Silaturahmi Masjid Al Falah bersama Cak Nun dan Novia Kolopaking di Old Pine Community Center, Philadelphia

SALING BERKOMITMEN DAN MENCARI KEBENARAN BERSAMA

Usai Mocopat Syafaat di Yogyakarta tanggal 17 September 2015 yang berlangsung hingga pukul 04:00 WIB. Cak Nun dan Ibu Novia Kolopaking (Bu Via) segera bergegas menuju bandara Adisucipto untuk mengejar penerbangan pukul 10:00 WIB ke bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, transit beberapa jam, kemudian melanjutkan pukul 17:45 menuju Philadelphia melalui Doha. Seperti yang diagendakan satu bulan sebelumnya, Cak Nun dan Bu Via akan berada di benua Amerika selama sepuluh hari, terhitung tanggal 19 hingga 28 September 2015, berkeliling di empat kota: Philadelphia, New York, Atlanta, dan Washington DC.

Setelah menempuh penerbangan lebih dari 24 jam, akhirnya pada tanggal 19 September 2015, Cak Nun dan Bu Via mendarat di Philadelphia Internatioanal Airport pukul 08:30 waktu setempat. Di terminal kedatangan, beberapa teman-teman Indonesia sudah menunggu, tampak diantara mereka mengenakan peci Maiyah.

Dari bandara, seolah tanpa mengenal istilah jetlag, mengingat perbedaan waktu antara Indonesia dengan Amerika adalah 13 jam, Cak Nun dan Bu Via langsung diajak sarapan di rumah makan Indonesia yang berada di kampung Jawa, di Philadelphia Selatan, yang teman-teman disana menyebutnya dengan Philly Kidul. Di hari pertama, Cak Nun dan Bu Via lebih banyak beramah tamah, berbincang-bincang dan berkenalan dengan teman-teman Indonesia disana.

Rupanya disana ada juga alumnus Maiyah PadhangmBulan Jombang. Namanya Jamaludin Jufri, yang akrab dipanggil Jamal. Jamal bercerita, gelombang imigran Indonesia ke kota Philadelphia banyak terjadi pada medio 2001-2005. Pada masa itu, hampir setiap hari mereka datang sekitar 20 orang. Jumlah mereka hingga kini sekitar 5.000 orang. Beragam anak bangsa berada di kota ini. Komunitas masyarakat Aceh yang kedatangan mereka ke sini melalui proses mencari suaka ketika masih terjadi konflik Aceh (GAM). Rata-rata mereka kini sudah menjadi warga negara Amerika. Komunitas masyarakat Tionghoa, jumlah mereka sekitar 60% dari total orang Indonesia. Banyak juga dari mereka yang telah menjadi US citizen atau penduduk tetap, namun juga tidak sedikit yang berstatus gelap. Untuk pekerja legal dan ilegal, mereka menyebut dengan istilah documented dan undocumented. Kemudian masyarakat Jawa. Jumlah mereka sangat banyak. Pada umumnya dari Jawa Timur. Berasal dari Tulungagung, Trenggalek, Blitar, Kediri, Pasuruan, Jombang, Surabaya. Saking banyaknya, mereka tinggal berdampingan dalam sebuah jalan hingga terkenal dengan julukan kampung Jawa seperti sekarang ini.

Teman-teman pekerja Indonesia disana, mayoritas mereka yang ada di Philadelphia merupakan berstatus undocumented atau imigran gelap. Jumlah imigran gelap di Amerika cukup banyak sekitar 15 juta orang, kebanyakan dari Amerika Latin dan dari Indonesia hanya secuil dari situ. Teman-teman pekerja Indonesia yang tinggal di Philadelphia melakukan pekerjaan apa saja untuk dapat survive di negara tersebut. Rata-rata teman pekerja Indonesia berprofesi sebagai buruh kasar, pekerja restoran, kerja di pabrik, laundry dan lain sebagainya. Karena status mereka ‘pekerja gelap’, maka pendapatan yang mereka terima di sana hanya UMR saja dan tidak mendapatkan fasilitas lainnya.

Sama seperti di negara-negara lain yang mayoritas pekerjanya dari Indonesia, seperti Abu Dhabi, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong, Cak Nun dan Bu Via hadir sebagai bapak dan ibu mereka, sehingga mereka dengan mudah menceritakan segala uneg-uneg dan problematika yang ada disana, layaknya ‘curhat’ kepada orangtuanya sendiri, menyambung paseduluran, itulah Maiyah yang Cak Nun tawarkan.

“Kedatangan saya kesini bukan untuk ceramah, melainkan untuk bersama-sama mencari kebenaran.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyah Amerika (Sep, 2015)

Siang harinya, Cak Nun dan Bu Via memenuhi undangan makan siang oleh komunitas kristiani Indonesia disana. Mereka memiliki empat belas gereja. Mereka sangat senang dapat bertemu dengan Cak Nun dan Bu Via, bercerita banyak hal terkait peta keberagaman agama disana. Cukup mengasikkan keragaman di Amerika.

Dari sana, teman-teman mengajak ke rumah Mas Aditya, dimana selama berada di Philadelphia, Cak Nun dan Bu Via akan menginap ditempat beliau. Mas Aditya sudah cukup lama bermukim di Philadelphia, 15 tahun bekerja, selain itu juga sehari-hari ia aktif sebagai pengurus Masjid Al-Falah. Selanjutnya, dalam suasana keakraban Cak Nun menyerap informasi dari teman-teman untuk memiliki bahan dalam menjajaki tentang peta kaum muslimin di Philadelphia dan USA secara keseluruhan. Tahap peta pemikiran Islam di USA kurang lebih sama dengan awal-awal dulu ketika Maiyah mengurusi khilafiyah-khilafiyah di lapisan grass root umat Islam oleh adanya kelompok-kelompok Islam yang ektrem dan sempit. Tantangan-tantangan atau gangguan atau intervensi dan lain sebagainya terhadap Masjid Al-Falah mulai dirumuskan.

Minggu pagi, 20 September 2015, saat yang dinanti tiba. Maiyahan perdana dalam rangkaian kunjungan Cak Nun dan Ibu Via diselenggarkan di Old Pine Community Center 401 Lombard St. Philadelphia, PA, USA. Maiyahan di Old Pine Community Center diselenggarakan sore hari, karena lokasi tersebut pada pagi hari hingga siang harinya digunakan untuk kebaktian oleh masyarakat setempat. Setelah itu barulah teman-teman Masjid Al Falah men-setting lokasi, panggung, dan keperluan-keperluan lainnya. Perkiraan acara baru bisa dimulai pada pukul 14.30 waktu setempat.

Menunggu waktu dua setengah jam sebelum acara, di pelataran City Hall Philadelphia, Cak Nun menyempatkan diri menerima wawancara dari dari kantor berita VOA (Voice of America). Mereka menanyakan tentang Islam di Amerika dan maksud kedatangan Cak Nun ke Amerika serta hal-hal apa saja yang akan disampaikan oleh Cak Nun. Cak Nun merespon, “Kedatangan saya kesini bukan untuk ceramah, melainkan untuk bersama-sama mencari kebenaran.”

Nasihat adalah komitmen, loyalitas, kepatuhan dan keteguhan hati. Pada tahap selanjutnya, nasihat juga bisa diartikan sebagai saling berkomitmen; istri dan suami saling bernasihat satu sama lain, artinya saling berkomitmen dalam satu ikatan pernikahan.

MENDEKONSTRUKSI PEMAHAMAN AKAN NASIHAT

Maiyahan di Old Pine Community Center dimulai. Acara ini juga dimaksudkan oleh pengurus Masjid Al Falah untuk kegiatan penggalangan dana, karena sebelumnya masjid tersebut dibeli dari hasil patungan teman-teman, yang bersifat piutang, maka harapan dari dana yang terkumpul dari penggalangan dana tersebut, dapat mengembalikan piutang dari teman-teman pekerja Indonesia.

Diawal acara, Ibu Via langsung ‘ditodong’ untuk membawakan lagu sebagai pembuka, lagu Asmara menjadi pilihan mereka, tampaknya lagu tersebut cukup favorit bagi mereka. Setelah Ibu Via melantunkan beberapa lagu. Cak Nun langsung melanjutkan dengan memberikan penjelasan dasar mengenai makna “nasihat”. Mengutip Hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa agama adalah nasihat (ad-Diinu an-Nashiihah), yang kemudian dalam hadits tersebut diriwayatkan para sahabat, bertanya bagi siapa nasihat tersebut? Rasulullah SAW menjawab, “Bagi Allah, bagi Kitab Allah, bagi Rasulullah, bagi para pemimpin dan bagi seluruh umat muslim.”

Cak Nun menjelaskan bahwa kata nasihat kemudian disalahartikan dalam penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Orang menerjemahkan bahwa nasihat adalah pesan kebaikan atau pitutur, yang dalam istilah Jawa biasa disebut dengan ngandani memberitahu kepada orang lain, bahkan dalam situasi tertentu nasihat diartikan sebagai petuah. Jika nasihat dipahami sebagai petuah atau pitutur, akan terjadi kesalahan pemahaman ketika diterapkan dalam konteks bahwa agama adalah nasihat sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW tadi. Makna yang lebih tepat ialah bahwa nasihat adalah komitmen, loyalitas, kepatuhan, dan keteguhan hati. Pada tahap selanjutnya, nasihat juga bisa diartikan sebagai saling berkomitmen; istri dan suami saling bernasihat satu sama lain, artinya saling berkomitmen dalam satu ikatan pernikahan.

Begitu juga ketika diterapkan dalam hadits Rasulullah SAW di atas, bahwa nasihat memiliki arti yang lebih luas dari hanya sekadar petuah atau pitutur. Ketika nasihat dimaknai sebagai komitmen atau saling berkomitmen, maka akan didapatkan pemahaman yang lebih tepat tentang nasihat dalam konteks hadits Rasulullah SAW tersebut. Salah satu akibat dari kesalahan pemahaman makna tentang nasihat tersebut adalah maraknya orang yang merasa paling benar, sehingga merasa paling berhak untuk memberi nasihat kepada orang lain. Watawashau bi-l-haqqi watawashau bi-s-shobri hanya dipahami dengan pemaknaan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, tidak dimaknai dengan pemaknaan saling berkomitmen dalam kebenaran dan kesabaran.

“Maka saya datang ke sini bukan dalam rangka menasihati siapa-siapa, karena Rasulullah SAW sendiri juga tidak menasihati siapapun, tetapi beliau hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang yang membutuhkan jawaban atas pertanyaan yang mereka kemukakan kepada Rasulullah SAW. Jadi kita datang kesini untuk mencari kebenaran bersama-sama. Saya tidak berhak memberitahu kepada anda tentang sesuatu apapun, karena saya tidak lebih baik dari anda, saya tidak lebih pintar dari anda dan saya juga tidak lebih saleh dari anda,” tegas Cak Nun.

Cak Nun memberikan pondasi bahwa sejatinya semua manusia sama-sama memiliki kelemahan, sama-sama memiliki kekurangan, sehingga tidak tepat jika kemudian salah satu di antara kita merasa paling baik dan paling benar dari yang lainnya. Begitu juga dalam persoalan akhlak, kita sama-sama tidak mengenal persis akhlak orang lain, sehingga formula yang harus diutamakan sebagai kunci adalah bersama-sama mencari kebenaran untuk kebaikan bersama.

“Kuncinya adalah apa saja yang membuat persaudaraan kita renggang satu sama lain, itu pasti sesuatu yang jelek.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyah Amerika (Sep, 2015)

MUWAJJAHAH SEBAGAI METODE UNTUK MENGURANGI KESALAHPAHAMAN

Bergeser ke soal yang terkait dengan sebuah landasan diskusi dan tentang betapa bahayanya internet saat ini. Cak Nun menjelaskan bahwa kemajuan teknologi saat ini, terutama internet, menciptakan manusia-manusia pecundang yang hanya berani “melempar batu” tanpa harus mempertanggungjawabkan. Semua merasa paling benar, semua merasa paling pintar ketika berdebat di internet. Semua bisa mencerca orang lain, bisa menggunjing orang lain, bisa menuduh dan memfitnah orang lain tanpa rasa takut sama sekali.

Dalam hal ini Cak Nun menyinggung fenomena yang terjadi saat ini, yang ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Sehingga forum-forum Maiyah yang dirintis oleh Cak Nun sejak awal 90-an mengusung tema muwajjahah. Muwajjahah sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti: bertatap muka. Dalam konteks lain, muwajjahah adalah pertemuan secara langsung, face to face, yang meminimalisasi terjadinya “lempar batu sembunyi tangan”, sehingga apa yang disampaikan ketika bertatap muka langsung satu sama lain dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak yang menyampaikan informasi tersebut.

“Dalam forum atau pertemuan ini kita saling melihat, sorot mata kita saling berhadapan, ini namanya muwajjahah. Di sini, mau ndak mau kita harus bertanggung jawab, karena kita tidak boleh ngomong seenaknya, kita tidak bisa melempar apapun seenaknya, kita saling bertanggung jawab. Dengan kemudahan internet selama ini, kita mempunyai kemudahan untuk tidak bertanggung jawab setinggi-tingginya. Mudah-mudahan pertemuan seperti ini dijadikan oleh Allah dijadikan alat untuk mengobati hati kita semuanya agar semua berada di dalam kerukunan dan Allah menyatukan hati kita dalam satu ikatan yang suci,” papar Cak Nun.

“Dalam persoalan akhlak, kita sama-sama tidak mengenal persis akhlak orang lain, sehingga formula yang harus diutamakan sebagai kunci adalah bersama-sama mencari kebenaran untuk kebaikan bersama.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyah Amerika (Sep, 2015)

TERBOLAK-BALIKNYA PEMAHAMAN KITA ATAS STRATA

Dari soal nasihat dan prinsip muwajjahah, selanjutnya Cak Nun menjelaskan stuktur manusia atau orang yang pada awal Nusantara berkembang tersusun dengan rapi. Di dalam struktur itu, orang kaya (harta) berada pada struktur terbawah. Di atasnya adalah orang yang pintar dan pandai secara keilmuan, atau biasa disebut kaum cendekiawan. Setelah itu struktur setelahnya adalah orang yang berkuasa dengan jabatannya dalam pemerintahan. Kemudian di atasnya adalah orang yang memiliki kekuatan fisik yang lebih dibandingkan dengan yang lainnya, entah dia itu pendekar atau preman. Yang paling tinggi adalah orang alim, yang memiliki kepribadian luhur, moral yang patut diteladani, sehingga dalam proses perjalanannya yang ia tuju hanyalah untuk menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya.

Penjelasan struktur tersebut dilengkapi oleh Cak Nun dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Pada pada abad ke-7, ketika Islam dibawa oleh pedagang, Islam gagal disebarluaskan karena masyarakat Nusantara kurang mantep kepada para pedagang yang membawa Islam saat itu. Hal ini bukan lantas kemudian bahwa pedagang adalah orang yang buruk, tidak sama sekali dimaksudkan demikian. Tetapi kemudian ketika abad ke-13 Islam disebarluaskan oleh orang yang berbudi luhur, yang akhlaknya sangat baik, rendah hati, dalam istilah Jawa dikenal sebagai brahmana, Islam justru bisa dikatakan lebih mudah disebarluaskan. Kaum brahmana inilah yang kita kenal sebagai para masayikh dan ulama. Bahkan dalam pemerintahan Majapahit terdapat satu kementrian yang mengatur kaum sudra (kaum yang konsentrasinya harta benda) dan pendatang asing.

Yang terjadi saat ini di masyarakat adalah bahwa orang kaya, yang memiliki kelebihan harta lebih dihormati daripada orang alim atau orang baik. Seseorang dipandang lebih terhormat karena harta benda yang ia miliki. Sehingga seorang pengusaha yang kaya raya bisa sangat dihormati daripada seorang bupati yang biasa-biasa saja, bahkan ia juga lebih dihormati daripada ulama yang ada di masyarakat saat ini. Sehingga banyak sekali orang berkeinginan menjadi orang yang kaya harta. Menurut Cak Nun ini merupakan salah satu fenomena sangat menyedihkan yang terjadi di Indonesia saat ini.

Cak Nun menambahkan, kalau ada orang yang sebelumnya miskin, kemudian setelah berusaha ia menjadi kaya dan setelah ia menjadi orang kaya justru menjadi jauh hubungannya dengan teman-temannya dan saudara-saudaranya berarti ada yang salah dengan kekayaannya. Begitu juga dengan orang yang sebelumnya lemah, kemudian ketika ia menjadi orang yang kuat justru ia tidak akrab dan tidak kompak lagi dengan yang lainnya, berarti ada yang salah dengan kekuatannya. Begitu juga dengan orang yang sebelumnya tidak pintar, setelah ia menjadi lebih pintar ternyata ia menjadi cuek, acuh dan tidak akrab dengan teman-temannya, berarti ada yang salah dengan ilmu yang ia miliki.

“Yang paling bahaya adalah, kalau orang sudah menjadi orang baik, dalam arti sudah memahami agama, sudah mempelajari berbagai kitab-kitab agama, salatnya rajin, baca Quran-nya rajin, dan lebih alim dari sebelumnya tetapi ia jauh dari saudara-saudaranya, membenci yang lainnya, membid’ah-bid’ahkan dan memusyrik-musyrikkan yang lain, berarti ada yang nggak bener dengan alimnya itu,” tegas Cak Nun.

“Jadi kuncinya adalah apa saja yang membuat persaudaraan kita renggang satu sama lain, itu pasti sesuatu yang jelek,” ungkap Cak Nun. Cak Nun memberi contoh dari diri beliau sendiri, misalkan Cak Nun sangat rajin salat, tetapi dengan rajinnya salat justru membuat renggang tali persaudaraan dengan yang lain, berarti ada yang tidak benar dalam Cak Nun menjalankan salatnya.

Yang terjadi saat ini di masyarakat adalah bahwa orang kaya, yang memiliki kelebihan harta lebih dihormati daripada orang alim atau orang baik. Seseorang dipandang lebih terhormat karena harta benda yang ia miliki.

DARI PHILADELPHIA MENGHIDUPKAN ISLAM TANPA TERPECAH-PECAH

Tentang perbedaan yang justru merusak persatuan di kalangan masyarakat saat ini, Cak Nun memberikan analogi kluruk (kokok) ayam yang memiliki perbedaan dalam penyebutan dalam istilah di beberapa daerah. Misalnya di Jawa Barat, orang menyebut kluruk ayam itu dengan istilah “kongkorongkong”, sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur, orang menyebutnya dengan istilah “kukuruyuk”, sedangkan di Madura orang disana menyebutnya dengan istilah “kukurunuk”. Dari tiga istilah ini, masing-masing daerah merasa paling benar mengenai bagaimana bunyi kluruk ayam tersebut, padahal sejatinya kluruk ayam yang paling benar adalah ayam itu sendiri. Orang Jawa, Sunda dan Madura menafsirkan bunyi kluruk ayam dalam bahasanya sendiri dengan istilah yang berbeda-beda. “Jadi yang penting ayam itu yang kita akui dia berkokok, jangan lantas tafsir kita terhadap kokok ayam itu menjadikan kita membenci yang lainnya,” kata Cak Nun.

Cak Nun kemudian memberikan perumpamaan tentang ‘ketela’. Dalam proses kreativitas budaya manusia, ketela ini dapat melahirkan gethuk, keripik, dan kolak. Dengan menggunakan metafor ini, Cak Nun menjelaskan bahwa NU, Muhammadiyah, LDII, Ahmadiyah, dan aliran-aliran yang ada dalam Islam itu seperti keripik, kolak, dan gethuk yang merupakan hasil olahan dari ketela. Islam itu sendiri seperti ketela yang pada tahap selanjutnya diolah sedemikian rupa oleh umat Islam sendiri dan melahirkan aliran-aliran yang baru. “Nah, agamanya ini sekarang ‘gethuk’nya atau ‘ketela’nya?” tanya Cak Nun memancing jamaah untuk berdialog lebih mendalam.

“Kenapa justru ‘gethuk‘ sekarang menjadi agamanya, kemudian yang tidak setuju dengan ‘gethuk’ dimarah-marahin, dilarang masuk masjid, terus ada masjid dikuasai oleh takmir ‘gethuk’, masjid lainnya dikuasai oleh takmir ‘kolak’ dan seterusnya, padahal sama-sama ‘ketela’”, lanjut Cak Nun. Menutup penjelasan ini, Cak Nun mengharapkan bahwa masjid di Philadelphia ini harus terbangun penilaian dari masyarakat bahwa masjid ini adalah masjid ‘ketela’, alias masjid Islam, bukan masjid aliran A, aliran B dan sebagainya. Sehingga yang ‘gethuk’ boleh masuk, yang ‘keripik’ boleh masuk, yang ‘kolak’ juga boleh masuk ke dalam masjid, dengan satu fondasi untuk menjaga toleransi satu sama lain, terutama dalam menyikapi perbedaan dalam hal-hal yang bersifat khilafiyah.

Mengutip hadits Rasulullah SAW: Thuuba liman roaanii wa amana bii, wa thuuba, thuuba, thuuba liman lam yarooni wa amana bii Beruntunglah orang yang hidup bersamaku di zamanku dan beriman kepadaku dan beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah orang yang tidak pernah melihatku (secara fisik) karena tidak hidup di zamanku, tetapi ia beriman kepadaku. Menggunakan landasan hadits ini, Cak Nun menyampaikan kekaguman dan keharuan yang luar biasa bagaimana masyarakat muslim di Philadelphia sangat istiqomah menghidupkan Islam. Jarak terbentang begitu jauh dari pusat Islam di Makkah, tetapi masyarakat muslim di Philadelphia sanggup meneguhkan diri menjalanan nilai-nilai Islam.

“Di Philadelphia ini, di tempat yang jaraknya sangat jauh dari Mekkah, anda mampu menghidupkan Islam di sini, anda luar biasa. Anda jangan pecah satu sama lain,” Cak Nun memberikan kunci yang mendasar agar masyarakat Islam di Philadelphia jangan sampai terpecah belah.

Sesuatu yang sunnah jika dilihat dari sudut pandang cinta dan kasih sayang kita kepada Allah akan sangat mulia nilainya dan akan memantulkan kembali cinta dan kasih sayang Allah kepada kita manakala kita menunaikan sesuatu yang sunnah sesudah kita menunaikan sesuatu yang wajib sifatnya.

MEMAHAMI KEMBALI MAKNA SEDEKAH

Memasuki pembahasan puncak, Cak Nun menjelaskan tentang perbedaan antara fardhlu ‘ain dan fardhlu kifayah. Antara wajib dan sunnah, antara zakat dan sedekah. Tiga konsep agama tersebut memberikan persepsi yang berbeda tentang kualitas keimanan dan ketaatan manusia kepada Tuhannya. Sesuatu yang wajib, yang sudah ditentukan oleh Allah, ketika dilaksanakan oleh manusia hanya menjangkau nilai ketaatan manusia itu kepada Tuhannya, karena sesuatu yang wajib ia laksanakan berdasarkan perintah yang sudah disampaikan oleh Allah. Tetapi, nilai orang yang melaksanakan sesuatu hal yang sifatnya sunnah, setelah ia melaksanakan hal yang wajib maka akan terpantul cinta dan kasih sayang dari Allah yang takarannya justru bisa melebihi dari orang-orang yang hanya melaksanakan perintah-perintah yang wajib saja. “Dari sudut ketaatan kita kepada Allah, sesuatu yang wajib itu membereskan masalah (ketika kita menunaikannya), tetapi dari sudut cintanya Allah, sesuatu yang sunnah membikin Allah lebih cinta kepada kita (ketika kita menunaikan sunnah setelah menunaikan yang wajib),” tutur Cak Nun.

Dalam hal ini, Cak Nun tetap memberikan landasan bahwa sesuatu yang wajib merupakan hal yang harus kita lakukan, bukan kemudian dengan penjelasan ini menjadikan sesuatu yang sunnah menjadi hal yang primer. Bahwa sesuatu yang sifatnya sunnah, akan bernilai sangat tinggi dan mulia manakala kita sudah menunaikan sesuatu yang wajib. Menjadi lebih mulia lagi, apabila kualitas ibadah kita yang wajib berhasil mencapai tingkat kekhusyukan, kemudian kita lengkapi dengan ibadah-ibadah kita yang sifatnya sunnah. Seperti halnya ketika ada orang meninggal, hukum mengurusi jenazah orang meninggal adalah fardhlu kifayah, di mana apabila tidak ada satupun orang yang mengurusi jenazah tersebut, maka umat Islam di seluruh dunia akan dimarahi oleh Allah, tetapi ketika ada tiga-empat orang saja yang mengurusi jenazah tersebut, maka seluruh umat muslim di dunia terbebas dari kewajiban mengurusi jenazah orang yang meninggal itu tadi. Di sinilah letak mulianya sesuatu yang bersifat fardhlu kifayah.

Begitu juga dengan sedekah, ia menjadi sangat mulia manakala seseorang menunaikan sedekah setelah ia menunaikan zakat yang sifatnya wajib dalam Islam. Sedekah justru menjadi sangat rendah nilainya, bahkan akan terlihat biasa saja manakala seseorang bersedekah tetapi meninggalkan zakatnya. Bukan kemudian menganggap bahwa zakat menjadi rendah nilainya, tetapi kembali ke kunci sebelumnya, bahwa sesuatu yang sunnah jika dilihat dari sudut pandang cinta dan kasih sayang kita kepada Allah akan sangat mulia nilainya, dan akan memantulkan kembali cinta dan kasih sayang Allah kepada kita manakala kita menunaikan sesuatu yang sunnah sesudah kita menunaikan sesuatu yang wajib sifatnya.

Menegaskan penjelasan ini, Cak Nun mencontohkan betapa ibadah yang bersifat sunnah bisa terasa lebih nikmat dari ibadah yang wajib, tentunya setelah kita melaksanakan ibadah wajib. Ketika kita sudah menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan, maka bisa saja kita menikmati ibadah puasa sunnah di bulan Syawal, puasa Senin-Kamis, puasa ayyamul bidh, puasa Arafah bahkan puasa Daud.

Penjelasan tersebut merupakan puncak dari maiyahan hari itu, tampak wajah mereka menjadi segar kembali dengan pemahaman-pemahaman dan metode berpikir yang baru. Apa yang disampaikan Cak Nun, memberi bekal dan keyakinan bagi mereka untuk melangkah, dengan semangat yang baru, mengikat kembali dan memaknai arti dari silaturhami, membangun persaudaraan dengan pondasi hidup yang sama sekali baru.

Acara kemudian ditutup dengan doa bersama, dilanjutkan dengan makan malam sebelum semuanya membereskan kembali ruangan yang telah digunakan.

Verbatim: Fahmi Agustian | Kontributor: Jamal