PadhangmBulan Sebagai Ibu Maiyah

BULAN PURNAMA Oktober 1993, embrio Maiyah Nusantara itu lahir; PadhangmBulan. Berawal dari keresahan internal keluarga di Menturo yang mulai merasakan betapa sulitnya memiliki jadwal khusus untuk berkumpul dikarenakan padatnya jadwal Cak Nun memenuhi undangan dari berbagai daerah, maka PadhangmBulan digagas oleh Cak Dil, adik kandung Cak Nun untuk merintis sebuah pengajian keluarga rutin bulanan di Menturo. Rutin diselenggarakan setiap bulan sejak lebih dari 2 dekade silam, berlokasi di Menturo, Sumobito, Jombang. Ditengah kondisi masyarakat yang heterogen, PadhangmBulan diselenggarakan setiap tanggal 15 hitungan penanggalan Qamariyah-Jawa. Saat bulan purnama, tepat pada puncak keindahan cahaya rembulan menyinari bumi, masyarakat dari berbagai daerah mulai berdatangan sejak sore dan akan berkumpul hingga menjelang subuh. Dari berbagai lapisan masyarakat, tua-muda, lelaki-perempuan, lintas-profesi, akademisi, praktisi, pejabat, pengusaha maupun pengangguran berdatangan untuk melepas kerinduan kepada Cak Nun, datang bukan sebagai identitas-sosial namun sebagai personal-manusia.

Sebelum reformasi 1998, PadhangmBulan seperti sebuah pijar cahaya dalam kegelapan masyarakat dibawah rezim Orde Baru. Orang-orang dari berbagai daerah berdatangan untuk mencari pencerahan. Berkumpul membahas berbagai isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat, mencari solusi dari persoalan kehidupan masyarakat, dari yang seolah remeh-temeh hingga persoalan yang lebih luas terkait kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, menghidupkan kembali wacana dan nilai-nilai kehidupan yang sudah terkubur oleh zaman. Sosok Cak Nun yang saat itu begitu dikenal oleh masyarakat Indonesia melalui tulisan-tulisan yang bernas di kolom-kolom surat kabar nasional dan menjadi narasumber di berbagai forum diskusi, merupakan titik pusat daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk turut hadir di PadhangmBulan setiap Bulan Purnama di Menturo. Bahkan pada satu masa, jamaah PadhangmBulan pernah mencapai hingga 50.000 jiwa, berkumpul di Menturo. Dan hingga hari ini, PadhangMbulan masih menjaga kontinyuitas menebarkan nilai-nilai kehidupan itu. PadhangmBulan semakin menegaskan bahwa Maiyah adalah sebuah perjuangan panjang.

Reformasi 1998 merupakan satu episode titik balik sejarah perjalanan Indonesia, Cak Nun yang sejak lama ikut menyaurakan perlawanan terhadap rezim Orde Baru menyampaikan sebuah Indzar pada 11 Mei 1998 di Forum PadhangmBulan. Saat itu bahkan, Ibunda Chalimah secara khusus membacakan Hizib Nashr. “Bangsa Indonesia sudah tidak punya waktu lagi sekarang. Bapak Presiden RI hanya mendapatkan kesempatan satu kali lagi mendapatkan indzardari Allah dan peringatan dari rakyatnya. Hanya satu kali peringatan itu ada, kalau peringatan ini masih membikin beliau summum bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun, maka kita semua harus siap di hari-hari yang akan datang lebih parah dari hari-hari sebelumnya”, itulah secuplik yang diungkapkan oleh Cak Nun pada PadhanMbulan edisi Mei 1998. Pada momentum itu pula, secara khusus Ibu Chalimah (Ibunda Cak Nun), membacakan Hizib Nashr.

Proses Reformasi 1998 kemudian menempatkan Cak Nun untuk terlibat sebagai inisiator, konseptor hingga eksekutor,yang pada akhirnya (Reformasi 1998) ditinggalkan oleh Cak Nun. Cak Nun memilih menepi dari pusaran politik nasional yang penuh dengan manuver telikungan dan pengkhianatan. Reformasi yang digadang-gadang sebagai solusi dari permasalahan krisis multi dimensi nasional justru hanya sekedar agenda menurunkan Soeharto yang kemudian melahirkan Soeharto-soeharto berikutnya. Seolah keadilan sosial di negeri ini masih belum cukup dengan pengorbanan harta dan nyawa rakyat Indonesia yang menuntut keadilan kepada penguasa-negara. Ketika para elite dan tokoh politik sedang sibuk berpesta pora merayakan bagi-bagi kue reformasi, Cak Nun justru menyingkir untuk kembali berkeliling menemani masyarakat dan membesarkan hati rakyat. Reformasi 1998 membukakan mata kita bahwa mengurusi 1000 orang kafir, lebih mudah daripada mengurusi 1 orang munafik. Itulah ungkapan yang sering digambarkan oleh Cak Nun ketika mengingat bagaimana kegagalan total Reformasi 1998.

Pada momen itu Cak Nun menyadari bahwa arah reformasi tidak lagi bergulir kearah keadilan sosial. Justru benteng penjaga kedaulatan negara dan rakyat sedang dirobohkan oleh antek-antek kekuatan modal-asing yang tidak menginginkan kedaulatan bangsa ini. Alih-alih kedaulatan dan keadilan sosial dapat terwujud, yang terjadi perampokan dan penjarahan aset bangsa terjadi. Soeharto sebagai musuh bersama memang dapat menyatukan berbagai elemen masyarakat dalam sebuah aksi massa yang luar biasa massif, namun lengsernya Soeharto justru memudarkan persatuan yang kokoh itu, kemudian digantikan oleh centang-perenang kepentingan-kepentingan yang saling silang-sengkarut tanpa kiblat.

Di pojok-pojok kampung-kampung Jakarta, paska Reformasi 1998 Cak Nun bersama mini Kiai Kanjeng berkeliling untuk mengajak warga bershalawat dan berbagi kegembiraan. HAMAS, Himpunan Masyarakat Shalawat yang rata-rata adalah Jamaah PadhangmBulan yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, turut memfasilitasi Cak Nun dalam rangka menemani masyarakat Jakarta setelah huru-hara politik reformasi  terjadi. Menghidupkan kembali Sholawatan, melahirkan kembali kegembiraan yang mampu mencairkan suasana dan mengobati perasaan takut masyarakat akibat krisis keamanan yang mencekam. Dan ternyata, kegiatan semacam itu tidak hanya diselenggarakan di Jakarta saja, namun di berbagai kota hingga pelosok-pelosok desa, kadang hanya dihadiri ratusan hingga ribuan masyarakat.

Setelah pegelaran Konser Kenduri Cinta di Senayan Jakarta, Jamaah PadhangmBulan yang tergabung dalam milis PadhangmBulan.net inisiatif untuk mengadakan forum bulanan di Jakarta yang konsep acaranya menyerupai PadhangmBulan. Resonansi ide dan pemikiran Cak Nun yang tertuang dalam karya-karya tulis, pagelaran teater dan atau album musik bersama Kiai Kanjeng ternyata juga menggerakkan orang-orang yang sebelumnya belum pernah ikut PadhangmBulan untuk turut terlibat dalam inisiatif itu. Hingga terbentuklah Forum bulanan Kenduri Cinta sejak Juni tahun 2000. Setelah berpindah-pindah lokasi, Kenduri Cinta hingga saat ini rutin diselenggarakan setiap Jumat minggu ke 2 di Taman Ismail Marzuki, Cikini. Sebelumnya, lahir pula forum serupa; Mocopat Syafaat di Yogyakarta dan Gambang Syafaat di Semarang.

Pada tahun-tahun berikutnya, di berbagai wilayah bermunculan forum-forum yang menduplikasi PadhangmBulan. Terlebih setelah diperkenalkan Maiyah sebagai perwujudan dari konsep Segitiga Cinta, Allah Swt, Rasulullah Saw dan sesama manusia. Cak Nun bersama Cak Fuad dan Syeikh Nursamad Kamba sebagai Dzat Maiyah mencoba menterjemahkan Segitiga Cinta Maiyah sehingga dapat diterima oleh masyarakat sebagai Ilmu dan nilai-nilai yang bersifat aplikatif pada kehidupan sehari-hari. Hingga saat ini, simpul dan lingkar Maiyah bermunculan secara sporadis di berbagai wilayah baik di dalam maupun luar negeri. PadhangmBulan sebagai Ibu Maiyah telah melahirkan, Mocopat Syafat(Yogyakarta), Gambang Syafaat(Semarang), Kenduri Cinta(Jakarta), BangBangWetan(Surabaya) dan berbagai simpul dan lingkar Maiyah yang saat ini berjumlah 31 simpul dan lingkar.

PadhangmBulan dan forum-forum rutin yang berlangsung setiap bulan diberbagai wilayah menjadi tempat berkumpulnya unikum-unikum pejuang Maiyah untuk saling melepas kerinduan. Perjuangan nilai yang dihadapi oleh unikum organisme Maiyah baik yang tergabung dalam simpul dan lingkar atau-pun yang sendiri-sendiri memiliki medan perang yang berbeda-beda, sesuai dengan lingkungan aktivitas sehari-hari tiap-tiap unikum. Luas medan perang tiap-tiap unikum sejajar dengan luas aplikasi personal dalam menerapkan nilai-nilai Maiyah ditengah lingkungan masyarakatnya. Dan yang perlu menjadi catatan kita bersama bahwa perjuangan Maiyah bukanlah perjuangan identitas melainkan perjuangan personal dalam kebersamaan untuk berusaha mengikuti akhlak Rasulullah Saw, dan Allah Swt senantiasa menjadi pertimbangan utama pada setiap perbuatan pada aktivitas kehidupan sehari-hari.

Simpul-simpul dan lingkar Maiyah yang akhir-akhir ini baru bermunculan di berbagai wilayah pada prinsipnya merupakan wujud komitmen kebersamaan dalam aplikasi nilai-nilai Maiyah ditengah masyarakat. Semangat kebersamaan adalah yang menjadi akar tumbuhnya sebuah simpul Maiyah baru pada suatu wilayah. Ketersambungan sejarah dan komunikasi antar simpul sudah semestinya berjalan alami dalam rangkaian proses yang panjang. Setiap unikum Organisme Maiyah sudah semestinya memiliki kesadaran bahwa pada dasarnya setiap simpul ataupun lingkar Maiyah adalah anak-anak yang sejarahnya berasal dari Ibu Maiyah yaitu PadhangmBulan. Inisiatif mendirikan simpul-simpul baru di berbagai wilayah tentunya akan mengalami pembuktian bersama terkait komitmen untuk istiqomah dan terus menjaga kebersamaan dalam perjuangan panjang Maiyah ditengah kocar-kacirnya Ummat Islam yang dibenturkan satu sama lain dalam satu rangkaian skenario penghancuran peradaban hari ini.

Rangkaian panjang perjuangan Maiyah di tengah kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara telah dilakukan oleh Cak Nun sejak zaman Orde Baru, jauh sebelum istilah Maiyah di perkenalkan kepada khalayak umum. Gelaran Teater Lautan Jilbab sebagai bentuk perlawanan Cak Nun membela Umat Islam karena adanya larangan muslimah menggunakan Jilbab di Instansi pemerintah maupun di kampus-kampus oleh pemerintahan rezim Soeharto pada pertengahan 80-an, mungkin tidak dikenang oleh Ummat Islam Indonesia saat ini. Perjuangan Cak Nun pada pusaran reformasi, mungkin juga tidak banyak diketahui oleh para aktivis pergerakan, bahkan oleh rakyat Indonesia yang saat ini terus menikmati pesta pora Demokrasi.

Tak terasa, 23 tahun sudah perjalanan PadhangmBulan, sebuah perjalanan yang tidak sebentar dan masih sangat jauh dari titik akhir perjalanannya. Lingkaran peristiwa yang dihadapi oleh PadhangmBulan hari ini tentu sangat berbeda dengan apa yang terjadi 23 tahun yang lalu. Persoalan yang dihadapi oleh masyarakat hari ini, sudah pasti sangat jauh berbeda dengan apa yang didahapi oleh masyarakat 23 tahun silam. Istiqomahnya PadhangmBulan selama 23 tahun ini merupakan satu cerminan dari perjuangan panjang melalui jalan sunyi yang dilakukan oleh Cak Nun, yang sudahsemestinya menjadi inspirasi dan diikuti oleh unikum-unikum Organisme Maiyah untuk berkomitmen dan turut serta dalam perjuangan Maiyah. Sebuah perjuangan panjang untuk memperbanyak jumlah kekasih-kekasih Allah Swt. Sebagai bentuk kesadaran bahwa tanpa bantuan dari Allah Swt, perjuangan panjang nilai-nilai Maiyah mustahil terwujud.