KULITNYA PUTIH, MATANYA SIPIT

Reportase Kenduri Cinta Juni 2015

Malam itu, Kenduri Cinta mensyukuri perjalanannya selama 15 tahun, mencoba konsisten menyediakan ruang belajar berbagai ilmu kehidupan yang multidimensi. Ditengah hiruk pikuk kepenatan kehidupan ibukota, Kenduri Cinta menyediakan diri sebagai ruang terbuka bagi siapa saja yang bersedia belajar bersama, bukan untuk merasa paling unggul dan paling benar, tetapi bersama-sama mencari apa yang benar dengan cara yang adil, obyektif dan rendah hati. Kenduri Cinta juga sering kali menjadi tempat untuk mendetoksifikasi diri menuju diri yang lebih sehat dan segar.

Disaat maraknya slogan-slogan mengenai persamaan gender, egalitarianisme, demokratisasi, kebebasan berpendapat, pluralisme, dan lain semacamnya, Kenduri Cinta telah (paling tidak: berusaha) mewujudkan dimensi-dimensi itu semua selama keberlangsungannya pada 15 tahun terakhir. Kenduri Cinta telah menciptakan sebuah forum pendidikan politik, budaya bahkan pendidikan tafsir bagi masyarakat. Di Kenduri Cinta setiap orang yang hadir adalah narasumber bagi yang lainnya, setiap orang bisa menjadi sumber ilmu bagi yang lainnya. Sebuah majelis ilmu, bahwa setiap orang bisa belajar dari siapa saja.

Berbeda dengan “perayaan” tahun sebelumnya yang penuh kemeriahan, syukuran 15 tahun Kenduri Cinta kali ini dilakukan secara sederhana. Tepat pukul delapan malam, Kenduri Cinta diawali pembacaan surat Al-Anbiya, dilanjutkan wirid HasbunallahPadhangmbulan dan Shohibu Baitiy. Pada kesempatan malam itu, Luqman Baehaqi, Irfan Muhammad dan Fahmi Agustian ditunjuk sebagai moderator. Mereka mengeksplorasi, khususnya wacana terkait tema: Kulitnya Putih, Matanya Sipit. Sebagian jamaah merespon dengan wacana yang rasis, seperti Farida yang khawatir tentang isu kedatangan 10 juta “turis” ke Indonesia dalam waktu dekat.

Tidak bisa dipungkiri, tema sangat bisa dipandang demikian, apalagi jika hanya membaca judulnya saja. Dalam mukadimah yang disebarkan beberapa hari sebelum acara, mustinya bisa dipahami bahwa jangkauan dimensi dari tema bukan soal ras. Tema ini juga dibahas pada forum-forum Maiyah lainnya; Padhangmbulan di Jombang dan Bangbang Wetan di Surabaya. Garis besar tema adalah tentang Yakjuj dan Makjuj, dimana kemunculannya dipahami sebagai tanda akhir zaman. Kenduri Cinta hanya menawarkan sudut pandang lain.

“Kenikmatan yang abadi adalah kenikmatan ketika kita dekat dengan Allah.”
Ust. Noorshofa

putih sipit

LABORATORIUM ILMU

Mengawal diskusi, Fahmi membuka bahasan tentang Dajal. Selain ciri-ciri fisiknya yang telah banyak diketahui, ia mengingatkan ciri Dajal lainnya yaitu mengetahui detil seluk beluk informasi dunia. Fahmi mengaitkan “informasi” tersebut dengan keberadaan internet yang sistem kerjanya telah meliputi hampir semua aspek kehidupan manusia modern. Ia menerangkan sejarah internet, dimana hanya pihak-pihak tertentu saja yang memiliki otoritas dalam mengakses informasi di internet. Secara tidak langsung, sebenarnya setiap orang yang mengunggah data ke internet, data apapun itu, sama dengan setor data kepada—siapapun dia—pemilik otoritas internet global.

Irfan melanjutkan, Maiyah mengajarkan untuk tidak cepat merasa puas atas pengetahuan yang didapat. Penelitian lebih lanjut musti terus dilakukan agar kita tidak terpenjara pada pemahaman-pemahaman yang bisa jadi bukan kebenaran sejati. Banyak kata dan istilah yang kita buat justru memenjara diri kita sendiri, justifikasi terhadap kebenaran kini banyak didasarkan pada prasangka-prasangka tanpa berani mempertanyakannya kembali.

Acara Kenduri Cinta merupakan sebuah laboratorium ilmu yang sayang apabila tidak ada upaya pendokumentasian. Hal itu disampaikan oleh Adi Pudjo, salah satu penggiat yang bekerja sehari-hari sebagai karyawan di sebuah perusahaan Jepang. Adi malam itu berbagi mengenai nilai-nilai budaya yang ia pelajari ketika ia bekerja di perusahaan Jepang. Salah satu budaya yang dilakukan disiplin oleh orang Jepang adalah budaya mencatat. Tidak peduli sekecil apapun, dengan media apapun, mencatat merupakan hal yang selalu dilakukan.

Kemajuan teknologi berpotensi membuat kita menjadi masyarakat konsumtif, menjadi manja, malas mencatat. Adi Pudjo juga mengkritisi kebiasaan mengunggah video secara online, dimana mau tidak mau Maiyah terkena imbasnya. Adi Pudjo mengajak jamaah untuk tetap produktif berbagi ilmu dengan membudayakan penulisan, sehingga apa yang kita alami di Maiyah dapat terdokumentasikan dengan baik.

Tafsir salah satu jamaah, Slamet, terhadap tema mendapat banyak perhatian. Menurutnya “kulitnya putih, matanya sipit” merupakan gambaran dari orang-orang yang merasa dirinya paling bersih, merasa paling benar dalam segala hal. Sipit, merupakan perumpamaan yang menggambarkan ketidakmauan seseorang untuk membuka mata lebih lebar, melihat dan meneliti hal-hal lain diluar dirinya.

Donny lalu memberi pointer: jangan tertipu oleh simbol dan jangan mudah mengunggah data-data sensitif ke internet. Terkait simbol, Donny menekankan agar kita tidak mudah tertipu dengan hal-hal yang sifatnya “kulit”, sehingga menyebabkan kita mudah menghakimi sesuatu yang belum tentu kebenarannya.

“Apa saja (yang didiskusikan) di Kenduri Cinta bersifat relatif kecuali Allah dan Rosulullah. Anda harus menemukan dan mencari sendiri kebenaran itu, sampai ia tumbuh secara murni dan otentik dari akal pikiran dan hati anda.”
Emha Ainun Nadjib

putih sipit


Kenduri Cinta malam itu kedatangan Ibu Fatimah dari Muslimat NU Cabang Istimewa Malaysia. Ibu Fatimah menjelaskan bahwa disana pun mereka juga memiliki forum pengajian yang kurang lebih sama dengan maiyahan. Ibu Fatimah lalu melantunkan selawat Anta-l-Adziim. Sebuah peristiwa indah kemudian terjadi, kelompok selawat Syifaa’u-l-Quluub secara spontan memainkan alat hadrahnya mengiringi Ibu Fatimah. Padahal kelompok Syifaa’u-l-Quluub dan Ibu Fatimah baru pertama kalinya bertemu. Kecintaan atas Nabi menyatukan keduanya. Secara berurutan mereka melantunkan selawatan: Sidnan Nabi dan Ya Robbi bil Musthofa.

Ust. Ahmad Baihaqi, pembimbing adik-adik kelompok Syifaa’u-l-Quluub, kemudian mengisahkan awal pertemuannya dengan anak-anak kecil, para pemain hadrah itu, dua tahun lalu. Mereka sebagian berasal dari jalanan yang secara perlahan dibimbing oleh Ust. Ahmad Baihaqi untuk menghidupkan kembali sebuah musala di Cilincing, sebuah daerah pinggiran utara Jakarta. Pada awalnya mereka diragukan, namun pada prosesnya kemudian berhasil menghidupkan kembali musala tersebut.

Berkaca pada Gamelan Kiai Kanjeng yang pada awalnya juga membawa misi merintis kembali tradisi selawatan di Indonesia, Irfan memotivasi teman-teman Syifaa’u-l-Quluub untuk terus setia. Adik-adik Syifaa’u-l-Quluub kemudian berdialog, bertukar pengetahuan mengenai seni hadrah dengan Ibu Fatimah tentang jenis-jenis pukulan rebana.

Kenduri Cinta malam itu dilengkapi dengan penampilan Farid, putra dari (Alm.) Mbah Surip yang juga secara spontan berkolaborasi dengan kelompok Syifaa’u-l-Quluub memainkan lagu Belajar Ngaji, Batu Akik dan Tak Gendong.

“Kenduri Cinta adalah pesantren tanpa batas.”
Kyai Syauqi

putih sipit

TAMAN KEBERSAMAAN

Setelah bergembira, berselawat dan bernyanyi bersama, Pakde Mus dan Kyai Syauqi mengawal prosesi seremonial 15 tahun Kenduri Cinta dengan doa. Jamaah lalu bersama menikmati hidangan ambengan. Selawat Badar dikumandangkan oleh Kyai Syauqi dan tak lama setelahnya Cak Nun hadir di forum.

Secara eksplisit Kyai Syauqi menyebut bahwa Kenduri Cinta adalah pesantren tanpa batas. Lokasi Kenduri Cinta yang berada di Taman Ismail Marzuki juga menurut Kyai Syauqi menyiratkan bahwa Kenduri Cinta hadir di sebuah tempat yang indah. Ketika seseorang menyebut kata “taman”, maka orang akan mengidentikkan dengan bunga dan kebahagiaan. Kyai Syauqi juga sempat mempertanyakan, apakah huruf “i” dalam Maiyah menggunakan ‘ain atau hamzah? Apabila menggunakan ‘ain, maka memiliki arti kebersamaan. Sedangkan apabila menggunakan hamzah, maka memiliki arti mata air.

Setelahnya, Irfan memulai sesi diskusi berikutnya dengan me-review poin-poin pada diskusi sesi sebelumnya. Tak lama, Ust. Noorshofa berbagi kisah-kisah penuh hikmah yang tentu tak lepas dari “gaya” beliau yang jenaka. Salah satu esensi puasa, selain menahan hawa nafsu, adalah menunda kenikmatan. Dalam Ramadan, sesuatu yang siang hari bersifat haram, pada rentang waktu berikutnya bisa berubah menjadi halal. Manusia seringkali tertipu, tidak mampu menunda kenikmatan sesaat padahal bisa jadi dia akan mendapatkan kenikmatan abadi dengan menunda kenikmatan yang sesaat itu. Karena kenikmatan yang abadi adalah kenikmatan ketika kita dekat dengan Allah. Manusia bisa lebih dahsyat dari setan ketika tidak bisa menahan hawa nafsunya dan ketika tidak bisa menunda kenikmatan.

Selanjutnya, Pakde Mus bercerita saat Mbah Lim memberi wasiat kepada beliau untuk menggunakan panggilan “Mbah Nun” kepada Cak Nun. Tradisi kultur pesantren yang diwariskan oleh Mbah Lim kepada anak cucunya ini menjadi sebuah landasan spiritual yang dipegang teguh sebagai wujud takzim beliau kepada Cak Nun. Pakde Mus sendiri mendapat wasiat oleh Mbah Lim untuk memposisikan dirinya sebagai batur, batir dan botoh untuk Cak Nun. Sebagai batur, Pakde Mus memposisikan dirinya sebagai tempat berpijak. Sebagai batir, Pakde Mus memposisikan dirinya sebagai teman. Sebagai botoh, Pakde Mus memposisikan dirinya sebagai seorang yang berada dibelakang untuk mendukung semua langkah-langkah yang akan diambil oleh Cak Nun.

“Kesempatan anda sekarang adalah belajar untuk tidak mengulangi apa yang terjadi. Ketika nanti anda ikut pegang setir di peradaban baru, insyaAllah, anda sudah lebih benar nyetirnya dan lebih benar arah perjalanannya, mengerti jalan dan mengerti tujuan, tidak dibalik; jalan menjadi tujuan dan tujuan menjadi jalan.”
Emha Ainun Nadjib

putih sipit

TUJUAN DAN JALAN

Cak Nun malam itu memposisikan Kenduri Cinta sebagai sebuah Gudekan—sebuah ruangan kecil di surau atau masjid yang biasanya digunakan untuk kegiatan belajar bersama. “Jadi kita ngomong glenak-glenik, pribadi, wingit, ati-ati. Di luar masjid, di luar surau ada Indonesia, ada dunia dan sebagainya. Nanti kita sebut-sebut (Indonesia, dunia dan sebagainya) kalau dia memang relevan terhadap pelajaran kecil di gutekan surau ini,” terang Cak Nun.

Pada kesempatan berikutnya, Cak Nun menjelaskan tingkat lipatan dan tikungan masalah-masalah bangsa saat ini yang sudah tidak lagi bisa diatasi dengan ilmu yang kita punya, bahkan tidak bisa diatasi dengan ilmu yang pernah ada, dan yang pernah dipelajari oleh seluruh bangsa ini. Tingkat komplikasi itu baru bisa diselesaikan apabila kita mengubah mindset kita. Siapapun presidennya, siapapun menterinya apabila mindset-nya tidak berubah maka ketidakseimbangan struktur langit bumi akan tetap seperti sekarang.

“Kalau ada kezaliman di Indonesia, kalau ada kebobrokan, ada ketidakjujuran, ada pengkhianatan, ada manipulasi, ada kekejaman, ada mismanagement dan seterusnya, saya melihat bahwa anda tidak ikut bersalah. Kalaupun ikut, ya paling 2-3 persen, yang 97 persen insya Allah anda tidak ikut menanggung,” Cak Nun juga berpesan kepada generasi muda, “Kesempatan anda sekarang adalah belajar untuk tidak mengulangi apa yang sekarang terjadi pada anda. Saya ingin anak-anak, temen-temen Maiyah siap-siap mengatasi masalah, dan ketika nanti anda ikut pegang setir di peradaban baru, insya Allah, anda sudah lebih benar nyetirnya dan lebih benar arah perjalanannya menuju ke mana, mengerti jalan dan mengerti tujuan, tidak dibalik; jalan menjadi tujuan dan tujuan menjadi jalan.”

Cak Nun mengajak jamaah untuk selalu menyiapkan diri dalam menerima ilmu. Cak Nun juga meminta jamaah untuk meniadakan dirinya. Hal ini ditegaskan kembali oleh Cak Nun semata-mata agar tidak terjadi pengkulutusan yang dikhawatirkan suatu saat akan menjadi padatan yang tidak sesuai.

“Jadi, aku ngomong apa saja jangan dianggap sebagai kebenaran sejati. Apa saja (yang didiskusikan) di Kenduri Cinta bersifat relatif kecuali Allah dan Rosulullah. Anda harus menemukan dan mencari sendiri kebenaran itu, sampai ia tumbuh secara murni dan otentik dari akal pikiran dan hati anda,” Cak Nun menambahkan, “Aku dudu nabi. Jangan mengulangi kebodohan bangsa-bangsa lain atau mbah-mbah anda yang mendewakan, menuhankan dan mengakui yang selain Allah dan Rasulullah.”

Menyikapi tema Kenduri Cinta yang dipandang sebagian orang sebagai sesuatu yang rasis. Cak Nun meminta jamaah untuk membunuh istilah-istilah modern yang selama ini menipu. “Matanya sipit kulitnya putih, sebenarnya hanya salah satu ciri dari berita-berita dari Allah yang disebut Yakjuj dan Makjuj. Cirinya banyak, antara lain: kulitnya putih matanya sempit. Apakah itu denotasi ataukah konotasi? Itu yang akan kita diskusikan bersama.”

“Jangan mengubah dunia sebelum anda bisa mengubah diri anda sendiri. Jangan membayangkan revolusi sosial, revolusi politik, revolusi umat manusia, sebelum anda sanggup merevolusi diri anda sendiri.”
Emha Ainun Nadjib

putih sipit

TAWARAN DIANTARA LANGIT DAN BUMI

Situasi zaman sekarang sangat memungkinkan orang untuk salah dalam memaknai sesuatu. Manusia kini banyak gagal dalam menempatkan dan memposisikan diri. Tidak bisa membedakan antara intan dengan batu, batu dijunjung-junjung sedang intan justru diinjak-injak. Ketidakmampuan membedakan keduanya lah yang membuat masyarakat lari ke batu akik. Batu akik adalah wilayah merdeka, dapat dianggap sebagai denotasi atau konotasi tergantung pada siapa penjualnya. Inilah potret kegagalan bangsa.

Dengan menggunakan alat pandang tersebut, Cak Nun mengajak jamaah untuk mengidentifikasi kembali siapa atau apa itu Dajal, Satrio Piningit, Yakjuj dan Makjuj. Cak Nun melanjutkan dengan sebuah konsep apabila Bumi sudah tidak sanggup lagi mengatasi persoalan-persoalan maka ia akan meminta pertolongan pada Langit. Diantara langit dan bumi itulah ada “tawaran-tawaran” dari Allah—yang informasinya bisa langsung didapat dari atas (imam mahdi) dan ada informasi yang dicari sendiri, dari bawah; yang oleh orang Jawa disebut: satrio piningit.

Cak Nun mengajak untuk lebih tajam meneliti, apakah Dajal berupa materi atau fisik, ataukah bisa berupa sistem ketidakadilan global yang kemudian diterjemahkan sebagai manajemen ganda, politik ganda, agenda ganda; berpura-pura begini padahal terapannya begitu.

“Anda pelajari Dajal itu apa, kenapa matanya satu dan seterusnya. Anda tidak ketemu Dajal langsung, tapi anda bisa menemukan gelombangnya, menemukan auranya, ketemu arusnya dan anda didesak oleh energinya dan bahkan anda dikendalikan oleh sistemnya,” jelas Cak Nun. “Intinya anda berada dalam skenario yang sangat panjang dari tangannya. Dajal ini bukan khayal. Dajal itu pengendalian dasar cara berpikir sehingga otomatis akan membuat manusia berlaku begini begitu; sebagai bangsa, sebagai kelompok, sebagai Parpol, sebagai Ormas, dia akan berlaku seperti itu—dan orang-orang yang melakukan sistem Dajal ini tidak pernah sadar bahwa dia sedang menjadi prajuritnya Dajal,” terang Cak Nun.

Terkait konstelasi global, Cak Nun mengistilahkannya dengan terminologi “cuaca”. Pada masa sekarang, cuaca dunia dikendalikan hanya oleh beberapa negara. Mayoritas manusia modern berlaku sebagaimana desain sistem yang diatur oleh mereka. Cak Nun mengingatkan, apabila Indonesia ingin berubah, nomor satu yang harus dilakukan oleh presiden adalah menciptakan “cuaca” baru.

Manusia sekarang mengalami kemunduran peradaban tetapi manusianya sendiri tidak merasakan kemunduran itu. Cak Nun menambahkan, “Kalau anda tidak mengerti cuaca, anda akan mudah masuk angin oleh cuaca yang dibikin oleh orang lain. Indonesia ini sedang mabuk, dibikin mabuk oleh cuaca. Dan anda harus masuk di situ, karena terikat oleh cuaca itu anda berlaku sebagaimana desainnya yang membikin cuaca itu.”

“Perdamaian itu tidak ada kecuali landasannya adalah keadilan. Jika dalam masyarakat keadilan sudah tercapai, tanpa dipaksa-paksa maka perdamaian pasti akan terwujud.”
Emha Ainun Nadjib

putih sipit

ISLAM MATERI DAN ISLAM ROHANI

Malam itu, Cak Nun mendekonstruksi pemahaman tentang materi dan rohani. Secara singkat jamaah diajak untuk bisa menempatkan benda atau perilaku sebagai pemahaman yang bisa bersifat materi atau bersifat rohani. Banyak hal yang seharusnya bersifat rohani namun dipahami secara materi. Salat yang merupakan peristiwa materi, hakikatnya adalah peristiwa rohani ketika ia mampu memaknai salatnya dan mengimplementasikannya di kehidupan. Seperti halnya Islam, saat ini Islam hanya dipahami sebatas identitas bukan sebagai perilaku atau sifat, hal ini karena pemahaman yang materialis atau kebendaan saja.

Keruhanian sebuah peristiwa atau benda memang tidak bisa dilihat namun bisa dirasakan. Rohaninya salat hanya bisa dirasakan oleh orang yang melaksanakan salat. Lebih jauh lagi, Cak Nun menjelaskan bahwa agama adalah ajaran rohani, sehingga pada dimensi ini kita tidak layak menyebut orang lain dengan identitas agamanya; si A muslim, si B Kristen, si C Buddha dan seterusnya. Ketika seseorang mampu melantunkan selawat, dengan mudah orang mengatakan bahwa ia seorang muslim, padahal belum tentu. Suara yang diperdengarkan dari mulutnya merupakan fakta materi, sedangkan sifat dan dimensi rohaninya hanya bisa dirasakan dengan menembus fakta rohaniah dibalik lantunannya.

“Karena anda melihatnya materi terus maka anda keteteran soal rohani. Motor itu jasmani atau rohani? Dia materi tapi begitu anda pakai untuk bekerja, mengantar anak, dia menjadi rohani. Salat itu rohani atau jasmani? Islam itu identitas atau perilaku? Semua orang berpikir (Islam) itu identitas, berarti berpikirnya materil. Bahkan orang salat pun belum bisa disebut rohani karena kita tidak tahu niatnya apa,” jelas Cak Nun.

Cak Nun juga sampaikan makna dari muslim, salam dan islam. Salam dalam struktur bahasa Arab berarti keselamatan (kata benda), sedangkan Islam adalah penyelamatan (kata kerja). Muslim adalah pelaku dari penyelamatan; orang yang menyelamatkan, di segala bidang. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa seorang muslim akan membuat aman nyawa, harta dan martabat orang-orang disekitarnya. Pada dimensi selanjutnya, Islam sudah berupa perilaku, bukan lagi identitas. Saat ini justru kita melihat bagaimana seorang koruptor masih dikenal sebagai “muslim” tidak disebut “kafir”. Pemahaman muslim dan kafir telah tereduksi, kini bukan lagi persoalan mudah “mengkafir-kafirkan” orang lain, tetapi lebih jauh lagi, justru tidak mampu membedakan secara substansi mana yang muslim dan mana yang kafir.

Cak Nun mengingatkan untuk tidak berhenti pada titik mengkafirkan seseorang atau memuslimkan seseorang. Karena pada faktanya banyak orang yang non muslim namun secara perilaku yang ia lakukan adalah Islam.

Materi sejatinya bersifat temporer, sementara. Sedangkan rohani berorientasi pada keabadian. Tidak bisa materi berdiri sendiri dan ruhani berdiri sendiri, keduanya harus berjodoh satu sama lain.
Emha Ainun Nadjib

putih sipit

DESAKRALISASI DAN DEMATERIALISASI

Mengutip ayat dalam surat Al Mudatsir: Janganlah engkau memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak, Cak Nun sampaikan bahwa ayat tersebut bisa menjadi rumusan dalam bersedekah. Apabila kita ingin memberi sesuatu maka kita harus berhenti pada kata “memberi”. Ketika kita menambahkan kata “harapan agar dibalas dengan imbalan yang berlipat” maka itu bukan lagi peristiwa sedekah namun merupakan peristiwa dagang.

Dengan banyak menggunakan perumpamaan serta penempatan logika yang presisi, Cak Nun seringkali menjelaskan hal-hal yang sebelumnya tampak rumit menjadi sesuatu yang mudah dipahami. Seperti saat malam itu ketika ia menjelaskan “struktur” syariat – hakikat – tarekat – makrifat. Menurut Cak Nun, struktur tersebut seharusnya dipahami dalam konteks sebuah sistem, bukan tingkatan atau strata.

Seperti peristiwa tawaf di Masjidil Haram, adalah peristiwa yang memiliki 4 sistem tersebut secara berkesinambungan. Syariatnya melakukan tawaf, tarekatnya dengan cara mengelilingi Kabah. Tetapi hakikat dan makrifatnya tidak terletak pada prosesi mengelilingi Kabah, melainkan kepada Allah. Begitu juga pada peristiwa saat mencium Hajar Aswad, hakikatnya tidak mencium batu hitam, tetapi mencium Allah dan Rasulullah sebagai bentuk cinta dan kerinduan.

“Setiap pencapaian tarekat untuk menemukan hakikat, tingkat pencapaian itu namanya makrifat. Makrifat itu satu pencapaian rohani, pencapaian hakikat hidup, pencapaian khasyaf. Melihat sesuatu yang belum pernah dilihat, merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan sebelumnya, itu namanya makrifat. Misalnya pindah dari Nokia 3210 ke Samsung Tab. Itu makrifat. Jadi, makrifat itu pencapaian sesuatu yang baru. Makrifat itu dinamis tergantung keseriusan tarekatmu dalam mencari hakikat. Tidak mungkin empat itu kamu pisah,” rinci Cak Nun.

Dengan menjabarkan hal tersebut, kita diharapkan dapat merespon hal-hal yang telah banyak mengalami desakralisasi dan dematerialisasi. Sistem politik dunia saat ini mengutamakan kuantitas bukan kualitas, berarti menuhankan materialisme, karena pada setiap pemilihan umum yang dihitung adalah jumlah suara, bukan kualitas siapa yang bersuara. Apabila benar sistem demokrasi ini menuhankan materialisme, maka bisa disebut anti rohani. Padahal, puncak rohani dari semua hal yang ada di dunia ini adalah Allah SWT.

Proses desakralisasi telah terjadi di banyak bidang. Seperti pada sertifikasi halal. Pada prakteknya, sebuah produk yang diberi sertifikasi halal hanyalah pada sample yang diuji di laboratorium, bukan pada setiap produk yang dijual. Kesakralan “halal” makin lama makin hilang.

Salah satu penyebab desakralisasi adalah sistem pendidikan internasional yang membagi-bagi ruang ilmu pengetahuan, sehingga terjadi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu non agama. Dalam hal syariat – tarekat – hakikat – makrifat pada akhirnya kita akan memahami bahwa rohani tidak bisa tercapai tanpa materi.

“Saya ingin mengatakan, semua gejala yang anda alami sekarang itu kuncinya adalah desakralisasi. Apa desakralisasi? Orang bersetubuh itu ya bersetubuh aja, cinta apa nggak, nggak penting, yang penting bersetubuh. Itu namanya desakralisasi, tidak ada yang sakral pada peristiwa. Tidak ada yang bersifat langit, tidak ada yang rohaniah dalam peristiwa-peristiwa.

“Kita tidak akan bisa merohanikan sesuatu kalau tidak melalui materi. Jadi syariat penting, syariat harus dijalankan, tapi syariat jangan berhenti pada materi. Dan, syariat itu harus dirohanikan, ditarekati supaya ketemu hakikat. Kalau anda tidak mencari hakikat, tidak menjalani tarekat, itu namanya desakralisasi. Sekarang semua hal dihilangkan sakralnya,” jelas Cak Nun.

“Sesuatu yang seharusnya punya nilai yang mendalam, kamu hilangkan, itulah desakralisasi.”
Emha Ainun Nadjib

putih sipit

KHALIFAH KEADILAN

Menjelang dinihari, salah seorang jamaah, Farisah, bertanya tentang perdamaian seperti apa yang cocok untuk Indonesia? Farisah juga menanyakan, dalam hidup ada hitam dan ada putih, ada baik dan ada buruk. Formula seperti apa yang bisa membuat keduanya beriringan?

Cak Nun menegaskan, perdamaian itu tidak ada kecuali landasannya adalah keadilan. Konsep keadilan bisa diproyeksikan dalam ruang yang lebih luas, jika dalam masyarakat keadilan sudah tercapai, tanpa dipaksa-paksa maka perdamaian pasti akan terwujud. Pertikaian penyebabnya adalah ketidakadilan. Dalam kehidupan terdapat densitas positif dan negatif, ada orang yang baik dan ada orang buruk, hal tersebut merupakan hikmah dalam kehidupan. Kita merasakan rasa manis karena ada rasa pahit. Adanya hitam dan putih merupakan sebuah hikmah. Kearifan akan terwujud apabila orang pandai berlaku bijaksana, sehingga ia mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang ditemuinya.

Menjawab pertanyaan Aqif mengenai demokrasi yang kelak apakah akan digantikan oleh sistem khilafah, Cak Nun memberikan landasan agar tidak mempertentangkan antara demokrasi dengan khilafah atau sistem lainnya dalam dimensi materi. Khilafah bisa dimaknai sebagai sebuah sistem pengelolaan pemerintahan atau kelompok masyarakat. Lebih lanjut, Cak Nun menekankan agar istilah khilafah tidak dipadatkan menjadi sebuah istilah yang baku. Istilah khilafah harus tetap cair sebagai sebuah cara atau metode dalam mengelola pemerintahan.

Sistem khilafah pun sebenarnya bisa lahir dari demokrasi. Untuk mencari apakah khilafah merupakan sistem terbaik dalam mengelola negara, jangan berangkat dari dikotomi bahwa khilafah dan demokrasi merupakan dua hal berbeda. Pada prakteknya, demokrasi antara satu negara dengan negara lainnya juga berbeda-beda.

Cak Nun kembali menekankan tentang Islam yang tidak hanya dipahami sebagai identitas, tetapi dipahami sebagai peristiwa atau pekerjaan rohani. Begitu juga dengan khilafah. Khilafah dalam pemahaman sebagai sebuah sistem bisa saja berbentuk kerajaan, persemakmuran, republik, perdikan dan sebagainya. Namun substansi dari kekhalifahan akan tercermin dari perilaku para pemangku jabatan yang mengelolanya. Karena pada hakikatnya semua akan bergantung pada manusia, tidak lantas sistem khilafah kemudian negara itu dijamin menjadi baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur. Belum tentu.

Lebih lanjut, Cak Nun mengajak jamaah agar menghilangkan istilah-istilah yang hanya dipahami berdasar sifat materinya saja. Apapun saja, apabila masih dipahami sebatas materi, tidak secara rohani, maka pada pengelolaan dan aplikasinya akan berbeda. Materi sejatinya bersifat temporer, sementara. Sedangkan rohani berorientasi pada keabadian. Ketika seseorang menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan hidup, resonansinya akan menjadi tidak terbatas, karena ia bersifat rohani. Tidak bisa materi berdiri sendiri dan ruhani berdiri sendiri, keduanya harus berjodoh satu sama lain.

Menjawab pertanyaan terkait tentang 4 sistem dalam Islam (syariat, tarekat, hakikat, makrifat) dan apakah kita harus mengikuti tarekat tertentu untuk menjalani 4 sistem tersebut, secara singkat Cak Nun menjelaskan bahwa setiap manusia harus memiliki kedaulatan atas dirinya dalam memutuskan sesuatu. Seseorang salat bukan karena siapa imamnya, siapa mursyidnya, tetapi harus benar-benar berdasarkan pengetahuannya tentang salat dan berlandaskan bahwa salat itu hanya untuk Allah. Begitu pula dalam aplikasi amalan-amalan lainnya, semua harus berlandaskan bahwa ibadah sejatinya adalah untuk Allah.

“Jangan sampai terbawa arus desakralisasi, tetapi juga jangan antimateri.”
Emha Ainun Nadjib

putih sipit

TEMBOK ROHANI

Memungkasi Kenduri Cinta malam itu, Cak Nun menekankan agar memahami konsep Dajal, Yakjuj dan Makjuj hingga Imam Mahdi tidak berhenti pada pemahaman yang bersifat materi. Seperti pernyataan bahwa Dajal akan menyerang seluruh penjuru dunia kecuali Mekah dan Madinah. Lantas bagaimana bagi mereka yang berada di luar Mekah dan Madinah? Jika hanya dipahami secara materi, maka kelak Mekah dan Madinah akan penuh sesak oleh manusia yang mencari perlindungan dari Dajal. Tidaklah harus demikian, Cak Nun katakan, “Dirikanlah Kabah didalam jiwamu. Sebarkanlah jiwa Madinah dalam aliran darahmu. Mekah Madinah ada dalam dirimu.”

Yakjuj dan Makjuj dalam tema Kenduri Cinta kali ini merupakan penggambaran dari sebuah sistem ultra materialisme. Jika dulu Nabi Dzul Qarnain membangun sebuah tembok besi tembaga untuk mengurung Yakjuj dan Makjuj, maka kita juga musti melakukan hal sama namun dalam dimensi dan perspektif yang berbeda. Tembok yang kita bangun bukan tembok secara materi, kita harus membangun tembok dalam diri dengan cara memperbaiki cara pandang kita dalam memahami sesuatu.

Penyeimbangan antara jasmani dan ruhani dalam diri diperlukan agar keduanya berjodoh satu sama lain, karena perjodohan-perjodohan oleh Allah SWT akan terlihat dalam skala kehidupan yang lebih luas. Allah sendiri mencontohkan dalam kalimat basmallah, dimana Allah menyebut diri-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Buah nangka yang manis itu harus dinikmati dengan permakluman bahwa ia dibungkus oleh getah yang lengket. Buah durian yang nikmat itu juga harus kita maklumi bahwa ia dibungkus oleh kulit yang penuh duri. Dalam Alquran, Allah menegaskan: La in syakartum la aziidannakum, wa la in kafartum inna addzaabii lasyadiid. Apabila kita bersyukur, akan dipertemukan jodohnya berupa nikmat yang ditambah oleh Allah. Dan apabila kita kufur, maka kita juga akan dipertemukan dengan jodohnya yaitu siksa yang pedih.

Cak Nun membekali jamaah agar sepulang dari Kenduri Cinta tetap menyeimbangkan semua yang ada dalam diri masing-masing, agar selalu mencari dan menemukan jodohnya masing-masing. Ketika mendapati bahwa kita dianugerahi oleh Allah dengan harta yang berlimpah, maka kita harus menemukan jodohnya atas nikmat tersebut. Karena hidup harus menemukan keseimbangan antara jasmani dan rohani.

Kenduri Cinta edisi Kulitnya Putih, Matanya Sipit dipuncaki dengan sebuah ijazah yang disampaikan oleh Cak Nun dan dilanjutkan doa yang dipimpin oleh Kyai Syauqi.