Zainul, Suoromu Nok Getihku

Mengenang Muhammad Zainul Arifin

Senja kala di akhir 1990-an. Hari belum beranjak malam. Bulan tak malu-malu lagi. Wajahnya penuh. Bulan terlihat terang, bulatannya terlihat jelas. Cantik. Ya ini pertengahan bulan. Rembulane padhang.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar….”

Terdengar seruan azan dari loud speaker mushala. Alunan suaranya bening, sangat arabic. Langgam arab.

Hayya’alas-shalah…”
Hayya’alas-shalah...”

Dari dalam rumah ada yang tersentak. Isapan rokok berhenti. Menyimak. Tak lama terdengar iqamah. Shaf-shaf telah penuh. Salah satu memberanikan diri maju ke depan sebagai imam. Sebelumnya terjadi adegan saling tunjuk untuk memimpin salat. Para makmumlah yang menunjuk seorang imam. Ada kesepakatan, siapa yang paling fasih dan dianggap matang, dialah yang diangkat sebagai imam.

Waktu Isya pun menjelang. Kembali terdengar alunan suara azan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar.…”

Lagi, yang di dalam rumah tersentak. Kopi tinggal separo. Rokok masih menyala di asbak.

Laa ilaha illa-llah….”

Entah berbicara kepada siapa. Seolah berteriak.

Sopo rek sing azan?”
Mboten ngertos, Cak,” seseorang menjawab.
Tulung, panggilen rene!”
Nggih, Cak.”

Di balik dedaunan, bulan masih memancarkan kejelitaan wajahnya. Padhang rembulane. Pengajian Padhang Mbulan belum dimulai. Jamaah sudah memenuhi pelataran mushala. Di jalanan sepeda motor berderet rapi terparkir. Beberapa mobil bus angkutan dan truk bak terbuka berhenti di pinggir-pinggir sawah.

“Namamu siapa?”
“Zainul, Cak, Zainul Arifin…”

Begitulah. Kemudian, Zainul yang masih sangat belia diminta oleh Emha Ainun Nadjib — yang sejak mendengar alunan suara azan tadi merasa tersentak dan kagum — untuk menemani Emha keliling, terutama waktu itu, di pelosok-pelosok Jakarta.

Jakarta, ibukota negara, sedang dirundung banyak masalah. Mahasiswa dan aktivis-aktivis politik menggalang demonstrasi. Rakyat makin mudah tersulut emosi. Angkutan umum misalnya, kecelakaan menabrak orang dan korban meninggal, mobilnya dibakar. Maling ketangkap digebuk sampai babak belur.

Zainul melengkapi pelantun shalawat, yang selama ini bersama Emha: Haddad Alwi, Ki Sudrun, Muhammad Adib dan Kurnia. Atas prakarsa Adil Amrullah, bersama beberapa aktivis mahasiswa dari Malang: Andy Subiyakto, Mukhammad Ilham dan beberapa kawan lain di Jakarta; membangun wadah HAMAS (Himpunan Masyarakat Shalawat) untuk me-manage kegiatan Emha dengan atau tanpa Kiai (Mini) Kanjeng.

Di kota asalnya, Mojokerto, Zainul dikenal sebagai qori. Yakni tilawah atau membaca ayat-ayat suci Alquran dengan teknik, gaya dan cengkok lisanul arabi. Ada 7 (tujuh) tradisi maqam tilawah, yang masing-masing berbeda genre-nya. Ketujuh maqam tilawah: bayati, shoba, nahawand, hijaz, rost, sika dan jiharka. Dan Zainul menguasai keseluruh maqam tilawah tersebut.

Dalam satu kesempatan di Kenduri Cinta beberapa bulan lalu, Emha pernah mengeksplor kemampuan Zainul mengambil contoh-contoh nada tilawah, lalu disambung eksplorasi nada-nada penyanyi jazz Inna Kamarie, hasilnya adalah tepuk tangan seluruh jamaah maiyah Kenduri Cinta.

Zainul adalah seorang guru bagi qori-qori muda dari berbagai daerah yang akan ikut lomba MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) baik untuk tingkat nasional maupun internasional. Disamping itu, Zainul membina grup-grup shalawat. Zainul, diluar Kiai Kanjeng, juga beberapa kali rekaman dengan grup yang dipimpinnya, Kanjeng Sunan. Sulis, pelantun shalawat, yang selama ini dikenal berduet dengan Haddad Alwi dalam album Cinta Rasul, pernah berkolaborasi dengan Zainul dalam salah satu albumnya.

Dalam tur-tur Emha dan Kiai Kanjeng ke seluruh penjuru tanah air dan beberapa kali ke luar negeri; Mesir, Abu Dhabi, Inggris, Vatikan, Belanda, Finlandia, Malaysia, Hongkong, Macau, Taiwan; Zainul salah salah satu vokalis andalan Kiai Kanjeng, berdampingan dengan Islamiyanto, Imam Fatawi, Doni (eks vokalis band Seventeen), Nia, Yuli, Alay Nugroho; juga vokalis lain sebelumnya: Haddad Alwi, Yudhi Nasution, Seteng Yuniawan dan Ananto Wibowo (keempat terakhir sudah tak bergabung lagi).

Di negara-negara Timur Tengah, sebagai pusat kebudayaan Arab — Zainul yang kemampuan komunikasi berbahasa Arabnya minim — justru sangat dielu-elukan karena kemampuan mengolah suara yang “sangat Arab”. Langgam Arabic. Di Maroko misalnya, Zainul membawakan lagu yang sangat familiar bagi masyarakat setempat, Allah Ya Maulana, mendapat aplus meriah. Driss Ouaouicha, Rektor Universitas Al Akhawayn, Maroko, meminta untuk bertemu dengan Zainul. Rektor bersama ketua lembaga bahasa universitas tersebut terkagum-kagum terhadap suaranya dalam membawakan suluk-suluk atau lagu-lagu berbahasa Arab. Di Hongkong, para TKW yang menghimpun dalam jamaah Maiyah (yang menamakan diri Kenduri Cinta Hongkong) sangat enjoy dengan Zainul.

Kabar itu bagai halilintar. Semua terkejut. Muhammad Zainul Arifin, yang telah terbaring sakit selama hampir sebulan, dikabarkan menghembuskan nafas terakhir di RS Haji Sukolilo, Surabaya, 13 Juni 2015, pukul 20:05. Ia lebih dirindui oleh Tuhan-nya. Allah bersegera ingin bertemu seorang makhluk-Nya yang sangat indah ketika melantunkan firman-firman-Nya. Allah ingin mendengar secara langsung alunan nada-nada kekasih-Nya.

Suoromu nok getihku. Awakmu yang mengajarkan aku shalawatan…” sambil terisak Emha mengantarkan ke liang lahat.

Zainul, engkau telah kembali. Suara indahmu abadi dalam batin-batin jamaah Maiyah. Dalam kalbu orang-orang di sekelilingmu yang sangat mencintaimu. Jelas, kami merasa kehilangan. Namun kami ikhlas, karena meyakini dengan sepenuhnya bahwa engkau bahagia di sisi Tuhan-mu. Engkau tak pernah merasa sakit, karena sakitmu kalah dengan cintamu terhadap-Nya. Engkau, bahkan di akhir-akhir kehidupanmu, menciptakan syair-syair puja-puji kepada Allah dan Muhammad, kekasih.