Menikmati Realitas Walakinnalaha Roma Di New York

Reportase maiyahan amerika

Menjelang Magrib, dari kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia di 5 E 68 St NewYork, Cak Nun dan Ibu Via beserta rombongan pengurus Masjid Al-Falah menuju rumah perwakilan Kepala Bank Indonesia, di kawasan 25 Greenway South, Forest Hills, NY 11375. Bapak Erwin Haryono yang baru dua minggu bertugas di New York, langsung mempersilakan rombongan beristirahat ruangan yang telah disediakan. Rumah tersebut dibangun pada tahun 1919, memiliki 10 kamar dan berada di lingkungan masyarakat elit yahudi.

Setelah beristirahat, dilanjutkan salat berjamaah, diimami oleh Mas Luthfi Rahman, disambung dengan makan malam bersama. Lontong opor ayam adalah menu utama malam itu. Sambil menyantap hidangan, sesekali dibarengi obrolan ringan, Pak Erwin menceritakan dirinya yang baru dua kali menghadiri Kenduri Cinta di Jakarta, karena keburu mendapat tugas ke New York. Pak Erwin juga bercerita seputar makhluk halus hingga kejadian kesurupan yang pernah terjadi di kediaman beliau.

Sebelum memasuki diskusi yang lebih serius, Ibu Via diminta oleh ibu-ibu yang datang untuk membawakan lagu yang berjudul Dengan Menyebut Nama Allah. Kehadiran Ibu Via menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi ibu-ibu yang memang lebih mengenalnya sebagai penyanyi pada era 90-an.

“Cinta itu tidak bisa hanya kasih dan juga tidak bisa hanya sayang, dia harus detil yaitu Rahmaan dan Rahiim.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyah Amerika (Sep, 2015)

PENGHAYATAN DAN TAFSIR KONTEKSTUAL

Mengawali diskusi, Cak Nun menukil ayat Alquran, “Dalam Islam itu ada istilah wa maa romaita idz romaita walakinnallaha romaa, yang artinya tidaklah sesuatu itu terlempar kepadamu kecuali Allah yang melemparnya.”

Cak Nun sampaikan rentannya peristiwa-peristiwa dimana orang dengan mudahnya menjegal, memfitnah dan menyakiti hati orang lain. “Nah, kalau orang yang dijahati itu online sama Tuhan, berarti dia juga online sama staf-stafnya Tuhan, dan staf-staf Tuhan ini bekerja untuk Tuhan dan untuk orang-orang yang mencintai Tuhan. Kalau bahasa Arabnya, staf ini adalah malaikat,” Cak Nun menjelaskan bahwa malaikat merupakan birokrasi kekuasaan Tuhan dan apabila seseorang yang mencintai Tuhan diperlakukan jahat oleh orang lain atau ia tertimpa sesuatu yang tidak baik, secara otomatis malaikat akan memgambil alih sesuatu yang tidak baik itu. Menyambung dengan ayat sebelumnya, dengan tamsil sederhana, Cak Nun mengibaratkan seseorang yang hendak melempar batu kepada kita, dalam rentang waktu sekian detik sebelum batu itu sampai, malaikat sangat mungkin “menunggangi” batu tersebut sehingga batu tersebut berubah menjadi hal yang menggembirakan.

“Saya sangat menikmati hal tersebut dalam hidup saya,” Cak Nun melanjutkan, “Bentuk nikmat Allah yang disampaikan melalui malaikat itu tidak terbatas. Bisa berupa tambah teman, bisa berupa kemudahan bekerja, bisa berupa kegembiraan yang aneh, yang tiba-tiba kita merasa bergairah dan gembira.”

Cak Nun berkelakar bahwa acara di kediaman staf Bank Indonesia ini sebenarnya adalah dalam rangka “evakuasi” dari rencana sebelumnya di tempat lain, karena ada beberapa orang yang sedianya beracara dengan beliau, namun ada anggapan bahwa Cak Nun adalah sosok yang suka mengolok-olok agama sehingga Cak Nun dan orang-orang yang ada di sekeliling Cak Nun, menurut orang-orang tersebut, akan diazab oleh Allah. Penolakan mereka kemudian berujung pada silaturahmi di kediaman Bapak Erwin Haryono hari itu. Dari kasus sederhana ini Cak Nun mengajak untuk selalu berbaik sangka terhadap apa yang sudah digariskan oleh Allah SWT.

Melanjutkan keterkaitan ayat sebelumnya, Cak Nun menjelaskan, metode ayat tersebut bisa diaplikasikan dalam berbagai formula dalam kehidupan sehari-hari. “Metode ayat wa maa romaita idz romaita walakinnallaha romaa itu kan bisa diaplikasikan dalam berbagai formula. Dia bisa menjadi ilmu dan logika, dia bisa juga menjadi password agar kita mendapatkan opsi itu (perubahan hal jahat menjadi baik) dari Tuhan. Nah, password itu dalam Islam namanya zikir,” terang Cak Nun. Lebih detail dijelaskan, ayat tersebut seringkali diucapkan berulang ketika disakiti orang lain. Dengan berzikir mengucapkannya, Cak Nun seringkali mengalami hal-hal yang justru menggembirakan dan tidak disangka-sangka, dari sesuatu yang sebelumnya tidak baik.

Salaamatu-l-insaani fii hifdzi-l-lisaani. Keselamatan manusia terletak dalam menjaga lisannya,” Cak Nun kembali menukil terminologi Islam sebagai pondasi dasar untuk menguatkan apa yang dilakukan Cak Nun (berbicara di depan banyak orang) adalah bukan dalam rangka berceramah. Cak Nun lalu memperkenalkan forum-forum rutin maiyahan setiap bulan yang telah diadakan sejak tahun 200-an. Forum-forum yang berlangsung di banyak kota di Indonesia dan terus bertambah lagi di beberapa kota, berlangsung dimulai jam delapan malam dan berakhir pada jam tiga dinihari. Dalam forum-forum Maiyah tersebut tidak pernah direncanakan untuk membicarakan apa, karena yang terjadi justru lahir pertanyaan-pertanyaan dan pemaparan-pemaparan oleh siapa saja yang hadir di forum tersebut tanpa pandang bulu. Siapa saja bebas serta memiliki hak sama untuk berbicara dan berpendapat.

“Bentuk nikmat Allah yang disampaikan melalui malaikat itu tidak terbatas. Bisa berupa tambah teman, bisa berupa kemudahan bekerja, bisa berupa kegembiraan yang aneh, yang tiba-tiba kita merasa bergairah dan gembira.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyah Amerika (Sep, 2015)

Melanjutkan diskusi, Cak Nun menyoroti kegagalan mengidentifikasi dan tidak runtutnya mencari asal kata, “Rasulullah SAW pernah mengatakan: ad-diinu An-nashihah. Bahwa agama adalah nasihat.” Cak Nun mencontohkan kata fatwa dalam bahasa Arab, pada awalnya diterjemahkan sebagai petuah, namun kini, dalam bahasa, kata fatwa dan petuah memiliki makna berbeda. Contoh lain, kata akal. Akal kini dipahami tidak berbeda dengan otak, padahal dua itu merupakan dua hal yang berbeda. Binatang berotak, tetapi dia tidak berakal. Otak yang selalu online dengan Tuhan itulah yang kemudian menjadi akal dan pada sejengkal berikutnya ia memiliki sifat yang kita kenal dengan istilah: pikiran.

Penggunaan kata akal yang salah kaprah itu berhubungan erat dengan makna negatif yang menyertai kata yang menggunakan kata dasar akal, yaitu: mengakali. Mengakali lebih banyak dipahami sebagai me-licik-i, men-curang-i. Padahal, akal merupakan strategi utama yang harus dimiliki oleh manusia. Istilah ngakali dipahami sebagai peristiwa menipu, misalnya “ngakali orang” dipahami sebagai “menipu orang”. Padahal manusia dalam perjalanan kehidupannya harus banyak-banyak ngakali. Padi diakali agar menjadi beras, kemudian beras diakali lagi agar menjadi nasi, lontong, bubur atau ketupat. Banyak orang gagal memahami bahwa kreativitas adalah fungsi dari akal itu sendiri. Kesalahan penggunaan dan pemahaman terhadap banyak kata ini kemudian berakibat pada tidak adanya batas dalam penggunaan kata-kata, sehingga hilanglah kesakralan kata.

Dalam riwayat hadits sebelumnya, Rasulullah SAW kembali ditanya oleh para sahabat: Bagi siapa nasihat (berupa agama) itu berlaku? Rasulullah SAW menjawab: Bagi Allah, bagi kitab Allah, bagi Rasulullah, bagi pemimpin serta ulama-ulama dan bagi umat Islam.

Persoalan sama, kata nasihat kembali salah diterjemahkan dengan tepat. Nasihat dipahami sebagai tutur-tutur yang disampaikan kepada orang lain. Jika disambungkan dengan hadits tersebut, maka aneh jika agama kemudian memberi nasihat kepada Allah, kepada kitab Allah dan kepada Rasulullah. Kata nasihat sering dipahami sebagai istilah yang bermakna mengajari, sehingga kemudian banyak orang yang merasa dirinya pantas untuk mengajari orang lain tentang agama.

Dalam perkembangannya, nasihat dalam agama bahkan menjadi industri. Kita bisa lihat bagaimana berceramah atau public speaking yang dikontestasi, hingga muncullah ustaz-ustaz di televisi, begitu banyaknya hingga lahirlah industri nasihat. Cak Nun menyayangkan transaksi materiil yang terjadi pada peristiwa ceramah-ceramah keagamaan. Kata ustaz sendiri dalam tradisi di Timur Tengah lebih sering digunakan sebagai sapaan pada seseorang yang kita hormati. Di Indonesia, kata ustaz dipahami sebagai panggilan kepada seseorang yang dipandang menguasai ilmu agama, seorang penceramah dan pendakwah lebih sering disebut ustaz, bukan muballigh atau da’i.

Lebih lanjut, dalam hadits lain, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa nasihat memiliki arti komitmen, loyalitas, keteguhan hati dan kepatuhan. Lebih tepatnya, kata nasihat dalam hadits “ad-diinu an-nasihah” logis dipahami sebagai komitmen, loyalitas, keteguhan hati dan kepatuhan. Cak Nun menambahkan, untuk tiga pihak pertama (Allah, Kitab Allah dan Rasulullah) komitmennya bersifat mutlak, tidak bisa diganggu gugat, sedangkan untuk pemimpin dan sesama umat muslim, Cak Nun memberikan pondasi yang bersifat lebih relatif atau lentur, hal ini dikarenakan begitu dinamisnya manusia.

Penjelasan relatif ini sejalan dengan ayat: Athii’ullaha wa athii’urrasuul wa ulil amri minkum. Cak Nun memiliki tafsir bahwa taat kepada Allah dan Rasulullah bersifat mutlak, sedangkan kepada ulil amri bersifat relatif. Ulil amri bisa saja yang dimaksud adalah ulama, pemimpin, pejabat dll. Dalam ayat tersebut, didepan kata ulil amri tidak disertakan kata athii’u, hanya di depan kata Allah dan Rasulullah yang disematkan kata athii’u. Dalam ayat ini, Cak Nun memahami bahwa Allah memberi retorika dalam penggunaan kata athii’u, bahwa jika kepada Allah dan Rasulullah ketaatan manusia bersifat mutlak tanpa ada tawar-menawar, tetapi kepada ulil amri ketaatan manusia bersifat relatif karena ulil amri juga manusia biasa yang bisa berbuat salah, sehingga sifatnya relatif dalam arti kadang bisa ditaati dan kadang tidak harus ditaati.

Cak Nun menambahkan bahwa agama adalah informasi tentang segala sesuatu yang kita sendiri tidak bisa mencarinya, yang bisa kita lakukan adalah mengira-ngira. Allah memberi informasi kepada kita tentang sifat-sifat-Nya dan dari 99 asmaul husna itu, Allah mempunyai ikon utama yaitu Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, yang selalu kita sebut dalam kalimat basmallah. Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim merupakan dua jenis cinta yang tidak mungkin dipisahkan. Ar-Rahman merupakan perwujudan cinta yang sifatnya meluas, sedangkan Ar-Rahiim adalah perwujudan cinta yang mendalam. Tidak mungkin kita membangun sebuah bangunan tanpa pondasi yang kuat dan dalam. Seluas apapun dan setinggi apapun bangunan itu harus diimbangi dengan tiang-tiang yang kuat yang menopangnya, juga pondasi-pondasi yang juga harus dalam, agar bangunan tersebut tidak hanya indah di pandang dari luarnya saja, tetapi juga kokoh karena kekutan yang tersimpan didalamnya. “Maka, cinta itu tidak bisa hanya kasih dan juga tidak bisa hanya sayang, dia harus detil yaitu Rahmaan dan Rahiim,” tegas Cak Nun.

Situasi Indonesia saat ini diibaratkan Cak Nun dengan: fainna ma’a-l-‘usri yusro, bahwa sesungguhnya dalam setiap kesulitan selalu ada bersamanya kemudahan. Ada solusi yang lahir di setiap kesulitan yang kita hadapi. Akal yang dianugerahkan kepada manusia itulah, dengannya kita mencari kemudahan yang terdapat dalam setiap kesulitan.

IDENTITAS DAN PERSONALITAS

Melengkapi paparan tentang kegagalan identifikasi kata yang berakibat pada kegagalan pemaknaan serta kajian-kajian epistimologis, Cak Nun kembali membuka jendela-jendela pemahaman tentang identitas, fungsi dan manfaat yang melekat pada manusia.

“Ada jarak antara identitas, fungsi dan manfaat,” lanjut beliau. Manusia bisa beridentitas tetapi tidak memiliki fungsi dan manfaat. Bisa juga manusia beridentitas dan memiliki fungsi tetapi tidak memberi manfaat. Ada juga orang tidak memiliki identitas, tetapi ia justru memiliki fungsi dan juga bermanfaat bagi sekitarnya. Meskipun yang ideal tentu saja: dia yang memiliki identitas, berfungsi dan juga sekaligus memberikan manfaat. “Tetapi yang kita cari tentu saja terjadinya dialektika dari tiga hal tersebut; ada identitas kemudian ada fungsi dari identitas tersebut hingga akhirnya muncullah output berupa manfaat dari identitas dan fungsi seseorang,” Cak Nun melengkapi.

Pada kesempatan berikutnya, Cak Nun melangkah mundur pada pijakan yang disebut sebagai personalitas, memberi pemahaman lebih detil tentang perbedaan antara identitas dan personalitas. Personalitas adalah sesuatu yang diberi langsung oleh Allah, menempel dalam tubuh kita; jenis rambut, warna kulit, bentuk wajah, sifat, moral, hingga kapan dan di mana kita dilahirkan. Hal itulah yang merupakan personalitas. Sedangkan identitas adalah sesuatu hal yang kita pilih sendiri, seperti di mana kita bekerja dan jabatan apa yang kita emban, itulah identitas. “Identitas adalah takdirmu atas dirimu, sedangkan personalitas adalah takdir Tuhan atas dirimu,” jelas Cak Nun.

Lebih dalam lagi, Cak Nun menjelaskan, dalam lingkup identitas kita memiliki opsi yang bisa kita pilih, tetapi dalam lingkup personalitas kita tidak mempunyai pilihan. Kita bisa memilih bekerja di mana, mengambil peran apa di masyarakat, menjadi suami atau istri siapa dan sebagainya. Tetapi kita tidak bisa memilih siapa orang tua kita, di mana kita lahir, tidak bisa memilih warna kulit kita, berapa berat dan tinggi badan kita, seperti apa jenis rambut kita, karena itu merupakan personalitas kita.

“Saya itu orang yang tidak berani bergerak dari personalitas ke identitas. Saya adalah orang yang takut memilih. Saya di-ustadz-kan, saya ndak mau, saya di-kyai kan saya ndak mau. Saya hanya ingin bergerak dari personalitas ke fungsi dan manfaat,” Cak Nun menceritakan singkat perjalanan hidupnya sejak tahun 70-an, masa ketika ia sudah mulai membangun forum-forum diskusi, kemudian menulis, mementaskan naskah puisi, teater hingga berkeliling ke berbagai tempat bersama KiaiKanjeng, bukan hanya lintas kota dan provinsi, bahkan sudah lintas negara dan benua.

“Orang sibuk dengan identitas, lupa kepada personalitas dan lupa kepada fungsi yang sebenarnya, apalagi manfaat.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyah Amerika (Sep, 2015)

Dalam kehidupan sosial, hukum, dan politik di Indonesia, meski tidak memiliki latar belakang sebagai politisi namun beliau menjadi orang yang bisa membujuk Soeharto untuk lengser keprabon, dan mengantar Gus Dur menjadi presiden. Dalam banyak persoalan sosial kemasyarakaan, tidak jarang Cak Nun terlibat dalam proses mendamaikan, merujukkan, menyatukan, padahal Cak Nun tidak memiliki latar belakang akademis sebagai ahli hukum. Tidak jarang pula Cak Nun didatangi orang yang sedang sakit dan minta disembuhkan, ada juga yang minta didoakan agar segera dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi dalam sebuah perusahaan, ada juga yang minta didoakan agar terpilih menjadi kepala daerah, dan sudah tidak terhitung berapa ribu orang yang meminta nama anaknya kepada Cak Nun.

Tidak pernah menerapkan sistem transaksi merupakan satu hal yang menjadi ketegasan Cak Nun. Dengan kondisi tersebut, Cak Nun merasa lebih merdeka dan tidak ada kewajiban untuk taat kepada orang yang mengundang. Seperti ketika Cak Nun dan Ibu Via diminta hadir di Hong Kong oleh para buruh migran, pada awalnya telah disepakati bahwa Cak Nun dan Ibu Via hadir sebagai orang tua mereka, tidak ada transaksi mengenai honor apalagi persoalan akomodasi. Peristiwa yang terbangun justru jalinan silaturahmi yang lebih intim dan akrab, bahkan seperti keluarga sendiri. Hal ini pulalah yang disepakati oleh Cak Nun dan teman-teman dari Masjid Al Falah ketika mengungkapkan niat mereka ingin mengundang Cak Nun ke Philadhelphia.

“Yang ingin saya sampaikan adalah, sekarang ini orang sibuk dengan identitas, lupa kepada personalitas dan lupa kepada fungsi yang sebenarnya, apalagi manfaat,” Cak Nun menutup penjelasan terkait identitas dan personalitas dengan sebuah ungkapan nguda rasa. “Saya ini sekarang sedang mengalami ketidakpercayaan diri yang luar biasa, lebih tepatnya kehilangan parameter dalam cara berpikir saya. Setelah saya menulis sekian banyak buku dan ada beberapa yang akan terbit lagi, saya justru merasa: kok sepertinya parameter saya yang salah ya?”

Cak Nun mengungkapkan bagaimana yang terjadi di bumi sekarang ini justru jauh berbeda dari apa yang sejak dulu Cak Nun tulis dan sampaikan di forum-forum diskusi, baik di maiyahan ataupun di luar maiyahan selama ini. Karena Cak Nun mengakui bahwa yang berlaku sekarang ini hampir semuanya terbalik dari apa yang beliau pikirkan selama ini. Baik itu tentang Islam, politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya.

Jika suatu saat dunia membeda-bedakan suku, ras dan agama dengan istilah kau, aku, kamu dan sebagainya, Indonesia akan mampu mengubahnya menjadi kita.

RASA PENASARAN GENEALOGIS

Dinamika wacana hari itu menjadi hangat tatkala muncul diskusi mengenai maraknya kelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran, tidak menghargai perbedaan. Pada kesempatan lainnya, diskusi juga diwarnai fenomena kontras yang kerap terjadi, seperti sering ditemukannya orang-orang yang tampak agamis tetapi perilakunya justru tidak mencerminkan orang beragama, banyak juga orang yang penampilannya tidak alim tetapi perilakunya justru mencerminkan orang yang paham tentang agama. Juga muncul pertanyaan tentang genealogis bangsa Yahudi serta hubungannya dengan Jawa. Apakah benar bangsa Yahudi yang kini menguasai ekonomi global bukan bangsa asli keturunan Yahudi?

Merespon pertanyaan-pertanyaan yang muncul, Cak Nun memberikan pondasi bahwa apa yang nanti disampaikan dalam merespon pertanyaan yang muncul jangan lantas dianggap sebagai jawaban yang benar dan kemudian dijadikan pijakan yang mutlak, karena kunci yang paling penting dalam mencari jawaban atas sebuah pertanyaan adalah penelitian. Sehingga jangan berharap lahir jawaban yang bersifat kebenaran sejati jika kita tidak mampu melakukan penelitian terhadap pertanyaan yang muncul itu tadi.

Tentang hubungan biologis antara Jawa dan Yahudi, Cak Nun menanggapi, secara genetis tentunya sulit sekali dilakukan penelitian terhadap itu, seperti perkawinan orang Jawa dan Sunda, atau Jawa dengan Cina misalnya, pada generasi ke sekianlah baru terlihat siapa yang mirip. Bisa saja pada keturunan generasi ketiga baru muncul bayi yang mirip dengan kakek buyutnya. Kasus lain yang dicontohkan Cak Nun adalah di suku Dayak saat ini, meskipun di sana sekarang hidup orang Jawa, orang Madura dan orang Melayu, tetapi yang bukan asli orang Dayak akan disebut sebagai orang Melayu, dan apabila ada orang Dayak yang kemudian masuk Islam, ia akan dianggap sebagai orang Melayu. Pengertian persilangan ras saat ini bukan hanya soal genetika saja. Manusia diibaratkan seperti ketela dan produk dari ketela itu ada yang menjadi keripik, getuk, tiwul, dan sebagainya.

Seolah membuka jendela-jendela, Cak Nun seringkali menawarkan metode pembelajaran yang multi dimensi, bukan hanya sejarah sebagai sebuah catatan namun juga sejarah dalam fenomonologinya. Melanjutkan, Cak Nun memaparkan hasil beberapa penelitian bahwa setelah terjadinya perang salib, ada indikasi penguburan sejarah kejayaan nusantara kuno, sebagian menyebutnya dengan istilah ‘sunda wiwitan’ atau ‘jawa kuno. Hal itu dilakukan secara terus menerus, hingga pada taraf ditutupnya akses terhadap benda-benda peninggalannya, situs-situs kebudayaan dan naskah-naskah yang terkait dengan hal-hal tersebut.

Secara singkat, dengan ingatan terbatas, Cak Nun katakan bahwa keturunan Yahudi terbagi menjadi tiga. Pertama, Yahudi yang benar-benar asli keturunan Ibrahim. Kedua, orang Yahudi hasil perkawinan bangsa Yahudi dengan Arab yang disebut Asfaradin, dan ketiga, orang Yahudi hasil perkawinan bangsa Yahudi dengan Barat yang disebut Askinazi. Maka jika kita tarik dalam garis keturunan, sulit kita membenci Yahudi karena nenek moyang mereka adalah Ibrahim, sebuah nama yang selalu kita ucapkan setiap salat setelah nama Rasulullah Muhammad SAW.

Cak Nun mengajak untuk terus melakukan penelitian-penelitian, lebih detil utamanya terhadap sistem ekonomi yang berlaku sekarang, dimana semua transaksi menggunakan sistem mata uang. Mengapa terjadi peralihan dari sistem barter, kemudian sistem dinar dan diubah lagi menjadi sistem mata uang seperti berlaku kini. Ibaratnya, harus ada muhasabah kembali terhadap sistem peradaban yang berlaku saat ini.

“Kita tidak usah menghabiskan energi kita untuk mencari siapa yang salah, siapa yang benar. Yang sebaiknya kita lakukan saat ini adalah mencari apa yang benar.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyah Amerika (Sep, 2015)

MENGUAK LAPIS-LAPIS INDONESIA

Bagi warga Indonesia yang ada di luar negeri, persoalan Indonesia tentu menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk dikaji, tidak terkecuali pada diskusi kali itu. Cak Nun mengingatkan, untuk melihat persoalan Indonesia tidak bisa hanya melihat dalam konteks “perseteruan” Jokowi dan Prabowo saja, juga tidak bisa menilai dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Diperlukan keberanian dalam meneliti kembali dan mempertegas kedudukan negara di Indonesia, karena yang terjadi sekarang justru pasar bebas berdampingan akrab dengan negara. Secara metaforis, Cak Nun sampaikan, tidak mungkin seorang suami yang saleh dapat hidup rukun damai dengan istri yang berprofesi sebagai pelacur.

Marak tumbuhnya bank-bank syariah yang lahir dari bank konvensional di tanah air, juga menjadi sebuah kegelisahan bagi Cak Nun. Potensi atas ekploitasi pasar akan terjadi, lebih besar dari semangat meneguhkan nilai-nilai Islam secara utuh, hal ini karena ketika sebuah bank memunculkan konsep terapan sistem ekonomi Islam (syariah) dalam suatu bank syariah, namun dalam praktiknya, bank konvensionalnya tetap berjalan seperti biasa, karena semangat yang dijadikan pondasi adalah semangat bisnis memanfaatkan pasar yang ada, bukan benar-benar menguatkan apalagi memberlakukan sistem ekonomi Islam.

Menyoroti kondisi lembaga-lembaga penegakkan hukum di tanah air, seperti isu kerancuan peran antara KPK dan Polri, Cak Nun mengambil analogi permainan sepakbola. Pada awal berdirinya, KPK dilahirkan karena peran Kejaksaan dan Polri dianggap kurang optimal hal pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga dibentuklah KPK yang sebenarnya dia ad-hoc alias sementara. Kerancuan terjadi karena pemain yang digantikan (perannya) oleh KPK tidak keluar dari lapangan pertandingan, sehingga terjadi saling baku hantam antar pemain, di kubu yang sama, di lapangan pertandingan pemberantasan korupsi. Persoalan makin melebar ketika KPK diberikan peran sama dengan lembaga negara yang sifatnya tetap.

Cak Nun selalu memandang dan menamkan optimisme dalam dirinya, bahwa masa depan cerah Indonesia selalu tampak. Pada sebuah forum maiyahan, seorang pejabat kepolisian dan TNI justru mampu berceramah layaknya seorang ulama. Di Yogyakarta, salah satu batalyon infanteri TNI pada setiap acara ulang tahunnya selalu menggelar lomba ngaji, selawatn, hadrah dan pengajian. Disini lah letak unik dan spesialnya Indonesia, karena kemampuannya meramu, menyatukan dan mengawinkan segala sesuatu dalam satu ruang. Menurut Cak Nun, jika suatu saat dunia membeda-bedakan suku, ras dan agama dengan istilah kau, aku, kamu dan sebagainya, Indonesia akan mampu mengubahnya menjadi “kita”.

Situasi kondisi Indonesia saat ini diibaratkan Cak Nun dengan sebuah ayat Alquran: fainna ma’a-l-‘usri yusro, bahwa sesungguhnya dalam setiap kesulitan selalu ada bersamanya kemudahan. Ada solusi yang lahir di setiap kesulitan yang kita hadapi. Akal yang dianugerahkan kepada manusia itulah, dengannya kita mencari kemudahan yang terdapat dalam setiap kesulitan.

“Sejatinya keimanan seseorang terletak dalam hati dan pikiran, dalam cara berpikirnya masing-masing, manusia yang lain hanya bisa melihat dari output sosialnya, perilakunya, adabnya, moralnya dan sebagainya.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyah Amerika (Sep, 2015)

Dengan pemaparan khas maiyahan, Cak Nun mengajak berpikir out of the box, dengan menjelaskan bagaimana sebenarnya di Indonesia yang dibutuhkan adalah sertifikasi haram, bukan sertifikasi halal. Lain halnya di Amerika, warung makanan halal harus dikhususkan (dilabeli) karena asumsinya warung-warung yang menyajikan makanan haram jumlahnya lebih banyak, berdasarkan populasi muslim di Amerika yang minoritas. Sedangkan di Indonesia, populasi muslim mayoritas, seharusnya warung-warung yang menjajakan makanan haram dibutuhkan sertifikasi haram. Cak Nun mengajak memahami bahwa yang terjadi di Indonesia saat ini adalah kesalahan struktur berpikir yang sudah mencapai pada tingkat yang sangat akut sedemikian rupa. Sehingga yang kita butuhkan adalah mengubah cara berpikir terlebih dulu sebelum menginginkan perubahan dalam skala lebih luas.

Menanggapi keresahan Pak Erwin yang bertanya bagaimana sikap kita seharusnya menghadapi situasi di mana segelintir orang saat ini merasa paling benar, Cak Nun mengutip Sabrang, “Kita tidak usah menghabiskan energi kita untuk mencari siapa yang salah, siapa yang benar. Yang sebaiknya kita lakukan saat ini adalah mencari apa yang benar.”

“Seseorang kafir itu bisa dilihat ndak?” Cak Nun melempar pertanyaan yang kemudian semua sepakat menjawab, “Tidak”. Sejengkal kemudian Cak Nun memaparkan, sesungguhnya kita tidak relevan menganggap orang yang berpeci adalah orang yang alim. Karena sejatinya keimanan seseorang terletak dalam hati dan pikiran, dalam cara berpikirnya masing-masing, manusia yang lain hanya bisa melihat dari output sosialnya, perilakunya, adabnya, moralnya dan sebagainya. Cak Nun menjelaskan, dari asal katanya, kafir memiliki arti menutupi. Kata tersebut diserap oleh bahasa Inggris berubah menjadi cover, begitu juga ketika diserap ke bahasa Indonesia menjadi kover yang memiliki makna salah satunya adalah menutupi. Kafir adalah sebuah peristiwa bukan identitas, karena tidak ada orang di dunia ini yang memiliki identitas kafir. Peristiwa yang terjadi adalah kekufuran dan dalam konteks ini kufur sendiri ada banyak jenisnya, tergantung pada ruang dan waktunya.

Kesalahan juga terjadi dalam memahami peristiwa musyrik. Musyrik dipahami dengan pemahaman bahwa manusia mempercayai kekuatan lain selain Allah. Cak Nun memberi contoh, sebagian orang menganggap memakai cincin batu akik termasuk dalam kategori musyrik karena batu tersebut dianggap menyimpan kekuatan selain kekuatan Allah. Cara berpikir seperti inilah yang juga harus diperbaiki. Benar adanya bahwa Allah lah yang memiliki segala kekuatan atas segenap makhluk, tetapi Allah memiliki otoritas untuk meminjamkan kekuatan tersebut kepada semua makhluk-Nya yang Dia ciptakan di alam semesta ini. Manusia memiliki kekuatan sehingga ia mampu bertahan hidup dan mempertahankan hidup, matahari memiliki kekuatan sehingga ia selalu terbit setiap pagi untuk memancarkan sinarnya ke planet-planet, bumi juga memiliki kekuatan yang juga dipinjami oleh Allah. Ruang lingkup dimensi seperti ini yang sangat jarang dipahami oleh manusia kebanyakan, sehingga lahirlah pemikiran dangkal, orang dengan mudahnya mengkafir-kafirkan orang lain.

“Kunci yang paling penting dalam mencari jawaban atas sebuah pertanyaan adalah penelitian.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyah Amerika (Sep, 2015)

“Allah bertajalli, bahwa sesungguhnya yang ada hanya Allah. Bahkan anda pun sebenarnya tidak ada. Anda hanya diada-adakan sejenak oleh Allah, sesuai dengan ruang dan waktunya,” lanjut Cak Nun. Dijelaskan kemudian, semua garis perjalanan manusia yang sudah tertulis di lauhil mahfudz banyak disalahpahami bahwa apa yang terjadi dengan manusia di dunia itu sesuai dengan apa yang tertulis di lauhil mahfudz, padahal manusia diciptakan menjadi khalifah di muka bumi sehingga manusia juga berhak menentukan takdir atas dirinya sendiri.

Cak Nun menggambarkan bahwa apa yang tertulis dalam lauhil mahfudz seperti coding yang sudah tertanam dalam sebuah program software di komputer. Setelah meng-install program tersebut kemudian bisa melakukan apa saja yang sudah kompatibel dengan program tersebut. Apa yang dilakukan dalam program tersebut sudah diatur aturan mainnya, sehingga tidak mungkin mampu melakukan di luar batas kemampuan dari program tersebut. Sama halnya dengan apa yang tertulis di lauhil mahfudz atas ketetapan garis kehidupan manusia, bahwa yang digariskan adalah sesuatu yang sudah ada batasnya, sehingga manusia diberi keleluasaan untuk menentukan takdir atas dirinya sendiri, selama apa yang dilakukan oleh manusia belum melewati batas dari apa yang sudah ditetapkan oleh Allah, maka kun fayakun, yang dikehendaki pasti akan terjadi. Jika apa yang diharapkan tidak terwujud, kemungkinannya adalah bahwa apa yang diusahakannya itu berada di luar batas dari apa yang sudah ditentukan di lauhil mahfudz.

Dari penjelasan tersebut, harus ada pemahaman yang mampu membedakan antara ketetapan atau takdir Tuhan dengan pilihan hidup manusia. Tuhan hanya mentakdirkan skala dan prinsipnya, kemudian manusia diberi wewenang untuk menentukan pilihannya sampai batas tertentu. Gambaran mudahnya, Cak Nun mengibaratkan seperti ketika seseorang sedang bermain game di komputer, tokoh yang ia mainkan bisa digerakkan sesuka hati dalam batas koridor program yang sudah ditentukan oleh developer pembuat game tersebut. Manusia lahir, kemudian berkembang menjadi dewaaa, lalu memiliki pilihan-pilihan hidup, ingin menjadi apa, bekerja di mana, menikah dengan siapa. Ada beberapa yang sifatnya sudah saklek, seperti misalnya Tuhan menciptakan padi kemudian manusia memiliki opsi mengolah padi menjadi beras, setelah menjadi beras manusia memiliki beberapa opsi lagi untuk mengolahnya menjadi nasi, bubur, ketupat, lontong, tepung, dan lain sebagainya.

Antara manusia yang satu dengan yang lainnya tidak memiliki saham satu sama lain, sehingga tidak berhak seseorang menyatakan kekafiran atau kemusyrikan orang lainnya, apalagi sampai diumumkan di publik.

MEMBENAHI PEMAHAMAN TENTANG BID’AH

Tentang bid’ah, Cak Nun memberikan penjelasan, “Bid’ah itu adalah segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasululllah SAW, tidak diperintah oleh Rasulullah SAW dan tidak dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Tetapi kalau pemahaman ini tidak memakai skala, maka kita akan repot sendiri dalam hidup kita. Bahkan sampai pada apa yang kita lakukan saat ini banyak sekali yang termasuk dalam kategori bid’ah.”

Lebih detail dijelaskan, bahwa wilayah bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW adalah yang berkaitan dengan ibadah mahdah, sudah diatur dalam rukun Islam. Syahadat ya hanya dua kalimat, tidak perlu menambahkan kalimat atau pihak yang lain dalam kalimat syahadat. Salat lima waktu tidak perlu dirubah lagi jumlah rakaatnya, gerakannya atau waktu pelaksanaannya. Puasa Ramadan tidak boleh juga diubah waktunya, baik dimundurkan maupun dimajukan, harus dilaksanakan pada bulan Ramadan. Haji pun demikian, pelaksanaannya di Makkah, bukan kemudian kita membangun sendiri Kabah di tempat lain.

“Jika yang dimaksud menambahi atau mengurangi dalam konteks ibadah mahdah, itulah bid’ah. Tetapi yang diluar ibadah mahdah, tidak ada bid’ah. Yang ada adalah syariat, yaitu benar atau salah,” lanjut Cak Nun. Dengan sedikit guyonan ringan, Cak Nun menjelaskan sangat tidak logis jika kita menunaikan ibadah haji, mulai dari berangkat menuju tanah suci hingga kembali ke tanah air mengikuti cara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sama persis. Karena dengan kemajuan teknologi, kita yang berada jauh dari Arab Saudi bisa sampai ke Makkah hanya dalam waktu hitungan jam menggunakan moda transportasi pesawat terbang.

Dalam dimensi yang lain, bid’ah yang banyak disalahpahami ini sebenarnya adalah bentuk kreativitas manusia itu sendiri. Pada zaman Rasulullah SAW belum ditemukan teknologi kendaraan bermotor, saat ini kita menikmati moda transportasi yang begitu maju, baik dari segi mesin hingga desain bentuknya. Pada zaman Rasulullah SAW, teknologi komunikasi yang berkembang saat itu belum secanggih yang kita rasakan saat ini. Belum ada teknologi internet, telepon seluler dan sebagainya. Alquran yang kita pegang hari ini merupakan salah satu bentuk kreativitas manusia, karena pada zaman Rasulullah SAW Alquran belum dituliskan pada mushaf-mushaf, ayat-ayat Alquran masih terjaga dalam hafalan Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau, hingga kemudian akhirnya pada masa khulafaur rasyidin, Alquran secara perlahan dikumpulkan dan kemudian disusun ke dalam satu kitab mushaf yang terstruktur rapi. Salah satu yang kita kenal adalah mushaf Utsmaniy.

“Kalau anda berbicara tentang Islam tolong hendaknya selalu ingat bahwa Islam ada jaraknya dengan Arab, bukan menggunakan pondasi bahwa Islam sama dengan Arab. Sebagian dari Islam adalah Arab, tetapi tidak semuanya Arab.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyah Amerika (Sep, 2015)

Menjelang puncak diskusi, Cak Nun mengingatkan: mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar. “Jadi jawaban saya kepada Pak Erwin adalah: sudah nggak usah pusing dengan argumen mereka (yang suka membid’ah-bid’ahkan dan mengkafir-kafirkan), perkara siapa yang benar dan siapa yang salah itu bukan otoritas kita yang menentukannya, yang bisa kita lakukan adalah mencari apa yang benar.”

Ibarat sebuah perusahaan, para pemegang saham lah yang memiliki otoritas menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh oleh perusahaan bahkan sampai tingkat membubarkan perusahaan itu sendiri. “Siapa pemegang saham utama hidup kita?” tanya Cak Nun, dijawab serentak oleh yang hadir, “Allah!” Antara manusia yang satu dengan yang lainnya tidak memiliki saham satu sama lain, sehingga tidak berhak seseorang menyatakan kekafiran atau kemusyrikan orang lainnya, apalagi sampai diumumkan di publik. Antara manusia tidak memiliki saham satu sama lain, sehingga tidak ada alasan untuk mengkafir-kafirkan, memusyrik-musyrikan dan membid’ah-bid’ahkan. Jika pun ada batas minimal yang memungkinkan akan hal itu, hanya pada batas mengetahui dalam hati masing-masing, tidak dalam rangka mengumumkannya di depan publik.

Pada akhir diskusi, di kediaman Pak Erwin ini, Cak Nun menjelaskan salah satu budaya orang Arab yang menjadikan istilah “haram” sebagai salah satu budaya mereka untuk menyatakan ketidak setujuan, atau penolakan terhadap sesuatu. Sehingga kata “haram” oleh mereka di pasar, di pinggir jalan bahkan di masjid seringkali bermaksud dalam rangka menyatakan ketidaksetujuan terhadap apa yang ia lihat atau apa yang diperlihatkan kepada mereka. Hal itu berdasar pengalaman Cak Nun ketika umroh bersama KiaiKanjeng, pada saat menikmati prosesi doa, hingga meneteskan air mata di depan Kabah datanglah seseorang yang mengatakan, “Haram… haram.. haram… bukaa’uka haram,” yang dimaksud oleh orang tersebut mungkin penolakan atas dirinya melihat orang berdoa hingga menangis di depan Kabah. Bisa saja menurut pendapatnya bahwa menangis di depan Kabah ketika berdoa merupakan peristiwa yang tidak baik. Tetapi kemudian karena orang Indonesia memahami kata “haram” sebagai suatu ketetapan hukum dalam Islam yang artinya tidak boleh dilakukan, tejadilah kesalahpahaman dalam memahami penggunaan istilah “haram” dalam ruang lingkup budaya sosial kemasyarakatan di Arab sendiri oleh orang Indonesia.

Cak Nun menukil hadits: Thuuba liman roaanii wa amana bii, fa thuuba thuuba thuuba liman lam yaroonii wa amana bii. — Beruntunglah mereka yang hidup bersamaku di zamanku dan beriman kepadaku, tetapi beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah mereka yang tidak hidup bersamaku di zamanku dan mereka beriman kepadaku. Cak Nun mengajak semua yang hadir untuk tetap merasa beruntung dan berbahagia dengan situasi berada jauh dari pusat Islam, tetapi masih diberi kemampuan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim. Cak Nun berpesan, semoga dari hal-hal remeh yang dibicarakan di forum ini dapat menjelma menjadi bekal berharga untuk kehidupan sehari-hari.

“Kalau anda berbicara tentang Islam tolong hendaknya selalu ingat bahwa Islam ada jaraknya dengan Arab, bukan menggunakan pondasi bahwa Islam sama dengan Arab. Sebagian dari Islam adalah Arab, tetapi tidak semuanya Arab,” pesan Cak Nun. Tak terasa diskusi santai tersebut berlangsung hingga dini hari dan harus diakhiri. Cak Nun, Ibu Via, dan rombongan diminta untuk beristirahat sebelum besok paginya (23/9) diajak berkunjung ke kantor perwakilan Bank Indonesia di New York dan melihat-lihat Manhattan sebelum kembali ke Philadelphia.

[Kontributor: Jamal]