SÉRIBUTA SÉRITULI

REPORTASE KENDURI CINTA OKTOBER 2016

SEPERTI BIASA, usai pembacaan Wirid Wabal (Tahlukah 2016), Majelis Masyarkat Maiyah Kenduri Cinta membuka forum dengan sesi prolog. Sigit dan Nashir memoderasi sesi mendampingi Luqman dan Adi Pudjo secara bergantian untuk menyampaikan beberapa pointer awal di Kenduri Cinta edisi Oktober 2016.

Séributa Sérituli, tentu merupakan kosakata yang sangat asing bagi kebanyakan orang, mungkin juga kalimat itu tidak pernah terbesit sebelumnya. Tetapi, bagi Kenduri Cinta, penggunaan istilah-istilah baru sudah merupakan keunikan yang biasa.

Adi Pudjo menjelaskan bahwa ada 3 kata yang menjadi landasan diangkatnya tema ini: Buta, Tuli dan Seri. Derasnya informasi yang datang hari ini ke dalam alam fikiran manusia, baik secara sadar maupun tidak telah menjadikan manusia mengalami surplus informasi. Mau tidak mau, setiap individu pun harus memiliki sistem filtering yang lebih akurat guna menghindari kesalahfahaman informasi dari berbagai media.

Di Maiyah, Sabrang pernah memperkenalkan metode Sudut Pandang, Jarak Pandang, Cara Pandang dan Resolusi Pandang. Metode tersebut bisa menghasilkan menghasilkan informasi yang lebih akurat jika dilalui secara bertahap. Namun kebanyakan orang tidak benar-benar menggunakan sudut pandang, jarak pandang, cara pandang dan resolusi pandang yang detail. Akibatnya, seringkali orang bertengkar dalam mempertahankan argumentasi masing-masing sebab sudut pandang yang mereka gunakan berbeda satu sama lain ketika melihat sebuah persoalan.

Menurut Adi Pudjo, banjir informasi yang terjadi hari ini justru bisa menjadikan kita buta dan tuli dari kebenaran yang sejati. “Terjadinya banjir informasi saat ini bukanlah hal-hal yang bisa menjadikan kita sadar, tetapi justru membuat kita tidak jelas melihat dan memahami hal-hal yang kita hadapi”, lanjut Adi Pudjo.

PENGGANDAAN INFORMASI

LUQMAN MENAMBAHKAN, Séributa Sérituli seperti yang sudah dipaparkan dalam mukadimah Kenduri Cinta juga dapat difahami sebagai Kebutaan yang berseri-seri (berulang-ulang) dan Ketulian yang juga berseri-seri (berulang-ulang). Konteksnya adalah informasi yang sampai pada kita hari ini sebenarnya sudah mengandung muatan-muatan kebenaran, namun seringkali kita justru menampik dan menolak informasi yang benar.

Banyak terjadi perdebatan-perdebatan terhadap sebuah persoalan di masyarakat akibat adanya perbedaan informasi yang dijadikan referensi. Mengenai hal ini, Luqman juga memiliki pendapat yang berbeda lagi, yakni dikarenakan terlalu banyaknya informasi yang sampai justru membuat kita tidak mampu membedakan atau menjaring mana informasi yang benar-benar jernih dan yang sudah terkontaminasi. “Hari ini kita melihat tetapi tidak bisa memaknai informasi, kita mendengar informasi tetapi kita tidak mampu melakukan identifikasi”, lanjut Luqman.

Zainal Sodiq, salah seorang jamaah dari Cijantung turut merespon tema Kenduri Cinta kali ini. Menurutnya, masyarakat hari ini memang dibanjiri banyak sekali informasi yang mengakibatkan pemahaman yang salah. Satu contoh yang disampaikan oleh Zainal adalah istilah penggandaan. Menurutnya istilah tersebut tidak tepat. Karena, semua yang ada di muka bumi ini tercipta unik satu sama lain, tidak ada yang sama satu sama lain, bahkan manusia yang dilahirkan kembar sekalipun memiliki perbedaan satu sama lain. Disinilah kemudian kejernihan manusia dalam melihat sebuah informasi menjadi satu tolak ukur untuk membuktikan bahwa tidak ada satu makhluk pun didunia ini yang bisa digandakan.

Tedi, salah seorang jamaah asal Tangerang juga menimpali, menurutnya ketidaktahuan atau kebutaan informasi itu juga dikarenakan keterbatasan panca indera yang dimiliki oleh manusia. Ia mencontohkan bahwa ada banyak warna yang tidak bisa didefinisikan oleh mata manusia, tetapi warna itu bisa dilihat oleh binatang. Begitu juga dengan suara, ada suara yang bisa didengar oleh manusia, tetapi ada juga jenis suara pada frekuensi tertentu yang tidak bisa didengar oleh manusia. Dalam konteks yang lebih luas, Tedi berpendapat bahwa mungkin saja kebenaran informasi yang kita yakini tidak sama dengan kebenaran informasi yang diyakini oleh orang lain, meskipun muatan informasinya sama.

Nashir lalu menambahkan bahwa melalui Maiyah kita sudah diajarkan cara pandang yang linier, zig-zag dan siklikal saat menghadapi sebuah persoalan. Tradisi berfikir seperti ini sudah disampaikan kepada jamaah Maiyah sejak lama, sehingga jamaah Maiyah bisa terlatih untuk menakar mana informasi yang benar-benar jernih dan mana informasi yang sudah terkontaminasi.

Luqman pun menambahkan bahwa penjejalan informasi oleh media massa secara otomatis telah menggiring opini untuk membicarakan isu-isu yang terus menerus dipublikasikan. Salah satu contohnya adalah sebuah persidangan dugaan pembunuhan menggunakan racun sianida. Kasus tersebut cukup menarik perhatian publik walaupun sebenarnya kita tidak mengetahui pasti mengapa informasi persidangan itu terus-menerus disajikan kepada masyarakat, seolah-olah tidak ada informasi lain yang lebih layak untuk disampaikan kepada publik. Bahkan, seperti sebuah tayangan sinetron yang berseri, masyarakat seakan menikmati derasnya arus informasi ini tanpa lebih jauh memahami apa substansi sebenarnya dibalik publikasi yang terus-menerus itu.

“Terjadinya banjir informasi saat ini bukanlah hal-hal yang bisa menjadikan kita sadar, tetapi justru membuat kita tidak jelas melihat dan memahami hal-hal yang kita hadapi.”
Adi Pudjo, Kenduri Cinta (Oktober, 2016)

DARI BEBERAPA respon tersebut, Adi Pudjo turut membenarkan derasnya arus informasi yang sampai bisa jadi justru menyebabkan kita buta dan tuli terhadap informasi-informasi yang seharusnya kita butuhkan. Skala prioritas kini menjadi hal yang sudah kita tinggalkan, karena kita lebih mudah terseret arus informasi yang dijejalkan oleh media massa setiap hari dan sampai kepada kita dari berbagai sudut, tutur Adi Pudjo. Maka, jika kita tidak memiliki batu pijakan yang kuat, bukan tidak mungkin wawasan dan pengetahuan kita justru terdistorsi oleh banyaknya informasi yang sampai.

Sementara itu, Yadi, jamaah asal Tangerang yang sudah lama mengikuti Maiyah melalui Youtube mengatakan bahwa informasi yang kita tangkap di media massa hari ini merupakan informasi yang sangat kotor, oleh karenanya kita mesti belajar untuk menata hati dan menjernihkan fikiran agar memiliki filter ketika mendapatkan informasi dari luar diri kita. Lain lagi dengan Febri, ia mengatakan saat ini sudah memutuskan untuk tidak berhubungan dengan teknologi modern, ponsel yang ia gunakan masih model lama, dan dia sama sekali memilih untuk tidak menonton televisi hari-hari ini.

Selanjutnya, guna memberi jeda terhadap pemaparan dan respon pada prolog, Jimmi Hip-Hop dan Rama “Untukaisan” naik untuk menampilkan beberapa nomor lagu.

Jamaah yang hadir di Kenduri Cinta sangat beragam dan datang dari berbagai latar belakang pekerjaan, suku, ras, agama. Semua hadir dengan kerelaan hati masing-masing, duduk menekun berjam-jam, menerima pendaran-pendaran pengetahuan dari dalam forum ini. Setelah penampilan Jimmi Hip-Hop dan Rama Untukaisan, Luqman bersama Tri Mulyana lalu memoderasi Kyai Syauqi, Dr. Abdul Basith dan Ali Hasbullah untuk memasuki diskusi sesi pertama.

KUN DZURRIYAN

KYAI SYAUQI memulai pemaparan dengan merefleksikan Maiyah dan Kenduri Cinta. Maiyah, menurut Kyai Syauqi dalam bahasa arab, jika huruf A menggunakan ‘ain, maka artinya adalah kebersamaan, sedangkan jika huruf A menggunakan hamzah, maka akan memiliki arti yang lain yaitu air. Selanjutnya, ia mengutak-atik lagi, Kendurian jika diplesetkan ke dalam bahasa Arab, maka bisa menjadi kalimat; Kun Dzuriyyan, yang artinya adalah jadilah intan.

“Mau kau masuk ke dalam comberan, mau dicampur dengan kotoran sekalipun, kau tetap menjadi intan dan menghadirkan cinta”, lanjut Kyai Syauqi. Beliau berpendapat bahwa orang-orang yang datang ke Kenduri Cinta harus menjadi intan, sehingga saat kembali bergaul dengan masyarkat mereka tetap menjadi orang-orang yang mulia seperti sebuah intan.

Menanggapi tema yang diangkat oleh Kenduri Cinta kali ini, Kyai Syauqi memiliki pendapatnya sendiri. “Semoga yang dimaksud bukanlah Seluruh RI Buta dan seluruh RI Tuli”, ungkap Kyai Syauqi. Menurutnya, tema yang diangkat memang fakta yang terjadi di Indonesia hari ini. Informasi-informasi yang sampai kepada masyarakat bukanlah informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat, kebanyakan merupakan informasi yang sesungguhnya hanya menjadi media pengalih isu dari kebenaran yang seharusnya diketahui oleh masyarakat di Indonesia.

Ali Hasbullah kemudian urun melengkapi respon dari Kyai Syauqi terkait dengan tema. Menurut Ali, seperti yang sudah disampaikan di sesi prolog sebelumnya, karena begitu banyak noise yang sampai kepada kita, akhirnya berakibat pada kebutaan dan ketulian terhadap informasi yang hakiki. Kita semakin terjerembab dalam kebodohan yang terus menerus seperti ini, buta berseri-seri, tuli berseri-seri, dan menghasilkan ketidakpekaan terhadap kondisi di sekitar kita. Segala kegaduhan yang kita dengarkan juga akan mengakibatkan kurang jernihnya kita dalam berfikir ketika menyikapi informasi yang sampai kepada kita.

Ali mengambil sebuah hikmah yang pernah disampaikan oleh Confucius, seorang filsuf terkenal dari China, bahwa apabila ia diamanahi menjadi penguasa, maka pekerjaan pertama yang akan ia lakukan adalah membenahi nama-nama benda. Menurut Confucius, nama-nama benda atau kata-kata yang sudah disepakati oleh manusia, apabila salah dalam pengucapan dan penggunaannya maka akan berkibat pada kesalahan fungsi. Ali merefleksikannya pada muatan yang sempat dibahas pada Kenduri Cinta di bulan sebelumnya, dimana Pak Pipit menjelaskan perbedaan antara Pemerintah dan Negara. Dua kata yang hari ini di Indonesia salah difahami dan salah digunakan. Sedikit mengulang, Ali menyampaikan kembali bahwa di Indonesia yang berlaku dalam undang-undang Aparatur Sipil Negara adalah bahwa seluruh pegawai taat kepada Pemerintah dan Negara. Keadaan ini yang kemudian membuat rancu dalam sistem birokrasi di Indonesia, karena kemudian membuka celah dimana setiap pejabat yang menjabat sebuah jabatan akan memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan yang sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang yang sudah disahkan oleh Negara. Sebuah kebijakan bisa saja tidak dilakukan hanya karena tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, atau juga akan terjadi sebuah kebijakan atau sebuah keputusan yang tidak dilaksanakan hanya karena pejabat yang berwenang dimutasi ke posisi lain dalam sebuah departemen.

Luqman kemudian mempersilahkan Dr. Abdul Basith, salah seorang praktisi pendidikan yang bergerak secara independen dan bersinggungan dengan siswa-siswi mulai dari SD-SMA, untuk memperkenalkan cara berfikir yang out of the box bahwa sebenarnya di luar sekolah ada wawasan yang lebih luas dari yang mereka dapatkan di sekolah. Untuk merespon tema Kenduri Cinta kali ini, Basith menunjukkan di dalam aplikasi messenger ada emoji yang bergambar monyet menutup matanya, telinga dan mulutnya.  Maksud dari emoji tersebut adalah see no evil, hear no evil dan talk no evil. Tidak melihat kepada keburukan, tidak mendengar tentang keburukan, dan tidak berbicara tentang keburukan. Menurutnya, dari sisi yang lain, keadaan buta dan tuli ini juga bisa menjadi sebuah perlambang kesucian.

Dulu, suatu hari Imam Syafii menemukan sebuah apel yang hanyut di sungai, ia kemudian memakannya. Tersadar bahwa apel tersebut bukanlah miliknya, Imam Syafii lantas menyusuri sungai sampai akhirnya menemukan sebuah kebun apel dan menemui pemilik kebun tersebut untuk meminta maaf karena memakan apel yang jatuh dari pohon kebun tersebut dan hanyut di sungai. Si Pemilik kebun apel kemudian memaafkan dengan syarat, yaitu Imam Syafii harus menikahi putrinya yang buta, tuli dan lumpuh. Kontan Imam Syafii sangat kaget ketika digambarkan keadaan perempuan yang akan ia nikahi tersebut. Tetapi, ternyata kebutaan yang dimaksud adalah bahwa putri dari pemilik kebun tersebut tidak pernah melihat dunia luar rumahnya, ketulian yang dimaksud adalah bahwa ia tidak pernah mendengar hal-hal yang buruk, dan kelumpuhan yang dimaksud adalah bahwa ia tidak pernah bepergian dari rumahnya. Maka, jika buta dan tuli dimaksudkan untuk makna tersebut, tentu menjadi sangat baik.

Ada lagi satu cerita, sebuah fabel dimana sekumpulan kodok tercebur dalam sebuah kolam dan tidak bisa melompat keluar. Semua kodok yang tercebur itu masing-masing berusaha untuk melompat agar keluar dari kolam tersebut. Sementara itu, sebagian kodok yang berada di atas tepian kolam mengejek kodok-kodok yang terjebak di dalam kolam, dan merendahkan kemampuan mereka bahwa mereka tidak akan bisa keluar dari kolam tersebut. Setiap ada kodok yang mencoba untuk lompat keluar dari kolam, kodok yang ada di tepian kolam berteriak kamu nggak bisa keluar dari kolam ini, hingga akhirnya hampir semua kodok kelelahan dan tidak berhasil keluar dari kolam. Akan tetapi, ada satu kodok yang tidak putus asa, ia terus berjuang hingga akhirnya keluar dari kolam tersebut. Ketika ia berhasil keluar dari kolam tersebut ia pun mengucapkan terima kasih kepada kodok-kodok yang berteriak di tepian kolam tadi. Ternyata, kodok tersebut adalah kodok yang tuli, sehingga menganggap kodok-kodok yang berteriak di tepian kolam gaduh dalam rangka memberikan semangat kepadanya. Dalam kisah ini kita pun melihat ketulian juga memiliki fungsinya.

Basith lalu mengajak jamaah untuk merefleksikan kisah fabel tadi ke tengah masyarakat Indonesia hari ini, di saat banyak teriakan, hujatan, hinaan yang berasal dari luar, ketika banyak orang yang tidak menginginkan Indonesia maju, maka lebih baik kita tidak mendengarkan perkataan mereka tetapi fokus kepada potensi diri untuk mewujudkan perubahan yang nyata di Indonesia.

“Utamakan kita membeli produk hasil produksi tetangga kita, atau setidaknya kita membeli hasil produksi dari dalam negeri. Ini adalah salah satu cara untuk membela produk-produk dalam negeri dan sangat membantu ketahanan ekonomi Negara.”
Dr. Abdul Basith, Kenduri Cinta (Oktober, 2016)

BEBERAPA HARI yang lalu Basith mengikuti Kongres Beli Indonesia, salah satu hasil dari kongres tersebut adalah bahwa apabila kita membeli sebuah produk di pasar atau swalayan, utamakan kita membeli produk hasil produksi tetangga kita, atau setidaknya kita membeli hasil produksi dari dalam negeri. Ini adalah salah satu cara untuk membela produk-produk dalam negeri dan sangat membantu ketahanan ekonomi Negara. Saat ini, ia juga tidak menampik kondisi dimana kita mengalami banjir informasi yang sedemikian hebat. Basith juga menghimbau kepada jamaah Kenduri Cinta, di tengah derasnya arus informasi hari ini, kita perlu mengambil sedikit jeda untuk menepi sejenak dari keramaian informasi. Bisa jadi, dalam keheningan, kita mendapatkan informasi yang sebenarnya kita butuhkan. Sebab, kemajuan teknologi hari ini nyatanya tidak serta-merta menaikan tingkat kearifan dan kecerdasan orang. Informasi sudah kadung berseliweran dan dengan mudahnya diteruskan serta disebarluaskan tanpa ada proses verifikasi apakah validitasnya bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.

Dalam pengalamannya ketika sempat tinggal di Australia, suatu ketika Basith bertemu dengan seorang pria asal Pakistan, dan ketika ia mengetahui bahwa dirinya berasal dari Indonesia, sebuah kalimat terlontar dari pria Pakistan tadi; “Your country is very-very brave” (Negaramu sangat berani). Sontak ia bertanya-tanya, kenapa Indonesia disebut sebagai Negara yang berani.

Ternyata, yang dimaksud oleh pria Pakistan itu terkait dengan pengiriman TKW ke Arab Saudi. Pria asal Pakistan ini menjelaskan bahwa mengirimkan Tenaga Kerja Wanita ke Arab Saudi sama saja dengan anda menaruh ikan asin yang baru saja anda goreng, kemudian anda tinggal pergi sementara di dalam rumah terdapat banyak sekali kucing berkeliaran.

Selama ini Basith berkeliling Indonesia dalam rangka menumbuhkan semangat berwirausaha bagi anak-anak muda di Indonesia. Menurutnya, menjadi pengusaha adalah salah satu cara untuk menghadapi persaingan ekonomi global. Kecenderungan bangsa Indonesia hari ini menurutnya adalah menjadi konsumen, dan apa yang kita rasakan hari ini merupakan hasil dari penjajahan Belanda ketika masuknya VOC. Saat ini, kita menikmati kemajuan teknologi, kecepatan informasi, kecanggihan IT dan lain sebagainya, tetapi kita hanya menjadi konsumen. Salah satu penyebab menurunnya kemampuan bangsa Indonesia di bidang produksi adalah ketika Krisis Moneter tahun 1997, Presiden Soeharto tidak memiliki pilihan untuk meminjam uang kepada Bank Dunia, dan saat itu salah satu syaratnya adalah menutup IPTN yang saat itu sedang mulai berkembang.

Pada Kenduri Cinta kali ini, Basith juga bercerita tentang pengalaman Bupati Kulonprogo yang sudah mengaplikasikan metode kemandirian berbasis ekonomi lokal. Slogan yang digaungkan adalah; Madhep mantep ngombe banyune dhewe, madhep mantep nganggo klambine dhewe, madhep mantep mangan panganane dhewe. Intinya adalah mandiri untuk meminum air minum sendiri, menggunakan pakaian hasil produksi sendiri dan mengkonsumsi makanan hasil bumi sendiri.

Untuk air minum di Kulonprogo bupati memanggil Dirut PDAM untuk memintanya memproduksi air mineral dalam kemasan, dan setiap rapat Pemda Kulonprogo, maka air yang digunakan adalah hasil produksi dari PDAM setempat. Hasilnya, anggaran sebesar 500 juta rupiah bisa dihemat setiap bulan dari program ini. Untuk pangan, setiap Pegawai Negeri di Kulonprogo dihimbau untuk minimal membeli beras hasil pertanian lokal setiap bulan sebanyak 10 Kg. Begitu juga dengan urusan sandang, bahan seragam batik yang sebelumnya dibeli dari luar kota diganti dengan hasil produksi pengusaha lokal setempat. Selain itu, diberikan pula syarat bagi minimarket-minimarket untuk masuk ke Kulonprogo, yakni jarak antara satu minimarket dengan minimarket yang lainnya harus sejauh lebih 1 KM dari TOMIRA (Toko Milik Rakyat), sebuah waralaba milik Pemda Kulonprogo. Contoh yang sudah diaplikasikan di Kulonporgo ini merupakan hasil nyata bahwa sebenarnya kita mampu untuk hidup dan menghidupi tetangga serta orang-orang di sekitar.

Dr. Abdul Basith kemudian mengajak 5 orang jamaah Kenduri Cinta naik ke panggung untuk melakukan simulasi ekonomi secara sederhana. Masing-masing dari kita menjadi produsen atas produk kita masing-masing, sekaligus juga kita menjadi konsumen atas hasil produksi tetangga atau saudara kita sendiri. Dan, agar perputaran uang semakin berkembang, produk lokal juga dipromosikan ke luar daerah, bahkan kalau bisa hingga ke luar negeri. Jika sistem ini dapat diaplikasikan di Indonesia, maka setiap daerah akan mampu menyokong ekonomi mandiri Indonesia. Barang produksi Indonesia dikonsumsi oleh rakyat Indonesia, dan semaksimal mungkin diusahakan untuk mengekspor sembari meminimalkan impor dari luar negeri.

Dalam Kenduri Cinta malam ini hadir juga Ust. Noorshofa Thohir, setelah bulan lalu ia berhalangan. Dengan mencuplik apa yang sudah disampaikan dalam mukadimah Kenduri Cinta, Ust. Noorshofa menerangkan bahwa Nabi Adam AS adalah mahkluk yang mulia. Nabi Adam AS diciptakan langsung melalui tangan Allah, sehingga dalam Al Qur’an Allah selalu menyebutkan; Kholaqtu-l-Adam. Sedangkan untuk kita, Allah selalu menyebutkan; Kholaqna-l-insaana atau kholaqtu-l-insaana. Disinilah letak keistimewaan Nabi Adam AS. Dan, keistimewaan yang lainnya adalah Nabi Adam AS mendapatkan ilmu langsung dari Allah. Sehingga, dalam Al Qur’an Allah menyebutkan Wa allama-l-adama-l-asmaa’a kullaha tsumma ‘arodhohum ‘ala-l-malaaikah. “Semua benda-benda yang ada di langit, semua benda-benda yang ada di bumi diajarkan oleh Allah kepada Nabi Adam yang kemudian diajarkan kepada para Malaikat”, lanjut Ust. Noorshofa.

Begitu juga dengan Rasulullah SAW, beliau memiliki kemuliaannya sendiri. Salah satu kemuliaan Rasulullah SAW adalah hak prerogatif beliau memberikan syafaat kepada umatnya pada hari kebangkitan kelak. Dan, keistimewaan itu hanya akan ia berikan kepada umat beliau. Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Rasulullah SAW adalah bahwa beliau dilahirkan dalam keadaan yatim. Maka, jika ingin dilunakkan hati kita, dan ingin hajat kita dikabulkan oleh Allah, kita harus menyayangi anak yatim, mengungkapkan kasih sayang kepada mereka.

Hikmah diyatimkannya Muhammad bin Abdullah oleh Allah adalah bahwa beliau tidak memanfaatkan nasab dari ayah beliau untuk menyombongkan diri. Yang kita lihat hari ini, banyak sekali seorang anak berlaku sombong dengan tameng nasab orang tuanya. “Rasulullah tidak punya sifat sombong dalam dirinya”, lanjut Ust. Noorshofa.

Begitu juga kondisi lingkungan ketika Muhammad bin Abdullah, ia dilahirkan dalam lingkungan yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berada di sebuah desa yang terpencil, diasuh dan disusui oleh Halimah Sa’diyah. Kemudian, keyatiman ketiga yang dialami oleh Rasulullah SAW adalah beliau dikondisikan buta huruf, tidak bisa membaca. Kondisi keyatiman ini yang kemudian secara tidak langsung membentuk kepribadian Rasulullah SAW untuk mendidik dirinya sendiri dan membiasakan hidup secara prihatin.

Dalam surat At Taubah ayat 128-129, Allah berfirman; Laqod jaa akum rasuulun min anfusikum aziizun alaihi maa anittum hariisun alaikum bil mu’miniina rauufurrahiim. Fain tawallaw faqul hasbiyallahu laa ilaaha illa huwa tawakaltu wa huwa rabbu-l-‘arsyi-l-adzhiim. Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah; Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung. Dalam ayat tersebut begitu jelas digambarkan bagaimana Rasulullah SAW sebagai sosok pemimpin yang sangat menyayangi umatnya. Seorang pemimpin yang rela untuk lepar sebelum semua umatnya kenyang, rela menderita sebelum seluruh umatnya bahagia.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan ketika Perang Khandaq bergejolak, Salman Al Farisi menginisiasi penggalian parit di sekeliling kota Madinah untuk menjadi tameng pertahanan dari serangan kaum kafir saat itu. Pada saat proses penggalian parit, ada sebuah batu yang tidak bisa diangkat oleh para sahabat, sehingga mereka meminta bantuan kepada Rasulullah SAW untuk memecah batu tersebut, ketika Rasulullah SAW mengangkat kapak pemecah batu, tersibaklah baju beliau dan terlihat oleh para sahabat bahwa beliau mengganjal perut beliau dengan 3 buah batu yang diselipkan dalam kain yang mengikat perutnya. Beliau melakukannya dalam rangka turut prihatin merasakan penderitaan umatnya. Dan, begitu ikhlasnya Rasulullah SAW untuk rela menderita demi kebahagiaan umatnya. Bahkan, untuk dirinya sendiri, Rasulullah SAW tidak pernah meminta kepada Allah suatu apapun, tetapi untuk umatnya, Rasulullah SAW selalu siap untuk memohonkan apapun kepada Allah swt.

kolase11

“Rasulullah SAW adalah seorang pemimpin yang rela untuk lepar sebelum semua ummatnya kenyang, rela menderita sebelum seluruh ummatnya bahagia.”
Noorshofa Thohir, Kenduri Cinta (Oktober, 2016)

SÉRIBUTA SÉRITULI

USAI JEDA penampilan dari Rama, Luqman dan Tri Mulyana kemudian menyampaikan beberapa pointer resume dari disuksi sesi sebelumnya untuk memberi alas bagi diskusi sesi kedua. Setelah dipersilahkan oleh Tri Mulayana, Toto Rahardjo, Syeikh Nursomad Kamba, Habib Anis Sholeh B, dan Andre Dwi wiyono hadir ke muka bersama Cak Nun membuka uraian kepada jamaah.

“Takabbur itu anda nggedheni (membesari). Jika anda mengalami masalah, maka anda harus berada di atas masalah itu, itulah proses anda mentakabburi masalah anda. Tetapi, tidak boleh mentakabburi orang lain, tidak boleh mentakabburi sesuatu hal yang tidak ada dalam wilayah kita masing-masing. Saya tidak boleh lebih rendah dari uang, saya harus takabbur kepada uang. Saya takabbur kepada masalah saya, saya harus mengatasi masalah saya, dan saya punya Allah yang akan membantu, asal saya memulainya, Allah akan menuntaskannya”, tutur Cak Nun.

Oleh media massa kita dipaksa mendengar sesuatu yang belum tentu kita ingin mendengarnya. Dan, kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang kita butuhkan untuk kita dengarkan. Mau tidak mau Kita juga melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kita lihat, tetapi karena terlihat oleh kita, mau tidak mau kita melihatnya. Dan, kita akhirnya kita tidak mampu membedakan lagi apa yang sebenarnya ingin kita lihat dan apa yang sebenarnya terlihat. Akhirnya, kita pikir, yang terlihat itulah yang ingin kita lihat. Oleh karena itu, malam hari ini kita harus punya konstruksi dan punya daya pemilahan untuk mengetahui mana yang laa ilaaha dan mana yang illallah. Jadi yang ‘tidak’ harus anda atasi agar anda menemukan yang ‘iya’.

“Kita sering melihat sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan untuk kita lihat, sementara yang ingin kita ketahui, kita tidak memliki bahannya “, Cak Nun membangun kembali konstruksi berpikir jamaah Kenduri Cinta dengan logika-logika sederhana untuk menyikapi informasi-informasi yang hari ini sampai dari media massa. Sementara itu, media massa menjunjung pakem Bad News is Good News.

“Rasulullah mempunyai sifat aziizun alihi maa anittum, artinya dia tidak penah tega terhadap penderitaan yang anda alami. Jadi, jika anda ingin tahu siapa yang tidak pernah tidak menangis, maka Rasulullah SAW adalah orangnya. Dan, jangan dipikir Rasulullah SAW tidak bersama anda. Dia bersama anda dan selalu menangis. Kalau tangisan Rasulullah sudah mencukupi, maka Allah akan marah kepada siapapun saja yang membuat Rasulullah menangis”, lanjut Cak Nun.

Cak Nun kembali menekankan bahwa selama 24 tahun yang beliau lakukan dengan Maiyahan terus menerus, berkeliling ke berbagai daerah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, hanya dalam rangka memperbanyak kekasih-kekasih Allah. Karena, jika manusia menyakiti Allah, belum tentu Allah akan marah. Tetapi, jika yang disakiti adalah kekasih Allah, maka akan sangat mudah Allah melampiaskan kemarahan kepada siapapun saja yang menyakiti kekasih Allah.

“Saya kira di Indonesia ini, tindakan-tindakan yang menyakiti kekasih Allah sudah sangat melewati batas. Oleh karena itu anda jangan berbuat hal-hal yang membuat anda dibatalkan oleh Allah sebagai kekasih-Nya. Lakukanlah segala hal yang membuat Allah lebih mencintai anda, lebih menyayangi anda.  Minimum, anda nanti mendapat pembelaan-pembalaan dari Allah dalam kehidupan sehari-hari, dalam keluarga anda”, lanjut Cak Nun yang kemudian mengajak jama’ah kembali melantunkan surat At Taubah ayat 128-129, dan dilanjutkan dengan Sholawat Alfu Salam dan Sidnan Nabi bersama-sama.

GUYUB BEBRAYAN

SETELAH BERSHOLAWAT bersama-sama Cak Nun memberikan kesempatan kepada Toto Rahardjo yang sudah lama tidak hadir di Kenduri Cinta. Toto Rahardjo merupakan salah satu sahabat Cak Nun yang masih bertahan menemani Cak Nun dan KiaiKanjeng sejak era Patangpuluhan. Beberapa kisah Toto Rahardjo pernah diulas dalam rubrik Patangpuluhan di website Kenduri Cinta.

“Saya sebetulnya agak sensitif dengan judul Kenduri Cinta; Seributa Serituli ini. Kan, apa salahnya orang buta dan orang tuli? Tapi, saya pikir, teman-teman Kenduri Cinta ini bukan dalam rangka menghina orang-orang yang buta dan tuli. Karena bisa jadi mereka justru merupakan orang-orang yang selamat di akhirat nanti, karena mereka tidak melihat dan tidak mendengar hal-hal yang hakikatnya tidak pantas untuk mereka lihat dan mereka dengar.” Uraian dari Toto ini menghenyak hadirin. “Mungkin yang tepat adalah; Seribu Membuta dan Seribu Mentuli”.

Menurutnya, jika memang bertujuan menyelamatkan, maka orang yang harus diselamatkan adalah orang yang bisu. Toto kemudian bercerita tentang salah seorang sahabatnya dan  Cak Nun, Dr. Kuntowijoyo, dimana pada saat orang-orang berani untuk berbicara, beliau justru mendapat rezeki untuk tidak dapat berbicara. Tetapi, justru ketika mengalami kesulitan dalam berbicara ini pikiran beliau lebih jernih dan lebih produktif.

“Tetapi (judul) ini juga bisa menjadi peringatan. Dalam hiruk-pikuk situasi Indonesia seperti ini, diam itu bukan berarti tidak berbicara”, lanjut Toto. Kemajuan teknologi hari ini menurutnya menjadikan orang irit berbicara, tetapi sangat produktif menulis. Keriuhan media sosial hari ini menjadi salah satu tolak ukurnya. Toto lalu menyitir dari syair lagu yang dibawakan oleh Rama sebelumnya, yaitu fenomena orang hari ini ketika sebelum makan bukannya berdoa melainkan melakukan selfie.

Toto lalu bercerita tentang luhurnya kepribadian di jaman dahulu. Orang tua mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk tidak memamerkan makanan yang ia punyai kepada teman-temannya jika hanya sedikit, karena akan menimbulkan persaan iri dalam hati teman-temannya. Dari konteks ini, ia mengibaratkan generasi millenial hari ini yang begitu akrab dengan gadget di tangan mereka, justru sebenarnya membuat mereka sedang dibutakan dan ditulikan oleh keadaan yang ada disekitarnya. Meskipun tidak semuanya berlaku demikian, tetapi mayoritas hari ini yang kita lihat di media sosial adalah orang-orang yang dibutakan dan ditulikan dari keadaan di sekitar mereka sendiri. Mereka merasa asyik dengan narsisme, dengan eksistensi pribadinya masing-masing, untuk menunjukkan siapa dirinya kepada orang banyak.

“Kalau orang cenderung fokus terhadap sesuatu, maka orang cenderung untuk meniadakan yang lain”, lanjut Toto mengutip sebuah ungkapan dari Prof. Timan, salah seorang sahabat beliau dari Malang. Saat ini, menurut Toto, kebanyakan orang hanya fokus kepada dirinya sendiri, seolah-olah tidak ada apa-apa di tempat yang lain, seakan-akan hanya dirinya saja yang berhak dan harus dilihat oleh banyak orang. Toto juga menjelaskan bahwa fenomena hari ini merupakan pertarungan antara tradisional dengan modernitas yang belum usai. Banyak hal yang sebenarnya baik, tetapi justru ditinggalkan karena orang-orang hari ini menganut modernitas yang cenderung bertitik berat pada individualismenya masing-masing. Padahal agama manapun tidak ada yang mengajarkan individualitas, dan Maiyah sendiri titik beratnya adalah kebersamaan. Inilah yang membuat Mas Toto bertahan untuk terus bersama dengan Cak Nun di Maiyah.

“Teman saya, Simon HT, memaknai Maiyah itu guyub dan bebrayan. Saya kira, hari ini yang dirusak dari kehidupan manusia adalah guyub dan bebrayan-nya itu. Semua dirubah menjadi individualitas, bahkan di desa-desa hari ini, yang menonjol bukan lagi guyub dan bebrayan lagi, melainkan individualitas”, pungkas Toto Raharjo.

“Dr. Kuntowijoyo, dimana pada saat orang-orang berani untuk berbicara, beliau justru mendapat rezeki untuk tidak dapat berbicara. Tetapi, justru ketika mengalami kesulitan dalam berbicara ini pikiran beliau lebih jernih dan lebih produktif. “
Toto Rahardjo, Kenduri Cinta (Oktober, 2016)

MEMBACA YANG HARUS DIBACA

CAK NUN kemudian mengambil poin dari apa yang disampaikan oleh Toto Rahardjo, bahwa pada hari ini modernisme dengan Individualitasnya memang sudah menjalar ke berbagai sendi kehidupan masyarakat di dunia. Cak Nun mengingatkan kepada jamaah bahwa di Maiyah seperti inilah kita merintis kembali rumusan-rumusan hidup yang murni, yang otentik, dan ditemukan kembali di Maiyah.

Cak Nun mengingatkan agar Jamaah Maiyah segera memulai untuk merintis warisan untuk generasi mendatang berupa nilai-nilai Maiyah yang didapatkan dalam setiap Maiyahan selama ini, agar kelak generasi mendatang memiliki pedoman yang benar-benar murni, tidak seperti pedoman hidup orang-orang modern hari ini, seperti yang sebelumnya diungkapkan oleh Toto Rahardjo.

“Hidup itu bukan satu ruangan besar yang ada kamar-kamarnya, melainkan ruangan luas yang merdeka dan kosong, tidak ada sekat-sekat, dimana ruangan yang besar itu terdiri dari banyak pintu yang berbeda yang digunakan untuk memasukinya”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2016)

CAK NUN menjelaskan bahwa di Maiyah kita sudah memiliki banyak pijakan ilmu, sejak dahulu kita sudah memiliki rumusan; ada orang yang tahu sedikit tentang sedikit hal, ada orang tahu sedikit tentang banyak hal, ada orang tahu banyak tentang sedikit hal dan ada orang yang tahu banyak tentang banyak hal. Kemudian, di Maiyah anda juga sudah tahu bedanya Qulliyah (dalam bahasa indonesia menjadi kuliah) dan Juz’iyyah. Kuliah adalah mempelajari sesuatu secara universal, sedangkan Juz’iyyah adalah mempelajari sesuatu secara parsial. Dan, universitas hari ini adalah kumpulan-kumpulan fakultas, sehingga kecenderungan orang saat ini hanya belajar secara fakultatif saja.

“Hidup itu bukan satu ruangan besar yang ada kamar-kamarnya, melainkan ruangan luas yang merdeka dan kosong, tidak ada sekat-sekat, dimana ruangan yang besar itu terdiri dari banyak pintu yang berbeda untuk memasukinya. Coba nanti anda renungkan bedanya ruang dengan kamar-kamar dan ruang dengan banyak pintu, itu sangat berbeda secara pendekatan dan hasil peradabannya pun akan berbeda”, Cak Nun melanjutkan dan kemudian menjelaskan bahwa yang seharusnya menjadi landasan dalam kehidupan adalah titik berat terhadap suatu bidang dalam takaran yang terukur.

Setiap takaran atau level memiliki titik berat yang berbeda. Bisa jadi level satu titik beratnya adalah tauhid, level dua titik beratnya adalah ekonomi, dan seterusnya. Tetapi, substansinya adalah kehidupan itu sendiri. Dengan cara hidup seperti ini Cak Nun mengibaratkan seperti seorang pendekar yang bertanding dalam sebuah pertarungan, meskipun fokus utamanya mungkin pada kekuatan tangan lawan, tetapi sejatinya ia tetap waspada bahwa serangan lawan bisa saja muncul dari kaki, atau bahkan ada pedang dan pisau yang sewaktu-waktu menyerang dirinya. Meskipun titik berat fokus utamanya adalah tangan lawannya, tetapi ia tetap waspada akan serangan-serangan dari senjata lawan yang lain.

“Anda, jika waspada dalam sebuah pertarungan, anda melihat ke satu titik, tetapi sesungguhnya anda melihat ke semua titik. Ada pedang dari manapun anda merasakan. Karena, anda tidak hanya melihat dengan mata anda, anda melihat dengan rasa anda, anda melihat dengan daya magnetik anda, anda melihat dengan naluri anda. Jadi, melihat dengan mata itu fakultatif, tetapi melihat dengan seluruh panca indra dan seluruh faktor-faktor roh anda, itu konperhensif namanya”, lanjut Cak Nun.

“Membaca itu macam-macam; membaca hati, membaca angin, membaca suara. Karena, membaca adalah satu jarak yang anda tempuh untuk memahami dan untuk mencapai sesuatu, itulah membaca.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2016)

CAK NUN pun mencoba mentadabburi maksud dari kalimat Maa ana bi qoori’, yang diucapkan oleh Rasulullah SAW saat menerima wahyu yang pertama, pada saat Malaikat Jibril menyampaikan wahyu tersebut. “Jadi Rasulullah SAW itu ingin sepanjang zaman diingat-ingat oleh semua orang bahwa dia mengatakan; maa ana bi qoori’, maksudnya kalau kamu disuruh membaca, kamu harus ingat bahwa membaca itu macam-macam (caranya dan medianya). Kamu jangan berhenti bahwa membaca adalah membaca secara teks saja. Membaca itu macam-macam; membaca hati, membaca angin, membaca suara. Karena, membaca adalah satu jarak yang anda tempuh untuk memahami dan untuk mencapai sesuatu, itulah membaca”, Cak Nun melanjutkan.

“Anda boleh jadi pedagang, tapi itu hanya titik berat, itu bukan the whole thing of your life. Bukan lantas anda adalah pedagang. Anda adalah orang hidup yang kerjaannya adalah berdagang”,  lanjut Cak Nun yang kemudian menjabarkan satu rubrik di caknun.com yaitu Bongkah. Dalam rubrik itu pernah dipublikasikan sebuah judul Kelamin Sebadan.

Cak Nun menjelaskan bahwa dalam diri manusia ada syahwatnya, ada hatinya, ada akalnya. Dalam perihal tersebut Cak Nun menggambarkan perbedaan antara pedagang dengan kapitalisme. Seorang pedagang adalah orang yang hanya menggunakan syahwat sesuai dengan kadarnya, ia memahami kapan harus melampiaskan dan kapan harus menahan. Tetapi, terhadap kapitalisme diibaratkan seperti manusia yang seluruh badannya adalah kelamin, karena yang dilakukan oleh kapitalisme hanyalah pemuasan syahwatnya semata.

Cak Nun kemudian merespon sedikit ketidaksetujuan Toto Rahardjo terhadap judul Kenduri Cinta kali ini. Cak Nun menjelaskan bahwa keberangkatannya adalah dari ayat shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun. “Maksud dari tema ini adalah para penguasa buta matanya, tuli telinganya. Mestinya, sebelum memutuskan sebuah policy mereka bertanya kepada rakyat”, lanjut Cak Nun.

Hari ini, mereka yang mengaku wakil rakyat tidak pernah bertanya kepada rakyat tentang persoalan apa yang harus diwakilkan olehnya di parlemen. Yang ada adalah para calon wakil rakyat mengumbar janji-janji menjelang Pemilihan Umum, dan janji-janji itu muncul bukan dari rakyat melainkan hasil dari inisiatif dirinya sendiri dan golongan partainya sendiri. Akhirnya, ketika mereka benar-benar terpilih, mereka tidak benar-benar menjadi wakil rakyat, karena mereka tidak benar-benar merepresentasikan wakil rakyat ketika  menjabat sebagai anggota parlemen. Maka, yang terjadi kemudian, pada setiap undang-undang yang disahkan, tidak pernah ada forum yang diinisiasi oleh wakil rakyat dan dalam forum tersebut mereka bertanya kepada rakyat apakah undang-undang tersbeut dibutuhkan atau tidak oleh rakyat. Yang ada adalah mereka merancang sendiri undang-undangnya, kemudian mensahkan sendiri undang-undang tersebut. Bisu, karena mereka tidak mau bertanya kepada rakyat. Buta, karena mereka tidak mau melihat kegelisahan-kegelisahan yang sebenarnya dialami oleh rakyat.

Cak Nun kemudian menjelaskan perspektif antara ingkar dan kafir yang saat ini disalahfahami di Indonesia. Ayat dalam Al Qur’an yang berbunyi innalladziina kafaruu sangat berbeda artinya dengan ayat inna-l-kaafiriina.  Cak Nun menjelaskan bahwa antara kafaruu dan kaafiiriini itu memiliki makna yang berbeda. Antara ingkar dan kafir memiliki perbedaan yang jelas.

Inkar itu kontekstual. Pada urusan negara, jika seorang pemimpin berlaku ingkar maka yang dimaksud adalah ingkar terhadap kepentingan rakyat. Kalau dalam urusan rumah tangga, jika seorang suami berlaku ingkar, maka yang dimaksud adalah ingkar terhadap pasangannya. Cak Nun menjelaskan bahwa orang yang ingkar ini tidak bisa disimpulkan menjadi sebuah padatan bahwa mereka adalah kafir terhadap Islam. Karena, ingkar adalah sebuah nuansa yang tergantung dan kontekstual. Jika kita beriman kepada Allah, maka kita ingkar kepada setan. Begitu juga dengan ayat yaa ayyuhalladziina aamanu, Cak Nun memahaminya bukan dengan makna wahai orang-orang yang beriman, tetapi dengan pemaknaan wahai orang-orang yang sedang menjalani keimanan kepada Allah, orang yang sedang menjalankan kepercayaan dan keyakinan kepada Allah. Kesalahan-kesalahan terjemahan Al Qur’an di Indonesia saat ini memiliki andil dalam kesalahan pemahaman makna-makna dari ayat-ayat Al Qur’an.

Merefleksikan dari Surat Al Baqoroh ayat 6 dan 7; Innalladziina kafaruu sawaaun ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum laa yu’minuun, bahwa sesungguhnya orang-orang yang berbuat ingkar itu sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan percaya terhadap apa yang diberitahukan kepada mereka. Itulah gambaran penguasan saat ini, mau diberi peringatan seperti apapun, mereka tidak akan percaya, mereka tetap buta, mereka tetap tuli, mereka tidak tersentuh sedikitpun. Dan, dalam ayat selanjutnya, Allah menyebutkan khotamallahu ‘alaa quluubihim, wa ‘alaa sam’ihim, wa ‘alaa abshoorihim ghisyawatun. wa lahum ‘adzaabun adzhiim. Cak Nun menjelaskan dari ayat-ayat inilah kemudian Kenduri Cinta memunculkan tema Séributa Sérituli.

Seperti biasanya, Cak Nun mengajak jamaah untuk berbelok sedikit dalam diskusi Kenduri Cinta. Bisa jadi, yang sebenarnya buta dan tuli adalah kita sendiri. Cak Nun mencontohkan, bahwa kita sebagai rakyat Indonesia saat ini sangat buta terhadap kasus-kasus korupsi di Indonesia, baik secara jumlah yang sedang diproses oleh KPK atau POLRI, juga secara fakta bagaimana modus-modus operandi yang digunakan dalam tindak pidana korupsi. Yang seringkali kita ketahui adalah bahwa banyak koruptor melakukan korupsi dalam sebuah proyek infrastruktur atau proses penyuapan terhadap sebuah keputusan yang ia berpengaruh di dalamnya. Tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa ada manipulasi-manipulasi data di berbagai departemen yang kemudian menjadi celah untuk melakukan korupsi di Indonesia.

“Kalau anda ngomong presiden, apakah kamu yakin dia presiden? apakah kamu yakin dia berkuasa? Apakah kamu yakin bahwa dia yang mengambil keputusan dari pikirannya sendiri, dari hatinya sendiri, dari hitungannya sendiri? Anda buta atau tidak dalam hal ini? Buta!”

“Kita yang buta sesungguhnya dalam hal ini. Anda tahu siapa yang sesungguhnya berkuasa, yang di panggung atau yang di belakang panggung?” Cak Nun lalu melanjutkan dengan pertanyaan kepada jama’ah, apakah tanah-tanah di Jakarta hari ini seluruhnya masih milik orang Jakarta? Jika tidak, berapa prosentasenya yang masih milik warga Jakarta dan berapa persen yang sudah tidak menjadi milik warga Jakarta? Apakah warga Jakarta sendiri mengetahui benar-benar faktanya? Bahkan, hingga ke anggaran yang dianggarkan oleh negara dalam sebuah departemen, apakah kita benar-benar tahu pasti seluruh anggaran itu digunakan untuk apa? Berapa persen dana yang bisa kita pastikan untuk tidak diselewengkan?

Ternyata kita buta semua terhadap itu semua. Cak Nun membenarkan pungkasan Toto Rahardjo sebelumnya, bahwa yang dimaksud dari judul Kenduri Cinta kali ini adalah orang-orang yang membutakan diri dan orang-orang yang mentulikan diri, sehingga dimunculkanlah judul Séributa Sérituli.

“Yang harus kau lihat itu bukan apa yang ingin kau lihat, karena matamu bukanlah milikmu, maka kamu harus bertanya kepada yang memiliki matamu. Hak untuk melihat dan tidak melihat adalah milik Allah, maka apa yang akan engkau lihat seharusnya, engkau minta izin atau bertanya kepada Allah, saya harus melihat apa dan harus tidak melihat apa?”, Cak Nun melanjutkan.

Faktanya, hak Allah di dunia sudah dimonopoli oleh manusia itu sendiri, padahal sejatinya manusia tidak memiliki hak apapun atas dirinya. Manusia hari ini tidak mampu menakar dan mengidentifikasi bahwa kebahagian dan penderitaan itu bisa saja berfungsi sama, bahwa itulah sebenarnya yang dibutuhkan saat ini. Kebanyakan manusia jika mengalami hal yang tidak cocok dialami oleh dirinya disebut sebagai penderitaan, dan apabila ia menemui hal-hal yang cocok dan dialami oleh dirinya, maka disebut sebagai kebahagiaan. Padahal, belum tentu kebahagiaan yang ia rasakan adalah hal yang ia butuhkan, karena sebenarnya manusia juga memerlukan penderitaan untuk mengasah mental hidupnya.

Dengan Maiyahan seperti ini, salah satu harapannya adalah jika Allah melampiaskan kemarahannya kepada ummat manusia, maka kemarahan Allah itu relevan dan kontekstual, sehingga orang-orang yang tidak terlibat dalam berbuat dosa yang menyebabkan kemarahan Allah tidak terkena hukuman Allah. Maka Allah memberi satu kunci dalam Al Qur’an; Wa ‘asaa antuhibbu syai’an wahuwa sarrun lakum, wa ‘asaa ‘an tukrihu syai’an wa huwa khoirun lakum.

Cak Nun kemudian mempersilahkan Syeikh Nursamad Kamba untuk menjelaskan Surat Al A’raf ayat 179; Walaqod dzaro’naa lijahannama katsiiron mina-l-jinni wa-l-insu lahum quluubun laa yafqohuuna bihaa, wa lahum a’yuunun laa yubshiruuna bihaa, wa lahum aadzaanun laa yasma’uuna bihaa. Ulaaika ka-l-an’aam bal hum adhollu, ulaaika humu-l-ghoofiluun. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat0ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

“Jangan ada apapun yang membuat anda tidak ingat kepada Allah dan Rasulullah”,
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2016)

AKUARIUM DOKTRIN BEBAS

“DI DALAM MAIYAH itu yang berlaku adalah proses intelektualisasi, tidak ada proses indoktrinasi. Karena indoktrinasi ini yang sesungguhnya akan menjadi seumber segala ketulian dan segala kebutaan”, Syeikh Nursamad Kamba mengawali. Kita sebagai manusia saat ini pada awalnya didoktrin bahwa mereka berada di dalam sebuah akuarium yang besar dimana di dalamnya terdapat banyak sekali iedologi-ideologi, golongan-golongan, faham-faham, isme-isme yang begitu banyak, dan kita merasa bebas di dalam akuarium tersebut. padahal, kita sendiri didalamnya, tidak memliki kebebasan apapun atas doktrin-doktrin yang kita terima, kita jadikan pedoman, kita yakini sebagai sebuah kebenaran.

Kita mengaku bebas, padahal sejatinya kita tidak memiliki kebebasan apapun. Dan, apabila kita memiliki inisiatif untuk keluar dari akuarium yang besar itu tadi, kita ditakut-takuti bahwa nanti bakal menemui kehancuran yang mengerikan. Dalam doktrin mainstream yang berlaku saat ini semua orang digiring untuk masuk ke sebuah akuarium yang besar untuk disatukan dalam sebuah aturan yang sudah didesain oleh sebagian orang. Syeikh Nursamad mengibaratkan bahwa hidup manusia saat ini seperti ikan-ikan yang ada di dalam sebuah akuarium.

Akhirnya, manusia benar-benar merasa takut dan tidak siap untuk keluar dari akuarium yang besar itu, dan tidak menyadari bahwa Allah menciptakan manusia dalam keadaan ahsani taqwiim. Sehingga, yang terjadi adalah manusia hari ini hanya memiliki kecenderungan untuk mengikuti arus yang sedang mengalir, jarang sekali manusia yang berani mengambil pilihan untuk melawan arus atau setidaknya berpindah dari arus yang diikuti oleh kebanyakan orang saat ini. Syeikh Nursamad menganggap bahwa Maiyah mengajarkan jamaah untuk berani dan tidak mudah untuk mengiyakan apapun saja, meskipun kebanyakan orang mengatakan iya. Bahwa, jika pun akhirnya keputusannya adalah iya, itu merupakan hasil dari ijtihad pribadi masing-masing, karena Orang Maiyah ditanamkan rasa percaya diri bahwa mereka memiliki kedaulatan dalam sendiri.

“Yang paling penting adalah mendorong supaya manusia bisa menggunakan dan memfungsikan potensi-potensi intelektual yang ada dalam dirinya itu, untuk menjadi manusia yang tidak dipenjarakan oleh mainstream saat ini. Karena itu, didalam Maiyah tidak ada doktrin, tetapi yang berlaku adalah proses intelektualisasi, proses menyadarkan diri”, lanjut Syeikh Nursamad Kamba. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW; Kullu mauludin yuuladu ‘ala-l-fithroh. Bahwa, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci.

Syeikh Nursamad menjelaskan akibat dari indoktrinasi yang berkembang dalam dunia hari ini yaitu terpecah-belahnya manusia, merasa paling benar sendiri, dan akhirnya justru terlihat manusia terpisah sangat jauh dari Al Qur’an. Kegaduhan-kegaduhan yang terjadi hari ini sebenarnya sangat bisa dihindari apabila setiap manusia lebih mengutamakan konsep kebersamaan. Tetapi, yang terjadi adalah bahwa konsep individualismenyalah yang selalu diutamakan untuk ditampilkan. Dan, bukan kearifan yang tampak, tetapi justru keterbelahan satu sama lain yang dilandasi egoisme masing-masing. Di Maiyah sendiri sudah difahami bahwa Islam adalah kata kerja, bukan hanya sebatas identitas, sehingga Islam merupakan sebuah proses untuk menjadikan seseorang menjadi muslim yang sebenar-benarnya.

Syeikh Nursamad Kamba menjelaskan bahwa Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah agama tauhid yang mengintegrasikan akal dengan fikiran, hati dan syahwat manusia. Ketika seseorang berbuat buruk maka ia gagal mengintegralkan dirinya dengan ketauhidan Allah.

Dalam Islam tidak ada dikotomi Ilmu Pengetahuan. Sehingga, tidak ada alasan bahwa orang islam tidak mampu menerima perkembangan sains hari ini. Dan, umat Islam yang benar-benar berpegang kepada Al Qur’an tidak akan takut terhadap perubahan apapun di dunia ini. Karena segala sesuatu selalu berubah, setiap hari, setiap detik, setiap waktu. Karena semua penciptaan Allah itu hakikatnya adalah sesuatu yang sifatnya baru.

Syeik Nursamad juga menambahkan, apabila kita gagal menangkap dinamika semua penciptaan di alam semesta ini, maka kita akan tertinggal oleh zaman, dan kita akan ketinggalan ilmunya Allah. Kita tidak akan mampu menangkap kehadiran Allah dan kita tidak mampu melihat perubahan-perubahan itu dalam dinamika penciptaan ilahi. Padahal, dalam konsep metabolisme tubuh sekalipun, ada peran Allah di dalamnya. Dan, dinamika penciptaan ilahi ini merupakan proses intelektualisasi, dan perubahan dinamika penciptaan ilahi tersebut bersifat aktual. Di Maiyah inilah kita mempelajari hal tersebut.

“Ummat Islam yang berpegang teguh kepada Al Qur’an tidak perlu takut kepada perubahan”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Oktober, 2016)

“JADI, AKUARIUM besar itu mungkin juga yang disebut sebagai demokrasi, yang anda harus berusaha untuk melek. Demokrasi yang dianggap paling benar saat ini”, Cak Nun menambahkan pemaparan dari Syeikh Nursamad Kamba.

Cak Nun menjelaskan bahwa kita tidak berposisi untuk anti terhadap demokrasi, tetapi yang menjadi titik beratnya adalah bahwa demokrasi sangat diperlukan pada konteks tertentu, pada momen tertentu, pada nuansa tertentu, pada ruang waktu tertentu, sebagaimana juga dengan radikalisme, fundamentalisme, liberalisme dan sebagainya. Semua itu kita perlukan asalkan tepat momentum dan nuansanya. Dalam berfikir, kita harus berani untuk bebas.

“Di Gontor, ada urut-urutan yang komperhensif: Berbudi Tinggi, Berbadan Sehat, Berpengetahuan Luas dan Berfikiran Bebas”, Cak Nun menceritakan salah satu falsafah Gontor dimana syarat manusia untuk berfikiran bebas harus terlebih dahulu memiliki akhlaq yang mulia, memiliki Jasmani yang sehat serta Wawasan yang luas. Tidak bisa salah satunya dilangkahi atau didahului, urut-urutannya harus tepat seperti itu.

“Di Maiyah ini anda datang tidak sebagai pemikir, anda datang sebagai manusia dengan keseluruhan faktor anda dan itu anda integrasikan. Jadi anda sesungguhnya sedang bertauhid. Dan itu merupakan tabungan untuk nanti bertuhid kepada Allah, karena anda ndak mungkin bertauhid kepada Allah tanpa mengintegrasikan seluruh makhluk-makhluknya didalam kesadaran anda, dan semua itu anda atasi untuk mejadi kemaslahatan” 
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2016)

MENYIKAPI ISU Pilkada DKI yang sedang menghangat akhir-akhir ini, Cak Nun mengajak jama’ah untuk berfikir lebih jernih bahwa substansi yang sedang dimainkan oleh pihak-pihak tertentu bukanlah sosok siapa yang nantinya akan menjadi Gubernur di Jakarta. Bahwa, di dalam Al Qur’an dijelaskan kriteria pemimpin seperti apa. Hal tersebut sangat penting dan mutlak. Karena, apa yang terkandung didalam Al Qur’an merupakan dogma dari Allah. Selama ini masyarakat hanya terfokus pada siapa-siapa yang sedang dicalonkan untuk dipilih menjadi Gubernur, banyak sekali hal-hal yang sangat substansial dibalik itu semua, dan hampir semua masyarakat buta terhadap hal yang substansi tersebut. Dalam hal ini, kita dapat mengaplikasikan integritas. Intergitas yang dimaksud dijelaskan oleh Cak Nun sebagai sebuah sistem dimana kita menjaring semua pihak untuk menjadi satu entitas dan kemudian kita pertanggungjawabkan secara soleh.

Cak Nun menjelaskan bahwa soleh merupakan kelengkapan dari seluruh padatan dan cairan kebaikan, dalam istilah lain soleh adalah the whole thing dari kebaikan, sehingga ia bernilai mulia, bersifat valid dan akurat. Di Maiyah, oleh Cak Nun sudah pernah dijelaskan bahwa kebaikan yang sifatnya masih general, masih umum disebut khoir.  Lalu, kebaikan yang padat tetapi segmentatif, disebut ma’ruf. Sedangkan kebaikan yang bersifat intim antara hamba dengan Allah disebut birrun. Maka, orang yang beribadah haji selalu didoakan menjadi haji yang mabrur. Sedangkan ihsan merupakan kebaikan yang sifatnya inisiatif pribadi yang tidak ada perintahnya.

“Tolong untuk tidak buta terhadap titik berat keadaan yang sebenarnya”, Cak Nun melanjutkan sembari menjelaskan bahwa isu-isu hari ini di media massa tidak lain hanyalah merupakan efek kesekian dari isu substansial yang sesungguhnya. Cak Nun mengingatkan bahwa apa yang kita alami hari ini merupakan akibat dari kebutaan dan ketulian kita terhadap informasi yang datang dari Allah.

Fenomena pembunuhan, penggandaan uang, padepokan spiritual dan lain sebagainya merupakan hal-hal membahayakan yang dilakukan oleh manusia hari ini yang tujuannya tidak jelas. Hari ini manusia berangkat menyembah berhala, tetapi berhalanya tidak mau disembah. Manusia mendewakan materialisme, tetapi kemudian terhadap materialisme itu sendiri manusia selalu mengeluh.

Keanehan yang terjadi hari ini, kita melihat seseorang yang jelas-jelas terbukti menggandakan uang, tetapi aparat penegak hukum seakan-akan tidak berani menggunakan pasal pidana penggandaan uang terhadap sosok yang ditangkap oleh Polisi. Padahal, jelas terdapat dalam undang-undang jumlah uang yang diperbolehkan beredar di masyarakat sudah diatur. Apabila jumlahnya melebihi batas maka akan mengganggu stabilitas ekonomi negara. Di lain pihak, orang-orang berbicara tentang Karomah, tetapi tidak ada usaha untuk meneliti seperti apa orang-orang yang mendapatkan Karomah. Orang-orang bahkan tidak mampu membedakan apa itu Karomah, Fadhillah, Ma’unah, Ilham dan lain sebagainya.

Cak Nun lalu kembali menjelaskan bagaimana Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama di bumi, ketika malaikat membawa tanah liat dari bumi untuk dijadikan tapelnya Adam. Adam sendiri saat diciptakan tidak disertai dengan manual book berupa Taurat, Zabur, Injil atau Al Qur’an, karena Adam merupakan ahsani taqwim. Dari sini kita belajar bahwa sesungguhnya, tanpa Al Qur’an sekalipun manusia sangat mampu untuk berbuat baik, dan tidak ada alasan untuk berbuat buruk. Asalkan manusia menjadi manusia dan aktif kemanusiaannya, maka akan tercipta baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur. Nabi Adam sudah cukup dengan dirinya sendiri, tanpa ada sekolah, tanpa ada Al Qur’an, ia sudah cukup untuk menjadi manusia yang ahsani taqwim.

Cak Nun menjelaskan bahwa malas adalah kelemahan manusia. Kemalasan dalam diri manusia lantas mengakibatkan rusaknya peradaban, rusaknya moral, rusaknya mental manusia itu sendiri. Jangankan generasi hari ini, bahkan pada generasi kedua dari Nabi Adam AS, manusia sudah mengalami kerusakan mental yang luar biasa, tidak rela atas anugerah yang diberikan Allah kepada manusia yang lainnya. Semenderita-menderita kita hari ini, kita tidak mengalami seperti yang dialami oleh Nabi Adam AS; kedua anaknya terlibat pertikaian akibat ketidakrelaan satu sama lain dan berakhir pada terbunuhnya salah satu dari mereka.

Dari fenomena yang terjadi dalam setiap generasi dari setiap Nabi dan Rasul, Allah kemudian memutuskan untuk menyusun Kitab-Kitab Allah: Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an sebagai buku panduan kehidupan bagi manusia di bumi. Perpecahan umat manusia di muka bumi hari ini dijelaskan oleh Cak Nun merupakan akibat dari konsep pelembagaan-pelembagaan yang sangat sempit wilayahnya. Orang tidak bisa menjelaskan apa itu Islam kecuali berdasarkan informasi yang secara tekstual diajarkan oleh ulama-ulama dengan dalih bahwa informasi itu merupakan Hadits Rasulullah SAW. Apakah itu salah? Tidak juga.

Tetapi, Islam seharusnya difahami dalam konteks yang lebih luas. Islam bukan hanya ada dalam konteks rukun islam dan rukun iman semata. Islam adalah ketika orang berbuat baik, ketika orang berbuat jujur, ketika orang menyayangi dan mengasihi lainnya, itulah Islam. Dari konteks ini akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah SAW diutus oleh Allah dengan tujuan rahmatan lil ‘Alamiin, bukan hanya rahmat bagi umatnya saja, melainkan bagi seluruh alam. Bahkan, dalam konteks yang lain lagi, Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia.

Kita melihat hari ini, manusia bukan hanya terpecah menjadi Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan lain sebagainya, bahkan lebih banyak lagi jumlahnya. Dan, dalam Islam sendiri, umat sudah terpecah belah hingga sekian banyak lembaga. Ada NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Sunni, Syi’ah, Liberal, Sekuler dan lain sebagainya. Dan, pada akhirnya, semua terkotak-kotakkan dalam wilayah yang sangat sempit. Lebih parahnya lagi, negara yang kita alami hari ini tidak ubahnya sebuah Kerajaan.

Kita melihat bagaimana gerak-gerik partai politik, dimana yang terjadi dalam sebuah partai politik sebenarnya merupakan dinasti sebuah kerajaan. Sebagus apapun kualitas kader sebuah partai politik, akan kalah dengan putra mahkota dari tokoh atau pendiri ideologis partai tersebut. Sehingga, ada sebagian oknum yang kemudian menggunakan kekuasaan dan kekayaan miliknya untuk membangun kerajaannya sendiri.

Tidak peduli apa latar belakang agamanya, hari ini kita melihat sosok seorang Nasrani yang bisa dengan mudah keluar masuk pondok pesantren, memakai peci dan surban, bahkan dicium tangannya oleh para santri. Hanya dengan membiayai sekian ribu ranting, ia dengan mudah melegitimasi kerajaan yang baru dibangunnya agar dikenal oleh masyarkaat luas. Sementara partai-partai kerajaan yang lain, semakin mengokohkan posisinya sebagai sebuah kerajaan, sehingga pesta demokrasi lima tahun sekali yang terjadi di Indonesia tidak ubahnya dengan menunggu giliran sebuah rezim kerajaan untuk berkuasa.

“Maiyah tidak menjadi lembaga, tidak menjadi Organisasi. Tetapi Maiyah meng-organisme, selalu berusaha untuk menjadi Organisme didalam Organisme agung milik Allah SWT”,
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2016)

CAK NUN kemudian mempersilahkan Habib Anis Sholeh Baasin dari Pati untuk ikut urun merespon tema Kenduri Cinta. Habib Anis mengibaratkan ketika tiga orang tuli melihat satu orang yang sedang membawa alat pancing, maka persepsi dari tiga orang tuli itu sebenarnya sama, mereka sama-sama mengetahui bahwa orang yang membawa alat pancing itu akan pergi memancing. tetapi karena mereka mengalami ketulian, maka bisa jadi kemudian masing-masing tidak mengetahui bahwa sebenarnya mereka sama-sama memiliki persepsi yang sama. Habib Anis mengibaratkan lagi orang yang buta meraba-raba gajah, jika ada 9 orang buta sama-sama meraba gajah, maka persepsi yang muncul adalah kesepakatan bersama tentang gajah yang mereka raba-raba itu tadi, tetapi jika kemudian ada orang buta satu lagi yang kemudian menyimpulkan gajah dengan persepsi yang baru, dapat menimbulkan kegaduhan yang baru lagi karena bisa jadi persepsinya itu sangat berbeda dengan kesepakatan 9 orang sebelumnya. Padahal, mereka sama-sama buta. Fenomena tersebut menurut Habib Anis terjadi hari ini.

Kebanyakan manusia saat ini hanya melihat sebuah persoalan dari satu sisi. Di awal Cak Nun menjelaskan bahwa kita harus mampu mengatasi masalah. Dan, mengatasi masalah adalah kita memposisikan diri kita diatas masalah yang kita hadapi. Caranya bisa saja dengan sejenak keluar dari zona kita untuk melihat masalah yang kita hadapi dari luar wilayah kita. Dari situ, bisa saja kita mendapat kesimpulan dan solusi dari masalah yang kita hadapi.

Habib Anis mencontohkan bagaimana VOC memutuskan hubungan antara kerajaan dengan bupati pada zaman penjajahan, dari situ kemudian kapitalisme VOC diaplikasikan di Nusantara. Selang beberapa tahun, hubungan pesantren dengan rakyat dipudarkan, kemudian mereka mendirikan sekolah-sekolah yang menjadi lembaga pendidikan di Nusantara. Dan, sekolah-sekolah yang ada di Indonesia hari ini merupakan warisan dari sistem pendidikan yang dirintis oleh VOC pada masa penjajahan Belanda. Jika dahulu sekolah didirikian oleh Belanda dengan tujuan untuk menjauhkan rakyat dari tradisinya sendiri, maka hari ini kita melihat bagaimana sekolah menjauhkan para siswanya dari agamanya sendiri.

Habib Anis menceritakan bagaimana awal mula Belanda melalui VOC menyusup ke kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk menguasai tanah-tanah dan hasil bumi di Nusantara. Mereka mampu membeli pejabat-pejabat kerajaan untuk mendapat akses penguasaan-penguasaan lahan di Nusantara yang sebelumnya menjadi milik kerajaan. Dan, hari ini, kita melihat metode yang sama dilakukan oleh pihak asing terhadap Indonesia. Mereka merasa bahwa pejabat-pejabat di Indonesia sangat mudah untuk dibeli, hanya dengan disuap sekian jumlah uang, maka sekian kebijakan-kebijakan pemerintah bisa diambil dengan dasar untuk keuntungan sebagian pihak saja.

Di tengah malam saat Kenduri Cinta berlangsung, seorang anak kecil yang selalu duduk di sisi panggung menarik perhatian Cak Nun. Cak Nun pun bercerita bahwa Maiyahan hari-hari ini, dimanapun, selalu dihadiri oleh banyak anak-anak kecil yang diajak oleh orang tua mereka. Dan, mereka mampu bertahan untuk menyimak Maiyahan, serius mendengarkan paparan-paparan yang disampaikan oleh narasumber, ikut bergembira bersama orang-orang tua yang hadir, ikut tertawa ketika ada humor yang terlontar. Padahal, dalam tinjauan akademis dunia pendidikan, materi yang disampaikan di Maiyahan bukanlah ilmu-ilmu yang mudah dicerna oleh anak-anak yang masih kecil. Begitu juga dalam tinjauan ilmu kesehatan, sangat tidak direkomendasikan oleh dunia kesehatan modern seorang anak bertahan untuk tidak tidur dari malam hingga dinihari, di tengah-tengah jamaah Maiyah yang merokok.

Tetapi, yang terjadi adalah kegembiraan satu sama lain yang tumbuh mewarnai, sehingga bisa jadi informasi-informasi yang didapatkan oleh anak-anak kecil di setiap Maiyahan itu akan tumbuh dan suatu saat menjadi pegangan hidupnya sendiri untuk ia pegang menjadi nilai-nilai kehidupan yang ia yakini. Suatu hari, ia akan mengalami sebuah peristiwa dan kemudian ia akan mengambil rujukan terhadap informasi yang ia dapatkan dalam sebuah Maiyahan yang ia ikuti hari ini.

“Di Maiyah ini anda datang tidak sebagai pemikir, anda datang sebagai manusia dengan keseluruhan faktor anda, dan itu anda integrasikan. Jadi, anda sesungguhnya sedang bertauhid. Dan, itu merupakan tabungan untuk nanti bertuhid kepada Allah. Karena anda tidak mungkin bertauhid kepada Allah tanpa mengintegrasikan seluruh makhluk-makhluknya di dalam kesadaran anda, dan semua itu anda atasi untuk mejadi kemaslahatan”, lanjut Cak Nun melanjutkan.

Untuk mengibaratkan sistem yang berlaku saat ini, Cak Nun menggambarkannya dengan sarung. Sarung adalah sebuah kain yang bisa digunakan untuk apa saja, ia bisa menjadi kain sarung, ia bisa menjadi selimut, ia bisa menjadi ikat kepala, ia juga bisa menjadi alas tikar. Dan, itulah gambaran birokrasi yang berlaku di Indonesia hari ini. Sekarang siapa saja bisa menjadi apa saja dan siapa saja bisa melakukan apa saja.

Andre Dwi, yang sudah lama juga tidak hadir di Kenduri Cinta kemudian ikut urun paparan. Menurutnya, berbagai golongan atau kelompok-kelompok yang ada hari ini seharusnya diharmonisasikan, disatukan menjadi gerak langkah yang padu menuju kemaslahatan bersama. Tetapi, yang terjadi justru saling dibenturkan satu sama lain.

“Maiyah mencoba membangun sedikit demi sedikit air mutlak, air thohir dan muthohir, air suci dan mensucikan”, Cak Nun menegaskan bahwa yang dilakukan oleh Maiyah adalah pembaharuan-pembaharuan di tengah air mutanajjis dan air musyammas yang saat ini kita alami bersama-sama. Cak Nun mengajak jamaah untuk terus melakukan ijtihad dalam kehidupan, sekecil apapun ijtihad itu harus terus dilakukan.

Dan, berkenaan dengan pertanyaan tentang beda antara kebetulan dengan kebenaran, Cak Nun meresponnya dengan ungkapan bahwa sebenarnya kebetulan adalah kebenaran, hanya saja kebenaran adalah sesuatu yang sudah kita ketahui hakikat, wujud, maupun asal usulnya. Sedangkan kebetulan itu merupakan sesuatu yang belum kita ketahui hakikat, wujud serta asal usulnya sehingga belum bisa kita sebut sebagai kebenaran.

Sebelum memuncaki Kenduri Cinta edisi Oktober 2016, Cak Nun mengajak jamaah untuk menajamkan kesadaran dengan mempertanyakan kepada diri masing-masing lima hal apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan, lima hal yang dilakukan seharusnya tidak dilakukan, juga mempertanyakan lima hal perkataan yang sudah dikatakan padahal seharusnya tidak dikatakan, dan lima hal perkataan yang tidak dikatakan padahal seharusnya dikatakan. Setelah itu, Cak Nun mengajak seluruh jamaah untuk berdiri dan berdo’a bersama dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba.