Babad Desa

reportase maiyah dusun ambengan

SEBAGAIMANA BIASANYA, kegiatan Maiyah Dusun Ambengan diawali dengan  aktivitas para ibu tetangga kiri kanan Rumah Hati, yang dari sejak pagi mempersiapkan aneka kudapan khas desa, untuk suguhan jamaah malam harinya.

Suasana hujan lebat sejak sore, masih terasa ketika majelis Maiyah Dusun Ambengan mulai digelar. Tadarus ayat-ayat Al Quran diimami Mas Saif, disertai tahlil menandai pembukaan kajian yang bertema “babad desa”. Jamaah mulai datang, lalu masuk gerbang yang bertulis “Rumah Hati Lampung”, secara tertib mengambil kopi atau teh, disertai sepiring kue khas desa. Pisang goreng, pisang rebus, jagung rebus dan iwel-iwel.

Tidak seperti biasa, majelis Ambengan pada Sabtu, 15 Oktober 2016 malam memakai tenda agar jamaah bisa tenang melingkar, bergembira dengan shalawat yang dibawakan awak musik Jamus Kalimasada, serta bernostalgia mencari akar pohon sejarah tentang terbentuknya desa-desa di Kecamatan Metro Kibang, kawasan yang disebut sebagai “kidul kali”. Sebuah panggilan yang bernada olok-olok, ejekan dan membuat yang dipanggil merasa rendah diri.

Duduk tertib di depan menghadap jamaah, para tetua kampung yang semuanya sudah dipanggil dengan sebutan Mbah atau Kakek. Hadir sebagai nara sumber beberapa sesepuh desa, Mbah Senen, Mbah Slamet, Mbah Mangun serta sejumlah tokoh yang tahu sejarah awal berdirinya desa-desa di wilayah Metro Kibang.

Cak Sul mendedah kenangan, dulu terasa sekali minder, malu dan perasaan dari umbulan, pelosok desa yang serba terbelakang jika sedang sekolah di Kota Metro (sekarang dikenal jadi Kota Pendidikan) terutama ketika dipanggil dengan sebutan. “Dasar cah kidul kali.”

Cak Sul mulai mengajak jamaah untuk merapatkan barisan, mendekat dan duduk rapat membentuk lingkaran sebagai gambaran kesetaraan. Agar berkah Allah yang tumpah di majelis Ambengan semuanya bisa ditampung jamaah. “Di sini tidak ada guru tidak ada murid, semuanya saling melengkapi untuk duduk sebagai pembelajar.”

Masih dalam suasana membesarkan hati jamaah yang notabene warga desa, itu Cak Sul mengartikan desa atau deso sama dengan Nandeske Roso. Jadi roso atau rasa yang letaknya di dada itu yang harus diolah setiap saat tingkat keluasan, kesabaran, keikhlasan, kepasrahan, kemurnian dan kejernihannya didalam menyadong karunia Allah SWT. “Deso, nandeske roso itu kita musti harus banyak-banyak lebih biso rumongso, dari pada rumongso biso, alias sok kemaki, mbagusi, dan keminter”. Kata Cak Sul.

Bersama Bunda Maiyah Ambengan, sebutan akrab Bu Asmawati, istri Cak Sul yang didaulat membuka kenangan jamaah dengan membawakan tembang; “Desaku yang kucinta, pujaan hatiku…dan handai taulanku…”

Lagu “Desaku” yang akrab di telinga anak-anak zaman sekolah itu, serta merta membawa jamaah untuk ikut berdendang. Dilanjutkan Jamus Kalimasada menyuguhkan “Buto-buto Galak”  beberapa jamaah yang sudah sepuh seketika meminta lagu itu dinyanyikan ulang. “Kendangnya kurang mantap,” kata Mbah Slamet berkomentar.

Terang saja, kendang untuk musik dangdut dipakai untuk lagu khas karawitan, ceplos Cak Sul, yang kemudian menceritakan masa kecilnya melihat bagaimana Mbah Slamet bukan saja piawai bermain gendang dan menari tayub, bahkan jago bermain reog juga.

ORANG KIDUL KALI

SEJARAH TERBENTUKNYA Kecamatan Metro Kibang, berikut desa-desa yang ada di kecamatan itu, satu persatu mulai diurai oleh Cak Sul dengan menghadirkan sejumlah tokoh yang tahu asal mula desa-desa sejak zaman babat alas. “kenapa kita perlu mengurai sejarah desa? Supaya kita faham asal muasal, menjadi manusia yang empan papan, dan faham akan martabatnya sendiri. Karena satu hal yang tak boleh hilang dari manusia adalah martabat itu sendiri”, papar Cak Sul.

Pak Suswanto, Kepala Desa Margajaya, dipersilahkan memandu acara oleh Cak Sul. “Ini memang harus dipandu oleh pamong desa, Pak Suswanto ini tokoh yang menggelorakan Metro Yes dan dipecat jadi kades, tapi karena rakyat mencintainya, maka dipilih kembali”, kata Cak Sul.

Istilah babad desa, menurut Pak Suswanto bisa diartikan macam-macam, dan semuanya mempunyai kadar kebenarannya sesuai konteksnya masing-masing. Kalau ada yang mengartikan babad itu sebagai jeroan sapi ya ndak masalah, karena itu juga namanya babad. Kalau rumput depan rumah kita bongkor, pun perlu dibabad (dipangkas/dibersihkan). Selanjutnya Pak Suswanto menyinggung beberapa sebutan desa di Lampung,  ada pekon, dukuh, kampung, desa atau deso. “Tapi awake dewe iki penake nyebute yo deso wae”.

“Jadi boleh-boleh saja begitu kita masing-masing memberi mengartikan tergantung konteksnya kita sedang bicarakan apa. Di dalam maiyahan seperti ini ilmu-ilmu terurai dengan luas, kita mendapatkannya dengan rileks, tanpa kehilangan keseriusan, dan hati kita bahagia”, tutur Pak Suswanto.

Bagimana sebutan “kidul kali” itu dimulai, Mbah Senen, tokoh sejarah desa Margototo yang dihadirkan sebagai narasumber berkisah. Dulu, sungai Waysekampung yang memisahkan Kota Metro dengan Kecamatan Metro Kibang, Lampung Timur itu sangat deras airnya. Lebar juga, dan ada satu-satunya jembatan yang sudah dibangun sejak 1969. Awal mula buka hutan di sebelah selatan sungai Waysekampung. Sementara warga, mulai masuk sejak 1956.

Jembat gantung yang diberi nama Jembat Pelita 1969 itu yang memisahkan orang-orang Lor Kali untuk sebutan warga Kota Metro, dan Kidul Kali untuk menyebut orang-orang Kibang.

Soal penamaan tempat, memang semuanya berdasar pendapat warga yang dimaksudkan sebagai penghargaan bagi yang pertama masuk hutan. Jika bergerombol, menurut Mbah Senen, biasanya namanya diberi berdasarkan tumbuhan atau buah-buahan yang ada di lokasi itu. Ada juga yang diberi nama dengan doa atau harapan warga, termasuk sesuai dengan daerah asal mereka.

Mbah Senen, dengan gaya khas bicaranya yang ceplas-ceplos, sering memancing tawa jamaah. Beliau tidak memakai bahasa Indonesia, sehingga jamaah yang berasal dari Bandarlampung, banyak yang bingung ketika jamaah tertawa terpingkal-pingkal.

Dituntun dengan pertanyaan-pertanyaan oleh Pak Suswanto dan Cak Sul, Mbah Senen meruntut bagaimana terbentuknya dusun-dusun, sampai kemudian diberi nama Margorejo, Margototo, Umbul Polisi, Berasan dan semacamnya.

Dulu, sangat “rekoso”. Pertama masuk itu kita tidur di “blaku’an”. Ngerti gak apa itu blakuan? Yaitu, kulit kayu yang dibuka untuk alas tidur. Tidak ada kasur apalagi busa. “Lha ya enak itu, ada yang ngorok tidurnya. Ada juga yang bisa bikin anak di situ.” Grrr…jamaah seketika tertawa sebab, tanpa beban Mbah Senen berkisah dan tiba-tiba mengejutkan dengan kalimat-kalimat pendek yang tidak terduga.

Lha hiburan warga zaman itu, waktunya hanya ketika nonton wayang pas acara bersih desa, setahun sekali. Makanya orang dulu, banyak anak. “Wah kulo masih gagah.” Kata Mbah Senen yang berkisah, jadi PKD (Pembantu Keamanan Desa/Semacam Hansip) kemudian bagaimana dirinya terpilih sebagai Kepala Dusun dua periode, istrinya juga ada dua. Yang pertama, anaknya sepuluh. Istri yang kedua, “Anak kulo ya sedoso,” tawa jamaah kembali membuncah. Sebab, anak Mbah Senen ada dua puluh dari dua istri itu.

Ditanya seputar anaknya apa masih sehat semua? “Gak. Anak dari istri pertama hidup 4, dari istri kedua ninggal 2. Sekarang aku minder, lha bojo loro wes mati kabeh.” Anak saya yang tua itu namanya Samijo Kaselar. “Saiki tuone podo karo kulo.”

Lalu Mbah Senen mengaku kaget ada Ambengan di Desa Margototo, sebab, biasanya sudah tidur, kelonan sama cucu, kok diajak ke Maiyahan, ganggu tidur saja. Jamaah kembali dibuatnya terpingkal.

Dusun yang pertama sekali dibuka, jelas Mbah Senen, namanya Dusun B atau Mulyodadi. Kalau tidak salah artinya “biar jadi mulia” atau semoga menjadi desa yang makmur dan sejahtera. Sekarang sudah jadi desa dengan empat kebayanan (dusun). Kalau yang Umbul Selawe B, itu yang pertama datang berasal dari Pacitan, Jawa Timur, namanya Mbah Mulyorejo. Makanya nama dusunnya sekarang, Mulyorejo.

Bagaimana nama Desa Margototo, menurut beliau, dulu zaman Pak Lurah Misman, 1956 itu dinamakan dengan Margototo. Margo itu mangku, atau jalan, Toto itu artinya tentram. Jadi arti Margototo itu jalan yang menuju dan membawa ketentraman.

“Mpun gih, selak ngantuk.” Kata Mbah Senen, mik yang dipegang langsung dilemparkan ke belakang. Kembali semua jamaah tertawa.

Salah satu jamaah, izin bertanya, lalu meminta maaf karena sudah menertawakan Mbah Senen dan memberi tepuk tangan. Belum selesai, Mbah Senen menjawab. “Seneng malahan, awet urip.” Jamaah kembali tertawa dan lebih menyelidik kapan tahun lahir Mbah Senen. Dan kalau hari, semua sudah menebak pasti hari Senin. “Lahir 1929, Senin Kliwon, kui nilainya 12.”

Pak Suhadi yang bertanya, duduk di tengah jamaah, mengaku anak dari Pak Murdi, yang sebenarnya pernah dikisahkan almarhum ayahnya, punya saudara di Kibang namanya Mbah Senen. Kemudian Mbah Senen mengambil mikrofon lagi dan menyatakan. “Oalah koe anake Murdi, itu pak cilek,” katanya.

Lalu terjadi dialog singkat yang digunakan Mbah Senen untuk menyelidik nama dan asal ayahnya. Benar, mereka bersaudara. Ketemunya dipanggil Paman atau Pak Cilik. Secara dramatis, Pak Suhadi yang berasal dari Kota Metro maju ke depan dan mencium tangannya.

Suasana menjadi haru sebab, Pak Suhadi belum pernah ketemu dengan Pakcilik, atau Lek Senen yang sering diceritakan almarhum ayahnya. Lewat Maiyahan itulah, mereka bertemu. Beberapa jamaah nyeletuk. “Cucu durhaka” disambut tawa dan omongan Cak Sul, dulurmu kui. Pulangnya disangoni nanti. Kembali, jamaah tertawa.

MEMETRI DESA

KEKAYAAN DESA yang sekarang mulai maju dan serba ada yang sulit dibedakan dengan kondisi perkotaan, satu-persatu dibahas di majelis Maiyah Dusun Ambengan. Sayangnya, baru mengudar soal-soal nama, tak terasa sudah nyaris tengah malam.

Ada yang terlupakan, menurut Cak Sul, kita ini punya jalan yang dinamakan “turunan Kirno”. Di jalan itu ada lubang dan turunannya sangat curam. Ada kisah, namanya mas  Kirno, beliau menuntun sepeda penuh muatan jagung dari ladang, kemudian ketika menaiki tanjakan di turunan yang dikenal angker itu rem sepedanya blong, sampai jatuh dan masuk lubang rawa, langsung meninggal. Maka dikenallah turunan itu dengan sebutan turunan Kirno.

Sejak meninggalnya mas Kirno di turunan itu, suasana angker semakin terasa. Meski sekarang sudah terang semua dan nyaris tidak ada anak muda yang tahu tempat-tempat angker itu. Sebelumnya area itu dikenal sebagai Umbul Polisi. Konon pertama kali yang mengumbul di situ adalah seorang pensiunan polisi.

Begitu juga dengan dusun Berasan. Kenapa diberi nama dengan kata dasar beras itu, dikisahkan dulu dusun itu pernah hampir sepanjang jalan utama yang masih terbuat dari tanah, banyak beras tercecer. Semua itu dikarenakan beberapa sepeda yang mengangkut beras karungnya bocor. Orang kemudian memberi nama dusun itu “berasan”. Artinya, banyak beras tercecer di sepanjang jalan.

Setelah Mbah Senen yang terus menerus mengucapkan, lha saya tadi sudah salam penutup kok suruh ngomong terus. “Niki Kang Mangun.” Maksudnya, menyuruh rekannya, Mbah Mangun, yang juga sesepuh Desa, agar ikut mengudar sejarah. “Sudah, Mbah Slamet saja,” kata Mbah Mangun.

Akhirnya Mbah Slamet berkisah. Dulu, orang Margototo ini sebenarnya sugih, kaya raya. Tapi karena melahirkan kamu orang ini, jadi melarat semua.

Sekarang, orang pada susah, tidak ada yang punya padi sampai bertumpuk-tumpuk di rumah. Beli beras saja ngecer. Nempur. Lha dulu, tidak ada orang yang tidak punya padi. Di rumah saya itu, padi di depan, di jemuran banyak. Di belakang, berkarung-karung ditumpuk rapi. Sampai musim panen tahun depannya, padi saya masih banyak. Sekarang, tidak ada lagi orang punya tumpukan padi. Ini semua karena banyak yang sudah ingkar pada Allah SWT yang memberikan padi. Coba sekarang, apa ada orang yang bersyukur dengan bersih desa, membawa makanan ke masjid? Tidak ada, ujar Mbah Slamet.

Pesan dia, mesti bersih desa yang bagus. Jagad Margototo, dicangkul ada hasil panennya, tapi tidak pernah disyukuri. Ya, marah buminya. Bulan Suro tanggal 10, harus menyantuni anak yatim piatu dan bersih desa. Bersih desa itu tidak mesti wayangan, cukup dengan meruwat bumi.

Memetri, itu artinya eling-eling, pengingat yang sudah tidak ada. Memetri ini penting, wajib dan harus dilakukan warga. Sekarang ini masanya, tinggal menggarab desa dan masyukuri nikmat Allah SWT.

Mbah Slamet juga berkisah pengalamannya jadi PKD yang itu masuk bagian dari sebutan “Pamong Desa”. Pamong itu artinya ngemong, momong yang maksudnya memberi perlindungan. Jadi kalau ada warga yang kehilangan sapi, lapor sama pamong desa, dibiayai untuk ongkos mencari sapinya yang hilang itu atau dibantu agar tidak bersedih. Lha sekarang, pamong di semua tingkatan, kalau ada warga yang kemalingan. “Iris kuping saya kalau habis lapor dibiayai untuk mencarinya.”

Semuanya karena banyak yang kurang paham maknanya jadi pamong. Mbah Slamet banyak membandingkan antara kepemimpinan masa lalu dengan masa sekarang.

Pamong itu tukang ngemong, jadi pamong itu senang kalau yang diasuh tidak menangis. Artinya jika ada yang kehilangan, kemalingan, pamong harus bertanggungjawab. Namun Mbah Slamet menekankan pesannya, meski sekarang kurang terasa hadirnya pamong di tengah masyarakat. “Kita jangan sampai menghina pamong. Kita doakan saja biar cepat sadar.”

Banyak persoalan dan sejarah nama-nama dusun dan desa digali, dijelaskan maknanya. Tak terasa, sudah pukul 01.05 dini hari. Dipungkasi doa dan semua jamaah bersalawat, berdiri saling salam-salaman, dilanjutkan makan saur bersama.