Umat dan “Kulit” Demokrasi

RIBUT-RIBUT Pilkada Jakarta sangat menguras tenaga dan pikiran orang-orang yang sedang memperjuangkan misi-keterlibatannya dalam rutinitas lima tahunan yang di-agenda-kan sebagai proses demokrasi, pemilihan kepala daerah. Jakarta sebagai ibukota pemerintahan negara mendapatkan perhatian khusus akhir-akhir ini. Pilkada gubernur yang semestinya merupakan persoalan lokal Provinsi DKI seolah sudah menjadi isu nasional. Isu-isu yang sensitif nampak sengaja disulut dan menjadi pemantik reaksi massa, apalagi kalau dikaitkan dengan Islam.

Ummat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini terpaksa/dipaksa untuk mengikuti permainan ini. Lewat permainan opini publik, Ummat Islam dibuat kocar-kacir untuk dapat mengikuti perkembangan berita. Diadu, dibentur-benturkan satu dengan lainnya, diseret-seret untuk memasuki permainan-permainan yang memaksa setiap orang yang masuk harus saling curiga atau setidaknya menyangsikan ke-islam-an saudara-saudaranya.

Ukhuwah-Islamiyah yang semestinya jadi perekat persaudaraan abadi sesama muslim lantas digantikan oleh sekedar satu kesamaan dalam kesukaan atau kebencian yang bersifat sementara atas satu-dua hal. Suatu isu yang kontroversi sengaja disebarkan untuk mengkotak-kotakan dan memecah belah ummat. Media massa nasional baik yang cetak maupun elektronik turut ambil bagian dalam kegaduhan ini, tentu tujuannya bukan untuk segera menuntaskan-nya. Acara-acara talk show politik yang disiarkan live semakin marak diselenggarakan, bukan dalam rangka media silaturahmi untuk menemukan solusi bersama namun justru lebih ditujukan untuk memunculkan tokoh-tokoh ummat dan para pendekar-silat-lidah yang siap bertarung layaknya para gladiator yang siap tempur.

Dalam Demokrasi, atribut dan identitas tambahan sengaja disematkan untuk menjauhkan Ummat Islam dari kekasihnya yaitu Rasulullah SAW dan Sang Khaliq Allah SWT. Islam dalam Demokrasi dipaksa untuk tidak menjadi dirinya, ummat Islam dipaksa untuk menjadi Islam-A yang bukan Islam-B, atau kalau tidak A-B harus Islam-C. Hingga pada akhirnya dalam Sistem Demokrasi sudah tidak mungkin bagi seorang muslim untuk mewujudkan kembali Ukhuwah-Islamiyah. Jangan untuk mewujudkan, sekedar terdengar istilah Ukhuwah-Islamiyah langsung dapat tuduhan sebagai agen kaderisasi partai-partai Islam.

Pada sisi lain, real fight demokrasi yang diharapkan terkait pertarungan program kerja para Cagub dan Cawagub justru sepi dari perhatian. Validitas data daftar pemilih seolah luput dari pengamatan. Sangat mungkin jika pada akhirnya keributan-keributan yang saat ini terjadi dan melibatkan Ummat Islam bisa tidak ada gunanya. Karena pilkada tidak tergantung pada banyaknya jumlah mobilisasi pergerakan massa di jalan-jalan tetapi tergantung hitungan perolehan suara di balik bilik TPS. Sementara perhatian Ummat Islam sedang disibukkan oleh ribut-ribut ‘kulit’ dari demokrasi, mereka para tim sukses yang tersembunyi dari perhatian publik sudah menyiapkan strategi pemenangan dengan sekenario-sekenario yang berlapis-lapis.

Perjuangan mengatasnamakan Islam melalui sistem demokrasi hanya akan mengalami frustrasi yang berkelanjutan jika hanya mengedepankan politik kekuasaan. Ummat Islam sebagai target konstituen dalam politik-praktis mempunyai banyak faktor-faktor yang sulit untuk didefinisikan rumusan, konstanta maupun variabel-variabelnya. Rumusan untuk mempetakkan Ummat Islam kedalam peta perpolitikan nasional belum dapat ditemukan sampai dengan saat ini. Ummat Islam terlampau cair untuk ditemukan padatannya, arus alirannya sangat dinamis untuk dapat digiring arah tujuannya. Usaha-usaha yang ditujukan untuk memecah belah ummat, yang dihasilkan justru menumbuhkan kesatuan. Sebaliknya, tidak jarang usaha-usaha pergerakan untuk menyatukan ummat justru menimbulkan perpecahan.

Rumusan umum yang saat ini digunakan terhadap kondisi Ummat Islam yang sangat cair ini; bahwa Ummat Islam dapat konstruktif pada kondisi masyarakat yang aman tenteram, dan jika kondisi masyarakat tidak stabil, potensi destruktif Ummat-Islam semakin besar. Namun rumusan ini tidak berlaku di Indonesia. Geliat reaksi Ummat Islam terhadap suatu isu sangat sulit untuk diprediksi. Orang-orang Maiyah yang juga merupakan bagian dari Ummat-Islam mengalami hal serupa. Orang-orang Maiyah-pun sebagai unikum individu sangat sulit dipetakan dan diprediksi reaksinya terhadap isu-isu di tengah masyarakat. Reaksi berlebihan sebagai sebuah letupan-letupan individu acap kali bermunculan. Tidak jarang sebuah artikel yang memuat penggalan-penggalan ucapan Cak Nun dari sumber yang sama digunakan oleh dua pihak yang sama-sama mengaku orang maiyah namun masing-masing menggunakannya untuk menguatkan argumentasi perbedaan pendapat diantara mereka.

Dengan sendirinya setiap orang akan berusaha dengan caranya sendiri-sendiri dalam mengekspresikan pemaknaan atas suatu kejadian peristiwa berdasarkan pemahaman yang berbeda-beda. Namun ketika meletakkan titik berat pemaknaan itu bergeser atau-pun tidak tepat, yang terjadi adalah penyikapan yang salah-salah, kemudian apa yang dilakukan tidak tepat sasaran. Suatu tindakan yang sifatnya reaktif seringkali hanya akan memperburuk keadaan karena  akan menambah masalah baru, bahkan bisa jadi masalah sebelumnya tidak kunjung tuntas. Usaha reaktif untuk menggalang mobilisasi masa dalam permainan demokrasi bisa jadi tidak berguna. Kemenangan perang opini sangat mungkin berujung kekalahan perolehan suara dalam sebuah pemilu, apalagi hitungan suara tidak sukar untuk di-manipulasi.