BAYANG-BAYANG PARA KSATRIA

Reportase Kenduri Cinta juni 2014

Ksatria secara etimologi adalah sebuah kata sifat yang memiliki tiga makna. Yang pertama artinya memerintah, artinya ksatria adalah pelaku-pelaku kekuasaan. Makna yang kedua adalah kekuasaan yang diberkati. Makna yang ketiga adalah kuda merah. Hal ini dikarenakan banyaknya representasi lambang kekuasaan, kekuatan dan kegagahan digambarkan dengan kuda. Menurut Cak Nun, ksatria adalah seseorang yang menunaikan tugas yang diamanahkan kepadanya sampai selesai. Dari keempat makna ksatria yang dijabarkan ini, bisa disimpulkan bahwa keunggulan seorang ksatria adalah bahwa dia mampu menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas.

Ada sesuatu yang nampak berbeda dari Kenduri Cinta bulan Juni 2014 ini. Selain hari yang dipilih merupakan hari yang tidak umum sebagaimana Kenduri Cinta biasa diselenggarakan, yakni secara rutin diadakan pada hari Jumat minggu kedua, sedangkan kali ini dipilih hari Senin tanggal 16 Juni 2014. Juga setting panggung yang sedikit berbeda, dibuat lebih luas dari biasanya. Rangkaian janur (daun muda dari beberapa jenis palma besar, terutama kelapa, enau, dan rumbia) disusun menjadi berbagai bentuk kemudian digantung dengan jumlah yang cukup banyak, tersebar di berbagai sudut menjadi pemanis dekorasi sederhana namun apik.

Disudut lain tampak potongan gedebok pisang lengkap dengan wayang yang dipasang, namun kali ini bentuk dan karakter wayang berbeda dari yang biasa kita lihat pada pagelaran wayang kulit. Tak ketinggalan seperangkat gamelan sudah tersusun rapi memenuhi panggung.

Pemandangan kesibukan tersebut sudah tampak dari senin siang. Persiapan berbagai keperluan dilakukan, mulai dari pemasangan tenda, kelengkapan panggung, sound system, juga termasuk dekorasi panggung tersebut. Itu semua dipersiapkan dalam rangka memperingati 14 tahun Kenduri Cinta yang secara rutin sejak tahun 2000 di setiap bulannya menemani masyarakat dan titik lingkar Maiyah yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Hari Senin menjadi pilihan bagi Kenduri Cinta untuk memperingati kelahirannya, dan malam itu diadakan pagelaran kesenian dari Komunitas Lima Gunung yang terdiri dari seniman pekerja kesenian tradisional dan sekaligus mereka adalah para petani yang ada di daerah sekitar lima gunung di seputaran Magelang, yaitu gunung merapi, merbabu, sumbing, andong, dan menoreh. Jumlah rombongan yang mereka keluarkan untuk pagelaran Kenduri Cinta malam itu sekitar 53 orang, dengan komposisi orang dewasa dan anak-anak yang menampilkan 9 nomer pagelaran.

Kiai Kanjeng juga turut memeriahkan pagelaran kesenian tersebut, dimana pada Kenduri Cinta malam itu, Kiai Kanjeng sudah melakukan perjalanan Maiyah yang ke 3.567, walaupun jumlah tersebut masih ragu bagi personelnya sendiri, mengingat mereka melakukan perjalanan Maiyah lebih dari jumlah yang dapat dihitung, dengan jam terbang pelayanan mereka yang dijadwalkan oleh masyarakat begitu tinggi. Dari lingkar Maiyah Papperandang Ate, Mandar Sulawesi Barat, turut menampilkan teater Flamboyant yang kebetulan sedang mengikuti lomba teater tradisi di gedung kesenian Jakarta. Teater Flamboyant ini merupakan generasi keenam, sejak dirintis dari tahun 1970 oleh Ali Syahbana (alm.), kemudian mengajak Cak Nun untuk bertandang ke Mandar memberi semangat bagi tumbuhnya teater rakyat disana, yang menjadi embrio Maiyah rutin bernama Papperandang Ate.

14 tahun Kenduri Cinta menyengajakan diri untuk menyuguhkan pagelaran kesenian murni yang tumbuh dari masyarakat, rakyat Indonesia. Dari sudut-sudut terpencil Indonesia muncul manusia-manusia yang tangguh dan bersungguh-sungguh dalam berkesenian, menjadi suguhan yang jauh berbeda dari hiburan yang miris dilayar televisi kita saat-saat ini.

Ksatria tidak lagi menjadi sebuah idealisme dari sebuah perjuangan. Ksatria bukan lagi sebagai jiwa, bukan lagi sebagai sifat dan target-target pencapaian kehidupan.
Erik Supit

MUKADIMAH

Waktu menunjukkan pukul delapan malam, pelan-pelan mulai terdengar lantunan surat Yaasin bersama-sama yang dibacakan oleh para penggiat Kenduri Cinta dan jamaah yang hadir, sebagai penanda Kenduri Cinta dimulai. Setelah pembacaan surat Yaasin, jamaah diajak bersama-sama untuk melafalkan salawat Indal Qiyam yang dipimpin oleh Ustaz Noorshofa.

Usai salawat Indal Qiyam dilanjutkan dengan pembahasan tema 14 tahun Kenduri Cinta, yaitu Bayang-bayang Para Ksatria. Ustaz Noorshofa mencoba menjelaskan makna ksatria dari sudut pandang Islam. Dalam sebuah hikayah, saat rasulullah berkumpul dengan para sahabat tiba-tiba malaikat Jibril datang menghampiri dan memerintahkan rasulullah untuk berdiri dan menengadahkan kepala. Yang dilihat oleh rasulullah kemudian bukanlah apa yang ada disekitarnya saat itu yaitu para sahabat, namun rasulullah justru melihat pemandangan yang akan terjadi di padang mahsyar. Satu pertanyaan yang ditanyakan oleh rasulullah adalah “aina ummatii”, dimana umatku? Inilah ciri pertama ksatria dalam Islam. Ia mengutamakan umatnya daripada dirinya sendiri. Jibril kemudian menunjukkan sebuah kumpulan manusia dan mengatakan “Itulah umatmu ya rasulullah, dan diantara umatmu itu terdapat 70 ribu manusia yang akan masuk surga tanpa dihisab.”

Ustaz Noorshofa menambahkan, ciri-ciri ksatria dalam Islam setidaknya ada tiga; pertama, orang-orang yang apabila merasakan penderitaan, tetapi mampu menikmati penderitaan tersebut. Kedua, orang-orang yang tidak pernah merasa berjasa kepada manusia lainnya dalam hidupnya. Ketiga, orang-orang yang tidak menggantungkan hidupnya kecuali kepada Allah SWT.

Erik Supit menambahkan penjelasan tentang ksatria yang pernah menjadi perdebatan di awal abad ke-20 ketika negeri ini masih bernama Hindia-Belanda, saat itu muncul pelopor-pelopor yang terdidik secara Eropa dan memperoleh akses pendidikan bagus yang disediakan oleh Belanda. Dulu kita mengenal Cipto Mangunkusumo, Cokroaminoto dan kawan-kawan, saat itu mereka berjuang melalui jalannya masing-masing untuk meraih sebuah idealisme agar mereka dianggap sebagai ksatria oleh rakyat. Definisi ksatria saat itu adalah seseorang yang melawan kebijakan-kebijakan kolonial saat itu hingga akhirnya mereka dibuang atau diasingkan. Hampir semua orang pada saat itu berlomba untuk dibuang atau diasingkan. Setelah tahun 1920, orang-orang berlomba bukan hanya untuk diasingkan atau dibuang melainkan dibunuh.

Pada saat itu, untuk mencapai tingkat dibuang, diasingkan, dipenjara bahkan dibunuh karena mempertahankan perlawanan mereka terhadap pemerintahan kolonial bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Setelah Indonesia merdeka, kata ksatria ini mengalami kemunduran makna menjadi perjuangan-perjuangan yang bersifat intelektualitas, sehingga sudah tidak ada lagi keinginan untuk dibuang atau diasingkan apalagi dibunuh. Artinya dalam beberapa zaman sebelum kita sekarang, kata ksatria ini sudah menjadi cita-cita bagi sebagian orang, karena pada saat itu untuk dibuang, diasingkan bahkan dibunuh demi memertahankan idealismenya dan membela rakyat atas kebijakan kolonial saat itu bukanlah hal yang gampang. Dan setelah orde lama, ksatria mengalami penurunan makna. Dia hanya sebagai sebuah kata yang digunakan untuk menyebutkan kelas sosial dan mitos. Ksatria tidak lagi menjadi sebuah idealisme dari sebuah perjuangan. Ksatria bukan lagi sebagai jiwa, bukan lagi sebagai sifat dan target-target pencapaian kehidupan. Jika dahulu ksatria itu identik dengan orang yang konsisten untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas, maka sekarang kita akan merasa aneh jika menyematkan kata ksatria kepada tokoh-tokoh yang kita lihat sekarang di Indonesia pada umumnya. Karena kebanyakan dari mereka saat ini lebih bernafsu untuk memuaskan hawa nafsunya sendiri daripada menyelesaikan cita-cita dan pekerjaan yang sedang ia hadapi.

10295503_10152496699372139_2584316219160393345_o (1)

Illustrasi: Erik Supit

Jangan mengalami apapun tanpa mendapatkan kunci maknanya.
Emha Ainun Nadjib

KSATRIA-KSATRIA LIMA GUNUNG

Pukul sembilan malam, Cak Nun dan Tanto Mendut (Presiden Komunitas Lima Gunung) naik ke atas panggung untuk langsung memandu pagelaran kesenian dari komunitas Lima Gunung mementaskan beberapa jenis kesenian khas dari daerahnya masing-masing, seperti: Tembang Gunung, Soreng Anak Gadis, Karawitan Tari, Warok Anak Hip-hop, Puisi Atika dan Teater Kawan Taufik, Kipas Mego, Wayang Gunung dengan dalang Pak Sih Agung, Gupolo Gunung, dan Kuda Lumping.

Tanto Mendut sebelumnya diminta oleh Cak Nun untuk merespon tentang acara Kenduri Cinta. Tanto katakan bahwa saat ini kita melihat banyak wajah di Indonesia. Wajah-wajah yang bermunculan saat ini justru lebih terkesan sebagai wajah yang tidak orisinal. Tema Bayang-bayang Para Ksatria yang diusung Kenduri Cinta memang mencoba menggali lebih dalam makna ksatria dalam kehidupan saat ini, terutama di Indonesia. Pak Sih Agung sebagai dalang Wayang Gunung menjelaskan bahwa seorang ksatria adalah seseorang yang konsisten dalam menyelesaikan pekerjaan yang sedang ia kerjakan, tidak peduli dengan kesulitan yang ia hadapi, ia tetap berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, singkatnya ia memiliki konsistensi untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Yang diperdebatkan oleh banyak orang saat ini hanya satu-dua wajah saja saat ini, sedangkan ribuan wajah lainnya justru tersingkirkan. Tanto menambahkan, bahwa komunitas Lima Gunung sejak tahun 2002 mereka konsisten mengadakan festival lima gunung di setiap tahunnya.

“Jangan mengalami apapun tanpa mendapatkan kunci maknanya,” ungkap Cak Nun. “Dari tari kita bisa menarik benang merahnya ke dalam kehidupan, dari gerak bisa kita terjemahkan ke manajemen, dari pose badan bisa diterjemahkan ke dalam nasionalisme jika anda memiliki kemampuan asosiasi dan intelektualisme yang baik.”

Tembang Gunung (Tembang Desa Kuno) yang dibawakan oleh teman-teman dari lereng merbabu menjadi suguhan pertama dari Komunitas Lima Gunung, orang dewasa maupun anak-anak berjajar gagah dengan kostum yang berwarna cerah lengkap dengan wajah yang dirias sedemikian rupa sesuai dengan karakter yang dimainkan, membawakan Tembang Gunung secara serempak. Kemudian langsung disambung oleh pemuda-pemudi yang membawakan Soreng Anak Gadis dengan luwes. Karawitan tari persembahan dari lereng gunung menoreh tak luput untuk dibawakan. Kolaborasi antara gunung menoreh dan andong membawakan Warok Anak Hip-Hop, dengan perpaduan tradisi dan modern, dimana tampak anak-anak menggunakan kaos garis-garis lengkap dengan kupluk berwarna putih dengan dandanan yang lucu, dibawakan sembari menggelembungkan mulut sepanjang menari, bergerak riang, jenaka, dan lincah. Seorang lagi dengan karakter kostum lebih modern lengkap dengan kacamata hitam menari ala breakdance, sungguh perpaduan yang unik menyegarkan, memberi oase baru ditengah-tengah keringnya kesenian murni disekitar kita terutama di Ibukota.

Setelah jamaah terhibur dengan penampilan Warok Anak Hip-Hop, kini jamaah diajak masuk ke ruang perenungan dengan pembacaan Puisi Atika dan Teater Kawan Taufik dari studio Mendut Menoreh, dengan suara yang lantang puisi dibacakan oleh seorang gadis belia, dipadu padankan dengan gerak teatrikal juga musikalisasi yang mendukung sebagai visualisasi dari puisi tersebut, membuat jamaah terdiam mengikuti bait demi bait yang dibacakan. Setelah pembacaan puisi, ibu-ibu dari lereng Merbabu tampil membawakan Kipas Mego, dengan anggun membawakan gerakan dengan rasa kebanggaan tersendiri mereka tumbuh sebagai ibu-ibu dari pedesaan yang tangguh.

Universitas Maiyah itu bukanlah satu rumah dengan banyak ruangan, melainkan satu ruangan yang sama dengan pintu yang banyak. Banyak orang pintar, tapi kepintarannya adalah kepintaran sekolahan bukan kepintaran kehidupan.
Emha Ainun Nadjib

WAYANG GUNUNG

Di tengah pagelaran, Cak Nun meminta jeda dan mengajak beberapa pelaku kesenian dari Komunitas Lima Gunung untuk mempraktekan pose-pose atau patrap-patrap kekhusyukan, kegagahan, kekuatan, dsb. Patrap-patrap inilah yang sebenarnya orisinal milik Indonesia. Sehingga seharusnya Indonesia memiliki sikap kegagahan ketika menghadapi bangsa lain.

Menurut Cak Nun, Indonesia sekarang sudah kehilangan aura ksatria dalam kehidupan sosial, politik dan budaya. Dan sekarang, menurut Cak Nun kita berada di puncak hari-hari yang penuh kepalsuan, namun kehadiran komunitas Lima Gunung di Kenduri Cinta malam ini adalah bukti bahwa kita dihadirkan sesuatu yang orisinal dari Indonesia yang sebenarnya.

Komunitas Lima Gunung kemudian melanjutkan dengan mementaskan Wayang Gunung dengan dalang Pak Sih Agung, wayang yang ditampilkan tampak unik, tidak seperti tokoh wayang pada umumnya yang sering kita saksikan, wayang yang dimunculkan menjadi sebagai tokoh yakni berbentuk serangga, mengangkat lakon Konsistensi, disuguhkan dengan jenaka dan menghibur.

Dalam pementasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sejatinya semua makhluk di dunia ini hanya dituntut konsistensinya sebagai makhluk Tuhan. Yang menjadi orong-orong harus konsisten menjadi orong-orong yang hidup di alam tanah, tidak boleh melanggar aturan dengan melenceng dari apa yang digariskan, misalnya memilih hidup di air. Begitu juga dengan manusia, kita dituntut untuk konsisten menjadi manusia.

Cak Nun kemudian meminta seorang jamaah untuk merespon tema. Salah satu jamaah mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu Cak Nun saat acara maiyahan di Malang mengatakan bahwa setiap kita harus mengetahui siapa diri kita. Jangan kemudian kita mengira diri kita burung, padahal sebenarnya kita adalah ayam. Ayam tidak akan bisa terbang, sehingga ia tidak bisa berangan-angan bahwa dirinya adalah burung. Pak Sih Agung menambahkan bahwa orong-orong adalah orong-orong yang harus konsisten sebagai orong-orong. Pak Sih Agung mengatakan bahwa saat ini semua orang di Indonesia dipaksa untuk tidak konsisten agar menjadi satu jenis yang sama. Padahal setiap manusia memiliki kelebihan masing-masing yang berbeda satu sama lain. Bahkan dalam segala hal semua orang dipaksakan untuk sama.

Cak Nun merespon pernyataan Pak Sih Agung dengan menjelaskan bahwa itu semua terkait tentang konsep kurikulum pendidikan yang seharusnya mampu mengetahui bahwa setiap murid memiliki sifat dan kelebihan yang berbeda satu sama lain. Namun yang terjadi sekarang adalah, setiap murid dipaksakan untuk menguasai semua mata pelajaran. Pak Sih Agung mengatakan bahwa pengalaman dirinya sebagai seorang guru, beliau tidak setuju dengan konsep ujian nasional yang ada saat ini. Ujian nasional yang ada sekarang memaksa semua murid untuk menguasai semua mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Bukankah setiap murid memiliki kemampuan masing-masing yang berbeda. Ada yang hanya menguasai matematika saja, ada yang hanya menguasai bahasa Indonesia saja dan seterusnya.

Cak Nun menambahkan, bahwa filosofi pendidikan nasional kita sekarang ternyata tidak mengenal filosofi serangga seperti yang dipentasakan oleh Pak Sih Agus dalam Wayang Gunung tadi. Dalam Islam, ada kewajiban dari Tuhan yang manusia bisa memilih untuk melakukan atau tidak. Namun ada juga perintah dari Tuhan yang mau tidak mau harus dilakukan oleh manusia. Hal ini berlawanan dengan fakta yang ada di Indonesia saat ini. Tayangan di televisi mengarahkan kita untuk menjadi bukan kita yang sebenarnya. Kita dijauhkan dari aslinya kita sendiri untuk kemudian dipaksa menjadi orang lain.

Sebagai pemuncak pagelaran dari komunitas Lima Gunung, menampilkan tarian Gupolo Gunung dan Kuda Lumping. Dengan mengenakan kostum layaknya seorang raksasa, dilengkapi tata rias yang sangar, menari dengan bahu yang membusung dada, setiap gerakan penuh kepastian, tidak ada keragu-raguan. Menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia, menggambarkan watak-watak manusia nusantara yang gagah, yang itu semua saat ini sudah sukar untuk didapati.

Pendidikan kita saat ini menanam buah, bukan menanam benih. Seharusnya, pendidikan itu menanam benih dimana muridnya adalah tanah-tanah yang akan ditanami benih.
Emha Ainun Nadjib

Setelah rangkaian pagelaran kesenian Komunitas Lima Gunung, teater Flamboyant Mandar mementaskan lakon Koayang. Tema ini diangkat oleh teater Flamboyant sebagai gambaran menghadapi situasi politik Indonesia saat ini, dimana Indonesia sedang menyambut pesta demokrasi pemilihan presiden. Dimana setiap kandidat mengumbar janji-janji mereka dihadapan para rakyat untuk mendulang suara agar mereka terpilih pada hari pemilihan presiden.

Koayang adalah seni tradisi dari tanah Mandar diilhami dari seekor burung besar yang berpatuk panjang yang terbang dengan sekuat tenaga, yang diwujudkan dalam kostum para pemain, juga tak lepas irama musik Mandar yang kental menjadi pelengkap pementasan tersebut. Dalam pementasan tersebut, Koayang yang kuat tadi, oleh Tuhan diruntuhkan seluruh bulunya dan mentakdirkannya jatuh sebelum menggapai arsy. Seni tradisi ini sering dimainkan malam sebelum hajatan besar. Teater Flamboyan yang hadir di Kenduri Cinta malam itu adalah generasi keenam dari teater Flamboyant.

“Pendidikan kita saat ini menanam buah, bukan menanam benih. Seharusnya, pendidikan itu menanam benih dimana muridnya adalah tanah-tanah yang akan ditanami benih. Namun sekarang pendidikan kita menanam buah kepada murid-muridnya. Maka seorang murid sekarang itu pintarnya karena pintar sekolahan, bukan pintar kehidupan. Kesalahan kita bersama sekarang adalah menanam buah.

“Pemerintah adalah petani yang menanam benih kepada rakyatnya, bukan justru mengambil buah dari rakyat sementara benihnya dijual ke negara lain. Hidup itu sangat luas dengan dimensi yang berlapis-lapis. Lapisan tersebut jangan dibayangkan secara materiil,” sambung Cak Nun.

Memasuki tengah malam, jamaah masih tampak memenuhi pelataran parkir Taman Ismail Marzuki, mengenai hari penyelenggaraan Kenduri Cinta yang berubah menjadi hari Senin tidak menjadi kendala bagi mereka untuk tetap antusias mengikuti Kenduri Cinta. Belum lagi sejak magrib Jakarta diguyur hujan deras, dan hanya disekitar Taman Ismail Marzuki yang terang, sesekali gerimis datang, lalu pergi sepanjang Kenduri Cinta, itu pun tak mengganggu jamaah, seolah jamaah sudah paham bagaimana menyikapinya, hanya perlu sedikit mengatur duduk, lalu kembali menyimak rangkaian demi rangkaian maiyahan.

Setelah jamaah diajak masuk ke ruang pagelaran dari Komunitas Lima Gunung dan teater Flamboyant. Dimana sembilan suguhan dari Komunitas Lima Gunung memiliki pintu-pintu yang berbeda, memasuki suasana yang berbeda pula, seolah mengajarkan dan mengingatkan kita akan kekayaan bangsa ini melalui karya-karya murni dari manusia nusantara. Wahyu kemudian membawakan puisi karya Cak Nun yang berjudul La Indonesia illa Nusantara, sebagai penghantar ke ruang selanjutnya.

SERIUS DALAM PERMAINAN

Kenduri Cinta malam itu kian lengkap dengan penampilan dari Inna Kamarie and Jasm Project membawakan beberapa nomor Jazz bersama Beben Jazz, seperti Summer Time, Julia, dan beberapa nomer lainnya. Beben Jazz dan Inna Kamarie bercerita mengenai pengalaman-pengalamannya selama bermaiyah, yang hampir selalu berhubungan dengan keluarga Maiyah Nusantara. Seringkali Beben Jazz dan Inna Kamarie bertemu dengan sahabat-sahabat Maiyah di berbagai tempat.

Cak Nun mencoba untuk mencari tautan dari semua suguhan malam ini melalui penjelasan tentang surat Al-An’am ayat 32. “Dan tiadalah kehidupan di dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”

Cak Nun memberikan sebuah perumpamaan dengan pertandingan sepak bola. Sejatinya, sepak bola itu hanyalah permainan namun dalam permainan tersebut kita tidak boleh main-main. Permainan sepak bola harus dimainkan dengan serius. Kemudian Cak Nun meminta Zainul Kiai Kanjeng membacakan tilawah surat Al-An’am ayat 32. Kiai Muzammil, Habib Anis, dan Ustaz Noorshofa bergabung bersama Cak Nun, Novia Kolopaking, Beben Jazz juga Inna Kamarie. Kiai Kanjeng dan Novia Kolopaking yang sudah sejak awal ditunggu-tunggu oleh jamaah tampil dengan membawakan beberapa nomor; Lukaku-Lukamu, Manusia, Sholawat Nabi dan Give me one Reason.

Kembali kepada pembahasan surat Al-An’am ayat 32, Habib Anis kemudian diminta oleh Cak Nun untuk mengungkapkan refleksi dari surat tersebut. Menurut Habib Anis, ketika kita menikmati musik yang dibawakan Kiai Kanjeng, Habib Anis merasakan semburan cahaya yang sangat kuat yang muncul dari interaksi seluruh jamaah yang hadir. Dalam tasawuf terdapat terminologi sama’, yaitu mendengar. Ketika kita berinteraksi mendengarkan musik, setiap kita melakukan proses pelepasan-pelepasan energi yang kemudian terjadi proses pensucian dan pembersihan. Hal ini seharusnya yang menjadi pola dasar dalam kehidupan kita. Dalam Surat Al-An’am ayat 32, kenapa setelah main-main dan senda gurau berakhir di akhirat, bukankah kehidupan hanya main-main?

Habib Anis melanjutkan, dalam sebuah permainan ada interaksi dua pihak, ada suka ada duka, ada nikmat ada derita, ada siang ada malam dan seterusnya. Dalam sebuah permainan akan menjadi bermakna seperti seekor burung yang memiliki sayap yang kemudian digunakan untuk terbang. Setiap kita sebagai manusia harus bisa terbang dengan dua pihak dalam permainan itu tadi. Menurut Habib Anis, dinamisnya kehidupan dengan adanya nikmat dan derita, suka dan duka, siang dan malam, disitulah manusia akan memahami arti kehidupan yang sebenarnya. Sehingga akhirnya, kita mampu memahami bahwa akhirat adalah tempat yang lebih bermakna dari dunia yang sekarang kita tempati ini.

Kyai Muzammil pada kesempatan berikutnya, menjelaskan tentang takwa. Selama ini takwa selalu dikonotasikan dengan kata takut kepada Allah. Menurut Kyai Muzammil, kata takwa berasal dari waqoo-yaqii kemudian berkembang menjadi ittaqoo-yattaqii. Lebih tepat artinya adalah waspada. Dari ayat ini kita harus menyadari bahwa benar-benar dalam kehidupan ini adalah main-main. Kyai Muzammil mencontohkan bahwa sepak bola adalah sebuah permainan, namun kita harus bisa mengambil pelajaran spiritualisnya dari sepak bola itu sendiri. Dalam sepak bola ada kalah dan menang. Dimana dalam permainan tidak ada seorangpun yang bisa mengontrol hasil akhirnya. Kalah atau menang akan ditentukan oleh siapa yang lebih waspada. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kehidupan hanyalah main-main dan senda gurau, namun akhirat adalah hasil akhir yang terbaik bagi mereka yang waspada.

Cak Nun menarik garis lurus dari kalimat “main-main” dan “senda gurau” dengan kata “takwa” dalam ayat Al-An’am 32 tadi, bahwa kehidupan ini memang sejatinya adalah main-main dan senda gurau, namun setiap kita harus memiliki semacam kuda-kuda yang namanya takwa, karena pada akhirnya nanti kita akan menuju akhirat yang kekal. Menurut Cak Nun, takwa adalah sebuah sikap dimana kuda-kuda kita berada dalam kondisi yang tepat.

Habib Anis menambahkan bahwa sejatinya, setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh manusia adalah permainan. Dalam permainan tersebut, manusia harus menyadari bahwa dia sedang bermain atau berperan sebagai apa yang ia perankan. Habib Anis mencontohkah, seorang presiden seharusnya menyadari bahwa dia sedang bermain dan berperan sebagai seorang presiden. Bukan merasa menjadi presiden. Jika dia terlalu serius merasa menjadi presiden, dia akan lupa bahwa dia hanya sedang berperan sebagai presiden. Sehingga dia berpotensi berbuat zalim ketika menjadi presiden.

Orang hidup itu harus dengan akal dan ilmu. Pada saatnya nanti akal dan ilmu sudah tidak berguna, dan yang dibutuhkan adalah takwa.
Emha Ainun Nadjib

Cak Nun lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Indra Sjafri pelatih tim nasional Indonesia U-19. Di hadapan Cak Nun, Indra Sjafri mengungkapkan ketersinggungannya ketika permainan U-19 dianggap menyerupai Barcelona. Indra Sjafri membantah pernyataan banyak orang tersebut bahwa permainan U-19 mirip dengan Barcelona. Pelatih Indra Sjafri menjawab dengan ilmiah dan ideologis. Secara ilmiah, permainan sepak bola yang sebenarnya adalah memang seperti yang dimainkan oleh timnas U-19 saat ini, tidak ada urusan dengan Barcelona. Secara ideologis, sepak bola Indonesia menurut Indra Sjafri tidak mengalami kemajuan karena sepak bola Indonesia selama ini tidak menjadi dirinya sendiri. Selama ini PSSI berkiblat pada Eropa dan Amerika Latin untuk dijadikan patokan, sehingga sepak bola Indonesia tidak menjadi dirinya sendiri. Indra Sjafri menolak cara itu, sehingga ia blusukan hingga pelosok-pelosok desa untuk mencari pemain yang mau menjadi dirinya sendiri, bukan berkiblat kepada bangsa lain.

Menurut Cak Nun, hal seperti ini yang harus dilakukan oleh Indonesia saat ini, bukan hanya dibidang sepak bola. Selama NKRI masih berkiblat kepada bangsa lain dan tidak mau menjadi dirinya sendiri, maka Indonesia tidak akan mencapai puncak kejayaan karena dirinya penuh dengan kepalsuan yang bukan dirinya sendiri. “Orang hidup itu harus dengan akal dan ilmu. Pada saatnya nanti akal dan ilmu sudah tidak berguna, dan yang dibutuhkan adalah takwa,” lanjut Cak Nun.

Kiai Kanjeng kemudian membawakan lagu Ingsun Amemuji Asmaning Allah karya Cak Nun, disusul lagu Assalamu‘alaika aransemen Mandar dan sebuah lagu dari Filipina, Ang Bayan Po.

Melanjutkan diskusi, Ustaz Noorshofa ikut menjabarkan tentang takwa, beliau memberikan kata kunci sami’na wa atho’na. Ustaz Nurshofa mencontohkan tentang Nabi Musa yang sebenarnya tidak tahu bahwa tongkatnya tidak bisa membelah lautan, namun setelah Nabi Musa mencapai tingkatan takwa, maka Allah memberikan tanda bahwa tongkatnya tersebut bisa membelah lautan. Seperti halnya Nabi Nuh yang diperintahkan membangun bahtera diatas gunung, juga Nabi Ibrahim yang sebelumnya tidak pernah tahu bahwa akhirnya Nabi Ismail ketika akan disembelih kemudian digantikan dengan seekor domba. Dalam kehidupan yang penuh permainan ini seringkali kita mendapatkan kejutan-kejutan yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya. Ketika kita sudah sami’na wa atho’na, maka Allah akan memberikan kejutan-kejutan yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya.

Merespon uraian Ustaz Noorshofa, Cak Nun mengatakan bahwa hal tersebut akan sedikit menyulitkan ketika yang dihadapi adalah masalah madaniyah. Jika dalam urusan makkiyah, kita sudah sangat paham bahwa yang akan kita taati adalah Allah. Berbeda jika sudah berhubungan dengan urusan madaniyah atau urusan muamalah sesama manusia. Dalam pilpres misalkan, kita tidak bisa menentukan akan taat kepada siapa untuk memilih calon presiden yang tepat. Berbeda dengan nabi yang memiliki privilege untuk melakukan sesuatu seperti Nabi Musa ketika diperintahkan membelah lautan misalnya.

EPILOG

Iswan berbagi pandangannya mengenai politik Indonesia saat ini. Menurut Iswan, di Maiyah Kenduri Cinta ini jamaah akan belajar banyak hal. Dalam surat At-Tiin dikatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan yang sebaik-baiknya penciptaan. Tentang fenomena politik di Indonesia saat ini, Iswan mengingatkan jamaah bahwa demokrasi tidak akan melahirkan seorang pemimpin yang sempurna. Indonesia saat ini akan mendapatkan presiden yang tidak sempurna. Kedua kandidat memiliki kelemahan masing-masing. Dari kedua kandidat tersebut tidak ada yang sempurna. Maka, sebagai rakyat kita akan dituntut untuk memaklumi ketidaksempurnaan presiden Indonesia yang akan datang. Dan ini semua terjadi tidak hanya di Indonesia. Di Kanada, perdana menteri yang terpilih adalah seorang wanita lesbian. Namun, rakyat di propinsi Otario memilihnya menjadi perdana menteri.

Permasalahan di Indonesia adalah kenapa di negeri yang sebesar ini hanya memunculkan dua pasang calon yang kita lihat sekarang ini. Ibarat makanan, rakyat sekarang ditawarkan dua jenis makanan yang sama-sama tidak enaknya dan tidak sehatnya namun harus dimakan agar mampu bertahan hidup.

Cak Nun menjelaskan, dalam hidup ada orang yang tugasnya adalah mendobrak. Orang ini jangan diminta untuk memperbaiki. Ada orang yang tugasnya mencetuskan, mempelopori. Orang ini jangan diperintah untuk mendirikan. Ada orang yang tugasnya mendirikan dan ada orang yang tugasnya memelihara.

Tak terasa waktu mengarah pukul 03:27 WIB, pagelaran dalam rangka 14 tahun Kenduri Cinta ini mencapai puncaknya, Cak Nun membawakan nomor Hubbu Ahmadin bersama Kiai Kanjeng, yang ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Ustaz Noorshofa. Pada akhir acara, jamaah dipersilakan menikmati ambengan yang sudah disediakan oleh penggiat Kenduri Cinta. [FA]