Nafas Panjang Perjuangan Maiyah

DI ATAS BALAIKAMBANG, Nata Dwarawati tertidur dalam wujud raksasa. Duryudana sudah kelelahan membangunkannya, namun usahanya tak kunjung berhasil. Sementara Arjuna duduk terdiam, meragasukma menjadi Janaka menyusul sukma Narayana yang melayang menghadap Hyang Wenang untuk meminta Kitab Jitabsara. Kitab skenario perang saudara, Baratayuda antara Pandawa-Kurawa.

Alangkah terpukul hati Narayana dan Janaka, ketika Hyang Wenang hanya bersedia menukarkan kitab Jitabsara dengan nyawa Janaka atau dengan Sekar Wijayakusuma, nyawa Narayana. Bersiteganglah dua sukma yang saling merelakan nyawanya sendiri. Hingga terjadilah pertarungan berebut untuk menjadi yang menyerahkan nyawa pada tawaran transaksi dari Hyang Wenang.

Ditengah perkelahian yang tidak mementingkan kepentingan sendiri itu, munculah Wisanggeni untuk melerai. “Waduh, berhenti-berhenti Uwak Cakra dan Ayahanda Janaka. Buat apa kalian berkelahi?” Wisanggeni berdiri diantara dua sukma yang nampak heran akan kehadirannya. “Wisageni, di dunia sukma aku bukanlah Ayahmu.” Janaka berkata bukan untuk menjawab pertanyaan Wisanggeni, karena itu Narayana yang menjawab. “Aku dan Janaka berebut untuk menjadi yang ditukarkan dengan Kitab Jitabsara.”

“Hahaha, terus kalau sudah dapat Kitab Jitabsara, sudah tahu tentang sekenario perang saudara Baratayuda. Apakah kalian akan berusaha menghentikan perang atau justru untuk menyusun strategi supaya memperoleh kemenangan atas kematian Kurawa?” Narayana dan Janaka terdiam saling pandang. Namun sepertinya Wisageni belum selesai dengan ucapannya. “Kalian enak menjadi tokoh wayang, menari-nari dan berkelahi jadi tontonan. Sementara rakyat kalian, setiap hari harus terus berjuang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kalian tidak merasakan keresahan narik ojek-online yang mesti menjemput pelanggan di sekitar pangkalan. Kalian tidak merasakan kecemasan petani yang mesti bersaing di pasar bebas, bukan soal hasil panennya saja namun lahan sawahnya yang mau dibeli. Kalian enak menikmati tax amnesty, sedangkan rakyat setiap hari mesti taat pajak.”

“Nah, makanya kita mesti menang dengan mengalahkan Kurawa yang selama ini menindas Rakyat Astina.”  Sanggah Janaka, kemudian Narayana menambah.  “Segala cara akan kita tempuh untuk membela rakyat.”

“Kurawa dan Pandawa sama saja kalau sebagai tokoh-tokoh negara bisanya mempertontonkan permainan politik yang kekanak-kanakan di hadapan Rakyat yang terus dikorbankan. Akankah dari peperangan-peperangan yang terjadi tidak menjadi pelajaran bagi kalian? Baiklah, supaya kalian senang aku kasih tahu bagian akhir Jitabsara. Di perang Baratayuda, Pandawa akan menjadi pemenang. Yang terpenting apa yang akan kalian lakukan setelah perang?” Wisanggeni menutup adegan dengan sebuah pertanyaan.

Pada Kenduri Cinta edisi November 2016 dengan tema “Rakaat Panjang”, disajikan penggalan adegan dari lakon Karna Tanding secara spontan. Mengalir begitu saja. Padahal pada awalnya Cak Nun menceritakan ihwal Sinau Bareng di Masjid Wisanggeni di Dusun Mulyasari Trangsan Gatak Sukoharjo. Lantas sambung dengan PakDe Mus yang mengadakan hajat tahunan pagelaran wayang di Pondok Pesantrennya dengan Lakon Karno tanding. Dari rangkaian peristiwa di forum Kenduri Cinta itu menginspirasi Redaksi untuk menyajikan penggalan dari lakon Kresna Gugah pada tulisan kali ini dengan memasukkan tokoh Wisanggeni didalamnya.

Begitulah Maiyahan berlangsung, spontanitas sering terjadi begitu saja tanpa komando. Banyak yang tidak tahu bahwa Kenduri Cinta seperti halnya berbagai forum Maiyah lainnya telah berlangsung rutin, bahkan ada yang sudah berlangsung hingga puluhan tahun. Itu semua tanpa terpublikasi oleh televisi nasional.

Suasana forum yang cair baik itu di forum Maiyahan yang bersifat rutin atau yang by event selalu memiliki daya tarik untuk dihadiri oleh masyarakat. Orang-orang memiliki inisiatif berkumpul dan membuat simpul-simpul atau lingkar-lingkar Maiyah. Pegangan mereka hanyalah Istiqomah. Dengan sifatnya yang cair itu, jadi tidak heran jika ada orang-orang yang mengedepankan Maiyah sebagai identitas. Mereka mengaku sebagai Orang Maiyah tapi tanpa tahu mengenai perjuangan Cak Nun yang sudah dimulai sejak tahun 80’an.

Sebagaimana Wisanggeni dengan segala kemandiriannya, setiap unikum organisme Maiyah memiliki peran masing-masing dalam mengaplikasikan nilai-nilai Maiyah. Wisanggeni tahu bahwa yang menggerakannya adalah Dalang, begitupun organisme Maiyah senantiasa menyaksikan ke-Maha Besaran Allah SWT. Namun dengan itu tidak lantas Wisanggeni dan organisme Maiyah menjadi fatalis. Justru dengan itu setiap unikum organisme Maiyah berusaha melakukan peran sosialnya dengan sebaik mungkin di tengah masyarakat. Luas medan perjuangan setiap unikum disesuaikan dengan luas penerapan nilai-nilai Maiyah dalam peran kehidupannya sehari-hari. Dan sudah semestinya secara personal memiliki kesadaran bahwa setiap unikum organisme Maiyah terlibat dalam rangkaian Perjuangan Panjang yang telah dan akan terus dilakukan oleh Cak Nun, Muhammad Ainun Nadjib.

“Wisanggeni, terus apa yang mesti kami lakukan?” Redalah ketegangan Narayana dan Janaka dihadapan anak-keponakan mereka.

“Turunlah kalian ke marcapada. Jangan tanyakan apa yang mesti kalian lakukan. Lakukan saja setiap peran-peran kalian di kehidupan sebaik mungkin secara mandiri. Sebagai anak, orang tua, suami-istri, teman, karyawan, pengusaha, raja, kesatria, brahmana, ulama atau pun sudra. Bahkan kalian bukan hanya sekedar wayang, namun kalian juga dalang. Dalang yang merdeka, bisa saja menggelar lakon Baratayuda ataupun Babad Alas Wanamarta. Bisa saja menggelar perang Badar atau turut hijrah membangun Madinah. Ini adalah perjuangan panjang menuju keabadian, sendiri-sendiri atupun dalam kebersamaan. ” Wisangeni menutup adegan dan kembali kepada sunyi.