From Beginner to be Learner

MUNGKIN BANYAK teman-teman Jamaah Maiyah (JM) yang mengenal saya melalui tulisan-tulisan saya yang dipublikasikan di media-media Maiyah, baik digital maupun cetak. Semua tidak pernah direncanakan sebelumnya. Saya sendiri hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Toh tulisan saya juga biasa-biasa saja. Masih banyak penulis-penulis Maiyah yang lebih andal dari saya. Dan saya banyak belajar dari mereka.

Diperjalankan. Sebuah term yang diperkenalkan Mbah Nun ketika pertama kali saya mengenal Maiyah beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2011. Istilah “diperjalankan” begitu viral di kalangan JM saat itu. Saya sendiri berangkat mengenal sosok Mbah Nun bukan dari buku-buku dan tulisan-tulisan beliau. Jika saya ditanya momen apa yang membuat saya mengenal sosok Emha Ainun Nadjib, maka jawaban saya adalah “Kado Muhammad”.

Namun, seperti beberapa JM yang juga saya kenal, saya kepincut dengan Mbah Nun setelah melihat dokumentasi video Maiyahan, yang saat itu kebetulan video yang saya tonton di YouTube adalah salah satu dokumentasi Kenduri Cinta. Bahkan saat itu, saya tidak mengenal Mocopat Syafaat dan Gambang Syafaat yang sebenarnya lebih dahulu lahir sebelum Kenduri Cinta. Bahkan, Padhangmbulan pun baru saya ketahui setelah saya mengenal Kenduri Cinta.

Keterbatasan informasi yang dapat saya akses tentang Maiyah di tahun-tahun awal saya mengenal Maiyah, mengantarkan saya pada rubrik Reportase yang dirilis Kenduri Cinta. Saat itu, ketika saya membaca Reportase Kenduri Cinta, saya merasakan sedikit cipratan nuansa dan susana forum ini. Gaya tulisan yang disajikan oleh Redaksi Kenduri Cinta dalam rubrik Reportase saat itu adalah gaya tulisan yang baru saya kenal. Dikemas dengan apik, menggambarkan suasana forum diskusi yang hangat dan akrab. Mungkin tidak lengkap dan detail, karena menggambarkan suasana 8 jam berjalannya sebuah forum dalam sebuah tulisan tentu bukan hal yang mudah.

Singkatnya, saya yang saat itu mengikuti Maiyahan di Yogyakarta, ingin mencoba menuliskan Reportase Maiyahan yang saya ikuti, dan saya tulis di blog pribadi saya. Hingga suatu hari, ternyata tulisan saya dibaca oleh salah satu penggiat Kenduri Cinta; Gandhie. Keterlibatan saya di Kenduri Cinta dan Maiyah hari ini tidak mungkin saya lupakan bahwa ada peran Gandhie di situ. “Tapi tulisanku elek, Bung”, ungkap saya dalam sebuah email saat itu, kemudian ia balas dengan singkat pula; “Ndak apa-apa”. Hingga akhirnya kemudian salah satu catatan Maiyahan Mocopat Syafaat yang saya tulis dimuat pada Notes Facebook Kenduri Cinta. Iya, di Notes Facebook, bukan di website.

Pada rentang waktu 2012-2013, ketika Internet semakin mudah diakses, yang kemudian saya manfaatkan dari internet adalah mencari informasi sebanyak mungkin tentang “Emha Ainun Nadjib”. Tentu saja, ketika mencari informasi tentang beliau maka akan tersambung benang merah dengan KiaiKanjeng dan Maiyah. Baik itu reportase Maiyahan, tulisan-tulisan beliau di media massa, maupun yang dipublikasikan oleh beberapa JM di blog-blog mereka saat itu, yang masih sangat sedikit sekali. Berbeda dengan hari ini, arsip-arsip tulisan beliau begitu banyak dipublikasikan oleh orang di Internet. Saya mengalami masa-masa ketika saya mencari kata kunci “Cak Nun”, “Emha Ainun Nadjib” dan beberapa kata kunci lain yang berkaitan dengan beliau, tidak pernah lebih dari 10 halaman di mesin pencari Google. Sehingga informasi yang saya dapatkan tentang beliau saat itu, sangat sedikit.

Akhir 2013, saya akhirnya merasakan forum Kenduri Cinta secara langsung. Singkatnya, saya pun bergabung di Forum Reboan, bahkan di bulan-bulan awal, saya belum begitu aktif. Gandhie kemudian meminta saya untuk membantu menyusun beberapa Reportase Maiyahan selain Kenduri Cinta, dan saya iyakan. Hingga akhirnya kemudian saya benar-benar diminta untuk terlibat dalam penyusunan Reportase Kenduri Cinta hingga hari ini.

Saya sendiri bukanlah seorang yang pandai menulis. Semua yang saya lakukan dalam dunia kepenulisan di Maiyah hingga hari ini pun saya sadari betul masih dalam proses belajar. Terus menerus saya asah kemampuan saya dalam menulis, karena pada akhirnya pun saya dipertemukan dengan penulis-penulis Maiyah yang lain yang lebih expert dari saya. Dan saya juga belajar banyak dari mereka. Saya menikmati proses itu. Gandhie di awal-awal pun tidak menuntut saya untuk menulis dengan baik, semua berproses. Ada tulisan yang sekali kirim langsung dinyatakan layak, ada juga yang harus mengalami revisi berkali-kali.

Proses panjang itu kemudian pada akhirnya juga mempertemukan saya dengan Redakur Maiyah; Helmi Mustofa dan A. Jamal Jufri. Yang kemudian juga saya dipertemukan dengan Achmad Syaiful, Ratu Viha, Rizky Dwi Rahmawan, Hilmy Nugraha, Hilwin Nisa, dan Zuriat Fadil. Penulis Maiyah yang memiliki gaya kepenulisannya masing-masing. Saya yakin, ada banyak sekali JM yang juga memiliki kemampuan dalam menulis yang juga kualitasnya tidak diragukan lagi. Suatu hari, Mbah Nun melalui Gandhie menyampaikan pesan yang sangat mendalam; “Menulis bukanlah untuk menempuh karir sebagai Penulis, melainkan untuk keperluan-keperluan sosial”. Begitu terasa sekali pesan beliau, menikmati rutinitas menulis yang tidak dalam rangka meniti karir sebagai penulis, justru lebih membebaskan saya pribadi untuk menulis.

Kenduri Cinta adalah yang mengantarkan saya di Maiyah hingga seperti ini, hari ini. Persentuhan dengan teman-teman Penggiat Kenduri Cinta mewarnai proses yang saya alami. 17 tahun usia Kenduri Cinta bulan ini, perjalanan panjang yang sudah dilalui adalah proses yang tidak mudah untuk mempertahankan keberlangsungan forum ini. Sejak 9 Juni 2000, Kenduri Cinta mencoba mewarnai riuh rendah semarak Ibukota Jakarta, tidak untuk dikenal, tidak untuk diakui, tetapi untuk bersama-sama menanam kebaikan, merajut nilai, merangkai makna, berproses dan berjuang bersama menuju Indonesia mulia.

Empat tahun terakhir keterlibatan saya di Kenduri Cinta hanyalah cuplikan episode panjang 17 Tahun Kenduri Cinta. Saya belajar banyak dari Kenduri Cinta, bukan hanya belajar menulis. Bersama teman-teman Kenduri Cinta, saya belajar bagaimana mengelola sebuah forum diskusi, menjadi moderator jalannya diskusi, berbicara di depan banyak orang, dan tentu saja belajar tentang nilai-nilai kehidupan yang disampaikan oleh Mbah Nun di Kenduri Cinta.

Dan tentu saja, Mbah Nun guru utama di Maiyah, sekaligus mentor menulis yang sangat luar biasa. Di usianya yang melewati angka 64 tahun ini, beliau masih terus menulis, tidak berhenti. Jelas tidak mungkin saya mencapai maqom yang setara dengan beliau. Yang bisa saya lakukan adalah mengaplikasikan sedikit cipratan-cipratan teknik menulis beliau dalam tulisan-tulisan saya. Semangat menulis beliau yang tidak pernah padam merupakan pemantik saya untuk juga terus berproses dan belajar. Mengutip apa yang pernah diucapkan oleh Steve Jobs; “Stay Hungry, Stay Foolish”. Tetap menyalakan api semangat untuk tetap belajar, belajar, terus belajar. Tetaplah menjadi pembelajar.

Terima kasih Kenduri Cinta, teruslah berjalan, teruslah berproses, teruslah mewarnai Indonesia.

Terima kasih juga yang tak terhingga untuk guruku; Maulana Muhammad Ainun Nadjib. Tak sudah-sudah takzimku kepadamu. Tak pernah usai ungkapan terima kasihku kepadamu. Matur suwun, Mbah Nun.