REJEKI RASA

Reportase Juguran Syafaat Juni 2015

Musim kemarau memasuki waktunya. Jika siang cuaca begitu panas, maka malam hari udara dingin semribit menghempas ke setiap arah. Namun itu tidak menyurutkan dulur-dulur Purwokerto dan sekitarnya untuk menggelar acara rutinan Maiyah Juguran Syafaat. Bertempat di pendopo Ex Kotatip Purwokerto (sekarang pendopo Wakil Bupati Banyumas), tepat pukul 20.30 Juguran Syafaat dimulai. Tak terasa malam itu adalah pertemuan ke-27. Tema yang diusung kali ini adalah Rejeki Rasa. Dibuka dengan pembacaan surat Yasin, ditujukan kepada Almarhum Mas Zainul, vokalis Kiai Kanjeng yang baru berpulang ke rahmatullah, dilanjutkan dengan Wirid Padhang mBulan.

Juguran Syafaat malam itu kedatangan tamu, beliau bernama Jack alias Joko, seorang musisi Purbalingga yang banyak menggawangi beberapa band terbaik di Purbalingga pada era 90-an. Jack malam itu membagikan pengalamannya bermusik. Dalam bermusik dia diajarkan untuk tidak egois atau menang sendiri. Jalan kesuksesan tidak bisa kalau tidak taat kepada kebaikan itu sendiri. Misal, orang mau suaranya bagus maka tidak bisa disambi dengan minum minuman keras, sebab hal itu akan merusak pita suara.

Malam itu, dengan permainan gitar akustiknya yang penuh skill tinggi, Jack membawakan beberapa lagu karyanya. Ki Ageng Juguran ikut berkolaborasi, berturut-turut mereka bawakan selawatan An Nabi, Shallahu Ala Yassin dan lagu Juwita Malam karya Ismail Marzuki, Ayah Aku Mohon Maaf karya Ebiet G Ade, Child karya Freddie Aguilar dan Cinta di Ujung Jalan yang vokalnya diisi oleh Tita.

Juguran Syafaat malam itu terlihat lebih banyak menampilkan musik lebih dari biasanya hal ini sebagai bentuk apresiasi atas kegembiraan dalam memasuki bulan Ramadan.

“Inalillahi Wa Ina Ilaihi Rajiun. Tuhan bukan hanya sebagai angan belaka tapi pernah menjadi kenangan masa lalu. Itulah kenangan sejati kita, dimana ketika kita bahagia dan tentram saat bersama-Nya.”
Agus Sukoco

rejeki rasa

KEBAHAGIAAN SEJATI

Kebahagiaan sejati itu berada di kedalaman. Kebanyakan orang masih salah sangka dan keliru untuk mendapatkan kebahagiaan sejati, yang kita lakukan adalah memancing dengan umpan-umpan seperti uang, simbol-simbol kejayaan atau kesuksesan. Karena kebahagiaan sejati ada pada kedalaman, maka yang harus kita lakukan adalah menyelam, masuk kedalamnya untuk menemukannya. Demikian pesan yang pernah disampaikan oleh Simbah,” Kusworo mengawali diskusi malam itu.

Rizky menyambung, “Perkenalan itu wajib karena ini adalah juguran. Juguran itu adalah sebuah kekayaan otentik Banyumas. Ibarat orang punya workshop, seminar, coaching, training, maka orang Banyumas punya juguran. Yang intinya ada persambungan hati dan rasa juga penciptakan kebahagiaan bersama. Itu yang kita coba uri-uri. Saya sendiri bersyukur karena dipertemukan dengan Maiyah.

“Saya baca berita, pemuda di Mesir sangat tinggi sekali untuk jadi atheis. Itu terjadi setelah peristiwa Arab Spring, perang Timur Tengah. Sehingga banyak orang putus asa dengan agama. Di Maiyah ini kita bisa menemukan zona daulat pribadi. Jadi kita memutuskan sendiri bagaimana kita mau beragama.“

Berkaitan dengan tema, Titut berbagi, “Rasa itu hubungannya dengan pikiran dan hati. Orang tidak percaya kalau saya ceritakan ada forum yang selesai acara jam 2 pagi. Itu forum apa. Forum juguran syafaat ini mengobrol tentang hal rasa dalam hidup manusia. Tapi kalau sudah disini, badan meriang pun bisa sembuh. Sebab kenapa? Rasanya nyambung dengan langit, nyambung dengan bumi, nyambung dengan anda semua.“ Titut lalu menceritakan pengalaman hidupnya saat mengalami kegelapan dalam bidang ekonomi.

“Saya menganggap hari esok itu masih gaib, maka dalam setiap pagi sekarang saya berdoa Ya Allah, jadikanlah hidup saya di hari ini menjadi surga. Surga dalam hal perasaaan, dalam hal kebutuhan, dalam hal apa saja,” tambah Titut.

Diiringi Ki Ageng Juguran, Titut kemudian membawakan lagu tradisional berjudul Jogjali Jogkemiri dan Balapan Tengu.

RASA SEBAGAI PEMBERIAN-NYA

Menjelang tengah malam, suasana makin terasa spiritualitasnya saat Agus Sukoco membacakan puisi cinta, diiringi oleh petikan gitar dari Jack.

Ketika kita mendalami rasa, kita bisa menemukan kebahagiaan dan surga kita sendiri. Sehingga bahagia tidak harus seperti yang lain. Peristiwa sama bisa berbeda rasa. Sebagai contoh Rasulullah, Rasulullah tidak mau menerima sedekah, tapi beliau mau menerima hadiah. Sama-sama pemberian tapi berbeda rasa. Kalau sedekah, rasa yang ada adalah belas kasihan, tapi kalau hadiah rasa yang muncul adalah apresiasi dan cinta. Agama yang terjadi sekarang hubungannya hanya point reward atau pahala dosa. Bukan digunakan untuk menghaluskan rasa kehidupan.

Skala spektrum dari “rejeki rasa” musti diperlebar agar kita tidak berhenti hanya pada pemaknaan cinta yang artifisial antara laki-laki dan perempuan. Agus mengajak sedulur untuk memaknai hikmah peristiwa Isra Mikraj dan menjadikan itu dalam praktik keseharian, tidak menjadi sekedar dongeng sebagaimana kita mendengar dongeng ‘kancil nyolong timun’ dan lain-lain.

“Rasa cinta itu anugerah dari Tuhan yang dititipkan ke kita. Kenapa Tuhan menitipkan rasa cinta itu? Kepada siapa cinta itu diarahkan dan dicurahkan? Tidak lain kepada diri-Nya. Aku menitipkan cinta kepadamu maka arahkan cinta yang telah Ku-berikan hanya kepada-Ku. Tuhan tidak menginginkan kita mencintai yang lain selain diri-Nya.

“Saya mencintai anak dan istri saya dalam rangka mencintai Tuhan. Cinta anak dan istri inheren dengan cinta kita dengan Tuhan, tidak terpisah. Begitu ada perasaan melihat anak yang tertidur: Ya Allah saya begitu menyayangi anak saya, karena disitu sesungguhnya Allah bersemayam. Dengan melihat anak sesungguhnya Allah mentajali pada anak kita. Mencintai anak sesungguhnya mencintai Tuhan karena semua adalah perwujudan atau tajalinya Tuhan,” Agus menjelaskan.

“Kebahagiaan sejati itu berada di kedalaman.”
Agus Sukoco

rejeki rasa

REJEKI TAK TERDUGA

Setelah menyanyikan sebuah lagu lawas berjudul Hari Kiamat, Hengki ikut merespon diskusi. Ia mengakui kemalasannya menjalankan salat dan kesibukannya mengejar dunia. Menyikapi, Agus memaknai kalimat Inalillahi Wa Ina Ilaihi Rajiun; dari Tuhan kita berasal dan akan kepada Tuhan juga kita akan kembali. Tuhan bukan hanya sebagai angan-angan belaka tapi pernah menjadi kenangan masa lalu. Itulah kenangan sejati kita, dimana ketika kita bahagia dan tentram saat bersama-Nya. Karena perjalanan kita yang jauh jarak dan intervalnya, terasa begitu tidak terkira jarak antara alam materi dan alam cahaya maka kebahagiaan yang kita rindukan itu menjadi sering dimanipulasi.

Orang menawarkan kebahagiaan, karena semua orang rindu rasa bahagia itu. Lalu belilah ia TV 40 inchi layar datar, hingga berhutang, ternyata tidak bahagia. Ada yang ingin bahagia dengan beristri enam, setelah dijalani ternyata bukan kebahagiaan yang ia rasakan justru stres. Anggapan-anggapan itu ternyata tidak membawa kepada kebahagian sejati.

Sebagaimana pemaparan Kusworo dia awal acara sebelumnya, Agus mengingatkan kembali bahwa kebahagaiaan itu letaknya ada di kedalaman, “Tuhan sudah berbicara: Akan aku beri rejeki dari jalan yang tidak engkau sangka-sangka; dan itu tidak dipercaya maka orang menempuh yang bisa disangka-sangka. Orang sibuk karena tidak percaya dengan rejeki tidak terduga. Sesuatu yang tidak terduga dianggap tidak pasti karena yang pasti itu yang terduga, akhirnya orang menciptakan kepastian-kepastian.”

Setelah diskusi panjang, Ahmad dari Majenang, ikut berbagi ilmunya tentang kajian lafazh Arab dalam Alquran tentang syukur. Rahmat Saleh dari Purwokerto ikut merespon dengan mempertanyakan rasa yang dibicarakan musti digunakan sebagai wailah atau ghoyah, digunakan sebagai jalan atau tujuan.

Ki Ageng Juguran menutup forum Juguran Syafaat dengan nomor Nyanyian Jiwa karya Sawung Jabo, kemudian Hadiwijaya memuncaki dengan menceritakan proses kehidupan yang berisi suka duka, pahit getir, dimana kita harus siap menghadapinya. Tepat pukul 02.00 pagi, Juguran Syafaat diakhiri dengan wirid bersama Duh Gusti, para sedulur saling bersalaman diiringi selawat puji-pujian Allahuma Sholli Ala Muhammad.