Mukadimah: KULITNYA PUTIH, MATANYA SIPIT

Mukadimah Kenduri Cinta Juni 2015

Siapakah dia? Apakah dia Jibril? Apakah dia itu Adam? Atau siapakah mereka? Apakah mereka orang-orang Semit kebanyakan, yang mirip-mirip orang Yahudi itu? Mungkinkah mereka yang “kulitnya putih, matanya sipit” ini adalah para ahli surga? Jika iya, yang pesek dan berkulit coklat bukan representatif ahli surga? Atau mungkin sebaliknya, justru mereka-mereka itu para ahli neraka?

Ada persoalan apa dengan warna kulit, apa masalahnya mata sipit atau tidak? Apa kita alergi dengan kata-kata itu? Mungkin kita langsung tuning dan mengernyitkan kening saat kita mendengar tentang warna kulit, mata sipit dan semacamnya. Mungkin masih ada yang keliru dengan pemahaman kita, mungkin masih ada yang salah dengan cara kita berpikir.

Praktek perbudakan, hegemoni dan penjajahan suatu bangsa atas bangsa-bangsa lain telah kita ketahui ada sejak zaman nabi-nabi terdahulu. Bagaimana kaum-kaum selama ribuan tahun mengalami perbudakan, dari zaman Firaun, Romawi hingga zaman Nabi Muhammad, hingga pendudukan bangsa Eropa di bumi Cheyenne, Comanche, Sioux, Apache, Navajo, Pueblo, Iroquois, Huron, dan Cherokee yang kemudian mengerucut menjadi persoalan disintegrasi pada masa Abraham Lincoln (1865).

Penjajahan yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa—yang di kemudian hari mengaku sebagai bangsa Amerika—masih terus berlanjut hingga kini dan justru lebih meluas dalam wujud yang lebih canggih dan tak kasat mata; neo-kolonialisme. Penjajahan tidak lagi semata-mata sebagai pendudukan fisik, yang terjadi justru penjajahan menyeluruh di wilayah ekonomi, politik, sosial budaya, pendidikan bahkan agama.

Miris menyaksikan masih ada bangsa yang merasa superior atas bangsa lainnya. Mengaku sebagai adikuasa yang sedang menertibkan dunia, namun diam-diam memasok persenjataan dan melanggengkan pertikaian dan perpecahan. Menjadi corong nilai-nilai demokrasi, namun bertangan besi terhadap pengkritisi. Menawarkan perdamaian namun dengan ancaman peperangan. Padahal hakikatnya Tuhan menjadikan manusia berbangsa-bangsa agar kita saling mengenal dan berkasih sayang.

Setidaknya ada bagian penting dimana pikiran dan identifikasi kita jadi njlentreh dan tuntas. Sebagaimana cerita Dajjal, cerita turunnya Isa dan mungkin dalam jumlah besar yaitu Yajuj dan Majuj. Mari kita bongkar sedikit demi sedikit hal ini. Bangsa Turki dikenal anak turun Yafit (s), lalu bangsa Arab biasa dikatakan anak turun Sam, lalu Ham yang merupakan asal muasal bangsa Afrika. Ini semua rasis, ya rasis, lalu apa ini jadi persoalan? Persoalan hanya karena perlakuan sesama manusianya, kezalimannya, kesemena-menaan atas kekuasaannya.

Apa lalu “mata sipit”, “kulit putih”, “wajah kemerahan”, menjadi masalah? Apakah bukan justru itu semua adalah sebuah tanda-tanda? Allah memberikan pertanda agar manusia melakukan ijtihad. Agar pikiran kita hidup untuk melengkapi fungsi akal. Fungsi yang seringkali kebingungan mencari dirinya, dimana keberadaannya, sehingga dari kebuntuan-kebuntuan itulah akan terjawab. Jikapun tidak terjawab, Allah telah menyiapkan skenario itu, kita bisa mencarinya dalam potongan-potongan sejarah dalam Alquran. Allah telah me-review kembali semuanya melalui Alquran.

Kita tahu Yajuj dan Majuj, kita tahu kisah Sodom dan Gomorah dan gunung Vesuvius, tahu cerita Adam, cerita Isa dan sebagainya. Perdebatan asal usul manusia saja membuat seantero Eropa berselisih hingga berkelahi—perdebatan Isa melahirkan Vatikan dan Protestan. Dan, Alquran menjawabnya lagi. Bagaimana perbandingan 1.000 kaum Yajuj dan Majuj penghuni neraka dan kaum anda yang hanya 1 itu.

Bagi anda kaum saintis bisa jadi hal ini anda kategorikan klenik atau tahayul. Bahwa ada sejarah Nabi Zulkarnaen, seseorang yang berjuang di ujung Timur tengah-Turki. Juga sebelumnya muncul Yajuj dan Majuj, sebuah bangsa yang besar, ruwet, kisruh lalu perang, diajak bicara tidak bisa, diajak diplomasi ndak bisa, yang penting ngesruh. Yajuj dan Majuj tidak takut dengan manusia bumi, bahkan bala tentara langit saja ditantang tanding.

*

Sukses besarnya penjajahan di zaman ini adalah tercapainya peradaban mabuk massal, terjadinya disfungsi akal, yang saat ini menimpa hampir di setiap lapisan. Akal tidak lagi digunakan sebagai perangkat utama dalam berpikir, yang dikedepankan hanya nafsu dan persepsi. Tingkat kejengkelan, dendam, sakit hati atau mungkin kekaguman, telah mengalahkan fungsi akal. Maka sangat mungkin ketika menjumpai kata sipit yang terlintas di pikiran adalah bangsa Tionghoa—padahal Jepang, Korea, Nepal juga memiliki mata sipit juga.

Banyak realita yang menggambarkan kemabukkan massal ini, di berbagai bidang, pada berbagai macam persoalan. Kebijakan pro-pemerintah, safari wakil rakyat, mafia pemberantasan korupsi, blunder supremasi politik di atas penegakkan hukum, prostitusi surat keputusan, grabyag-grubyug pengusaha artis, pemilu canda, dependensi media, revolusi akik, bisnis Ramadan, iklan “Merokok Membunuhmu”, hingga yang hangat saat ini adalah persoalan pembekuan “Pernikahan Sederhana Sepakbola Indonesia”.

Maka jangan heran jika kita menjumpai barang yang bungkusnya putih namun isinya tidak putih, kulitnya nampak bersih suci tapi isinya busuk. Yang penting, realita itu tidak lantas menyipitkan pandangan kita, bukan menjadi bahan kebencian dalam diri kita. Buka saja lebar-lebar mata untuk kita jadikan realita itu sebagai pelajaran bagi hidup kita.

Kulitnya Putih, Matanya Sipit merupakan judul yang dipilih untuk Kenduri Cinta edisi Juni 2015, bertepatan dengan 15 tahun perjalanan Maiyah Kenduri Cinta. Judul ini juga diniatkan sebagai usaha saling ingat-mengingatkan akan datangnya Yajuj Majuj atau dikenal pula sebagai Gog dan Magog. Kenduri Cinta sebagai majelis ilmu mungkin belum mampu memperbaiki keadaan zaman, namun kita akan memastikan bersama bahwa masyarakat Kenduri Cinta bukan menjadi bagian dari yang menambah kerusakan zaman. Salam Maiyah.