ketan Susu Kemayoran. Meskipun berada di pinggir jalan, warung ini merupakan warung yang sangat legendaris dan terkenal. Adalah Pak Tasnian yang mengawali berjualan kudapan ketan ini, hingga saat ini usaha keluarga tersebut dikelola oleh 7 bersaudara dan tetap menjaga orisinalitasnya.

Beberapa waktu lalu, seperti biasanya, jika Cak Nun mendapat undangan di Jakarta untuk hadir dalam sebuah acara dan memiliki jeda waktu yang cukup luang, setelah dari bandara Cak Nun mengajak kami yang menjemput beliau di bandara untuk mampir sarapan di Warung Ketan Susu Kemayoran ini. Kebetulan saat itu kami sampai di warung ini sudah agak siang, sehingga warung tidak begitu ramai. Ada kesempatan bagi Cak Nun untuk berbincang-bincang dengan pengelola Ketan Susu Kemayoran. Obrolan mengalir begitu saja hingga akhirnya ada beberapa poin yang bisa saya ambil dari proses pengelolaan Ketan Susu Kemayoran ini; Orisinalitas, Istiqomah dan Kejujuran.

Jika anda berkesempatan untuk mencicipi kudapan di warung ini, apa yang anda lihat dari tatanan ruangnya tidak berubah sejak puluhan tahun yang lalu. Menu yang ditawarkan pun tidak ada yang berubah. Jika pun ada inovasi, itu adalah penambahan susu kental manis yang baru ditambahkan pada sekitar tahun 2000, dan menurut saya itu bukanlah perubahan yang primer. Meskipun perubahan kecil itu kemudian membuat warung tersebut lebih dikenal dengan sebutan Ketan Susu Kemayoran. Dalam sehari, warung ini bisa menghabiskan hingga 100 kilogram beras ketan. Tentu saja dengan jumlah sebesar itu akan berimbas pada kudapan pendampingnya; tempe goreng, pisang goreng, singkong goreng juga teh dan kopi. Orisinalitasnya benar-benar dijaga oleh mereka. Mereka sama sekali tidak tergiur untuk menjadi pelaku kapitalis, padahal dengan popularitas Ketan Susu Kemayoran saat ini, sangat mudah sekali bagi mereka untuk melebarkan sayap agar lebih banyak outlet Ketan Susu Kemayoran di tempat lain. Bukankah dengan sistem itu kemudian keuntungan yang didapatkan lebih banyak?. Dari obrolan saat itu saya menyimpulkan, bahwa yang dicari oleh Abdullah (pengelola Ketan Susu Kemayoran saat ini, generasi ketiga dari Pak Tasnian) adalah keberkahan.

Satu contoh kasus, Abdullah bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu pihak produsen Susu Kental Manis yang digunakan oleh Ketan Susu Kemayoran datang ke warungnya dan bertanya mengapa tidak langsung membeli susu kental manis langsung dari distributor resmi atau pusat? Tentu saja, jika Abdullah membeli susu kental manis langsung dari distributornya ia akan mendapatkan harga yang lebih murah dibandingkan jika ia membeli di warung klontong yang berada tepat di sebelah warung yang ia kelola. Jawaban Abdullah sangat sederhana, karena ia ingin berbagi keberkahan. Dan lebih dari itu, warung klontong yang ada di sebelah warung ketan susu miliknya itu sudah dianggap sebagai keluarga mereka sendiri, karena pemilik warung klontong itu juga merupakan saksi perjalanan Ketan Susu Kemayoran. Hal yang sama juga dilakukan oleh Abdullah kepada penyalur minyak goreng, beras ketan, kedelai, hingga kayu bakar yang menyuplai bahan-bahan tersebut ke warung Ketan Susu Kemayoran. Abdullah tidak memilih untuk mencari distributor minyak goreng yang lebih murah harganya, tetapi ia setia dengan “distributor” minyak goreng yang menjual minyak goreng dengan gerobak yang didorongnya setiap hari.

Abdullah dan saudara-saudarnya yang saat ini mengelola Ketan Susu Kemayoran faham betul nilai-nilai yang ditanamkan oleh Pak Tasnian, bahwa peristiwa muwajjahah bertatap muka dengan orang lain itu sangat penting. Sistem perdagangan boleh saja terus mengalami pembaharuan, harga-harga bahan Ketan Susu boleh saja terus naik, tetapi silaturrahmi dengan orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan Ketan Susu Kemayoran harus tetap terjaga. Jika anda datang ke warung Ketan Susu Kemayoran, anda akan menjumpai suasana dan nuansa kemanusiaan yang belum tentu anda jumpai ketika anda menikmati makanan di rumah makan atau restoran yang besar.

Istiqomah. Abdullah beserta 7 saudaranya saat ini benar-benar Istiqomah meneruskan usaha keluarganya ini. Saya tidak melihat bahwa mereka memiliki syahwat ekonomi untuk meraih keuntungan sebanyak mungkin dari apa yang mereka jual di Ketan Susu Kemayoran ini. Dari setting warungnya pun, sangat tidak representatif bagi sistem ekonomi kapitalis untuk mengaplikasikan aturan main; “dengan modal yang sedikit untuk meraih keuntungan sebanyak mungkin”. Tetapi mereka sangat Istiqomah dalam meneruskan usaha keluarga mereka. Menu yang ditawarkan pun tidak bertambah. Mereka tidak memiliki keinginan untuk melakukan improvisasi dengan menambah menu Ketan Susu Durian, misalnya. Atau varian Ketan Hitam, misalnya. Tidak. Mereka menjaga keistiqomahan mereka untuk menjual kudapan yang sejak dulu dirintis oleh Pak Tasnian. Mereka sama sekali tidak memiliki syahwat kapitalis untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.

Apakah mereka kemudian tidak membutuhkan keuntungan? Tentu saja butuh. Salah satu tujuan orang berdagang adalah mendapatkan keuntungan. Tetapi, Abdullah dan 7 saudaranya itu mengaplikasikan puasa dalam usaha yang ia jalankan ini. Mereka berpuasa untuk tidak membuka outlet lain, mereka berpuasa untuk tidak menambah menu yang ditawarkan, mereka berpuasa untuk tidak membeli bahan-bahan dari distributor yang menawarkan harga lebih murah dari distributor yang sekarang. Yang mereka jaga adalah nilai-nilai manusianya yang saat ini tidak mudah kita jumpai dalam sistem kapitalis global yang semakin menjalar hingga pelosok desa.

Poin terakhir yang saya ambil adalah kejujuran. Di warung Ketan Susu Kemayoran ini jangan anda bayangkan bahwa mereka menggunakan komputer yang terinstall sistem Point Of Sales layaknya warung-warung modern saat ini. Tidak juga akan anda temui cetakan kertas kecil yang menunjukkan jumlah biaya yang harus anda bayar setelah anda menikmati kudapan di warung ini. Yang kita lakukan ketika kita datang ke warung ini, kita memesan Ketan yang ditaburi parutan kelapa, dengan pilihan ditambahi susu kental manis atau tidak, kemudian memesan minuman. Kudapan pendamping seperti tempe goreng, pisang goreng dan singkong goreng kita ambil sendiri, kita pilih sendiri, dan jangan khawatir, kudapan-kudapan itu selalu hangat, bahkan pada jam-jam tertentu karena ramainya pengunjung, kudapan-kudapan itu masih panas karena baru saja diangkat dari penggorengan. Apakah Abdullah atau saudara-saudaranya menggunakan kertas untuk menuliskan menu-menu yang dipesan? Tidak. Sehingga, sangat mungkin pembeli memenipulasi jumlah porsi ketan dan minuman yang ia pesan, lebih-lebih kudapan pendamping yang tersaji yang pembeli dibebaskan untuk mengambilnya sendiri. Terbangunlah nuansa kejujuran di warung ini. Mungkin tetap ada saja pembeli yang melakukan kecurangan-kecurangan, tetapi saya yakin jika pun ada jumlahnya sangat sedikit.

Pengalaman sederhana yang saya dapatkan dari Ketan Susu Kemayoran ini sangat mungkin ditemui di daerah lain. Mereka yang masih menjaga nilai-nilai perniagaan yang mengutamakan kemanusiaan, yang tidak tergiur dengan keuntungan sistem kapitalis, yang tidak mementingkan kepuasan syahwat ekonomi pribadinya, tetapi mengutamakan nilai-nilai perniagaan yang masih sangat murni, yang tidak terkontaminasi sedikitpun oleh virus-virus kapitalis, jikalau pun mereka harus terpaksa berhubungan dengan sistem kapitalis, mereka memiliki daya imunitas yang sudah sangat kuat untuk tidak terseret lebih jauh dalam sistem kapitalis dunia saat ini. Karena mereka sangat yakin bahwa Allah tidak akan menukar rizkinya kepada orang lain.