Konjen RI Di NewYork Simak Problem Solving Dari Cak Nun

Reportase Maiyah Amerika 18-28 September 2015

Setelah sehari sebelumnya (21/09), Cak Nun dan Ibu Via diajak oleh teman-teman menyurusi kota Philadelphia—meskipun aslinya Cak Nun kurang ‘terbiasa’ dengan konsep jalan-jalan sebagai sebuah rekreasi, konsep rekreasinya Cak Nun harus kreatif, kreasi harus rekreatif, begitu rumus beliau selama ini, tetapi demi cintanya kepada teman-teman di USA, Cak Nun akhirnya ikut juga. Cak Nun hari itu diajak mengunjungi Railroad Museum of Pennsylvania yang berada di sebelah timur Strasburg. Railroad Museum of Pennylvania merupakan museum kereta api yang didirikan sejak tahun 1975, memiliki koleksi lebih dari 100 lokomotif dan gerbong kereta.

Melanjutkan hari itu, Cak Nun dan Ibu Via diajak berkeliling melihat kota Amish Country, kota yang didiami oleh suku Amish, sebuah suku yang sangat membatasi diri dari ‘dunia luar’ (teknologi dan perkakas modern) dengan tetap mempertahankan budaya kehidupan alami mereka secara utuh. Di Amish Country disuguhkan pemandangan pedesaan dan alam yang indah dengan ladang-ladang pertanian dan hutan lebat serta pemukiman penduduk yang asri nan menawan disisi kanan kiri jalannya. Suasana terasa memasuki pesona Amerika abad ke-18.

Setelah dua tempat tersebut, Cak Nun dan Ibu Via mengunjungi Masjid Bawa Mudaiyadeen di daerah Overbrook Ave untuk melihat-lihat jejak-jejak peninggalan Sang Sufi. Bawa Muhaiyaddeen berasal dari Sri Lanka, dikenal sebagai seorang sufi yang menyerukan perdamaian dunia. Sang Sufi Bawa datang ke Amerika pada tahun 1971 atas undangan banyak kalangan di sana, ia berbicara di banyak forum, berbicara di stasiun televisi, radio dan memiliki banyak murid. Dia dikenal dengan panggilan Guru Bawa.

Cak Nun dan Ibu Via melanjutkan perjalanan dengan mengunjungi kota NewYork. Perjalanan New York ke Philadelphia memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan darat. Setiba di NewYork, Cak Nun dan Ibu Via menuju kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia. Salah satu kegembiraan ketika kita berkunjung ke negara lain adalah ketika kita bertemu dengan WNI yang sedang menetap di negara tersebut. Bapak Ghofur Dharmaputra, Konjen RI di NewYork, menerima hangat kedatangan rombongan Cak Nun, Ibu Via dan teman-teman pengurus Masjid Al-Falah.

DARI KONFLIK SOSIAL HINGGA KONFLIK ALIRAN

Suasana pada pertemuan antara Cak Nun dan Konjen RI terasa penuh keakraban. Cak Nun dan Pak Ghofur saling bertukar cerita tentang fenomena di kalangan masyarakat Islam di Amerika terkini. Salah satu persoalan yang disinggung oleh Pak Ghofur adalah pengelolaan masjid, dimana akhir-akhir ini terdapat kelompok-kelompok tertentu yang agresif mengambil alih pengelolaan masjid dari kepengurusan sebelumnya. Meskipun hal itu dilakukan tanpa adanya tindak kekerasan, tetapi bukan berarti pengambilalihan pengelolaan masjid tanpa prosedur seperti itu dapat dibenarkan.

Sebelum membahas lebih jauh, Cak Nun bercerita bahwa banyak sekali tokoh-tokoh aliran Islam yanng tidak mengerti detil tentang aliran yang mereka anut. Cak Nun mencontohkan, pada suatu waktu salah satu tokoh Ahmadiyah diberi kesempatan oleh Cak Nun untuk berbicara di forum BangbangWetan (forum rutin maiyahan di Surabaya), namun dalam diskusi yang terjadi, tokoh tersebut tidak mengetahui Ahmadiyah secara mendalam. Orang-orang seperti inilah yang justru seringkali membikin resah di masyarakat, sehingga melahirkan perpecahan-perpecahan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Kebanyakan dari mereka hanya taklid saja, mereka hanya berlaku sebagai muqollidiin, jangankan untuk melakukan ijtihad sehingga bisa menjadi seorang mujtahid, untuk melakukan ittiba‘ saja mereka belum mampu.

“Sejauh ini, saya tidak mengambil manfaat apapun dari hal itu. Saya hanya mengurangi mudharat saja, tidak mencari manfaat juga, saya ndak akan ikut-ikut dan saya ndak akan berjuang apapun untuk diri saya. Tetapi kalau kiri-kanan saya terjadi sesuatu, saya tampung dan saya coba bikin enak,” lanjut Cak Nun yang dilanjutkan dengan cerita singkat ketika beliau menampung Jamaah Darul Arqom, kelompok yang pada zaman orde baru dibubarkan oleh Pak Harto.

Sembari menikmati hidangan yang disajikan oleh Pak Ghofur, salah satu perwakilan dari Pengurus Masjid Al-Falah memberikan pendapat terkait persoalan “pengelolaan masjid”, dalam pandangannya salah satu yang harus diperkuat dalam konsep pengelolaan masjid adalah transparansi kepengelolaannya. Menurutnya, apapun organisasi atau kelompok yang mengurus masjid, asalkan transparan maka mereka akan dipercaya oleh masyarakat. Menjaga keistiqomahan dalam menghidupkan masjid juga menjadi kunci mendasar yang dikemukakan oleh Pengurus Masjid Al-Falah, karena bagaimana pun juga apabila masjid di lingkungan kita tidak kita hidupkan kegiatannya, maka pada akhirnya kita tidak memiliki benteng pertahanan untuk mengakui hak pengelolaan. Apabila ada kelompok atau organisasi yang ingin mengambil alih dan justru mampu memakmurkan masjid, pengurus Masjid Al-Falah lebih mengutamakan prinsip lebih baik memiliki masjid kecil, tetapi kegiatan-kegiataan dapat dihidupkan dan dilestarikan oleh jamaahnya sendiri, daripada memiliki masjid yang besar tetapi yang menghidupkan orang lain. Di Amerika, salah satu kelompok yang suka mengambil alih pengelolaan masjid adalah kelompok masyarakat yang berasal dari Bangladesh, salah satu penyebabnya adalah karena masjid tersebut tidak dihidupkan dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan jamaah, sehingga kemudian diambil alih pengelolaannya oleh orang lain.

Cak Nun merespon, fenomena yang dikemukakan oleh Pak Ghofur juga lazim terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Kelompok-kelompok tertentu mengambil alih secara ‘paksa’ terkait pengelolaan masjid dari kepengurusan takmir masjid sebelumnya. Terkait fenomena ini, Cak Nun menawarkan solusi yaitu dibuat sebuah piagam berisi perjanjian, kemudian diurus secara legal ke salah satu notaris setempat. “Piagam tersebut merupakan sebuah naskah yang isinya berupa prinsip-prinsip atau perjanjian yang dilembagakan, semacam pasal-pasal semi hukum tetapi berkekuatan hukum yang dirumuskan bersama-sama,” lanjut Cak Nun.

Cak Nun juga menceritakan pengalamannya dalam menangani konflik yang terjadi antara masyarakat asli di Muntilan dengan etnis Tionghoa. “Salah satu yang menggagalkan bentrok adalah karena adanya kesadaran menghormati orang tua yang ada disekitar mereka,” lanjut Cak Nun. Beliau bercerita bagaimana proses penanganan konflik tersebut, mulai dari mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat yang sedang berkonflik di Kadipiro hingga Cak Nun bersama Gamelan KiaiKanjeng menyelenggarakan maiyahan di pasar Muntilan dalam rangka menyelesaikan konflik tersebut. Formulasi piagam yang disebutkan oleh Cak Nun sebelumnya itulah yang kemudian diaplikasikan dalam penanganan konflik di Muntilan ketika itu. Semua yang hadir bersama-sama merumuskan pasal-pasal yang dicantumkan di Piagam tersebut.

Cak Nun juga menceritakan tentang pengalamannya pribadi, salah satu sekolah yang dirintis oleh keluarga Cak Nun di Jombang juga pernah akan diambil alih secara paksa oleh Muhammadiyah, bahkan keluarga Cak Nun sempat dianggap telah merubah sertifikat asli sekolah tersebut dan dianggap merebut sekolah tersebut dari tangan Muhammadiyah. “Saya punya sekolahan yang dirintis sejak tahun 50-an, karena Muhammadiyah tidak memiliki sekolahan di Jombang Timur, maka Ayah saya melalui Kakak saya, meminjamkan komplek sekolah tersebut kepada Muhammadiyah, bahkan labelnya pun diganti menjadi SD Muhammadiyah dan SMP Muhammadiyah. Dan itu tidak apa-apa, karena memang kita ikhlas untuk itu. Tiba-tiba PP Muhammadiyah mengeluarkan sebuah edaran yang isinya menerangkan bahwa seluruh aset Muhammadiyah harus bersertifikat (atas nama) Muhammadiyah,” Cak Nun berkisah.

Pengurus Daerah Muhammadiyah saat itu, yang tidak mengetahui sejarah asal muasal komplek sekolahan tersebut mengira bahwa keluarga Cak Nun mengambil alih aset tersebut menjadi milik pribadi. Kemudian dilakukanlah pertemuan dengan Pengurus Daerah Muhammadiyah setempat dan perwakilan dari pejabat pemerintah daerah Jombang. Cak Nun juga bercerita tentang salah satu masjid di Amsterdam yang sebelumnya dikelola oleh NU kemudian berubah menjadi masjid Wahabi.

Dalam konteks perseteruan antara masyarakat Pakistan dan Bangladesh di Amerika, yang salah satunya juga dalam persoalan pengelolaan masjid, Cak Nun memberi pemahaman bahwa mereka memang memiliki sejarah yang kelam diantara mereka, yang kemudian mereka bawa ke Amerika. Sehingga ketika mereka bertemu seringkali tersulut sentimen konflik masa silam.

Pada kesempatan berikutnya, Pak Ghofur menyinggung bahwa hal tersebut juga kerap dilakukan oleh orang Indonesia ketika berada di negara lain. Konflik internal di daerah asal, baik itu konflik antar kampung atau antar golongan, dibawa serta pada saat hijrah di negara lain, sehingga meletuslah konflik yang tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kampung halamannya di Indonesia. Hal tersebut seharusnya tidak perlu terjadi ketika mereka sama-sama menjadi pendatang di negara lain. Cak Nun menyambung dengan kisah bagaimana TKI di Malaysia dalam sebuah acara maiyahan berkelahi satu sama lain di lokasi maiyahan, hanya karena persoalan yang sangat sepele; tidak terima akibat disenggol ketika berjoget.

Hal yang sama juga dialami oleh Cak Nun ketika menemui TKI-TKI di Abu Dhabi, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Kepada Pak Ghofur, Cak Nun menjelaskan bahwa masalah-masalah yang sering dihadapi oleh Cak Nun terkait konflik antar masyarakat ini biasanya adalah persoalan yang hampir buntu dan belum ditemukan solusi penyelesaiannya. Sehingga yang sering dilakukan oleh Cak Nun dalam menangani persoalan seperti itu adalah dengan mempertemukan pihak-pihak yang berseteru dan mempersatukan mereka dalam satu tim, yang kemudian secara bersama-sama secara ikhlas melakukan rembug dan dialog untuk mencari jalan keluar untuk kebaikan mereka bersama.

“Orang Indonesia itu sangat potensial, mau jadi apapun mereka bisa. Mereka itu dahsyat-dahsyat, tinggal bagaimana yang ngemong mereka,” tutur Cak Nun.

Tak ingin menyita waktu Pak Ghofur lebih banyak, terpaksa perbincangan yang hangat tersebut harus berakhir, Cak Nun, Ibu Via, dan teman-teman Masjid Al Falah mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan, dan menyampaikan terima kasih atas waktu yang diberikan. Pak Ghofur pun juga menyampaikan terima kasih kepada Cak Nun dan rombongan sudah berkenan berkunjung, dan mendoakan agar rangkaian acara Cak Nun berjalan dengan lancar.

Dari kantor Konjen RI, rombongan kemudian bergerak menuju kediaman Pak Erwin, yang merupakan salah satu pejabat Bank Indonesia yang bertugas di NewYork.

VERBATIM: FaHMI agustian | Kontributor: Jamal