PATPATGULIPAJAK IBLIS AMNESTY

REPORTASE KENDURI CINTA SEPTEMBER 2016

PAJAK MERUPAKAN sumber utama pendapatan Negara yang bersifat wajib yang dibayar oleh rakyat kepada Negara dan digunakan untuk kepentingan umum. Salah satu tolak ukur keberhasilan sebuah rezim pada saat berkuasa adalah pembangunan infrastruktur fasilitas publik seperti jalan raya, jembatan, bandara, terminal dan lain sebagainya dimana salah satu sumber pembiayaannya berasal dari Pajak. Kewajiban membayar pajak inipun diatur oleh undang-undang.

Beberapa bulan lalu muncul sebuah dokumen yang disebut sebagai “Panama Papers” menghebohkan berbagai negara. Dokumen tersebut berupa data offshore dari tahun 1977 sampai 2015 yang berisi skandal bisnis jutaan pengusaha di dunia. Dan, salah satu data yang tercantum adalah data tentang penyelewengan pajak. Di sisi lain, ekonomi global hari ini masih belum stabil, kebijakan tax amnesty pada akhirnya diambil oleh beberapa negara untuk mengantisipasi terjadinya krisis moneter skala lokal. Pun, keputusan Inggris yang keluar dari Uni Eropa merupakan salah satu dampak dari ketidakstabilan ekonomi global yang seringkali hanya menguntungkan para kapitalis.

Kenduri Cinta sejak awal memposisikan dirinya sebagai bagian dari Indonesia yang melakukan sesaji terus menerus. Ia bukanlah pihak yang memiliki kewajiban untuk mengurusi Negara Indonesia. Pada Jum’at kedua setiap bulan ribuan orang berkumpul di Taman Ismail Marzuki sebagai salah satu wujud rasa cinta kepada Indonesia. Siapapun boleh datang di Kenduri Cinta. Siapapun boleh berbicara apa saja di Kenduri Cinta. Tidak ada yang dikultuskan dan tidak ada yang diperhinakan di Kenduri Cinta.

JARAK PANDANG

KENDURI CINTA edisi September 2016 mengangkat tema; “PATPATGULIPAJAK IBLIS AMNESTY”. Munculnya tema tersebut bukanlah tiba-tiba. Dalam forum reboan yang dilaksanakan setiap minggunya, para pegiat Kenduri Cinta berkumpul untuk berdiskusi dan menentukan tema yang akan diangkat di Kenduri Cinta. Isu Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty merupakan salah satu isu yang sedang menghangat di masyarakat saat ini. Di tengah konstelasi politik yang semakin rumit, salah satu kebijakan pemerintah soal pajak itu mengundang pro dan kontra.

Pemerintah menganggap Pengampunan Pajak akan mampu mendorong bertambahnya pendapatan sehingga uang yang masuk dapat digunakan untuk membiayai belanja Negara yang sudah dianggarkan dalam APBN akhir tahun lalu.

Sebuah perusahaan, apabila diurus oleh seorang direktur yang cakap, dibantu oleh staf-staf yang mumpuni di bidangnya masing-masing, tentu akan menciptakan kondisi keuangan yang sehat. Tidak ada penyelewangan anggaran, tidak ada hutang yang terlambat dibayarkan, dan tentu saja tidak akan terjadi keterlambatan pembayaran gaji karyawannya. Begitu juga dengan pengelolaan Negara.

Jika mulai dari kepala pemerintahan yang didapuk sekaligus menjadi kepala negara memiliki kompetensi dalam mengurusi Negara, dibantu oleh menteri-menteri dan juga oleh para pegawai-pegawai yang kompeten di masing-masing kementrian serta departemen, tentu saja hasilnya adalah terwujudnya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Setelah diawali dengan Wirid Wabal (Tahlukah 2016), Sigit bersama Nashir memoderasi sesi Prolog dan mengawal diskusi yang dilandasi beberapa pemikiran oleh Luqman Baehaqi, Adi Pudjo dan Ali Hasbullah. Sebelum berdiskusi lebih jauh, Luqman kembali menjelaskan bahwa dalam terminologi Maiyah dikenal  istilah “Jarak Pandang” untuk melihat sebuah persoalan. Di Maiyah sudah sejak lama Cak Nun mengajarkan jamaah agar tidak segera menyimpulkan apa sebab dari sebuah persoalan. Sebagai terminologi, Jarak Pandang merupakan diperkenalkan oleh Sabrang.

Menurut Luqman, semakin kita memperluas Jarak Pandang kita, maka kita juga akan mendapatkan wawasan yang lebih luas dari sebuah persoalan yang kita amati. Luqman mengambil contoh bagaimana sebuah grup band dikelola oleh seorang manajer yang mengelola segala macam keperluan grup band tersebut. Mulai dari jadwal pementasan, kontrak dengan label, iklan, promo album dan lain sebagainya diatur oleh seorang manajer. Oleh karenanya, akan berbahaya apabila manajer melakukan kecurangan dalam pengelolaan sebuah grup band.

Luqman berpendapat bahwa pemberlakuan Tax Amnesty di Indonesia yang terkesan sangat mendadak memunculkan kecurigaan bahwa ada beberapa fihak yang memang sedang bermain. Seyogyanya, sebuah peraturan sebelum diberlakukan, haruslah dilengkapi dulu perangkat-perangkatnya kemudian disosialisasikan dalam waktu yang tidak sebentar, mengingat luas wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau. Sebab, bisa jadi pengetahuan Tax Amnesty  ini tidak menjangkau masyarakat akar rumput di pelosok desa. Mungkin, mereka tidak memerlukan Tax Amnesty, tetapi pemerintah memiliki kewajiban untuk memberi pemahaman kepada seluruh rakyat Indonesia apa yang dimaksud dengan Tax Amnesty ini.

Selanjutnya Adi Pudjo memberikan pemaparannya dengan kembali menekankan bahwa forum Kenduri Cinta adalah sebuah arena yang memperbolehkan siapa saja untuk belajar. Dan, semua hadirin di Kenduri Cinta memiliki hak yang sama untuk memberi atau mendapatkan pelajaran. Adi Pujo mengakui bahwa mayoritas yang didapatkan di Kenduri Cinta ini masih sebatas wacana sehingga melahirkan kebebasan jamaah untuk menafsirkan apapun saja yang mereka dapatkan di.

“Semakin kita memperluas Jarak Pandang kita, maka kita juga akan mendapatkan wawasan yang lebih luas dari sebuah persoalan yang kita amati”
Luqman Baehaqi, Kenduri Cinta (September, 2016)

TIDAK ADA yang merasa paling benar di Kenduri Cinta. Karena, pada akhirnya nanti, semua akan saling melengkapi satu sama lain. Pengetahuan yang didapatkan hari ini bisa saja melengkapi apa yang ia dapatkan sebelumnya. Atau, juga bisa berlaku sangat radikal, yakni pengetahuan yang didapatkan hari ini membatalkan pengetahuan yang ia dapatkan sebelumnya.

Sebuah pertanyaan dilempar oleh Adi Pudjo, sebenarnya kata “Amnesty” ini posisinya seperti apa? Jika dalam bahasa inggris kita mengenal kata “Forgive”, di Indonesia kita juga mengenal kata “Memaafkan” juga “Mengampunkan”. Padanan kata mana yang tepat dengan kata Amnesty? Maksudnya bukan dalam hal arti kata. Melainkan, kata Amnesty ini sendiri sebenarnya siapa yang paling berhak mengeluarkannya?

Adi berpendapat bahwa yang paling berhak melakukan Amnesty adalah Tuhan. Sehingga, penggunaan kata Amnesty dalam Tax Amnesty sendiri menurut Adi Pudjo kurang pantas. “Di forum Kenduri Cinta ini kita memberiakn kesempatan seluas-luasnya kepada siapapun yang hadir untuk menafsirkan ilmu yang didapatkan dengan satu syarat; tidak menyebabkan ketidakselamatan orang lain”, pungkas Adi Pudjo.

Ian, salah satu penggiat Kenduri Cinta yang juga rutin hadir di forum reboan menyampaikan, bahwa Tax Amnesty sebenarnya adalah sebuah cara atau solusi paling akhir yang diambil dalam keadaan darurat. Ian juga menambahkan bahwa Tax Amnesty pernah dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1984 yang kemudian diberlakukan pada tahun 1985. Bedanya, Tax Amnesty kali ini menurut Ian adalah diberlakukannya bersamaan dengan proses sosialisasi. Dari sini terlihat bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah langkah panik, karena kas Negara dalam keadaan kosong, sehingga Tax Amnesty diambil sebagai jalan pintas. Sedangkan yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1984, bahwa sebelum Tax Amnesty diberlakukan, pemerintah mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan perangkat-perangkatnya, juklak dan juknisnya, baru kemudian disosialisasikan kepada masyarakat Indonesia, dan pada saat yang tepat setelah semua persiapan sudah matang dan sosialisasi sudah dilakukan, barulah prosedur Tax Amnesty diberlakukan.

Ian mencoba mengambil kesimpulan dari Mukadimah yang dirilis di website Kenduri Cinta tentang tema ini, bahwa pemberlakuan Tax Amnesty kali ini merupakan hal yang cukup aneh melihat fakta bahwa sebenarnya Indonesia tidak memerlukan prosedur Tax Amnesty. Sebab, Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa, memiliki hasil bumi dan laut yang begitu banyak. Tetapi, akibat dari kesalahan dalam pengelolaan kekayaan itu semua, pemerintah Indonesia pun mengambil langkah panik berupa Tax Amnesty.

Ian juga menjelaskan bahwa istilah Amnesty sendiri tidak tepat untuk prosedur Tax Amnesty ini. Karena para wajib pajak sebenarnya tidak membayar tebusan atas pengampunan pajak yang dibebankan kepada mereka, yang dibayarkan adalah besaran uang yang memang dibebankan kepada para wajib pajak. Dan, dalam aturan yang berlaku, apabila kita melanggar sebuah aturan perpajakan atau kita tidak membayar pajak atas kewajiban yang harus kita bayarkan, maka salah satu prosedurnya adalah membayar denda atas keterlambatan. Jadi, menurut Ian sendiri, penggunaan istilahnya saja sudah salah kaprah, maka menjadi hal yang wajar ketika masyarakat pun tidak memahami prosedur, maksud, juga tujuan dari Tax Amnesty  secara utuh.

Zaenal Sodik, salah satu jamaah asal Cijantung, berpendapat bahwa seharusnya Pajak bisa dimanfaatkan layaknya Zakat seperti pada zaman Khulafaur Rasyidin dahulu dalam membiayai hal-hal yang berkaitan dengan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tetapi, pada faktanya sampai hari ini kita belum merasakan sepenuhnya kemana arah pendapatan pajak dibelanjakan?

“Di Kenduri Cinta kita belajar untuk melatih cara berfikir supaya mengerti dan tidak salah dalam menyimpulkan”, Ali Hasbullah mengawali pemaparannya. Ali menjelaskan, salah satu penyebab pemerintah memberlakukan Tax Amnesty dikarenakan ketidakseimbangan keuangan Negara yang mengakibatkan defisitnya anggaran pendapatan Negara, dan hari ini Negara kita berhutang hingga ratusan trilliun untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur di beberapa daerah. Bahkan, data per Juni 2016, anggaran Negara Indonesia sudah mengalami defisit mencapai 239 Trilliun rupiah. Kemudian, salah satu langkah yang diambil untuk menutup defisit tersebut dilakukan dengan cara berhutang. Sementara itu, hutang yang diambil ternyata juga tidak mampu menutupi defisit yang terjadi, sehingga diambil langkah  Tax Amnesty.

Ali menambahkan bahwa pada tahun 2018 nanti, akan ada sebuah perjanjian antar negara yang salah satunya mengatur tentang pertukaran informasi mengenai keuangan dan pajak warga negaranya masing-masing. Maka, menurut Ali, Tax Amnesty ini juga sangat aneh jika diberlakukan sekarang mengingat kurang dari 2 tahun lagi Indonesia akan bersepakat dengan beberapa negara mengenai pertukaran informasi keuangan warga negaranya yang disimpan di negara lain. Sebab, salah satu hal yang memberangkatkan Tax Amnesty  lantaran begitu banyak konglomerat di Indonesia yang menyimpan uang mereka di negara lain.

Sebelum berbicara labih jauh Ali mengingatkan agar apa yang akan dibahas di Kenduri Cinta kali ini jangan berkutat hanya pada persoalan Tax Amnesty, karena hal itu hanyalah satu dari sekian persoalan yang sedang dihadapi oleh rakyat Indonesia. Terkait Tax Amensty Ali sependapat dengan Ian, yang menyatakan bahwa ada kejanggalan dalam proses diberlakukannya Tax Amnesty di Indonesia saat ini. Sebuah undang-undang atau peraturan yang baru saja dirancang, seketika itu juga disahkan dan diberlakukan, fenomena ini tentu tidak lazim. Karena, semua keputusan yang diambil oleh pemerintah sudah seharusnya mempertimbangkan asas untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya keuntungan bagi segelintir pihak.

Kembali lagi, salah satu tujuan Tax Amnesty adalah menarik uang milik orang Indonesia yang ada di luar negeri untuk dimasukkan ke dalam negeri, sehingga uang tersebut bisa digunakan oleh Pemerintah untuk menutupi defisit kas Negara. Sayangnya, ketika target itu tidak tercapai, justru yang disasar kemudian adalah para pelaku UMKM kecil dan menengah di dalam negeri. Mereka seperti diintimidasi dan ditakut-takuti dengan beban denda pajak yang harus mereka bayarkan. Padahal, jika dibandingkan dengan target yang sebenarnya, hasil pajak dari para pelaku UMKM ini tidak berpengaruh signifikan dibandingkan dengan para pengusaha kelas kakap yang hampir setiap tahun mengemplang pajak. Maka, tidak heran jika muncul fakta dari target sekitar 165 trilliun rupiah dari kebijakan Tax Amnesty, hingga hari ini pemerintah baru mampu menjaring kurang dari 10% saja. Dan, pemerintah yang begitu sibuk mensosialisasikan Tax Amnesty dalam berbagai event di beberapa daerah, tentu saja mengeluarkan biaya sosialisasi yang tidak sedikit jumlahnya. “Jika memang keadaannya defisit, mengapa kita tidak nge-rem saja dulu?”, Ali menambahkan.

Ali mengibaratkan sebuah rumah tangga, jika kemudian keuangannya dalam keadaan tidak stabil, maka salah satu langkah yang seharusnya diambil oleh Kepala Rumah Tangga adalah mengambil kebijakan untuk tidak membelanjakan uang atas hal-hal yang tidak dibutuhkan. Artinya, skala prioritas mesti diberlakukan. Dan, yang terjadi di Indonesia saat ini, pemerintah tidak menerapkan skala prioritas. Karena sudah terlanjur mencanangkan pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang menghabiskan biaya besar, ketika mendapati fakta bahwa pendapatan Negara tidak sebanding dengan pembelanjaan Negara, Pemerintah seperti kelimpungan dan gagal menyikapi. Lagi-lagi, rakyat yang menjadi korban.

Ali menggambarkan dengan apa yang dialami oleh Yunani beberapa waktu lalu. Ketika keuangan Negara mereka mengalami defisit, kemudian mereka berhutang ke beberapa Negara dan Bank Dunia, dan pada akhirnya tidak mampu membayar hutang-hutang itu, maka Yunani dinyatakan bangkrut. Akibatnya, tentu saja sudah tidak ada yang mau memberi pinjaman kepada Yunani dan para investor pun enggan untuk menanamkan modal mereka di Yunani. Padahal, salah satu penyebabnya adalah perilaku korupsi para pejabat negara di Yunani itu sendiri yang mengakibatkan defisitnya keuangan mereka. Hal ini yang kemudian menjadi kekhawatiran banyak pihak akan terjadi di Indonesia.

“Di Kenduri Cinta kita belajar untuk melatih cara berfikir supaya mengerti dan tidak salah dalam menyimpulkan””
Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (September, 2016)

JIKA MENGGUNAKAN parameter modern yang ada saat ini, Ali berpendapat bahwa Indonesia seharusnya sudah mengalami kebangkrutan, sama seperti Yunani. Sekilas kemudian Ali juga menggambarkan bagaimana Brazil pernah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi yang sangat stabil, sampai kemudian komoditas hasil bumi mereka hancur, dan pertumbuhan ekonomi Brazil saat ini justru minus. Dan, hal yang sama juga bisa terjadi di Indonesia. Komoditas hasil bumi Indonesia yang dulu sempat menopang ekonomi negara, kini sudah hancur harganya. Tetapi, keuletan dan ketangguhan rakyat Indonesia mampu membuat Negara tidak mengalami apa yang disebut sebagai kebangkrutan. Orang Indonesia terlatih untuk mencari solusi dalam setiap persoalan. Kreatifitas rakyat Indonesia dalam berbagai hal sudah teruji untuk membuktikan ketangguhan mentalnya. Bahkan, dalam kondisi seperti ini pun, rakyat Indonesia masih mampu bertahan.

“Kita sebenarnya mengalami keputus-asaan yang luar biasa melihat kondisi negara hari ini yang tidak mengalami perubahan signifikan dari rezim sebelumnya. Namun, karena keuletan dan ketangguhan kita sendiri, kita sebagai rakyat Indonesia mampu bertahan untuk tetap hidup”, lanjut Ali Hasbullah. Ali menambahkan, dengan kita berkumpul setiap bulan di Kenduri Cinta, minimal kita setor sesaji kepada Allah. Mungkin apa yang kita bicarakan di Kenduri Cinta tidak akan didengar oleh para penguasa. Mungkin, wacana yang muncul di Kenduri Cinta atau Maiyah, tidak akan laku di dunia akademis hari ini. Tetapi, minimal kita sudah menanam yang mungkin belum akan kita panen dalam waktu dekat. Bisa jadi apa yang kita tanam hari ini baru akan dinikmati hasilnya sepuluh tahun yang akan datang. Ini mungkin saja.

Imam, jamaah asal Jakarta, menukil sebuah hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Imam menarik benang merah ke tema Kenduri Cinta kali ini, bahwa sebaik-baik Pajak adalah yang berguna bagi rakyat sebuah negara secara keseluruhan. Lalu, untuk mempertanyakan asas keadilan, Imam mengkritisi bagaimana kebijakan Tax Amnesty ini terlihat tidak menjunjung rasa keadilan bagi rakyat Indonesia sendiri. Salah satu isu besar mengapa Tax Amnesty diberlakukan yaitu dalam rangka meminta para konglomerat yang menyimpan uang di luar negeri agar segera mengambil uangnya dan disimpan di dalam negeri. Di lain pihak, Tax Amnesty ini juga semacam prosedur pengampunan bagi para pengemplang pajak di Indonesia. Sementara itu, rakyat kecil yang justru setiap hari selalu digenjot untuk membayar PPn dan PPh. Keadaan ini, menurut Imam, merupakan kondisi yang sangat tidak adil. Sebab, pada faktanya Tax Amnesty justru dimanfaatkan hanya untuk segelintir pihak yang sebelumnya melanggar aturan perpajakan di Indonesia.

Hendra, salah satu jamaah yang rutin duduk di barisan depan pun ikut urun pertanyaan. Menurutnya, yang mesti dilakukan oleh Ditjen Pajak di Indonesia adalah menagih para wajib pajak berdasarkan data yang sudah mereka punya. Jika kemudian yang dikejar adalah rakyat yang selama ini sebenarnya sudah membayar pajak, lantas apa gunanya data yang mereka miliki? Hendra lalu mencontohkan bagaimana Islam mengatur prosedur pembayaran Zakat, bahwa Amil Zakat yang mendatangi para muzakki untuk mengambil zakat yang harus dibayarkan, bukan muzakki yang melaporkan jumlah zakat yang akan mereka bayarkan kepada Amil. Mengapa petugas Pajak di Indonesia tidak melakukan hal yang demikian? Bukankah Pajak dalam tatanan hukum kenegaraan sifatnya adalah wajib?

Hendra yang memiliki latar belakang pendidikan Ilmu Hukum juga mengkritisi bagaimana undang-undang Tax Amnesty ini sendiri bertabrakan dengan beberapa Peraturan Pemerintahan yang lain, juga dengan undang-undang yang lainnya lagi. Sehingga, pada beberapa waktu yang lalu, salah satu Ormas Islam di Indonesia sudah mengajukan judicial review terhadap Undang-undang Tax Amnesty  ini ke Mahkamah Konstitusi.

Terhadap apa yang disampaikan oleh Hendra, Luqman menanggapi, bahwa salah satu poin yang disosialisasikan oleh Pemerintah terkait Tax Amnesty ini bahwasannya para wajib pajak diminta segera melaporkan semua aset yang dimiliki, terserah mau dari mana asal muasal harta yang dimiliki, entah itu hasil bisnis, jual beli, penghasilan tetap, bahkan hasil korupsi sekalipun, agar dilaporkan semua asetnya dan diwajibkan untuk membayar pajak sebesar sekian persen sesuai dengan aturan yang berlaku didalam undang-undang Tax Amnesty ini, mulai dari 1% sampai dengan 6% dari total harta yang ia laporkan. Luqman menyindir tingkah laku pemerintah itu dengan sebuah kalimat, “jangan sekali-kali kamu bertanya apa yang sudah Negara berikan kepadamu, tetapi bertanyalah sudah berapa banyak yang Negara ambil darimu?”.

Menyambung dari apa yang disampaikan oleh Hendra sebelumnya, Luqman sepakat bahwa seharusnya petugas Pajak atau pemerintah yang melaporkan kepada rakyat kemana uang hasil pengumpulan pajak dibelanjakan. Sehingga, jangan ada lagi ungkapan bahwa kebijakan atau sebuah keputusan pemerintah diambil dengan dasar bantuan untuk rakyat atau demi kesejahteraan rakyat, karena sudah seharusnya pemerintah bekerja untuk hal itu.

Menurut Luqman kebijakan Tax Amnesty ini sangat aneh. Setiap orang hanya diwajibkan untuk melaporkan semua aset yang ia miliki, tanpa harus memberitahu dari mana asalnya aset tersebut didapatkan. Tidak peduli itu hasil korupsi, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, atau bisnis dunia hitam, karena yang diminta oleh Negara adalah melaporkan jumlah aset yang dimiliki. Luqman mengibaratkan kondisi ini seperti seorang suami yang memiliki beberapa istri simpanan di kota-kota lain kepada istrinya yang sah, dan meminta kepada istrinya yang sah tersebut untuk tidak marah dan tidak mempertanyakan ada dimana saja istri-istri simpanan itu, karena sang suami sudah membayar kewajiban berupa Tax Amnesty.

Satria, salah seorang mahasiswa di sebuah sekolah tinggi kedinasan di Jakarta memberikan sedikit tanggapannya terhadap kebijakan Tax Amnesty ini. Menurutnya, kebijakan ini merupakan salah satu imbas dari janji politik yang pernah disampaikan oleh presiden Indonesia saat ini semasa kampanye dulu. Sementara itu, pencapaian pembangunan infrastruktur juga menjadi tolak ukur yang sangat relevan untuk menilai berhasil atau tidaknya sebuah rezim, sehingga ketika kebijakan Tax Amnesty ini diberlakukan tentu dalam rangka mewujudkan apa yang sudah disusun oleh pemerintah dalam APBN. Menurut Satria, justru apabila tidak ada kebijakan Tax Amnesty ini, semakin tidak adil bagi para pegawai negeri yang setiap bulannya membayar pajak penghasilan. Karena, pajak dibebankan kepada orang-orang yang sebenarnya hanya membayarkannya dalam nominal sedikit. Sedangkan para pengemplang pajak yang seharusnya membayar pajak dalam nominal yang lebih besar, tidak terjangkau. Kebijakan Tax Amnesty ini salah satunya dalam rangka menjangkau para pengemplang pajak yang selama ini tidak mau membayar pajak.

TELOR AMNESTY

SETELAH PENAMPILAN Ahmad Bajal, salah satu jamaah Kenduri Cinta yang membawakan satu puisi karyanya sendiri berjudul Maskumambang, Tri Mulyana dan Luqman Baehaqi kemudian memoderasi diskusi sesi pertama yang menghadirkan Arwan Simanjuntak, ketua Forum Komunikasi UMKM dan Yustinus Prastowo dari CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis).

Arwan Simanjuntak menyoroti penggalan tema Kenduri Cinta kali ini; Iblis Amnesty. Menurut Arwan, bahwa sosok Iblis itu benar-benar ada dalam proses Pajak di Indonesia saat ini. Bahkan, menurutnya, beberapa pasal yang tercantum dalam Undang-Undang no 11 tahun 2016 adalah pasal-pasal titipan beberapa konglomerat yang mengemplang pajak. Arwan berpendapat bahwa prosedur Tax Amnesty ini sebenarnya merupakan usulan yang bagus oleh Presiden Indonesia, hanya saja prosedur yang baik ini kemudian menjadi tidak baik ketika ada pihak-pihak yang sengaja menungganginya demi kepentingan sendiri. Dalam pasal 1 Undang-undang no 11 tahun 2016 disebutkan; “Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Lebih jauh Arwan juga menjelaskan bahwa prosedur pelaporan aset tersebut menurutnya sangat tidak membantu para pengusaha kecil. Banyaknya jumlah formulir yang harus diisi oleh seseorang yang hendak melaporkan hartanya tidak sebanding dengan kemampuan tiap-tiap personal itu sendiri dalam memahami prosedur yang harus dijalankan. Sementara itu, sosialisasi Tax Amnesty  ini sendiri dilangsungkan bersamaan setelah Undang-Undang tersebut disahkan. Menurut Arwan, slogan “Ungkap, Tebus, Lega” tidak berlaku bagi para pengusaha kecil dan menengah, sebab yang terjadi justru menjadi “Ungkap, Tebus, Pusing” lantaran terlalu banyaknya formulir yang harus diisi oleh Wajib Pajak, sedangkan pengetahuan tentang Pajak itu sendiri bagi para pengusaha kecil dan menengah masih sangat kurang.

Sementara itu di Pasal 8 dalam Undang-Undang no 11 tahun 2016 ini menurut Arwan disebutkan bahwa apabila Wajib Pajak akan memindahkan uang mereka dari Luar Negeri, karena sebelumnya aset tersebut tidak pernah dilaporkan dalam SPT, maka mereka hanya dikenakan Uang Tebusan. Sedangkan di sisi lain, pengusaha kecil dan menengah di Indonesia yang sudah setiap tahun melaporkan SPT, mereka sama dibebankan Uang Tebusan, Uang Pokok dan Uang Biaya Sengketa.

Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa Pajak pertama kali dikenal pada zaman Mesopotamia, jauh sebelum ada agama-agama samawi. Dan, sepanjang sejarah Pajak menyatakan bahwa jatuh bangunnya peradaban manusia itu adalah karena Pajak. Pada tahun 200 sebelum masehi sudah pernah ada Tax Amnesty di Mesir kepada seluruh penduduk Mesir saat itu. “Kenapa sekarang kita harus bayar pajak? Karena belum pernah ada sebuah peradaban (Negara) yang bisa tegak tanpa Pajak. Pajak adalah hal buruk, hal jahat yang harus ada justru supaya sejarah peradaban itu ada. Ini Paradoks, tetapi cara berfikir paradoks ini penting untuk memahami apa substansi dari pengampunan (Tax Amnesty)“, jelas Yustinus.

Bagi Yustinus, Revolusi Perancis meletus karena salah satu penyebabnya adalah Pajak yang terlalu tinggi. Begitu juga yang terjadi pada Revolusi Amerika. Revolusi terjadi karena para kolonial Inggris memberontak akibat Pajak yang tinggi. Kemudian, di Amerika muncul sebuah istilah “pajak tanpa ada Undang-Undang adalah Perampokan”. Yustinus menjelaskan bahwa perbedaan antara Pajak dengan Palak itu tipis, hanya sebatas apakah ada Undang-Undangnya atau tidak. Bahkan, ada orang yang menyebut bahwa Pajak adalah perampokan yang dilegalkan. Yang menarik adalah pada saat Romawi menerapkan Pajak yang sangat tinggi, kemudian Bani Umayyah menaklukan Konstantinopel dengan cara yang lebih halus, bukan dengan cara berperang. Yaitu, dengan menawarkan apabila mau ikut Islam, maka mereka tidak akan dikenakan pajak sama sekali.

Lebih jauh Yustinus menjelaskan bahwa di Indonesia sudah terjadi tiga kali Tax Amnesty. Pertama kali dilakukan oleh Presiden Soekarno di tahun 1964, kemudian Presiden Soeharto di tahun 1984, dan di tahun ini Presiden Joko Widodo memberlakukan hal yang sama. Prosedur yang ada saat ini menurut Yustinus dikeluarkan dalam rangka memberikan kepercayaan kepada rakyat untuk menghitung sendiri seluruh harta benda yang dimilikinya, untuk dilaporkan, dan kemudian dibayarkan pajaknya. Tiga puluh tiga tahun telah berlalu setelah Tax Amnesty tahun 1984, Yustinus menjelaskan, hampir tidak ada tindakan hukum bagi para pengemplang pajak di Indonesia sehingga akhirnya ditemukan sebuah fakta bahwa lebih dari 4000 Trilliun uang milik orang Indonesia yang disimpan di luar negeri. Dan, selama 33 tahun ini pula, Indonesia sebagai Negara tidak bisa melakukan apapun dengan berbagai alasan, hingga akhirnya beberapa pengusaha pengemplang pajak itu juga terlibat dalam lingkaran kekuasaan di Indonesia. Sementara itu, petugas pajak juga tidak berani meminta kepada si pengusaha agar membayar pajaknya, karena si wajib pajak memiliki backing yang kuat. Ini adalah fakta.

“Pajak itu, selama kita tidak memiliki kesadaran untuk membayar pajak, dan Pemerintah tidak membelanjakan uang pajak dengan baik, maka orang tidak akan tertarik untuk membayar pajak”, lanjut Yustinus. Dalam sebuah rapat, Yustinus menyatakan bahwa Tax Amnesty bukanlah solusi terbaik untuk menutupi defisit anggaran Negara saat ini. Menurutnya, kemunculan Tax Amnesty ini juga merupakan momentum yang tepat bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merenung, terutama bagi para warga negara yang memiliki penghasilan tinggi, para pengusaha yang memiliki lapangan bisnis yang sudah stabil. Selama ini para buruh dan karyawannya selalu dipotong penghasilannya setiap bulan untuk membayar pajak secara otomatis oleh perusahaan. Sedangkan pemilik perusahaannya sendiri belum tentu mau menghitung seluruh asetnya untuk dilaporkan dan dibayarkan pajaknya kepada Negara.

“Negara tidak punya kewenangan untuk menyalahkan rakyatnya”, ungkap Yustinus. Ia mengibaratkan bahwa Indonesia seperti sebuah kandang yang di dalamnya terdapat dua ekor ayam dimana masing-masing bertelor 5 butir. Apabila kita ingin makan, kita akan mengoreng 2 butir telor, jika kebutuhan kita bertambah, bahkan bisa jadi 10 butir telor akan kita goreng dalam waktu bersamaan. Dan, di saat yang bersamaan itu, kita mengetahui bahwa di luar kandang ada 3 ekor ayam yang juga sudah bertelor. Persoalannya, ayam-ayam tersebut tidak berada di dalam kandang kita, tetapi berada di wilayah pekarangan tetangga. Untuk itu ada dua cara menurut Yustinus guna mengembalikan ayam-ayam yang ada di pekarangan tetangga itu agar kembali. Pertama, kejar ayam itu dan kita tangkap, tetapi dengan resiko ayam tersebut stress dan kemudian tidak bertelur. Selanjutnya, cara yang kedua, Yustinus mengajak untuk menginstrospeksi diri, mungkin ayam-ayam tersebut kabur akibat ada kebocoran di kandang kita, sehingga lubang itu menjadi jalan bagi ayam-ayam tadi untuk kabur dari kandang. Maka, apabila hal kedua yang terjadi, sebaiknya kita memperbaiki kandang terlebih dahulu sebelum menggiring ayam-ayam yang kabur tadi agar kembali.

“Pajak itu, selama kita tidak memiliki kesadaran untuk membayar pajak, dan Pemerintah tidak membelanjakan uang pajak dengan baik, maka orang tidak akan tertarik untuk membayar pajak”
Yustinus Prastowo, Kenduri Cinta (September, 2016)

DENGAN MENGUTIP apa yang disampaikan oleh Karl Marx, Yustinus menilai bahwa Pajak diambil dari masing-masing orang sesuai dengan kemampuannya dan dibagikan kepada tiap-tiap orang sesuai dengan kebutuhannya. Yang mampu harus membayar lebih banyak dan yang membutuhkan harus diberi lebih banyak. Dalam hal ini, salah satu persoalan yang dihadapi oleh Negara adalah banyaknya orang-orang Indonesia yang menyimpan uang di Singapura, dan difasilitasi oleh Singapura agar uang tersebut tetap berada di Singapura. Indonesia sendiri sebagai Negara tidak memiliki kemampuan untuk mengejar dan menarik uang tersebut karena Indonesia tidak memiliki perangkatnya, tidak memliki aturannya, tidak memilki Undang-Undangnya. Oleh karena itu, lantas diberlakukan Tax Amnesty ini.

“Pajak itu prinsipnya gotong royong, yang mampu bayar lebih banyak, yang tidak mau bayar dihukum”, lanjut Yustinus. Dengan adanya prosedur pelaporan pajak saat ini, maka semua data akan masuk ke database Negara, sehingga semua warga negara saat ini akan diketahui semua asetnya. Selanjutnya, Negara memiliki kewajiban untuk mengelola uang-uang yang terkumpul dari pembayaran Pajak tersebut agar dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan dan kebutuhannya. Akan tetapi, kesalahan awal yang dilakukan oleh Indonesia lebih dikarenakan tidak adanya sistem kontrol yang rapi terhadap perpajakan. Sejak rezim terdahulu, tidak terbangun sebuah sistem pajak yang adil, yang mengatur bagaimana pajak harus diurus, dan bagaimana pajak harus dikumpulkan serta bagaimana pajak harus dimanfaatkan.

Yustinus menjelaskan bahwa Tax Amnesty ini tidak menyasar rakyat kecil yang tidak memiliki penghasilan atau yang penghasilannya tidak lebih dari 4,5 juta rupiah per bulan. Dan, para pensiunan yang sudah taat bayar pajak, jika mereka memiliki harta warisan, hibah dan lain sebagainya, hanya cukup melaporkan saja tanpa harus membayar Uang Tebusan. Sementara itu, para pengemplang pajak saat ini sedang berfikir apakah mereka akan mengikuti prosedur Tax Amnesty atau tidak. Apabila mereka memutuskan untuk ikut, maka secara otomatis data mereka akan masuk ke dalam sistem yang dikelola oleh Negara.

Hingga saat ini sudah terdapat 33 negara yang memberlakukan Tax Amnesty. Di tahun ini, ada 14 negara yang sudah memberlakukan Tax Amnesty, dan Panama Papers yang tersebar beberapa bulan lalu adalah cara Negara maju untuk mengambil uang rakyat dengan cara merampok. Dari kasus Panama Papers Yustinus menyoroti bagaimana Amerika ingin mengambil uang milik warga negara lain yang berada di Amerika. Indonesia mengambil pilihan untuk memberlakukan Tax Amnesty yang salah satunya adalah memfasilitasi uang milik warga negara Indonesia yang berada di luar negeri agar dikembalikan ke Indonesia dan dapat dimanfaatkan di Indonesia. Bagi Yustinus, apapun pilihan dan sikap kita terhadap Tax Amnesty ini, yang terpenting adalah bahwa pilihan itu harus berlandaskan cinta kepada Indonesia.

Sebelum memberikan kesempatan kepada jamaah untuk bertanya, Tri Mulyana menambahkan bahwa apa yang dibicarakan di Kenduri Cinta bukan dalam rangka setuju atau tidak setuju, karena semua yang hadir berhak mengambil kesimpulannya masing-masing atas dasar pengetahuannya sendiri. Ade Gunawan, seorang jamaah asal Kebumen yang baru 3 kali datang di Kenduri Cinta, bertanya apakah sebuah Negara bisa berjalan tanpa pajak? Sementara, dalam Islam sendiri terdapat mekanisme Zakat. Menurut Ade, pada akhirnya cara berfikir orang kebanyakan saat ini adalah agar bisa hidup maka Negara harus menerapkan sistem pajak kepada seluruh warganya. Karena, selama ini Pajak bersifat memaksa, sedangkan apapun itu apabila bersifat memaksa akan sangat sulit terwujud keadilan di dalamnya.

Merespon pertanyaan Ade, Yustinus menjawab bahwa di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya ada 2 kewajiban kita sebagai Warga Negara Indonesia: Membayar Pajak dan Bela Negara. Lalu, menyoal apakah pajak bisa difungsikan sebagai zakat, Yustinus menjawab bahwa hal tersebut sebenarnya bisa dilakukan. Malaysia saat ini sudah menerapkan sistem dimana apabila ada seseorang yang membayar zakat, maka secara otomatis sudah mengurangi beban biaya pajak yang seharusnya ia bayarkan. Apakah di Indonesia bisa diaplikasikan mekanisme tersebut, Yustinus menjawab sangat mungkin bisa, dan kita sedang menuju kesana. Maka salah satu hal yang kita lakukan hari ini adalah  membangun masyarakat yang saling percaya satu sama lain. Karena, yang terjadi hari ini adalah masih saling curiga. Pemerintah masih belum percaya kepada rakyatnya, begitu juga sebaliknya. Padahal, rakyat seharusnya menjadi pihak yang lebih dipercaya dibanding pemerintah dalam sisi penggunaan dan pembayaran pajak.

Yustinus menekankan bahwa pemerintah tidak boleh memperbanyak pungutan-pungutan terhadap rakyat, tetapi juga sebaliknya rakyat harus tetap menunaikan kewajibannya sebagai warga negara untuk membayar pajak. Selain itu, program-program pemerintah yang sudah dicanangkan jangan hanya bersifat ambisi demi pencitraan, tetapi mesti berlandaskan asas kebutuhan rakyat. Sebab, seberapa besar pembangunan infrsatruktur, jika pada akhirnya tidak dinikmati oleh rakyat, untuk apa? Pada faktanya, ketimpangan yang terjadi di Indonesia makin lebar dan timpang. Yustinus menjelaskan bahwa saat ini di Indonesia total dana deposito yang ada berjumlah 4500 trilliun dan hanya 140 ribu rekening (0,43%) yang memiliki total tabungan 2300 trilliun rupiah, maka kurang dari separuh dana itu dimiliki oleh 99% pemilik deposito di Indonesia.

Yustinus menjelaskan bahwa beberapa regulasi sedang disiapkan, dimana nanti pada akhirnya para wajib pajak tidak bisa lagi melarikan diri dari kewajiban mereka membayar pajak. Yustinus pun mengiyakan bahwa prosedur Tax Amnesty sebenarnya memang bukanlah pilihan utama, akan tetapi dikarenakan pilihan-pilihan yang lainnya belum bisa diaplikasikan saat ini.

Pajak sendiri sesungguhnya merupakan alat kontrol bagi rakyat terhadap kinerja pemerintah yang sedang berkuasa. Yustinus berharap, di Kenduri Cinta muncul kesadaran dari masing-masing diri agar membayar pajak berdasarkan rasa cinta kepada Indonesia.

Untuk menutup diskusi sesi pertama, Arwan menambahkan bahwa pemerintah seharusnya berlaku adil terhadap pengusaha-pengusaha UMKM di Indonesia. Ketimpangan yang terjadi saat ini telah menunjukkan bahwasannya Pemerintah tidak berlaku adil. Terhadap pengusaha besar dan konglomerat pemerintah memberikan kelonggaran, sedangkan kepada pengusaha UMKM pemerintah berlaku sangat tegas.

Sebelum memasuki diskusi sesi kedua, Pandan Nanas membawakan beberapa nomor sebagai jeda yang menyegarkan malam di pelataran Taman Ismail Marzuki.

EE PAKAKNO ASU

“SAYA MENDAPAT nformasi A1 bahwa pemenangan Pilpres 2014, penentuan siapa menang dan siapa yang kalah disebabkan oleh manipulasi E-KTP sebanyak 8 juta”, Cak Nun  menyapa jamaah dengan sebuah informasi politik yang menjadi salah satu sebab dari sekian konstelasi yang terjadi di Indonesia hari ini. Cak Nun menyampaikan informasi tersebut bukan dalam rangka untuk kembali menggugat tentang apakah pilpres 2014 berlangsung jujur atau tidak, melainkan agar jamaah memahami bahwa apapun saja jika diawali dengan hal yang buruk maka semakin tinggi kemungkinannya akan berlangsung buruk dan akan berakhir dengan buruk.

Dalam masa pilpres 2014 yang lalu, Cak Nun pernah bertanya kepada salah satu kandidat Presiden Indonesia, yakni tentang bagaimana si kandidat menangani para konglomerat dan pengusaha yang sudah menghabiskan sumber daya alam Indonesia, kandidat tersebut menjawab bahwa ia akan menyeret semua pengusaha tersebut dan mengumpulkan mereka dalam sebuah ruangan dan meminta agar semua yang sudah mereka ambil agar dikembalikan, jika tidak maka ia berjanji akan menyeret semuanya ke pengadilan. Sesudah itu ada momentum pertemuan selanjutnya, ketika masa pencoblosan telah dilaksanakan, kandidat tersebut menyatakan berdasarkan perhitungan internal tim sukses dan partai, serta perhitungan TNI-POLRI, ia dinyatakan menang, sehingga apabila ia dinyatakan kalah maka bisa dipastikan ada proses kecurangan yang terjadi, dan dirinya siap untuk perang. Kandidat itu menyatakan TNI ada di belakangnya. Akan tetapi, kedua pernyataan itu pada faktanya tidak pernah terwujud karena yang bersangkutan tidak menjadi Presiden.

“Anda mau berdebat soal UKM, pajak dan seterusnya, itu ibarat berdebat tentang seseorang ketika tahiyat pertama saat ia melakukan sholat, apakah jarinya itu yang diacungkan adalah jari telunjuk, jari tengah atau jari manis. Saya tidak akan menyalahkan perdebatan itu karena memang harus diperdebatkan dan harus didata. Setelah mendata semuanya anda harus melakukan verifikasi, kemudian melakukan validasi, baru kemudian melakukan analisis, konklusi dan melakukan tindakan. Begitu urutan-urutannya”, Cak Nun melanjutkan.

“Tetapi pada perdebatan tentang nduding (mengacungkan jari ketika tahiyat) tadi harus anda hentikan sejenak, karena fakta yang utama adalah tadi anda belum wudhlu sebelum sholat, bahkan Imam sholatnya tadi belum mandi jinabat”, Cak Nun melanjutkan disambut tawa jama’ah.

Cak Nun mengajak jamaah untuk kembali melihat ke belakang bahwa apa yang terjadi di Indonesia hari ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Kita harus mau melihat ke awal proses lahirnya Negara Indonesia. “Lha terus sekarang anda memperdebatkan sholatnya sah apa tidak? Tahiyatnya yang benar yang bagaimana? Lha wong masalah utamanya adalah sholatnya dilakukan tidak dengan persyaratan-persyaratan yang terpenuhi. Jadi, segala sesuatu harus dimulai dari filosofi dasar, substansi nilai dasar, kemudian cara berfikir kita mengenai substansi itu. Kedua, substansi atau konstruksi berfikir kemudian anda wujudkan menjadi satu konstruksi”, Lanjut Cak Nun.

“Sekarang saya pakai analogi kapal. Kalau kapal besarnya itu memang salah konstruksi, jadi dia goyang terus karena ada ketidakseimbangan, karena ada ketidaktaatan terhadap hukum gravitasi. Maka setiap unsur di dalam kapal ini juga akan goyang terus menerus. Bahkan setiap kebaikan yang dilakukan di dalam kapal yang goyang itu bisa dengan mudah menimbulkan keburukan”, Cak Nun menajamkan dan menguatkan kembali fondasi berfikir jamaah sebelum berbicara lebih jauh tentang persoalan negara Indonesia.

Cak Nun memberi amsal berupa kapal besar yang salah konstruksi kapalnya, jika kemudian ditarik ke Indonesia, maka kita akan mempertanyakan apakah Indonesia sebagai negara hari ini konstitusinya merupakan konstruksi dasar sebuah negara sudah benar atau belum? Sama halnya dengan undang-undang tentang Tax Amnesty ini, undang-undang tersebut belum melalui masa try out,  belum diuji oleh publik, tetapi langsung diluluskan sebagai undang-undang. Maka, pertanyaannya adalah bukan kenapa bisa seperti ini, kenapa kok begitu pelaksanaannya, melainkan yang seharusnya diajukan adalah siapa yang mengawasi pemerintah saat ini sehingga pengawas tersebut mampu memberi peringatan kepada pemerintah apabila ditemukan fakta bahwa langkah yang diambil adalah salah.

Sebagai Republik, apakah konstitusi Indonesia sudah benar atau belum? Bagaimana kita melihat fakta yang terjadi hari ini? Jika ternyata Republik tidak cocok diterapkan di Indonesia, maka harus dielaborasi juga bentuk apa yang cocok untuk Indonesia? Apakah Kerajaan, Kesultanan, Sosialis, atau bahkan Khilafah sekalipun.

Cak Nun pun menjelaskan kilasan tentang Khilafah. Yang membawa Khilafah pertama kali adalah Rasulullah Muhammad SAW. “Kalau anda ngomong Khilafah, maka tidak ada Negara, tidak ada Kerajaan, tidak ada Republik, di seluruh dunia tidak ada yang lainnya, hanya ada satu; Khilafah. Karena Nabi Muhammad SAW yang membawa Khilafah ini didahului oleh Nabi-Nabi sebelumnya yang hanya memimpin suku-suku atau kelompok-kelompok. Dan, ketika Nabi Muhammad SAW datang, ia tidak diberi (sistem kekuasaan) dalam bentuk lokal, melainkan universal (rahmatan lil ‘alaamiin)”.

“Untuk menjadi pemimpin, teorinya menurut Rasulullah SAW adalah ia harus mampu mengamankan nyawa setiap orang, mengamankan martabat setiap orang, dan mengamankan harta setiap orang.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2016)

PADA SAAT Rasulullah SAW memimpin, tidak penting bentuk pemerintahannya seperti apa, karena yang paling penting adalah seluruh umat manusia satu sama lain saling mengamankan 3 hal; nyawa, martabat dan harta masing-masing satu sama lain. Maka, Rasulullah SAW saat itu disebut sebagai Aamirul Mu’minin, Pemimpin yang mengamankan rakyatnya. “Mu’min, yaitu orang yang selalu menjadikan lingkungannya aman, orang yang mengamankan. Bekalnya iman. Doanya aamiin. Perilakunya amanah.

Untuk menjadi pemimpin, teorinya menurut Rasulullah SAW adalah mengamankan nyawa setiap orang, mengamankan martabat setiap orang, dan mengamankan harta setiap orang”, lanjut Cak Nun yang kemudian mengembalikan lagi kepada metafor tentang konstruksi kapal sebelumnya. Jika kemudian kontruksi Indonesia ataupun dunia memilih Khilafah, itu bentuknya bisa bermacam-macam, apakah akan berbentuk Negara Republik, Kerajaan, Kesultanan, Sosialis, Kapitalis, atau apapun saja dimana yang utama adalah subyeknya bukan tatanan atau sistemnya. Subyeknya adalah manusia-manusia yang mukmin, yang mampu mengamankan orang-orang di sekelilingnya.

Layaknya sebuah kapal yang salah konstruksi dan terus dalam keadaan yang tidak stabil bahkan dalam lautan yang tenang sekalipun, maka setiap solusi yang diambil ketika menghadapi persoalan, tidak akan pernah menyelesaikan masalah, bahkan selalu muncul persoalan yang baru. Akan selalu muncul permasalahan yang baru akibat dari kesalahan dalam mengambil dan memilih solusi.

Dalam sebuah tembang jawa, Eeh dayohe teko, eeh beberno kloso. Eeh klosone bedah, eeh tambalen jadah. Eeh jadahe mambu, eeh pakakno asu. Eeh asune mati, eeh guangen kali. Eeh kaline banjir, eeh selehno pinggir. Satu tembang warisan budaya lokal yang diwariskan oleh orang tua ini mengajarkan bahwa apabila kita selalu salah mengambil solusi terhadap sebuah persoalan, maka dipastikan akan muncul persoalan yang baru. Begitu juga dalam persoalan dengan skala besar, lebih-lebih dalam pengelolaan sebuah Negara seperti Indonesia.

Apabila pemimpin Indonesia tidak mampu mencari solusi yang tepat untuk memecahkan sebuah persoalan, maka yang terjadi adalah munculnya persoalan-persoalan yang baru. Menurut Cak Nun, tembang-tembang peninggalan para Wali di Nusantara itu bukan tembang yang main-main. Seperti tembang Gundhul Pacul, Lir Ilir, lagu Ee Dayohe teko ini juga sebuah tembang yang sarat makna kehidupan. Jika seseorang menjadi Presiden maka titik gravitasinya adalah nasionalisme, bukan partai. Terserah dari partai apa keberangkatannya, tetapi ketika ia menjadi Presiden maka titik pusat gravitasinya adalah Rakyat dan Nasionalisme.

“Pancasila, pusat gravitasinya seharusnya adalah sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2016)

KETIKA SEORANG hakim mengadili seorang tertuduh, maka gravitasi yang seharusnya adalah praduga tidak bersalah. Cak Nun lalu sedikit mengomentari proses persidangan sebuah kasus yang masih berlangsung sampai hari ini, sejak awal sudah diarahkan bahwa kasus terbunuhnya seorang perempuan di kedai kopi adalah karena racun yang dicampur ke dalam cangkir kopi yang ia minum. Sejak awal telah dibangun asumsi bahwa korban meninggal karena diracun, sehingga opini publik yang terbangun kemudian adalah adanya pelaku yang meracuni korban. Keberangkatan persidangannya bukan asas praduga tak bersalah.  Asas praduga tak bersalah adalah titik gravitasi bagi siapapun yang menangani persoalan hukum. Karena, jika siapapun saja para penegak hukum tidak berdiri pada titik gravitasi tersebut ketika menangani sebuah persoalan hukum, maka ia akan terjebak pada konstelasi yang terjadi di sekitar persoalan hukum tersebut. Begitu juga dengan Pancasila, pusat gravitasi seharusnya adalah sila pertama, ketuhanan Yang Maha Esa.

Cak Nun kemudian mengupas mengapa Pancasila tidak benar-benar menghasilkan output berupa sila ke lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cak Nun menjelaskan, bahwa sila pertama seharusnya menjadi titik pusat gravitasi bagi seluruh penduduk Indonesia. Jika seluruh rakyat Indonesia menjadikan sila pertama sebagai pusat gravitasi, maka akan menghasilkan manusia yang adil dan beradab. Kemudian akan menghasilkan Persatuan Indonesia. Meskipun Indonesia terdiri dari berbagai suku, bangsa, ras, agama, ormas bahkan partai sekalipun. Maka, jika fondasinya sudah beres, sila pertama sebagai gravitasi dan sila kedua sebagai subjeknya persatuan Indonesia akan menghasilkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratn dan perwaklilan. Sehingga, akhirnya sampai pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tetapi, yang terjadi hari ini adalah sila pertama tidak dijadikan titik pusat gravitasi. Maka, jika tidak melahirkan manusia yang adil dan beradab, jangan pernah memimpikan keadilan sosial untuk seluruh rakyat. Kondisi politik di parlemen pun bukanlah wujud dari permusyawaratan, karena hanya perwakilan partai-partai saja. Jangankan di parlemen, dalam sebuah partai saja, di lingkaran internalnya masih terjadi saling sikut, saling hajar, saling tendang satu sama lain untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. “Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini, tidak terima satu sama lain, tidak ikhlas satu sama lain”, Cak Nun melanjutkan. “Pajak itu harus kita fahami melalui sebab-akibat dari kewajiban dan hak”.

Di dalam Pajak ada unsur sebab dan akibat serta kewajiban dan hak. Karena adanya pelaksanaan kewajiban, kemudian mendatangkan hak. Dan, bukan kita meminta hak kemudian baru menunaikan kewajiban. Tuhan menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya. Lalu, setelah sekian abad baru lahir perintah bagi manusia untuk membayar pajak. Di dalam Islam mekanisme “pajak” kepada Tuhan diatur dalam Rukun Islam, mulai dari syahdat, sholat, puasa, zakat hingga haji.

Tuhan tidak menyuruh anda bayar ‘pajak’ sebelum Dia menjalankan kewajiban-Nya. Kewajiban-Nya apa? Menyayangi anda, menyiapkan fasilitas hidup anda, memberi tanah yang subur, tanaman yang bersemai, angin yang berhembus, air mengalir melimpah dimana-mana,  gunung, pasir besi, logam, batu bara, emas, apa saja semua itu anda dikasih karena Allah sudah terlanjur menciptakan manusia dan alam semesta maka Dia menjalankan kewajibannya. Dan, setelah Dia jalankan kewajiban-Nya, Tuhan tidak pekewuh untuk menagih ‘pajak’ dari anda.

“Yang paling utama adalah menunaikan kewajiban sebagai pemerintah dalam melayani rakyatnya, bukan menagih rakyatnya membayar pajak terlebih dahulu untuk melayani rakyatnya”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2016)

BEGITU JUGA dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya. Yang paling utama adalah menunaikan kewajiban sebagai pemerintah dalam melayani rakyatnya, bukan menagih agar rakyatnya membayar pajak terlebih dahulu untuk melayani rakyatnya. Sangat tidak bermoral manakala rakyat susah mencari pekerjaan, justru disaat yang bersamaan didatangkan tenaga kerja dari negara lain. Sangat tidak bermoral, manakala tenaga kerja dari negara lain dihormati setengah mati, sementara rakyat sendiri justru hanya menjadi outsourcing. Dan, masih banyak lagi ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya, tetapi justru saat ini rakyat lagi-lagi harus menjadi pihak yang dikejar-kejar untuk membayar pajak.

“Kenduri Cinta ini berguna apa tidak untuk anda yang datang?”, Cak Nun melemparkan sebuah pertanyaan kepada jamaah. “Kenduri Cinta ini, apakah berguna bagi Indonesia atau tidak? Sehingga, yang seharusnya terjadi, Indonesia berterima kasih kepada anda atau anda berterima kasih kepada Indonesia?”. Cak Nun melemparkan sekian pertanyaan-pertanyaan untuk mengolah cara berfikir dalam menyikapi situasi di Indonesia hari ini.

“Jadi, tindakan tanggung jawab dan kewajiban yang dilakukan itu, berakibat untuk menagih rasa syukur dan menagih pajak itu tadi. Demikian juga anda, mau tidak mau, anda ingin bersyukur kepada Allah karena sudah ngasih kepada anda. Dan, anda sholat itu ikhlas, maturnuwun to? Jangankan alam yang subur, anda melihat diri anda saja sudah beryukur kepada Allah”.

Bagaimana Allah hanya menciptakan dua mata, dua telinga, satu mulut, membatasi pertumbuhan gigi, bulu mata, tulang dan sebagainya. Apa yang ada dalam diri kita masing-masing saja sudah sangat mencukupi untuk menjadi syarat mengungkapkan rasa syukur kita masing-masing kepada Allah. Bahkan, tanpa disuruh oleh Allah sekalipun, kita sebagai manusia sudah pasti akan menunaikan kewajiban ‘membayar pajak’ kepada Allah. Bahwa, bila kita diatur untuk mendirikan sholat, berpuasa, menunaikan zakat dan seterusnya, itu merupakan satu pasal yang memang Allah mengaturnya. Tetapi, pada hakikatnya, tanpa itu semua pun kita sudah pasti akan bersyukur kepada Allah atas semua yang sudah diberikan pada kita.

“Anda itu mbok cari pelajaran untuk melihat yang selama ini ‘tidak’, karena anda selama ini melihat yang ‘iya’. Yang ‘tidak’ itu kamu bayangkan, kalau Allah mewujudkan yang ‘tidak’ itu kan dahsyat rusaknya peradaban dunia ini?”, Cak Nun melanjutkan.

Dengan mengambil metafor yang lain, Cak Nun mencontohkan kehidupan rumah tangga, suami dan istri. Seorang suami tidak memiliki hak untuk menagih ‘pajak’ dari istri sebelum ia menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami. Ia harus menafkahi istrinya, menyekolahkan anaknya, mengamankan ketahanan pangan keluarganya, dan menyediakan kenyamanan di dalam rumahnya. Mungkin, rumahnya masih ngontrak, itu bukan persoalan selama suami terus berusaha untuk membahagiakan istrinya. Tetapi, sangat tidak bermoral apabila suami hanya diam saja di rumah, tidak ada usaha untuk menafkahi anak dan istrinya, tetapi setiap hari sang suami terus menerus minta dilayani oleh istrinya. Cak Nun mendialektikakan suami-istri ini seperti kehidupan Pemerintah dengan Rakyat.

Pemerintah adalah Suami, dan Rakyat adalah Istrinya. “Kamu jangan perkosa istrimu, kamu jangan meminta kenikmatan dari istrimu. Jalankan dulu kewajiban kepada istrimu, istrimu akan bayar pajak dengan rela. Kalau kamu fasilitasi istrimu, dan senang hatinya, tentram keadaannya, dan cintanya berkembang kepadamu, ndak usah kamu minta, dia akan membayar pajak dengan bahagia”, lanjut Cak Nun.

“Mana ada rakyat yang senasionalis dan sepatriotis seperti rakyat Indonesia?”

Seharusnya, rakyat Indonesia sudah melakukan revolusi sejak dahulu. Seharusnya, rakyat Indonesia sudah menghancurkan pemerintahan yang tidak adil sejak dulu, sejak era Soeharto berkuasa.  Pernahkah rakyat Indonesia menghancurkan pemerintahan yang sedang berkuasa? Pernahkah rakyat Indonesia melakukan revolusi besar-besaran?

dsc_7074

Pemerintah jangan menyakiti rakyatnya, karena pasti menang rakyatnya. Pasti menang rakyatnya! Hanya soal  waktunya saja”,
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2016)

RAKYAT INDONESIA sangat arif, sangat tangguh, sehingga saking kuatnya mereka menderita, mereka tidak sadar sedang dibikin menderita oleh pemerintah. “Saya ingatkan, suami-suami jangan berani-berani menyakiti istrimu. Karena pasti  menang istrimu. Pemerintah jangan menyakiti rakyatnya, karena pasti menang rakyatnya. Pasti menang rakyatnya! Hanya soal  waktunya saja”, Cak Nun menegaskan.

“Tetapi, kenapa moral suami dan istri tidak terjadi pada pemerintah dan kerakyatan kita? Kenapa Pancasila tidak diterapkan? Kenapa Undang-undang ada titipan, bukan murni hasil dari rapat, sehingga teriindikasi ada intervensi dari luar. Kenapa itu bisa terjadi di Indonesia, karena di Indonesia kita tidak memiliki sistem kontrol terhadap pemerintah, karena di Indonesia saat ini kita tidak mengenal perbedaan antara Negara dengan Pemerintah”, lanjut Cak Nun sembari memberi alas sebelum mempersilahkan Pak Pipit Ruhiyat, salah satu sahabat Cak Nun yang sudah lebih dari 30 tahun tinggal dan menetap di Jerman, bahkan memiliki paspor Jerman, bekerja mencari uang di Jerman, dan saat ini sedang menikmati masa pensiun di Jerman.

Pada saat Cak Nun hijrah ke Jerman dan Belanda dalam medio 80-an, di kediaman Pak Pipit inilah Cak Nun tinggal hampir selama satu tahun lamanya. Buku “Dari Pojok Sejarah” merupakan buku yang ditulis Cak Nun salah satunya di kediaman Pak Pipit di Jerman. Cak Nun meminta Pak Pipit untuk kembali menjelaskan tentang bedanya Pemerintah dan Negara. Pak Pipit sendiri sudah merilis buku berjudul “Pemerintah bukanlah Negara. Seperti yang diibaratkan oleh Cak Nun sebelumnya, bahwa ibarat sebuah Kapal besar, Indonesia ini yang bermasalah adalah konstruksinya. Sepelik apapun persoalan yang dihadapi oleh Indonesia, solusinya sebenarnya ada pada pembenahan konstruksi tersebut.

Di Indonesia, seharusnya Mahkamah Konstusi adalah pihak yang memanggil Presiden, bukan yang dipanggil oleh Presiden. Begitu juga dengan Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga-lembaga tersebut merupakan Lembaga Negara, bukan Lembaga Pemerintah, sehingga lembaga tersebut memiliki kewenangan kontrol terhadap Pemerintah.

“Kalau anda datang ke Maiyah, itu ada yang mungkin langsung berguna, ada yang nanti setelah anda bangun tidur, ada yang baru berguna sebulan lagi, ada yang baru tumbuh setahun lagi. Tapi, anda sebaiknya percaya, bahwa yang utama ada di Maiyah adalah tanaman-tanaman dan pohon yang tinggi, kuat, dan usianya sangat panjang. Karena Maiyah betul-betul menjadi ladang persiapan untuk masa depan yang sangat jauh. Ada yang bisa berguna sekarang, ada yang baru tumbuh seminggu lagi, sebulan lagi, dan seterusnya.

Anda harus percaya bahwa ada benih-benih yang tertanam masuk ke otak kita, ada benih yang instan, ada benih yang menunggu waktu yang sebentar, maupun yang lama. Kalau anda punya perhitungan seperti itu, maka anda akan rajin untuk terus menerus mendengarkan apa-apa di Maiyah ini, dan anda percaya pada saatnya akan menemukan bahwa sesuatu akan tumbuh dan bermanfaat bagi anda. Kalau anda punya tumbuhan-tumbuhan seperti itu, dan Indonesia dipimpin oleh orang-orang seperti anda, maka keadaannya Insya Allah akan lebih baik dari yang sekarang ini.

PEMERINTAH BUKAN NEGARA

SETELAH MEMBERIKAN landasan untuk pengantar diskusi, Cak Nun kemudian mempersilahkan Pak Pipit Ruhiyat Kartawijaya untuk memaparkan materi yang sudah disiapkan. Sepeti biasanya, setiap hadir di Kenduri Cinta, beliau selalu mengenakan pakaian serba hitam. “Di Negara maju, Politik itu memiliki 3 dimensi: Politic, Policy dan Politics. Setiap kita berbicara yang satu, akan berkaitan dengan dua yang lainnya”, Pak Pipit menjelaskan pemaparan awal setelah menyapa jamaah Kenduri Cinta. Menurutnya, segala kehidupan manusia di sebuah negara mau tidak mau berhubungan dengan politik. Pak Pipit kembali menjelaskan tentang perbedaan antara Negara dengan Pemerintah.

Pak Pipit bercerita beberapa waktu yang lalu membaca sebuah judul berita di sebuah surat kabar, judul beritanya adalah “Negara gagal melindungi rakyat”, tetapi dalam paragraf pertama yang disebutkan adalah Pemerintah. Kerancuan pemahaman ini yang menurut Pak Pipit menyebabkan Indonesia semakin banyak menghadapi masalah. Ia mencontohkan bagaimana Belgia pernah mengalami kekosongan pemerintahan selama 541 hari, tetapi Negara Belgia tetap berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan Pegawai Negara disana taat kepada Negara dan Undang-Undang, bukan kepada Pemerintah. Sehingga, mereka tidak terpengaruh kepada Pemerintah yang berkuasa. Pada hal yang lain lagi, soal bagaimana Mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa untuk belajar di Jerman, yang selalu mereka hadapi setiap tahun adalah keterlambatan cairnya beasiswa dari Pemerintah Indonesia dengan alasan anggaran beasiswa mereka belum cair. Di Jerman, Pak Pipit mencontohkan, bahwa hal tersebut tidak terpengaruh apapun dengan pemerintah yang berkuasa, karena yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak adalah urusan Negara yang sudah diatur oleh Undang-Undang, sehingga siapapun pemerintahnya sistem yang berlaku dalam sebuah Negara akan berjalan sebagaimana mestinya. Yang terjadi di Indonesia, apabila pejabat yang berwenang diganti, maka sistem akan berhenti sembari menunggu pejabat yang baru dilantik. Menurut Pak Pipit, kondisi yang demikian menyebabkan Negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena aturan yang berlaku bergantung pada pemerintah bukan terhadap Negara. Pegawai yang seharusnya taat kepada Negara dan Undang-Undang justru taat kepada atasan mereka yang bisa saja berganti setiap tahun atau setiap periode.

Pengalaman pribadi Pak pipit sendiri, bahwa saat satu bulan sebelum resmi pensiun, Negara memberikan informasi melalui Pemerintah Jerman tentang besaran dana pensiun yang akan diberikan kepada Pak Pipit. Dalam informasi tersebut tidak ada tanda tangan dari pemerintah atau menteri yang mengurusi dana pensiun. Pada bulan berikutnya, secara otomatis dana pensiun dicairkan melalui rkeening pribadi yang bersangkutan. Sehingga, tidak ada istilah bahwa Pemerintah atau Negara tidak memiliki anggaran. Maka, jika ada istilah “Pemerintah tidak memiliki anggaran” di Indonesia, menurut Pak Pipit sangat aneh, karena pada rezim tahun 2004-2009 yang lalu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara memiliki program untuk menduplikasi Undang-Undang Aparatur Negara yang diaplikasikan dalam birokrasi di Jerman. Pak Pipit bercerita bahwa beliau juga dilibatkan dalam perancangan Undang-Undang Aparat Sipil Negara yang dirintis tahun 2014 silam, yang juga menduplikasi Undang-Undang yang diberlakukan di Jerman.

Pak Pipit menjelaskan bahwa ada kesalahan dalam Undang-Undang tersebut, dimana dalam RUU disebutkan bahwa Pegawai Negeri harus taat kepada Negara, ketika menjadi Undang-Undang tertulis bahwa Pegawa Negeri harus taat kepada Negara dan Pemerintah. Di Indonesia, Pegawai Negeri Sipil diakui sebagai Pegawai Pemerintah, sementara di Jerman, Pegawai Negeri adalah Pegawai Negara yang tidak terpengaruh apapun meskipun orang-orang yang duduk di pemerintahan berganti setiap tahun.

“Saya tidak taat kepada Pemerintah, bahkan kalau perlu saya melawan kepada Pemerintah apabila Pemerintah melanggar Undang-Undang”, lanjut Pak Pipit. Pengalaman yang dialami oleh Pak Pipit di Jerman, Pemerintah tidak berlaku sewenang-wenang kepada Pegawai Negeri di Jerman, karena mereka mengetahui posisi mereka bisa dilawan oleh birokrasi mereka sendiri. Di Jerman, dibawah lembaga Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif adalah Pegawai Negeri yang berlaku sebagai eksekutor Undang-Undang. Pegawai Negeri di Jerman tidak akan berani mengeluarkan peraturan atau Undang-Undang, karena itu bertentangan dengan Negara. Sedangkan di Indonesia, pejabat setingkat Dirjen saja bisa membuat aturan padahal seharusnya dia berposisi sebagai Pegawai Negeri yang berperan eksekutor.

Di Indonesia, Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat disebut sebagai Aparatur Pemerintah, hal ini menurut Pak Pipit merupakan keanehan lain lagi yang kita lihat di Indonesia. Sehingga, saat hendak melakukan sesuatu, Setjen DPR meminta persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Hal ini sangat aneh karena Legislatif meminta persetujuan kepada Eksekutif. Dan, ini berlaku bagi semua Pegawai Negeri yang menjabat jabatan di Lembaga Eksekutif dan Yudikatif, mereka diperlakukan sebagai Aparatur Pemerintah, padahal seharusnya mereka adalah Pegawai Negeri yang taat kepada Negara dan Undang-Undang.

Indonesia sebenarnya pernah memiliki Undang-Undang tentang Pegawai dan Aparatur Negara ini yang lebih baik dari sekarang. Pada tahun 50-an, Pegawai Negeri diwajibkan untuk taat kepada Ideologi Negara, bukan kepada Pemerintah. Dahulu, Dewan Perwakilan Rakyat diperbolehkan merekrut sendiri pegawainya, sehingga tidak bertabrakan dengan Lembaga Eksekutif. Tetapi, hari ini yang berlaku di Indonesia, apabila Lembaga Legislatif ingin merekrut Pegawai Negeri, maka ia harus meminta persetujuan kepada Lembaga Eksekutif, yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Seharusnya, Pemerintah bertugas sebagai pengawas pelaksanaan Undang-Undang yang dilaksanakan oleh Pegawai Negeri, atau yang juga disebut sebagai Lembaga Keempat setelah Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif.

Yang terjadi di Indonesia, apabila salah satu Kementrian ingin mencairkan anggaran yang sudah disetujui dalam APBN, ia harus meminta persetujuan kepada Kementrian Keuangan yang pada tahap berikutnya permohonan pencairan anggaran tersebut diperiksa oleh Pegawai Kementrian Keuangan. Disini, kembali menurut Pak Pipin terlihat keanehan, karena seharusnya apa yang sudah disahkan oleh APBN sudah tidak memerlukan lagi proses pemeriksaan kembali oleh Kementrian Keuangan. Di Jerman hal tersebut tidak berlaku. Sebab, selama Anggaran yang diminta sudah tercantum dalam APBN atau Undang-Undang yang sudah disahkan, maka Lembaga Eksekutif sudah tidak perlu lagi menjadi eksekutor untuk memberi ijin atas pencairan dana tersebut. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan proses pungutan liar dilakukan oleh pejabat-pejabat baik di pusat maupun di daerah.

Untuk mencairkan anggaran, pihak yang mengajukan pencairan anggaran diharuskan untuk menyetor kepada pejabat-pejabat tertentu, disinilah proses birokrasi menjadi terhambat. Kerancuan antara posisi Pemerintah dengan Negara di Indonesia inilah yang menyebabkan semakin hari persoalan dalam urusan tata kelola Negara semakin rumit.

“Kalau misalnya ada pemisahan antara Negara dengan Pemerintah, maka posisi Pemerintah itu tidak penting. Apakah Pemerintah itu kuat atau ndak kuat, itu tidak menjadi persoalan. Karena, yang penting adalah bagaimana membuat Undang-Undang yang baik”, lanjut Pak Pipit.

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Presiden bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat bertugas untuk membuat Undang-Undang, menurut Pak Pipit posisi seperti ini mengakibatkan kerancuan sehingga tidak ada pemisahan yang jelas antara Pemerintah dan Negara. Presiden sejak awal dilantik sudah dipaksa untuk kawin dengan DPR, sementara di Parlemen sendiri terdapat oposisi yang sudah pasti menyatakan diri berlawanan dengan Presiden. Situasi politik di Indonesia sangat tidak mendukung terjadinya pemisahan antara Pemerintah dengan Negara. Untuk persoalan ini, Pak Pipit menyarankan, jika akan dilakukan pemisahan antara Pemerintah dengan Negara maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membubarkan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara.

Merespon pertanyaan Furqon dan Rudi tentang bagaimana prosedur bagi Indonesia untuk melakukan pemisahan antara Negara dan Pemerintah, Pak Pipit menjelaskan bahwa hal yang pertama harus dirubah adalah Undang-Undang Aparat Sipil Negara, yakni agar diatur bahwa Pegawai Negeri Sipil hanya taat kepada Negara, bukan kepada Pemerintah. Persis seperti Tentara Nasional Indonesia.

Tetapi, yang terjadi hari ini, Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di Kementrian takut kepada Menteri, sehingga mereka harus taat kepada Menteri. Seringkali terjadi mutasi jabatan hanya dikarenakan Pegawai Negeri Sipil tidak patuh terhadap kebijakan Menteri. Hal yang sama juga terjadi pada Pemerintah Daerah, apabila ada Pegawai Negeri Sipil di Pemda yang tidak patuh kepada Kepala Daerah, maka mutasi jabatan seringkali dilakukan akibat kondisi seperti itu. Seharusnya tidak demikian.

Pegawai Negeri Sipil seharusnya hanya taat kepada Negara, tidak peduli siapa yang menjadi Pemerintah, Pegawai Negeri Sipil harus berlaku sebagai eksekutor dari Undang-Undang yang sudah disahkan. Karena, Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota dan Bupati adalah Jabatan Politik, sedangkan Pegawai Negeri Sipil adalah jabatan yang bersifat karier.

Pak Pipit menjelaskan posisi beliau di Jerman yang bekerja sebagai Pegawai Publik. Di Indonesia, Pegawai Publik seperti Pak Pipit disebut sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Pegawai seperti ini tidak seperti Pegawai Negeri Sipil, ini yang juga diduplikasi oleh Indonesia dari Jerman. Pegawai Publik ini kontrak kerjanya berdasarkan prestasi, bukan berdasarkan karier, sehingga apabila prestasi kerjanya tidak beres, maka ia terancam dipecat. Berbeda dengan Pegawai Negeri Sipil yang hanya bisa dipecat apabila melanggar Undang-Undang.  Pegawai Publik di Jerman hanya setia dan taat kepada Negara, dan di Indonesia penduplikasian Pegawai Publik ini dilakukan dengan menggunakan istilah yang salah: Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

Kondisi politik di Indonesia yang memaksa seorang Presiden berkoalisi dengan beberapa Partai Politik semakin membuat runyam kondisi Negara. Seharusnya, Indonesia tidak memerlukan Kementrian sebanyak 34 seperti hari ini. Kementerian-kementrian itu bisa dipangkas menjadi hanya separuhnya saja. Akan tetapi, dikarenakan proses politik yang ada, seorang Presiden dipaksa untuk bagi-bagi posisi kepada Partai Politik pendukungnya. Maka, yang terjadi adalah penyusunan Kabinet dengan jumlah yang banyak. Dikemudian hari, apabila terjadi pergantian rezim, akibat tidak adanya pemisahan antara Pemerintah dan Negara, maka pilihan bagi rezim yang baru untuk memangkas Kementrian sangat tidak memungkinkan. Sebab, Pegawai Negeri Sipil yang ada di sebuah Kementrian akan dijejalkan ke Kementrian yang lain, yang justru akan membuat keadaan semakin rancu.

“Pegawai Negeri Sipil seharusnya hanya taat kepada Negara, tidak peduli siapa yang menjadi Pemerintah, Pegawai Negeri Sipil harus berlaku sebagai eksekutor dari Undang-Undang yang sudah disahkan. Karena Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota dan Bupati adalah Jabatan Politik, sedangkan Pegawai Negeri Sipil adalah jabatan yang bersifat karier.. 
Pipit Ruhiyat Kartawijaya, Kenduri Cinta (September, 2016)

KEMUDAHAN DARI KESULITAN

MENYAMBUNG PENJELASAN Pak Pipit, Cak Nun menjelaskan bahwa sebelum kita lebih jauh mempertanyakan bagaimana prosedur perubahan konstitusi di Indonesia yang sudah dijelaskan tadi, dengan tujuan memisahkan dan membedakan antara Negara dan Pemerintah, yang perlu dipertanyakan berikutnya yaitu siapakah pihak yang paling keberatan untuk menolak usulan pemisahan antara Negara dengan Pemerintah itu tadi?

Sedikit melebar dari pemaparan Pak Pipit, Cak Nun menegaskan kembali bahwa di Maiyah tidak boleh ada pengkultusan, bahkan terhadap Cak Nun sendiri sekalipun. Karena semua yang hadir harus menyadari bahwa setiap individu adalah manusia biasa yang bisa saja salah. Cak Nun juga mengingatkan bahwa setiap jamaah Maiyah harus memiliki kemandirian dan kedaulatan dalam diri masing-masing untuk menentukan sikap. Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk slulup  kedalam Surat As-Syarh (Alam Nasyroh).

Dalam surat tersebut Allah memberitahu kepada manusia bahwa Allah sudah melapangkan dada manusia dalam menghadapi setiap persoalan, cobaan dan ujian. Dan, Allah juga sudah membebaskan beban-beban yang sebenarnya tidak kuat ditanggung oleh manusia, setidaknya Allah juga sudah menambahkan kekuatan kepada kita untuk menyangga beban tersebut.  Dalam ayat tersebut, Allah juga menegaskan bahwa kepada siapapun saja yang mampu bersabar dalam menampung beban yang berat itu tadi, entah itu berupa ujian, cobaan dan lain sebagainya, akan ditingkatkan derajatnya karena kesabarannya. Karena, yang ditagih oleh Allah adalah perjuangannya, bukan hasilnya.

Dalam ayat selanjutnya Allah menyatakan; Fainna ma’a-l-‘usri yusron. Bahwa pada setiap kesulitan bersamaan dengan itu dianugerahi kemudahan (solusi). Bahkan, pernyataan tersebut diulangi dua kali. Cak Nun menjelaskan bahwa yang membedakan antara ‘Usri dan Yusro dalam ayat tersebut adalah kata ‘Usri diawali dengan Alif Lam, sementara kata Yusro tidak menggunakan Alif Lam. Menurut Cak Nun, Allah meminta kita untuk kembali berjuang untuk mencari kemudahan atau solusi yang datang bersamaan dengan kesulitan yang kita hadapi itu.

Faidzaa faroghta fanshob, Cak Nun menjelaskan bahwa apabila kita sudah lega, sudah ridlo, sudah ikhlas dengan mekanisme tersebut, yang harus dilakukan oleh kita adalah meneruskan perjuangan kita. Meskipun dikemudian hari kita mendapat kesulitan yang lain, maka kita sudah meyakini bahwa mekanisme Inna ma’a-l-‘usri yusron tadi juga akan berlaku lagi.

“Saya tidak berhenti sampai hari ini. Tiap hari saya terus berjuang, saya terus lapar, saya terus bertirakat, saya terus bersedekah, saya terus bekerja keras, saya terus menulis, saya terus mencintai orang. Dan, kalau saya disalami oleh ratusan bahkan oleh ribuan orang Maiyah, tidak satupun yang saya tanggapi lebih rendah dari yang sebelumnya. Semua saya cintai secara maksimal. Ketika orang pertama salaman sampai orang terakhir bersalaman dengan saya, tidak turun stamina saya, tidak turun cinta saya kepada mereka”, Cak Nun melanjutkan.

“Anda boleh minta doa kepada saya, anda boleh minta air anda didoakan oleh saya, anda boleh meminta saya untuk mengelus perut istri anda yang tidak hamil-hamil setelah menikah bertahun-tahun, setiap kali saya menerima seperti itu logika saya sederhana; saya tidak mampu memenuhi apa yang anda mintakan. Yang coba kita ciptakan adalah kerjasama segitiga; anda mendambakan keinginan anda, terus Allah membimbing anda, menyuruh anda untuk datang kepada saya, kemudian saya mencintai anda dan saya menuruti apa yang anda inginkan. Tapi, harap anda tahu, yang mengerjakan bukan saya. Saya hanya menuruti, yang tanggung jawab agar keinginan anda itu kabul adalah Allah. Ini saya sadari terus”, lanjut Cak Nun.

“Anda itu harus bisa membaca Al Qur’an yang tidak ada di Al Qur’an”, Cak Nun melanjutkan sembari menjelaskan melalui satu amsal ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukulkan tongkat di laut, dan kemudian lautan terbelah karena di saat yang bersamaan Allah juga memerintahkan kepada air lautan itu agar terbelah ketika Nabi Musa memukulkan tongkatnya. Cak Nun menjelaskan bahwa banyak sekali kelengkapan-kelengkapan di Al Qur’an yang implisit seperti itu, begitu juga di alam semesta ini. “Anda jangan hanya melihat yang bisa dilihat. Anda harus mampu melihat yang tidak terlihat. Dan, yang tidak terlihat itu lebih dahsyat dari apa yang bisa engkau lihat. Maka, jangan terlalu mengandalkan panca indra, karena panca indra adalah paling menipumu di dunia ini”, Cak Nun menegaskan.

Kembali ke surat As-Syarh tadi, Cak Nun menegaskan bahwa prinsip utama terdapat di ayat yang terakhir; Wa ilaa robbika farghob. “Ini prinsip! Jadi, jangan terlalu berharap kepada saya! Termasuk kepada perubahan terhadap Negara dan Pemerintahan itu tadi, jangan berharap kepada saya. Kita berharap kepada Allah! Kita kerjasama bareng-bareng, karena mungkin ini tidak besok pagi kita kerjakan. Mungkin 10 tahun lagi, mungkin 5 tahun lagi, mungkin 2 tahun lagi”.

Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk merefleksikan apa yang selama ini dilakukan oleh Cak Nun dengan berkeliling Maiyahan hingga hari ini. Pada Maiyahan malam sebelumnya di Purworejo, yang dihadiri oleh ribuan orang, bahkan mayoritas bukan jamaah Maiyah, pada saat itu hujan sempat turun, tetapi jamaah tidak bubar dan terus bertahan hingga akhir acara. Cak Nun menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya di malam itu bukanlah menyihir orang-orang agar tetap bertahan di Maiyah, melainkan yang selalu dilakukannya saat hujan turun adalah melatih ketepatan berfikir dan mengambil sikap setiap individu yang hadir dalam merespon turunnya hujan. Cak Nun menekankan bahwa masing-masing kita harus memiliki kepekaan dan ketepatan sikap bahwa setiap hari Allah menyapa kita. Dan, Allah menagih ketepatan sikap kita terhadap Allah. Kita harus mampu menentukan tanda-tanda hadirnya Allah pada diri kita masing-masing. Tentu, dari sekian banyak pengalaman hidup, kita memiliki penanda masing-masing terhadap kesadaran diri kita dalam menyikapi kehadiran Allah dalam kehidupan kita. Kita harus menemukan idiom komunikasi kita dengan Allah.

Mengutip salah satu syair karya pujangga Ronggowarsito pada abad ke-18; Amenangi jaman edan, yen ora edan ora keduman. Ning sak beja-bejane wong sing edan, isih beja wong sing eling lan waspada. Cak Nun mengajak jamaah berfikir, apakah keedanan zaman kita ini lebih rendah takarannya daripada abad ke-18 ketika syair itu diciptakan? Atau, justru keedanan hari ini berlipat ganda lebih parah dari abad ke-18?

Kita melihat fakta bahwa hari ini hampir tidak ada celah anggaran di APBN yang aman dari tindak pidana korupsi, kesemrawutan kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, mundurnya moral generasi muda penerus bangsa, dan seabrek persoalan yang semakin hari makin mengkhawatirkan sepertinya justru menandakan bahwa zaman kita ini lebih edan dari zaman Ronggowarsito dulu. Bahkan, umat Nabi Nuh sekalipun bisa jadi kalah edan dari generasi kita hari ini. Kenapa Nabi Nuh dahulu bisa meminta untuk didatangkan banjir besar agar peradaban segera berganti? Kenapa Nabi Nuh juga bisa meminta kepada Allah untuk menghadirkan musibah yang besar bagi manusia pada zaman itu agar segera lahir perubahan? Begitu juga dengan Nabi Luth, Nabi Musa, dan Nabi-Nabi yang lainnya. Kenapa hal yang sama tidak terjadi di zaman ini, padahal akumulasi kebobrokan dan pengingkaran terhadap Allah sangat luar biasa terjadi saat ini. Apakah memang umat manusia zaman ini diberi kekuatan yang lebih dibandingkan umat sebelumnya, sehingga kita tidak melihat pertolongan Allah kepada kita untuk mengatasi kerusakan zaman ini, sehingga kemudian muncul asumsi bahwa dosa-dosa yang dilakukan oleh umat pasca Nabi Muhammad SAW akan dibalas di hari kiamat nanti.

Di Indonesia, kita selalu mencari pemimpin yang masih lapar dan ingin kenyang”,
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2016)

“SAYA COBA menemukan klausulnya. Jadi, menurut anda, kalau anda ini sholat, rajin, jadi orang baik, bahkan seluruh dunia taat kepada Allah, apakah Allah merasa laba atau tidak? Bertambahkah sesuatu pada Tuhan? Tidak. Itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap Tuhan. Begitu juga sebaliknya, jika manusia seluruh dunia itu ingkar, khianat, bahkan kafir semua, kira-kira Allah terluka apa tidak? Rugi apa tidak? Jadi, Tuhan tidak terpangaruh apa-apa, bagaimanapun keadaan manusia di dunia”.

“Kenapa waktu Nabi Nuh kok langsung ada balasan (terhadap pengingkaran manusia)? Karena yang dilukai adalah kekasih-Nya! Karena yang dilukai adalah kekasih Allah yang sekarang ini tidak ada! Sekarang tidak ada kekasih Allah! Allah ndak bisa kamu sakiti dan Allah tidak merasa perlu membela siapapun yang Dia cintai. Ndak ada kekasih Allah sekarang. Dan, saya mau melakukan ini untuk melamar, ya Allah cintailah mereka, cintailah semua anak-anakku ini seluruh Indonesia supaya Kamu cinta Ya Allah. Sehingga kalau mereka disakiti oleh pemerintah, kamu balas itu pemerintah Ya Allah!”, lanjut Cak Nun.

“Saya pribadi tidak punya nafsu seperti itu (agar dicintai oleh Allah), tetapi saya memperbanyak jumlah orang yang menurut saya dengan anda seperti ini (Maiyahan) sampai pagi, masa Allah tidak mencintai anda?”.

Jika mungkin di zaman Nabi Nuh hanya Nabi Nuh seorang yang menjadi kekasih Allah, malam ini Cak Nun berdoa semoga dengan semakin banyak jumlah jamaah Maiyah ini, dengan kesetiaannya kepada Allah, mampu mengimbangi kesetiaan Nabi Nuh yang hanya satu orang, sehingga Allah mencintai jamaah Maiyah dan menjadikan Allah benar-benar meluapkan cinta-Nya seperti luapan cinta kepada Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Luth, Nabi Ibrahim, Nabi Isa bahkan Nabi Muhammad SAW.

“Di dalam diriku tidak ada aku. Aku tidak penting, karena yang penting padaku di dalam takdir Allah adalah cintaku kepadamu. Jadi, teman-teman sekalian, anda yang setia seperti ini. Dan, saya tidak bisa pesimis bahwa itu tidak akan terwujud. Itu akan terwujud. Ana ‘inda dhzanni abdii bii, Aku berlaku berdasarkan sangkaan hambaku. Nah, sekarang kita menyangka Allah lambat atau cepat, dan kita mohon lebih segera mencintai anda, dan anda akan dibela oleh kekasih anda itu”, lanjut Cak Nun.

Cak Nun kemudian meminta Pak Pipit untuk menjelaskan kendala teknis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan harapan perubahan dan pemisahan antara Pemerintah dengan Negara. Pak Pipit menjelaskan, seperti yang sebelumnya disebutkan, bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah membubarkan Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara, salah satu dari hal ini dikarenakan orang yang dipasang sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tidak memahami tentang persoalan Aparatur Negara. Kendala yang kedua adalah, karena setiap usulan kepada pemerintah, harus berfrasa Naskah Akademik. Padahal, di Jerman, apabila ada sekelompok orang ingin mengusulkan sesuatu kepada Pemerintah atau Negara, tidak memerlukan naskah yang tersusun atas kalimat-kalimat yang akademik. Karena, pada akhirnya adalah keputusan antara diterima atau tidak usulan tersebut.

Pak Pipit berkisah, pernah suatu ketika beberapa orang dari kalangan militer menyatakan ketidakpuasannya terhadap pemerintah Indonesia yang tidak kunjung mewujudkan perubahan yang berarti terhadap kondisi bangsa dan negara. Sehingga, sebagian dari mereka memiliki keinginan untuk melakukan kudeta terbatas, setelah itu mereka ingin mengadopsi konsep pemisahan antara Negara dan Pemerintah yang dijabarkan oleh Pak Pipit. Namun, disatu sisi, Pak Pipit sendiri mengalami dilema. Menghadapi situasi dimana kalangan militer merasa bahwa pemerintah tidak kunjung memberikan perubahan sehingga perlu adanya revolusi konstitusi di Indonesia, lain halnya dengan kalangan akademis yang seharusnya memiliki kemampuan berfikir yang lebih visioner namun ternyata justru lebih ingin mempertahankan konsep yang saat ini dijalankan di Indonesia.

Konsep Partai Politik di Indonesia pun menurut Pak Pipit harus dirubah. Karena, posisi Partai Politik tidak bisa dilepaskan dari konstelasi politik dalam sebuah negara. Sementara itu, partai politik juga memegang peranan yang penting dalam kehidupan politik nasional.

Pak Pipit sedang memperjuangkan agar proses pendirian partai politik tidak seperti sekarang yang diberlakukan di Indonesia, yang mepersyarati sekian cabang dan sekia ranting yang tersebar di seluruh Indonesia, baru kemudian sebuah partai politik disahkan. Hal ini yang juga kemudian mengakibatkan biaya politik justru semakin tinggi, karena setiap partai politik harus membiayai biaya operasional sampai pada tingkat akar rumput. Ujungnya, praktek korupsi pun tidak akan pernah lepas dari lingkaran partai politik di Indonesia. Hal selanjutnya yang juga sedang diperjuangan oleh Pak Pipit adalah adanya Undang-Undang yang memperbolehkan calon independen mencalonkan diri menjadi anggota dewan perwakilan rakyat. Selain itu,  kesadaran politik dari setiap individu masyarakat juga harus ditumbuhkan. Satu contoh misalnya: Referendum.

Istilah Referendum ini bagi sebagian kalangan di Indonesia merupakan sebuah peristiwa yang menyeramkan. Hal ini dikarenakan Indonesia pasca Soeharto lengser dilakukan Referendum yang mengakibatkan lepasnya Timor Timur. Padahal, menurut Pak Pipit, Referendum merupakan salah satu instrumen dalam sistem kontrol rakyat terhadap Pemerintah. Di Amerika, Referendum tidak jarang digunakan sebagai metode bagaimana rakyat mengeluarkan protes, bahkan melengserkan seorang Kepala Daerah apabila ia terbukti melanggar Undang-Undang.

Sebelum memberikan jeda untuk penampilan Koko and Friends, Cak Nun berharap apa yang dipaparkan oleh Pak Pipit ini bisa menjadi satu rumusan baru yang disusun oleh anak-anak muda Maiyah. Selama ini, di Maiyah sudah dibahas banyak hal, mulai dari Politik, Hukum, Agama, Kesehatan, Ekonomi dan lain sebagainya, tetapi hal ini masih belum terorganisir dengan rapi. Cak Nun berharap, muncul kesadaran yang lebih lagi dari anak-anak muda Maiyah untuk bersama-sama bekerja sama menyatukan langkah dan mengumpulkan data-data yang sudah ada beserta rumusan-rumusan baru yang lahir di setiap Maiyahan, sehingga rumusan-rumusan itu kelak akan berguna bagi generasi selanjutnya.

Sebelum memuncaki Kenduri Cinta edisi September, Cak Nun kembali mengingatkan kepada jamaah Maiyah bahwa apa yang kita tanam hari ini belum tentu kita pula yang akan menuainya. Konstruksi kapal besar Indonesia yang sudah terlanjur salah ini harus segera diperbaiki. Anak-anak Maiyah harus memiliki inisiatif untuk melahirkan rumusan-rumusan baru di berbagai bidang guna mewujudkan perubahan yang sudah lama diidam-idamkan. Karena, mau tidak mau, Indonesia harus menyadari bahwa Indonesia tidak bisa menolong dirinya sendiri.

Cak Nun menekankan bahwa segala ikhtiar dan perjuangan kita di Maiyah sepenuhnya kita serahkan kepada Allah, hingga kelak kita akan meminta kepada Allah untuk segera mewujudkan perubahan yang nyata di Indonesia. Yang dilakuan di Maiyah adalah membereskan mesin berfikirnya terlebih dahulu, karena hal utama yang dibutuhkan di Indonesia sebelum melakukan perubahan adalah melakukan  revolusi berfikir.

Cak Nun memberi satu contoh, bahwa pemahaman tentang pemberian gratifikasi di Indonesia juga difahami dengan salah kaprah. Seharusnya, yang dilarang adalah meminta gratifikasi. Persoalan orang memberikan gratifikasi kepada orang lain atas jasa yang sudah dikerjakan, itu merupakan sebuah hal yang wajar sebenarnya. Kesalahan pemahaman arti gratifikasi sendiri kemudian hanya difahami sebagai soal wilayah tindak pidana korupsi. Cak Nun mencontohkan bagaimana perusahaan-perusahaan penyedia layanan jasa memberlakukan aturan kepada konsumen agar tidak memberikan uang tip kepada setiap petugas yang datang ke rumah untuk memberikan layanan jasa. Sebenarnya, memberi itu baik, justru yang hina adalah jika meminta. Maka, apabila kita memberi uang tip kepada seorang petugas perbaikan instalasi listrik misalnya, maka sebenarnya tidak ada hak bagi perusahaan tempat orang tersebut bekerja untuk melarang kita. Yang seharusnya dilarang adalah petugas meminta uang tip kepada konsumen.

Dari sini Cak Nun menyadarkan jamaah Maiyah bahwa perubahan di Indonesia harus segera diawali, minimal anak-anak muda Maiyah mampu menyusun teks yang berisi rumusan-rumusan untuk menuju perubahan yang diharapkan itu tadi. Syukur bila kemudian Allah memberi mandat kepada kita untuk mengaplikasikan rumusan-rumusan yang sudah disepakati itu di masa yang akan datang.

Menjelang pukul 4 dinihari, Cak Nun mengajak semua jamaah untuk berdiri dan menyanyikan lagu “Syukur” bersama-sama. Kemudian Cak Nun memimpin doa untuk memuncaki Kenduri Cinta September 2016.