NEGARA DALAM GELEMBUNG

REPORTASE KENDURI CINTA april 2017

JUM’AT KEDUA bulan April 2017 kali ini bertepatan dengan hari libur. Dalam kalender masehi tertera keterangan libur Kenaikan Isa Al Masih. Libur panjang akhir pekan ini sepertinya juga membuat nuansa tersendiri di Pelataran Taman Ismail Marzuki, Jama’ah Maiyah Kenduri Cinta sudah penuh sejak pukul delapan malam. Tidak sedikit bahkan yang membawa serta keluarganya. Beberapa ibu-ibu muda terlihat hadir membawa serta anak-anak mereka dan menempati karpet yang sudah disediakan oleh penggiat Kenduri Cinta.

Di saat Jakarta sedang menyambut Pemilihan Gubernur yang baru, situasi politik ternyat tidak mempengaruhi sedikitpun antusiasme dalam menghadiri Kenduri Cinta. Sepertinya, mereka tidak perlu merasa khawatir tentang situasi dan kondisi Ibu Kota menjelang Pemilihan Kepala Daerah kali ini.

Tepat pukul delapan malam, wirid Ta’ziiz-Tadzliil dan Wirid Wabal dibacakan bersama-sama Jama’ah yang sudah hadir. Setelah pembacaan beberapa wirid dan sholawat itu, Sigit memoderasi Prolog guna membuka forum diskusi. Adi Pudjo, Nashir dan Ali Hasbullah malam ini didapuk untuk menyampaikan beberapa paparan awal mengenai tema yang diangkat kali ini: Negara Dalam Gelembung.

Adi Pudjo mengambil satu kata yang dianggap penting dari judul ini, yaitu kata “Negara”. Di dalam Negara terdapat wilayah, penduduk, pemerintahan dan peraturan-peraturan di dalamya. Tetapi, menariknya, mengapa Negara itu dalam gelembung?

“Misalnya, Negara ini diibaratkan seperti benda, anda ini menganggapnya benda cair atau benda padat?” Adi Pudjo memancing pertanyaan awal kepada jama’ah yang sudah hadir. Untuk merefleksikan gambar yang tertera di dalam Poster, Adi mengajak Jama’ah menginterpretasikan seperti apakah bentuk Negara yang berada di dalam gelembung tersebut, cair atau padat.

Sigit kemudian menambahkan, bahwa di Kenduri Cinta dan beberapa forum Maiyahan lainnya, berkali-kali dibahas perbedaan antara Negara dengan Pemerintah, antara Negara dengan Negeri. Artinya, tema-tema seperti ini sebenarnya sudah berkali-kali dibahas di Maiyah, sehingga seharusnya wawasan Jama’ah juga semakin luas terhadap wacana-wacana muncul di setiap forum Maiyahan.

Kemudian Nashir menjelaskan. Menurutnya, Negara terbentuk atas kesepakatan dari beberapa orang untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya di Indonesia, dalam Pancasila tujuan didirikannya Negara adalah Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, maka sudah seharusnya hari ini kita melihat apakah sejak awal diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia tujuan tersebut sudah tercapai atau belum? Apakah Keadilan Sosial di Indonesia sudah merata dirasakan oleh seluruh rakyat atau belum?

Sedangkan mengenai Gelembung, Nashir menarik benang merah ke dalam situasi politik Indonesia akhir-akhir ini, dimana rakyat Indonesia dikelompokkan dalam gelembung-gelembung politik tertentu yang pada akhirnya justru memecah belah persatuan Indonesia.

Selanjutnya Ali Hasbulloh membuka paparannya dengan menjabarkan beberapa ciri fisik gelembung. Sifat fisik gelembung itu rapuh, mudah pecah, awalnya kecil, kemudian membesar, pada volume tertentu ia kemudian akan pecah. Bahkan, pecah atau meletusnya Gelembung bisa jadi bukan karena faktor luar, tetapi juga bisa disebabkan dari dalam gelembung itu sendiri.

Gelembung, yang dalam bahasa lain disebut bubble, dibuat untuk menggambarkan sesuatu yang bersifat sementara, cepat muncul secara masif tapi lekas pula hilang riaknya. Di Pasar Saham, Market Bubble didesain sedemikian rupa oleh orang-orang tertentu. Pada satu momentum harga saham menjadi sangat tidak rasional. Kemudian orang berbondong-bondong untuk ikut memborong saham tersebut, tetapi dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama, harganya turun drastis karena saham tersebut ternyata tidak didukung oleh mesin penggerak ekonomi yang mumpuni, sampai akhirnya informasi tentang saham tersebut hilang begitu saja. Gambaran tersebut merupakan fakta nyata bagaimana kita melihat betapa rakusnya manusia terhadap uang.

Menyambungkan dengan tema Negara Dalam Gelembung, Ali menafsirkan bahwa Negara kita sekarang dalam kondisi bubble karena kerakusan dan kegilaan yang terus berlanjut untuk memenangkan pihaknya masing-masing, dengan cara apapun. Tapi pada saatnya kerakusan dan kegilaan tersebut bisa jadi hancur dengan sendirinya karena bertentangan dengan kehendak Allah. Seperti yang sudah pernah dibahas pada Kenduri Cinta beberapa bulan lalu, apapun yang keluar dari jalur gravitasi atau keseimbangan Allah (sunnatullah) nanti pada saatnya akan runtuh sendiri.

Jika gelembung diibaratkan sebuah ruang atau wilayah, menurut Ali, jangankan dalam kehidupan sosial antara muslim dengan non muslim, bahkan dalam kehidupan sesama muslim saja kita terpisah dalam polarisasi yang begitu banyak dan bermacam-macam bentuknya, yang pada akhirnya menambah jenis perpecahan-perpecahan baru dan membikin suasana semakin rumit. Yang terbangun adalah suasana saling bertengkar satu sama lain, suasana saling berbenturan satu sama lain, suasana saling bertabrakan satu sama lain.

Dari Ali, Sigit urun menambahkan tentang istilah bubble. Salah satu media sosial yang kita gunakan hari ini, Facebook, memiliki sebuah algoritma yang mampu mengelompokan hal-hal tertentu yang disukai oleh para pengguna Facebook itu sendiri. Algoritma tersebut diknal dengan istilah filter bubble.

Filter bubble ini akan mengelompokkan para pengguna Facebook dengan orang-orang yang memiliki kecenderungan pembicaraan sama.  Filter bubble akan secara otomatis memfilter kecenderungan keberpihakan atau pertentangan (pro atau kontra) terhadap sebuah postingan yang ada di Facebook.

Jika seseorang yang menyukai Sepakbola, kemudian setiap hari ia hanya membicarakan tentang sepakbola, ia akan berkumpul dengan orang-orang yang menyukai sepakbola di Facebook, kemudian mereka membicarakan semua hal tentang sepakbola, dan secara otomatis akan dikelompokan dalam filter bubble tentang Sepakbola. Sehingga semua postingan yang muncul akan berkaitan dengan sepakbola, bahkan iklan yang muncul pun adalah sesuatu yang berhubungan dengan sepakbola. Begitu juga ketika kita mencari sebuah barang untuk kita beli di sebuah situs market place. Secara otomatis, iklan yang muncul di Facebook adalah barang-barang yang pernah kita cari sebelumnya di sebuah situs market place.

Menyambung penjelasan Sigit, Ali Hasbullah menambahkan bahwa dengan teknologi yang dimiliki oleh Facebook, ternyata sebuah Artificial Inttelegence mampu menganalisis perilaku manusia, sehingga manusia hanya dikelompokkan dalam sebuah gelembung yang memiliki kecenderungan sama.

Secara tidak sadar, manusia sendiri dianalisis oleh sebuah mesin, untuk kemudian dikelompokkan oleh mesin tersebut dengan orang-orang yang memiliki cara pandang sama. Salah satu bahaya yang akan dialami adalah, manusia akan cenderung menerima informasi berdasarkan satu sudut pandang saja, sehingga tidak mengherankan jika pada akhirnya banyak para pengguna Facebook yang menyebarkan sebuah tulisan tanpa melakukan penelitian lebih jauh apakah tulisan yang ia sebarkan itu valid atau hoax.

Ali Hasbullah menegaskan, bahwa manusia dengan segala kompleksitas dinamika kehidupannya akan mengalami kemungkinan yang sangat luas, dan sangat disayangkan jika hanya karena sebuah sistem dalam media sosial kemudian menjadi berpandangan sempit. Padahal, manusia dengan segala daya yang ia miliki, bahkan diberi satu nilai lebih oleh Allah berupa label “Khalifah”. Seharusnya, dengan kekhalifahan dalam dirinya, manusia mampu berbuat lebih baik dari apa yang kita lihat saat ini.

Ali menambahkan, bahwa Internet hari ini begitu membebaskan manusia untuk mencari apapun saja. Seperti yang kita ketahui, tidak ada satu lembaga di dunia saat ini yang benar-benar mengendalikan konten di Internet. Sedangkan yang bisa dilakukan hanya sebatas pemblokiran situs-situs di Internet melalui IP Address yang terdaftar, sementara regulasi tentang konten yang boleh beredar di Internet, sama sekali tidak ada yang mengaturnya.

FILTER DALAM GELEMBUNG

FURQON, salah seorang Jama’ah asal Kebumen turut menanggapi tema Kenduri Cinta kali ini, bahwa awalnya kita harus memahami betul tentang Negara. Dahulu, zaman Majapahit adidaya pun pernah terjadi gelembung yang menyebabkan kehancuran peradabannya. Gelembung-gelembung itu menyempitkan, memecah-mecah, dan pada akhirnya mengadu domba sampai titik tertentu mampu menghancurkan Negara Majapahit. Pertanyaannya, siapa pembuat gelembung-gelembung itu?

Furqon berpendapat bahwa penyebab gelembung ialah sistem kapitalis yang berlaku saat itu, bahkan saat ini pun kita telah hancur karena sistem kapitalis tersebut tanpa kita sadari. Dari pengalaman Majapahit dahulu yang hancur karena gelembung, akankah kita mengulangi pengalaman yang sama?

Zulkarnain, dari Surabaya, turut menanggapi filter bubble yang dilontarkan oleh Sigit. Algoritma tersebut mengelompokkan dan mengumpulkan dalam gudang data-data. Sebenarnya, tidak hanya di facebook, di semua platform media sosial lain selalu ada algoritma yang serupa filter bubble, dimana data-data mudah sekali terkumpul saat kita searching atau input data tertentu. Secara otomatis, hasil dari kata kunci yang kita cari sebelumnya akan mengarahkan kepada hal-hal yang sesuai dengan kata kunci yang kita gunakan sebelumnya.

Menyadur salah satu judul dari tulisan Cak Nun, Indonesia Bagian dari Desa Saya, Zulkarnain berpendapat kita harus mengambil titik berat dari tulisan tersebut, bahwa kita harus memposisikan diri lebih besar dari Negara. Karena, apabila Negara kita posisikan sebagai gelembung yang lebih besar dari kita, maka perilaku kita adalah selalu meminta kepada Negara. Sementara, hal yang sering dilakukan oleh Cak Nun hingga hari ini adalah bahwa Cak Nun selalu memberikan sesuatu kepada Negara, meskipun hal tersebut tidak pernah diakui oleh Negara itu sendiri. Ketika kita berposisi seperti itu, maka kita tidak akan memiliki keinginginan untuk menuntut sesuatu kepada Negara.

Agus, seorang jamaah dari Bogor, menambahkan bahwa memang benar secara tidak sadar dalam media sosial kita dipetakan berdasarkan selera, sesuai dengan apa  yang kita sukai. Dan, secara tidak sadar, tumbuh sikap egois dalam diri kita masing-masing, karena kecenderungan dalam media sosial adalah pendapat kitalah yang paling benar daripada pendapat orang lain.

Agus menyadari bahwa Keadilan hari ini dirasakan tidak merata oleh rakyat Indonesia, bahkan di jalan tol sekalipun yang kita membayar setiap kali kita melewatinya, ternyata ada beberapa ruas jalan yang berlobang, misalnya. Agus juga mengajak jama’ah untuk lebih merefleksikan kepada diri masing-masing, ibarat kata dalam Ilmu Fisika, sebuah benda tersusun atas atom-atom yang merupakan partikel-partikel yang sangat kecil. Kita sebagai rakyat, sebelum menuntut keadilan kepada Negara, alangkah lebih baiknya terlebih dahulu berlaku adil kepada diri kita dan kepada orang-orang di sekitar kita.

Sesi Prolog kemudian dipuncaki oleh penampilan Restu dan Wahyu. Mereka membacakan beberapa puisi karya Cak Nun. Kemudian, Farid, putra Mbah Surip juga turut memeriahkan Kenduri Cinta kali ini dengan beberapa nomor lagu karya Ayahnya.

“Maka, yang terpenting dari NKRI hari ini adalah keteguhan sikap tentang kebangsaan yang harus kita pegang. Ruh tentang kebangsaan itulah yang harga mati”
Mathar Kamal Kenduri Cinta (April, 2017)

SELANJUTNYA, Tri Mulyana bergabung untuk memoderasi diskusi sesi pertama. Fahmi Agustian dan Bang Mathar turut menemani Ali Hasbullah yang juga masih duduk didampingi Sigit.

Mengawali paparannya, Fahmi mencuplik beberapa poin yang sebelumnya sudah dipublikasi dalam mukadimah Kenduri Cinta kali ini. Bahwa Negara pada awalnya terbentuk atas dasar kesamaan tujuan. Pada awalnya, orang-orang yang bermaksud mendirikan sebuah Negara dikarenakan ingin mendayagunakan sumber daya alam yang ada, dengan wilayah yang dimiliki, agar terwujud kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Seiring berjalannya waktu, seperti yang disampaikan oleh Furqon di sesi Prolog, Kapitalisme merusak cita-cita luhur para pendiri Negara itu sendiri. Sehingga, hari ini Negara berdiri dan dikelola oleh Pemerintah yang ternyata hanya menguntungkan segelintir pihak saja.

Negara tidak berjalan sebagaimana maksud dan tujuannya dikarenakan sikap setengah hati dari pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Tetapi, menurut Fahmi, ada baiknya kita juga mengoreksi diri sendiri dulu. Saat kita hanya setengah hati dalam mengabdi pada Tuhan, bisa jadi karena sudah terbiasa untuk bersikap setengah hati kepada Tuhan. Dan, pada saatnya, ketika sebagian individu dari masing-masing kita memiliki kesempatan untuk mengelola Negara, yang terjadi pun juga sikap setengah hati dalam melayani rakyat. Karena, Negara kita tidak sungguh-sungguh dalam bertuhan.

Bang Mathar menjelaskan bahwa sulit saat ini membedakan Negara dan Pemerintahan. Bila kita berbicara tentang Negara Indonesia yang kita sebut-sebut NKRI nampak sekali kita lihat banyak pihak yang mengaku dirinya membela NKRI, tetapi justru diantara mereka banyak memiliki conflict of interest. Kita harus membuka diri, jangan hanya NKRI harga mati, padahal NKRI tidak hanya ada saat pasca kemerdekaan saja, juga konsep lingkaran NKRI sudah banyak berubah, seperti masuknya Papua pasca kemerdekaan Indonesia dan keluarnya Timur Timur dari Indonesia pasca Reformasi 1998.

Kita harus membuka fikiran kita, apabila NKRI harga mati, maka Papua 100% tanpa syarat seharusnya menjadi bagian dari Indonesia, tidak ada Gerakan Papua Merdeka, Timor Timur masih bagian dari Indonesia, Sipadan dan Ligitan tidak akan lepas, tidak ada otonomi khusus bagi Aceh dan tidak akan ada pembangunan daratan-daratan baru dengan cara reklamasi, yang mana hanya menguntungkan segelintir orang saja. Berbicara tentang Negara dalam Gelembung ini, Bang Mathar mengajak untuk mencari tahu seberapa besar gelembung di Indonesia, dan berapa lama gelembung ini bertahan, jangan-jangan ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mempercepat proses pemecahan gelembung tersebut.

“Maka, yang terpenting dari NKRI hari ini adalah keteguhan sikap tentang kebangsaan yang harus kita pegang. Ruh tentang kebangsaan itulah yang harga mati”, lanjut Bang Mathar.

Seperti yang diutarakan oleh Fahmi sebelumnya, Bang Mathar sepakat bahwa salah satu penyebab kondisi Negara yang sedemikian rupa adalah karena manusianya yang bertuhan setengah hati. Bang Mathar menjelaskan, menurut penjelasan Syeikh Nursamad Kamba beberapa waktu lalu, bahwa Islam Kaffah adalah Islam minus politik, karena Islam hari ini merupakan penafsiran-penafsiran dari para ulama dari generasi ke generasi sejak wafatnya Rasulullah SAW. Bahwa, penafsiran tentang Islam akan terus berubah dari generasi ini ke selanjutnya. Oleh karena itu, Islam yang hakiki, kaffah, harusnya ialah Islam yang minus politik. Segala perpecahan umat Islam di seluruh dunia hari ini akar utamanya adalah persoalan politik, bahkan sejak Rasulullah SAW wafat, Islam sudah mulai terpecah belah karena persoalan politik.

Menurut Bang Mathar, sepanjang kita berdiskusi sembari meninggalkan nilai-nilai Ketuhanan, maka apa yang kita bicarakan adalah omong kosong belaka. Karena, manusia tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari peran Tuhan.

Ali Hasbullah menambahkan, dinamika kehidupan Umat Islam hari ini diwarnai dengan banyaknya Organisasi Masyarakat yang sangat beragam; NU, Muhammadiyah, LDII, HTI, dan lain sebagainya yang sebenarnya berasal dari mata air yang sama. Semua instrumen yang ada itu sesungguhnya hanyalah alat bagi kita agar dapat menemukan kembali perjanjian yang pernah dibuat sebelumnya dengan Allah di saat kita belum dilahirkan. Tetapi, pada faktanya, hari ini instrumen-instrumen tersebut justru semakin membuat kita terpecah belah, saling merasa paling benar sendiri, tidak berendah hati satu sama lain, merasa paling unggul dari yang lainnya.

Paparan Bang Mathar mendapat respon langsung oleh Gilang, salah seorang jama’ah dari Tanjung Pinang, Riau yang baru pertama kali datang di Kenduri Cinta dan memiliki kesan yang mendalam, meskipun baru pertama kali hadir tapi merasa seperti berada di rumah sendiri. Menurutnya, hari ini di kota asalnya pun banyak gelembung-gelembung, gesekan-gesekan konflik. Gilang takut Tanjung Pinang akan menjadi gelembung yang akan dipecahkan terlebih dahulu oleh pihak tertentu, yang kemudian bisa saja terjadi seperti yang dialami oleh Timor Timur, lepas dari NKRI. Kekhawatiran Gilang terhadap lepasnya beberapa wilayah perbatasan Indonesia dari kesatuan Republik Indonesia bukan tanpa alasan, salah satu pengalaman yang ia rasakan adalah bahwa nelayan di daerahnya beberapa kali justru diusir dari wilayah perariran Indonesia oleh aprat Negara lain.

Bang Mathar menanggapi bahwa gelembung di Tanjung Pinang telah ada sejak lama, dan menurut Bang Mathar kita jangan terlalu khawatir akan hal itu. Selama kita mampu untuk terus membangun cinta antar kelompok kampung, keluarga, suku dan seterusnya di sana, maka kekhawatiran Gilang itu tadi tidak akan terjadi. Tetapi, menurut Bang Mathar, pihak pemerintah juga harus tetap pro aktif dan benar-benar tulus ikhlas menjaga gelembung tersebut agar tidak pecah, menjaga kepentingan rakyat Tanjung Pinang dari rongrongan pihak luar.

Muhtar Fauzi, salah satu jamaah dari Jakarta turut menyampaikan sebuah penegasan, bahwa gelembung awalnya adalah air, bila dalam kondisi gesekan atau panas maka akan timbullah gelembung, kita tahu gesekan tersebut adalah gejolak sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Dan hari ini di Jakarta, masyarakat terpecah belah dalam beberapa gelembung akibat gesekan dan dinamika Pilkada Jakarta, sementara itu tahun depan ada lebih banyak lagi gelaran Pilkada yang dikhawatirkan juga akan menciptakan perpecahan-perpecahan yang baru lagi. Pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana kita menyikapi persoalan bangsa yang sudah sedemikian rupa seperti ini? Tentu saja kita tidak ingin persoalan ini berlarut-larut.

Untuk memberi jeda bagi diskusi sesi pertama, Grup musik San Jose Brothers, salah satu sahabat Beben Jazz di Komunitas Jazz Kemayoran, tampil membawakan beberapa nomor lagu: LOVE, Satu Nusa Satu Bangsa dan Bengawan Solo dengan iringan musik akustik. Di sayap kanan panggung, tampak Cak Nun bersama Ian L. Bets. Sembari menikmati nomor-nomor lagu yang dibawakan oleh San Jose, jama’ah secara perlahan merapatkan posisi duduknya.

SO, I WANT TO CONGRATULATE YOU

SETELAH PENAMPILAN San Jose Brothers, Cak Nun bersama Ian L. Bets naik ke panggung dan menyapa Jama’ah. Selanjutnya, Cak Nun melandasi asal muasal munculnya tema Negara Dalam Gelembung.

Di minggu sebelumnya, Cak Nun sempat memberikan 6 pilihan kepada teman-teman Kenduri Cinta, yang akhirnya tema Negara Dalam Gelembung inilah yang dipilih.

“Lebih tua mana, gula atau manis?”, Cak Nun melemparkan satu pertanyaan awal sebagai pijakan cara berfikir sebelum memasuki sesi diskusi yang lebih mendalam. Lalu, Cak Nun pun menjelaskan bahwa Islam, Kristen, dan yang lainnya itu adalah “gula”, bukan “manis”-nya.

Dari pertanyaan awal ini, Cak Nun menggiring cara berfikir jama’ah melalui ayat; udkhuluu fi-s-silmi kaffah, bahwa manisnya Islam adalah As Silmi. Dan, “Allah tidak memerintahkan udkhuluu fi-l-islaami kaffah. Pasti ada maksudnya, kenapa tidak dipakai kata Islam, melainkan Silmi”, lanjut Cak Nun. Dari ayat ini, Cak Nun memahami bahwa Islam dan Silmi itu berbeda.

“Setiap zaman adalah isinya pertanyaan, dan setiap yang menghuni zaman itu menjawab pertanyaan. Ada pertanyaan besar, ada pertanyaan sedang dan ada pertanyaan kecil. Ada pertanyaan di dalam diri anda sendiri dan tentang diri anda sendiri. Ada pertanyaan tentang alam semesta, Allah, Negara dan Bangsa di dalam diri anda, juga ada pertanyaan tentang anda kepada keluarga masing-masing, kemudian juga ada pertanyaan dalam gelembung yang lebih besar; masyarakat, Bangsa, negara dan lain sebagainya”, lanjut Cak Nun.

Hari ini, menurut Cak Nun, Bangsa Indonesia tidak pernah mampu menjawab pertanyaan zaman yang dihadapi. Sedangkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan zaman yang muncul justru melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang baru, yang seharusnya tidak muncul, yang akhirnya menghabiskan waktu yang ada untuk menjawabnya. Sementara pertanyaan zaman yang seharusnya dijawab juga tidak kunjung ditemukan jawabannya. Seperti pada syair lagu “ee dayohe teko” dalam khasanah Jawa, dimana setiap persoalan diselesaikan dengan solusi yang melahirkan persoalan baru.

Cak Nun mengajak jama’ah untuk memasuki syair “sluku-sluku bathok”. Syair tersebut mengajarkan kita untuk melakukan relaksasi pada saat kita mengalami kelelahan menghadapi persoalan hidup. Kita duduk menyelonjorkan kaki ke depan, kemudian secara perlahan kepala kita tempelkan ke lutut kita agar tulang punggung kembali rileks. Lalu, bathok-e ela-elo, siramo menyang solo, Maksudnya adalah kepala kita berdzikir dan mengucapkan wirid Laa ilaaha illallah, kemudian kita membersihkan diri dan bersegera mendirikan sholat.

Salah satu misteri dalam kehidupan manusia itu adalah kematian. Manusia, sejatinya menjalani kehidupan dalam antrian menuju kematian. Namun, antrian yang kita tidak mengetahui secara pasti kapan kita mendapat panggilan itu. Karena, sungguh akan tercipta chaos sosial yang semakin runyam seandainya setiap manusia mengetahui kapan ia akan mati.

“Alhamdulillah kita tidak tahu. Alhamdulillah kita banyak ketidaktahuan. Alhamdulillah kita tidak sombong dengan pengetahuan, dan bahkan kita berendah hati serta bersyukur karena lebih banyak tidak tahu daripada tahu.”

“Jangan terlalu fanatik kepada copyright-copyright seperti ilham-ilham atau ide-ide yang didapatkan oleh manusia.” Cak Nun menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sekalipun pada saat mendapatkan wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril belum tentu langsung memahami ayat yang diwahyukan. Pada saat tertentu, beliau mungkin memahami ayat tersebut berdasarkan pemahaman subjektifitas beliau, dan mungkin juga keesokan harinya pemahaman tentang ayat tersebut berkembang dan bertambah. Begitu juga dengan munculnya tema Negara Dalam Gelembung ini.

Sebagai seorang sastrawan, Cak Nun seringkali mengalami bahwa apa yang tersirat dalam fikirannya, kemudian dituliskan pada sebuah teks, tidak difahami pada saat menuliskannya. Tidak jarang justru apa yang ditulis itu baru difahami beberapa hari setelahnya.

“Alhamdulillah kita tidak tahu. Alhamdulillah kita banyak ketidaktahuan. Alhamdulillah kita tidak sombong dengan pengetahuan, dan bahkan kita berendah hati serta bersyukur karena lebih banyak tidak tahu daripada tahu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2017)

CAK NUN memaparkan, bahwa saat ini masyarakat kita sangat terbiasa dengan multiple choice. Sistem pendidikan sekolah di Indonesia saat ini begitu mendewakan multiple choice dalam ujian-ujian sekolah. Secara perlahan, sistem multiple choice tersebut justru menghasilkan implikasi yang tidak baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sejatinya hanya sedikit saja persoalan-persoalan dalam kehidupan manusia yang dapat diselesaikan dengan cara multiple choice tersebut.

Jika pertanyaannya adalah 4×4, kemudian disodorkan jawaban a. 16, b. 24, c.32 maka jawabannya sudah pasti adalah 16. Tetapi, jika pertanyaannya dirubah menjadi: Sayur yang paling enak adalah a. Rawon, b. Lodeh, c. Kangkung? Maka, tidak bisa dijawab dengan cara multiple choice. Dan, dalam kehidupan nyata, ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan zaman yang tidak mungkin dijawab dengan multiple choice. Seperti yang terjadi di Jakarta akhir-akhir ini, kalau kita pro terhadap Ahok, maka Anies akan dianggap salah. Kalau kita Pro terhadap Anies, maka Ahok dinyatakan salah. Cara berfikir seperti ini yang terjadi di tengah masyarakat kita saat ini.

“Maiyah tidak melihat bahwa hidup itu dikuasai oleh multiple choice. Hidup itu adalah eseistik”, lanjut Cak Nun. Dalam dunia esai, terdapat sisi materi dan rohani, sementara di titik tengah esai adalah dunia akademis, dunia ilmiah. Esai harus bertanggung jawab secara ilmiah, harus bertanggung jawab secara materi dan juga rohani. Yang terjadi hari ini, kecenderungan orang terlalu materi atau terlalu rohani. Tidak memiliki keseimbangan secara esai, dimana materi dan rohani berada pada titik seimbang yang bertanggung jawab terhadap dunia akademis secara kualitatif.

“Orang Maiyah adalah orang Esai. Anda adalah manusia Esai, anda adalah pendulum, anda yang menjaga keseimbangan itu”, tegas Cak Nun.

Cak Nun pun bercerita bagaimana dunia pendidikan hari ini tidak mengajarkan anak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan kebenaran fakta. Buku pelajaran hanya mengajarkan para siswa untuk menjawab pertanyaan berdasarkan buku, bukan berdasarkan temuan kebenaran alam fikiran anak itu sendiri. Ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian, mereka tidak berfikir tentang jawaban yang benar seperti apa, tetapi menjawab pertanyaan dengan jawaban yang tertera di buku pelajaran mereka seperti apa. Dan, itu yang juga dihadapi oleh Bangsa Indonesia hari ini. Maka di Maiyah kita berlatih betul untuk menjadi generasi yang baru, yang akan membikin peradaban Indonesia berikutnya nanti betul-betul berubah, revolusioner, menjadi lebih matang, lebih dewasa dan lebih cerdas dibanding yang sekarang.

“Disini anda mendapatkan surga yang luar biasa, sehingga saya melemparkan pertanyaan kepada anda; anda masih ingin masuk surga?”, Cak Nun melanjutkan dan tawa jama’ah membahana mendengar pertanyaan Cak Nun tersebut.

“Kenapa anda bangun pagi hari?”, Cak Nun kembali melempar pertanyaan, dan ada beragam jawaban yang muncul seperti karena harus sholat subuh, karena harus bekerja, dan lain sebagainya. Di surga kelak, tidak ada perintah untuk berjuang, karena apa yang kita mau dalam sekejapan mata akan terwujud, begitulah kira-kira Allah menggambarkan surga kepada manusia. Sementara yang membuat manusia hidup adalah karena perjuangan, dalam perjuangan ada kecemasan, ada tantangan, ada dinamika kehidupan, ada hitam putih dan sebagainya. Kita sampai pagi Maiyahan, tahan bertahun-tahun melakuan Maiyahan karena kita memiliki cita-cita yang panjang di dunia ini, sementara di surga kelak apa yang kita inginkan akan terwujud dengan segera. “Jadi bener anda mau masuk surga?”, goda Cak Nun disambut oleh tawa jama’ah.

“Maka Allah menggoda anda ketika menyebut surga. Anda tertarik dengan surga dan tidak tertarik dengan yang menawarkan Surga”, demikian Cak Nun melontarkan logika yang lebih mendalam. Bahwa fokus utama manusia seharusnya adalah Allah. Sebab, secara otomatis, ketika kita terfokus kepada Allah, maka surga juga akan kita dapatkan. Sementara jika fokus hanya kepada surga, mungkin kita akan mendapat surga, tetapi belum tentu kita akan bertemu dengan Allah.

Tentu saja, harapan kita adalah masuk surga atas ridhlo Allah, atas rahmat Allah, atas perkenan Allah. Sehingga kelak kita akan muwajahah dengan Allah di surga. Seringkali, di Maiyahan Cak Nun membangun logika berfikir di luar dari kebiasaan pada umumnya. Dengan logika berfikir yang seperti ini, jama’ah Maiyah pun mendapat kesegaran baru dalam berfikir, dan imbasnya mereka juga memiliki pembaharuan dalam menyikapi persoalan hidup. Karena, berbagai cara pandang yang muncul di Maiyah, secara perlahan akan berproses dalam alam fikiran, yang belum tentu berguna keesokan harinya, tetapi bisa jadi bulan depan, atau tahun depan, atau kapanpun saja cara berfikir tersebut akan gunakan.

Maka, Allah berfirman yaaayyatuha-n-nafsu-l-muthmainnah irji’ii ilaa robbiki rodhliyatan mardhliyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii wadkhulii jannatii. Yang dipanggil oleh Allah menuju surga adalah manusia yang jiwanya sudah tenang, jiwa yang sudah menyublim, yang sudah tentram.

Tentang ridhlo, Cak Nun kembali mengajak Jama’ah untuk mentadabburi ayat tersebut, bahwa sesungguhnya yang paling utama adalah kita ridhlo terhadap apa yang sudah ditentukan oleh Allah. Maka, ketika kita sudah ridhlo, kemudian Allah akan meridhloi kita.

Tetapi, manusia lebih sering mengesampingkan proses, dan mengutamakan hasil. Padahal, Allah menagih manusia untuk perjuangannya, terus bekerja, terus berbuat, terus menanam, terus berjalan. Rodhliyatan mardhliyyah, bukan Mardhliyyatan rodhliyatan. “Bukan anda mencintai Allah, tapi Allah yang mencintaimu terlebih dahulu”, lanjut Cak Nun sembari mentadaburi surat Al Maidah ayat 54.

“Yang didengarkan Allah bukan apa kemauanmu. Tetapi yang didengarkan oleh Allah adalah apa yang paling suci di dalam kalbumu, yang Insya-Allah akan dikabulkan oleh Allah”, lanjut Cak Nun. Ilham, fadhillah, karomah dan sebagainya itu bisa saja diberikan oleh Allah kepada manusia yang tidak terduga.

Ketika Cak Nun menyusun naskah “Lautan Jilbab”, saat itu perempuan di Indonesia yang mengenakan Jilbab bisa dihitung dengan jari. Di kantor-kantor pemerintahan, di kampus, di toko tempat mereka bekerja, mereka dilarang mengenakan Jilbab. Tetapi, Cak Nun mementaskan drama puisi “Lautan Jilbab”. Sebuah naskah yang tidak rasional dengan fakta pada saat itu. Tetapi, hari ini kita benar-benar melihat “Lautan Jilbab” di Indonesia. Tetapi, “Jangan kagum pada saya, saya hanya dapat titipan, saya pun tidak tahu apa-apa”, tukas Cak Nun.

“Tidak ada kebhinnekaan melebihi Kenduri Cinta dan Maiyahan. Tidak ada. Sukunya berbeda-beda, Agamanya berbeda-beda, Golongannya berbeda-beda. Semua software-hardware nya ndak ada yang sama. Tidak ada batasan di sini, tidak ada sentimen di sini, tidak ada stigma di sini, tidak ada tudingan-tudingan di sini”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2017)

“MESKIPUN ENGKAU marah kepada siapapun, sesungguhnya di dalam dirimu masih tersimpan rasa cinta kepada sesama manusia dan makhluk Allah”, lanjut Cak Nun. Apa yang dialami oleh masyarakat di Jakarta saat ini terkait Pilkada Jakarta adalah kekhawatiran akan kekalahan. Saking tidak yakinnya kepada Allah yang bertanggung jawab dengan kehidupan mereka. Saking rendahnya Tauhid mereka. Saking tidak percayanya mereka terhadap optimisme kehidupan yang mereka jalani sendiri.

Di Maiyah, kita belajar tentang keseimbangan. Bahkan, persoalan halal, haram, kafir, muslim dan lain sebagainya difahami secara dialektis di Maiyah. Kelenturan berfikir yang dibiasakan di Maiyah, menciptakan suasana sejuk, sehingga tidak ada perasaan paling benar sendiri. Di Maiyah, kita tidak mudah terseret oleh apapun. Di Maiyah, jama’ah tidak perlu konstan belajar seperti yang dijalani di kampus-kampus. Jama’ah cukup membawa 1-2 kunci ilmu di Maiyah, yang kemudian akan berproses membawa manusianya hingga ke titik kecerdasan dan kematangan dalam hidup mereka.

Di Maiyah kita mendapat ilmu yang membuat kita tidak mudah terbawa arus, karena kita sudah punya sikap dalam mengambil keputusan. Kita tidak akan terbawa arus tapi kita lah yang akan menciptakan arus.

Sebelum mempersilahkan Ian L. Bets untuk berbicara, Cak Nun menyampaikan bahwa Ian bukanlah sosok yang asing di Maiyah. Pria asal Inggris yang sudah 25 tahun tinggal di Indonesia ini pernah bersama-sama KiaiKanjeng dan Cak Nun mengikuti tur di Australia dan Belanda. Buku Jalan Sunyi Emha adalah salah satu karya Ian L. Bets, yang mengupas sisi kehidupan Cak Nun. Setelah mengenal Islam di Indonesia, ia memutuskan untuk memeluk Islam. Saat ini ia tinggal di Thailand karena urusan pekerjaan yang mengharuskannya tinggal di sana.

Ian meminta izin untuk berbicara dengan Bahasa Inggris. Tampaknya, ia ingin merasakan kemerdekaan layaknya Jama’ah Maiyah pada umumnya, yang sangat merdeka berbicara dengan bahasa daerahnya masing-masing.

“I want a give you a message, I want a give you a reminder and I want give you a congratulations”, Ian mengawali. “When you come to Kenduri Cinta, and you see the theme, and you follow the discussion, this month, last month, next month I can tell you that wherever you go in the world, when you go te England, you go to America, you go to Europe, or you go to somewhere in Asia, you are not going to find this event, in any other country talking about this themes”, Ian membuka paparannya dengan pesan yang akan disampaikan bahwa tema-tema yang diangkat di Kenduri Cinta ini tidak akan ditemukan di Negara lain, selain di Indonesia.

“The message is this. Each of you is the witness to something. Each of you join Kenduri Cinta for a different reason and different time. Maybe you pick up of book, one of Cak Nun’s Books, one of KiaiKanjeng cassetes or CD’s. Maybe you read something on caknun.com, or on a magazine, or on a newspaper. One day, one year, one month, you come to Kenduri Cinta, Bangbang Wetan or Mocopat Syafaat, and you join one of those event, each of you done this. Everyone who come here tonight, has made that decission”, lanjut Ian.

Menurutnya, setiap Jama’ah Maiyah adalah saksi, pelaku dengan berbagai jenis alasan yang melatar belakangi keinginannya untuk hadir di forum-forum Maiyahan, bukan hanya di Kenduri Cinta. Tetapi juga di Bangbang Wetan, Mocopat Syafaat dan forum-forum Maiyahan lainnya di Indonesia. Dan, semua memiliki hak untuk hadir tanpa rasa minder sedikitpun. Ian menegaskan bahwa di Maiyah, siapapun boleh hadir di Maiyah atas kemauannya sendiri. Ian mengingatkan bahwa bergabungnya kita di Maiyah yang merupakan sebuah pergerakan dengan latar belakang yang berbeda-beda, tetapi memiliki satu nafas, satu visi dan satu pemikiran dengan Cak Nun.

Menurut Ian, kita melakukan sesuatu hal yang orang lain tidak melakukannya. Di Maiyah, kita memiliki sumber daya yang mencakup sumber daya manusia, sumber daya sastra, sumber daya politik, filosofi, budaya, ekonomi dan yang lainnya. Ian menegaskan bahwa Jama’ah Maiyah adalah kekuatan dari seluruh sumber daya itu. Inilah pesan yang disampaikan oleh Ian L. Bets.

Ian lalu bercerita tentang kesaksian pribadinya terkait dengan Kenduri Cinta. “Ketika saya memulai pemikiran pada visi Maiyah tentang penyusunan buku Jalan Sunyi, pada tahun 1998, waktu itu Indonesia sedang berada pada pertengahan periode Reformasi. Buku tersebut saya mulai pada tahun 2004, dan di Kenduri Cinta setiap bulan selalu membahas tentang Reformasi di Indonesia saat itu. Anda pasti ingat, mungkin beberapa di antara anda ada saat itu. Setiap bulan kita mempunyai tema yang berbeda-beda, kita membicarakan politik reformasi, kita bersama dengan orang-orang yang berbeda visi. Kita mempunya orang-orang hebat disini seperti Syeikh Nursamad Kamba. Kita mempunyai orang-orang berkualitas yang duduk dan berbicara di panggung ini bersama Cak Nun. Setiap waktu ada perbedaan dan keunikan di sini. Jamaah Maiyah pun selalu menyimak apa yang disampaikan”, lanjut Ian. Ia berbicara dengan bahasa Inggris yang tidak terlalu cepat, sehingga kemerdekaannya berbicara itu juga membuahkan manfaat kepada jama’ah.

“The message is this. Each of you is the witness to something. Each of you join Kenduri Cinta for a different reason and different time. Maybe you pick up of book, one of Cak Nun’s Books, one of KiaiKanjeng cassetes or CD’s. Maybe you read something on caknun.com, or on a magazine, or on a newspaper. One day, one year, one month, you come to Kenduri Cinta, Bangbang Wetan or Mocopat Syafaat, and you join one of those event, each of you done this. Everyone who come here tonight, has made that decission”
Ian L. Bets, Kenduri Cinta (April, 2017)

“MBAH NUN is talking about development. Every month I was here to come to Kenduri Cinta for ten years, from 2004 until 2014. And in that Periode I produce the Jalan Sunyi book. We did the tour to Australia and Netherland. And we responded to Film Fitna by Geert Wilders. Do you remember the Film Fitna by Geert Wilders?”

Ian bercerita tentang pengalamannya 10 tahun rutin hadir di Kenduri Cinta sejak 2004-2014, pada medio itu ia terlibat dalam tur Cak Nun dan KiaiKanjeng ke Australia juga Belanda, dimana saat itu tengah gempar sebuah film Fitna karya seorang anggota Parlemen di Belanda, Geert Wilders.

“I’m always amaze of the abiltiy all of you to respond of Kenduri Cinta’s theme”, Ian mengungkapkan kekagumannya terhadap Jama’ah Maiyah yang selalu mampu mencerna semua wacana dari tema-tema yang diangkat di Kenduri Cinta. Atas kekagumannya itu, Ian pun mengucapkan selamat kepada Jama’ah Maiyah yang sudah bergabung serta mengikuti dan menjadi saksi perjalanan maupun perkembangan pergerakan Maiyah di Indonesia hingga hari ini.

Namun, Ian juga memiliki kekhawatiran terhadap Jama’ah Maiyah yang belum mengetahui tentang sejauh mana perkembangan pergerakan Maiyah hingga hari ini. Karena, di Maiyah saat ini, kita memiliki informasi yang sangat kaya dan mudah diakses oleh siapapun saja, bahkan tidak hanya di Indonesia. Maiyah sudah menyebar di beberapa Negara di luar Indonesia, meskipun dalam lingkup yang masih kecil.

“So, the message is that everyone here, all come to this at the different time for different reason, and you all witnessing something which I can tell you is unique and special, and you will not find it anywhere else”, tutur Ian.

Ian juga menceritakan awal mula kedatangannya di Indonesia pada tahun 1992. Saat itu, ia tidak begitu mengenal tentang Islam, hanya sedikit informasi tentang Islam yang ia ketahui. Tetapi, lirik Tombo Ati yang sering ia dengarkan saat itu, diakuinya menghadirkan energi yang positif dalam dirinya. Pengaruh kebudayaan yang ia temui di Indonesia saat itu kemudian memunculkan niat untuk datang ke Kampus Universitas Paramadina dan bertemu dengan Cak Nur (Nurcholis Madjid). Saat itu, ia mengungkapkan keinginannya untuk mempelajari tentang Sufi Islam kepada Cak Nur. Cak Nur kemudian menyarankan kepada Ian untuk mengikuti kelas Pokok-pokok Al Qur’an terlebih dahulu selama 3 bulan, dengan durasi pertemuan 1,5 jam, dua kali dalam seminggu.

Setelah 3 bulan, Cak Nur menyarankan Ian untuk masuk di kelas Filsafat Islam, dengan durasi yang sama. Setelah itu, Cak Nur juga menyarankannya untuk masuk kelas Fiqih Islam selama 3 bulan, dengan durasi 3 jam pada setiap pertemuan.

Tidak terasa, satu tahun kemudian Ian menyadari bahwa dalam waktu tersebut ia sudah mendalami ilmu sufi Islam. Dan, saat itu, Cak Nur menyatakan kepadanya bahwa ia sudah layak untuk masuk Islam.

Tahun 1994, Ian mengucapkan dua kalimat syahadat. Saat itu, Ian tinggal di kawasan Radio Dalam, di sebuah perkampungan kecil dan kumuh namun memiliki kesan yang sangat menyenangkan. Proses panjang masuknya Ian kedalam Islam terjadi pada tahun 1993-1994.

Pada tahun 1996, Ian mulai membaca buku-buku karya Cak Nun, pada tahun 1996 Ian mendengarkan beberapa lagu-lagu KiaiKanjeng dari album Raja Diraja dan Wirid PadhangMbulan. Beberapa tajuk dan opini Cak Nun di surat kabar nasional juga kerap dibaca saat itu.

Ian merasa sangat beruntung, karena saat itu ia adalah orang yang sangat asing dengan Islam, tetapi bisa hidup di antara orang-orang Islam. Ian adalah seorang guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah di tahun pertama ia berada di Indonesia.

Hidup di sekitar orang Islam di Indonesia telah mengubah pemikiran Ian tentang Islam, yang pada akhirnya ia memutuskan untuk mempelajari Islam dan memeluknya.

Pada tahun 1998, saat Indonesia mengalami masa-masa mencekam di bulan Mei, Ian bertemu dengan Cak Nun pertama kali. Pada saat itu Ian mengutarakan keinginannya untuk menyusun buku Jalan Sunyi. Hingga kemudian, pada pertengahan tahun 2000, Kenduri Cinta lahir di Jakarta dan Ian memutuskan untuk hadir di Kenduri Cinta setiap bulan hingga akhirnya selesailah buku Jalan Sunyi.

“My reminder to you, is that the part that we all taking and Mbah Nun is taking as well is in constant development. You may not know. But, I was away for two years. Now I’ve comeback and I see what’s happening. I see what I’m listening too, and what I see and respond too, with each of you and that has been it reminders progress and development that’s going on here. Intellectually, socially, culturally, philosophically, and politically. So I want to congratulate you, all on that”. Ian menyatakan bahwa selama 2 tahun ia berjarak dari Kenduri Cinta dan Maiyah. Kemudian ia kembali datang ke Kenduri Cinta. Ia melihat banyak sekali kemajuan perkembangan yang terjadi di Maiyah, baik secara filosofi, intelektual, sosial, budaya, politik dan yang lainnya.

Ian juga mengungkapkan kekagumannya terhadap diskusi yang berlangsung di Kenduri Cinta. Suasana yang terbangun di Maiyahan seperti Kenduri Cinta tidak mungkin bisa diwujudkan di kampus-kampus manapun tempat lain di dunia. Sebab, keunikan Kenduri Cinta dan Maiyah ini hanya akan ditemukan di Maiyah sendiri, dan Ian belum menemukan metode diskusi yang lebih baik dari yang ia dapatkan di Kenduri Cinta.

Ian merasa khawatir bahwa Jama’ah Maiyah tidak sadar akan adanya perkembangan tersebut. Ia merasakannya sendiri, ada saja hal baru yang ia dapatkan setiap kali datang di Kenduri Cinta, baik itu ilmu, wawasan, wacana dan tentu saja joke ringan dari Cak Nun yang selalu membuat tertawa.

“I Congratulate to you for being a part of this development and for being understand of what I’m telling you tonight”, Ian memungkasi pemaparannya dengan sekali lagi mengucapkan selamat kepada Jama’ah Maiyah karena menjadi bagian dari perkembangan pergerakan Maiyah hingga hari ini. Ian juga mengucapkan terima kasih karena telah diizinkan berbicara dengan Bahasa Inggris.

“Thanks, Mas Ian. Jadi, saya melihat begini, kalau resminya Bahasa Inggris banyak di antara kita yang tidak bisa, ada yang bisa ada yang tidak. Tapi, kalau Mas Ian bicara (di Kenduri Cinta), ada orang bicara, kita tidak hanya memahaminya melalui kata-kata yang diucapkan. Kita memahaminya melalui hatinya yang bergetar, melalui sorot matanya, melalui gestur tubuhnya. Seluruhnya menjadi satu entitas yang memasukkan pemahaman di dalam hati dan fikiran kita”, Cak Nun menyambung paparan Ian dengan menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Ian sangat mudah difahami oleh Jama’ah Kenduri Cinta meskipun Ian berbicara dengan menggunakan Bahasa Inggris. Sesudah itu Cak Nun mempersilahkan Beben Jazz and Friends untuk naik ke panggung dan membawakan beberapa nomor lagu yang sudah mereka siapkan.

“Pohon tumbuh itu syari’at Allah. Angin berhembus ke tempat yang kosong itu syari’at Allah. Hujan turun itu syari’at Allah. Alam semesta berpendar-pendar itu syari’at Allah. Bumi berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari itu syari’at Allah. Begitu Allah mengatakan Kun!, terjadilah syari’at Allah, dan kita menyebutnya syari’at Islam. Jadi Islam itu sudah terjadi begitu Allah menciptakan alam semesta, terjadilah gelembung kecil di dalam gelembung besar cintanya Allah”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2017)

ZAMAN MAIYAH

SETELAH PENAMPILAN Beben Jazz and Friends, Cak Nun mempersilahkan Jama’ah untuk merespon apa yang sudah diapaparkan oleh Ian L Bets sebelumnya.

Saddam Hussein, seorang Jama’ah dari Lampung mengatakan baru pertama kali menghadiri Maiyahan di Kenduri Cinta, setelah sebelumnya mengikuti Maiyahan melalui video-video yang beredar di internet. Saddam menegaskan apa yang sudah disampaikan oleh Ian sebelumnya, bahwa ia juga mengalami yang sama baiknya di Maiyah. Malam itu, ia merasakan sendiri suasana kehangatan dan keakraban yang terbangun di Maiyah, sampai ketika ia harus beranjak sejenak ke toilet, tempat ia duduk pun tidak ditempati oleh orang lain.

Selanjutnya Saddam mempertanyakan tentang validitas informasi ia dapatkan terkait banyaknya orang yang pindah agama ke Islam di beberapa Negara, dimana menurut Saddam hal ini tidak masuk akal sebab Islam hari ini selalu dipojokkan di berbagai Negara.

Fuad, Jama’ah asli Medan yang sedang kuliah di Jakarta pun menyatakan bahwa Maiyah seperti Kenduri Cinta tidak ditemukan di tempat lain karena keunikan dan spesialnya. Sehingga , Fuad berharap bahwa Maiyah akan mewujudkan gerakan yang mampu menyatukan seluruh elemen masyarakat di Indonesia dalam Islam yang lebih ramah dan lebih mencintai perdamaian.

Ian L Bets pun merespon beberapa pertanyaan dan pernyataan yang disampaikan oleh beberapa Jama’ah tersebut. Ian menyatakan, bahwa setelah mengenal Maiyah, ia selalu membawa Maiyah dalam hatinya. Sehingga dimanapun ia berada, meskipun sempat berjarak untuk tidak dapat hadir, tetapi tidak sekalipun ia merasa kesepian. Karena Maiyah ada didalam hatinya.

Ian mengungkapkan bahwa jangan sekalipun Jama’ah Maiyah merasa kesepian meskipun tidak dapat hadir di forum Maiyahan. Karena, meskipun baru satu kali hadir di Maiyah, maka Maiyah akan merasuk dalam hati siapapun yang pernah menghadirinya.

Ian juga merespon harapan agar ikut menyebarkan Maiyah di Luar Negeri. Ia menjelaskan bahwa buku Jalan Sunyi merupakan salah satu upaya menyebarkan Maiyah di Luar Negeri. Dan, saat ini, Ian L Bets sedang berencana menyusun buku baru yang akan menceritakan perkembangan pergerakan Maiyah di Indonesia hingga hari ini. Dalam buku tersebut, rencananya juga akan mengulas karya-karya Cak Nun sejak tahun 70-an. Yang rencananya akan diterbitkan dalam Bahasa Inggris, dimana salah satu tujuannya adalah agar Maiyah bisa disebarluaskan di Luar Negeri. Dan, Ian juga berharap bisa membawa Cak Nun dan KiaiKanjeng kembali untuk melakukan tour di Luar Negeri dalam rangka menyebarluaskan Maiyah.

Merespon Fuad, Ian menjelaskan bahwa setiap orang yang datang ke Maiyah itu memiliki banyak alasan yang berbeda. Tetapi, menurut Ian, pada intinya siapapun yang datang ke Maiyahan sebenarnya karena sedang diperjalankan oleh Allah. Tentang fenomena banyaknya orang yang masuk Islam di beberapa Negara di Eropa, Ian berpandangan bahwa karena kebanyakan dari orang yang baru masuk Islam merasa bahwa Islam adalah jalan yang benar bagi mereka. Mereka juga memiliki pandangan bahwa Islam memberikan mereka nuansa untuk kehidupan yang lengkap, ditambah lagi dengan Al Qur’an yang mengajarkan perilaku bagaimana ber-Islam yang juga mengatur kehidupan di segala sendi; mulai dari kehidupan suami dan istri hingga kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal seperti ini yang menurut Ian menjadi alasan utama mereka memeluk Islam. Sebab, fenomena yang terjadi di Barat hingga hari ini, masih terjadi disintegrasi antar umat beragama, sedangkan Islam menghadirkan suasana yang lebih damai dan menenangkan.

“Saya tidak mengukur besar atau kecil. Saya tidak mengukur akan mampu apa atau tidak mampu apa. Saya hanya mengukur anda ridhlo kepada apa yang Allah suruh untuk anda lakukan”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2017)

PERKEMBANGAN PERGERAKAN Maiyah yang begitu pesat hingga hari ini menurut Ian menunjukkan bahwa sudah saatnya Jama’ah Maiyah menyapa kalangan yang lebih luas di luar Negeri. Mengapa demikian, Ian berpandangan bahwa Maiyah sudah saatnya untuk ikut memberikan jawaban terhadap pertanyaan zaman yang terus bermunculan. Maiyah harus ikut serta dalam menjawab berbagai tantangan zaman hari ini.

“Ketika anda dilahirkan melalui rahim Ibu anda, ketika proses kelahiran anda subjek utamanya itu Ibu anda atau anda sebagai bayi?” Sekali lagi Cak Nun melempar sebuah pertanyaan awal untuk menyambung uraian dari Ian sekaligus memberi landasan berfikir kepada Jama’ah.

Semua Jama’ah sepakat bahwa subjek utamanya adalah Bayi yang akan dilahirkan itu. Sementara, kita juga mengetahui bahwa Bayi belum memiliki kesadaran untuk keluar dari rahim Ibunya di saat ia akan dilahirkan. Tetapi, melalui mekanisme yang sudah diatur sedemikian rupa, kemudian Allah mengatur teknis dan prosedur lahirnya Bayi tersebut dari rahim seorang Ibu.

Kemudian, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ian sebelumnya, Cak Nun juga menegaskan bahwa setiap orang yang hadir di Maiyahan memang benar-benar diperjalankan oleh Allah untuk hadir. Dan, dengan mengambil refleksi dari surat Al Isro’ ayat pertama, Cak Nun menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah tidak menyebut dirinya sebagai Yang Maha Agung, Yang Maha Besar, melainkan Yang Maha Suci. Ini menandakan bahwa memperjalankan manusia adalah inisiatif kesucian, bukan inisiatif kebesaran. Jadi, subjeknya Allah, dan modal atau sifat yang dijadikan titik berat untuk memperjalankan adalah kesucian.

Cak Nun juga kembali mentadabburi Surat An-Naas pada 3 ayat pertama; Qul ‘audzu birobbinnaasi, malikinnasi, ilaahinnaasi. Tiga ayat ini menurut Cak Nun sangat relevan dijadikan metode berjuang di segala lini kehidupan. Prinsip utama yang diajarkan Allah melalui Surat An-Naas adalah robbun, yaitu mengasuh, mengasihi dan menyayangi, memiliki sifat mengalah. “Anda jadi apa saja, mindset utamanya adalah rububiyah”, terang Cak Nun.

Cak Nun lalu merespon kesan dari Saddam Hussein yang baru pertama kali datang di Kenduri Cinta dengan kesan-kesan yang baginya membahagiakan tadi, hal tersebut ditegaskan oleh Cak Nun terjadi di beberapa tempat dimana Maiyahan berlangsung. Ketika salaman, misalnya, secara otomatis ada yang mengambil inisiatif untuk menata barisan agar antrian ketika bersalaman bisa berlangsung tertib. Begitu juga ketika selesai Maiyahan, ketika anak-anak Maiyah berada di sebuah perempatan jalan raya yang terdapat traffict light mereka tidak melanggar lampu merah yang menyala, meskipun saat itu jam 4 pagi. Mereka tidak memiliki keinginan untuk melanggar aturan yang berlaku. Begitu juga ketika Maiyahan yang berlangsung di Bandara Juanda Surabaya bulan lalu, meskipun lokasi parkir yang disediakan oleh panitia penyelenggara jauh dari panggung tempat Maiyahan dilangsungkan, mereka tetap tertib dan menunggu gilirannya masing-masing untuk keluar dari area parkir. Hal ini terjadi karena mereka merasakan ada sesuatu yang membahagiakan malam itu, yaitu Maiyahan.

Setidaknya, ada dua hal yang mendasari mengapa di Maiyahan semua orang berlaku sangat tertib. Yang pertama adalah bahwa setiap orang di Maiyah mengalami keseimbangan. Di Maiyah yang terpenting bukanlah Ilmunya, melainkan tentang keseimbangan, karena di dalam fikiran setiap manusia terdapat banyak sekali gelembung-gelembung. Ada gelembung roso dan hati atau kalbu, ada pula gelembung psikologis. Maka, apabila kita terbiasa seimbang, kita tidak akan mungkin miring ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang.

Seperti juga yang terjadi di Pilkada Jakarta, orang yang memahami arti keseimbangan tidak akan terlalu condong ke Ahok maupun Anies. Memang, setiap orang harus memilih diantara dua pilihan tersebut, tetapi memilih dengan kesadaran bahwa pilihan yang ia ambil adalah pilihan yang terbaik tanpa harus berteriak memilih salah satu pilihan.

Yang kedua adalah karena diperjalankan. “Jadi, kenapa anda di Maiyahan tahan sampai 8 jam, karena anda mengalami keseimbangan hidup”, lanjut Cak Nun. Dengan keseimbangan yang menancap dalam hati masing-masing individu di Maiyah, maka yang terbangun kemudian adalah ridhlo satu sama lain, dan tidak ada sedikitpun niat untuk berlaku curang di Maiyah. Karena, semua yang hadir di Maiyah karena diperjalankan. Karena senang atau benci, karena gembira atau sedih, itu adalah output dari ridhlo atau tidaknya kita dalam menyikapi sesuatu hal yang kita hadapi.

Berbelok sedikit, Cak Nun bercerita tentang perjalanannya dengan KiaiKanjeng pada malam sebelumnya muncul pertanyaan di antara mereka sendiri bahwa Maiyah ini sebenarnya sebuah ghoyah atau wasilah. Bagi Cak Nun, seandainya Maiyah merupakan sebuah wasilah untuk mewujudkan peradaban baru yang lebih baik, harus kita syukuri. Namun, apabila ternyata Maiyah pada akhirnya hanya sebagai ghoyah, hal itu pun tetap harus kita syukuri.

Kegembiraan di Maiyah yang terbangun atas ridhlo satu sama lainnya melahirkan persaudaraan yang tidak diduga-duga. Beberapa hari sebelumnya, Syeikh Nursamad Kamba datang ke Solo, dan di sana ia disambut dengan baik oleh Jama’ah Maiyah yang belum pernah bertemu dengan Syeikh Nursamad Kamba. Begitu juga yang dialami oleh Tri Mulyana, salah seorang penggiat Kenduri Cinta yang beberapa waktu lalu bertugas di Busan, Korea Selatan. Di Busan, Tri Mulyana disambut dengan hangat oleh teman-teman Maiyah Tong Il Qorya. Dua pengalaman ini menunjukkan bahwa Maiyah melahirkan orang-orang yang sudah ridhlo satu sama lain.

“Saya tidak mengukur besar atau kecil. Saya tidak mengukur akan mampu apa atau tidak mampu apa. Saya hanya mengukur anda ridhlo kepada apa yang Allah suruh untuk anda lakukan”, lanjut Cak Nun.

“Di Maiyah kita ini belajar sedikit demi sedikit untuk memasuki gelembung-gelembung ridhlo. Setiap peristiwa adalah sebuah gelembung, dan anda menerapkan ridhlo anda di setiap gelembung itu”, lanjut Cak Nun.

Lebih mendalam lagi Cak Nun kemudian menjelaskan tentang gelembung. Cak Nun melemparkan beberapa pertanyaan; Anda mencintai Maiyah berapa persen? Anda mencintai orang tua anda berapa persen? Anda mencintai diri anda berapa persen? Anda mencintai Allah berapa persen? Anda mencintai Rasulullah berapa persen? Semua sepakat menjawab 100%.

Cak Nun mengibaratkan seperti ketika menikmati sebuah hidangan di atas piring, maka kita tidak akan mampu menikmati hidangan tersebut tanpa kita mencintai makanan tersrbut 100%. Yang harus difahami adalah, bahwa dalam setiap wilayah percintaan kita dengan sesuatu yang kita cintai berada pada gelembung yang berbeda. Bahkan, ada gelembung yang lebih besar, yang melingkupi gelembung kecil yang kita cintai itu.

“Dan tidak ada cinta yang tidak 100%, cuma gelembungnya yang berbeda. Cintamu kepada Bapak dan keluarga itu adalah gelembung kecil yang berada di gelembung yang lebih besar di dalam gelembung cintamu kepada Rasululah. Dan, kecintaanmu kepada Rasulullah itu berada di dalam gelembung yang Maha Besar, yaitu gelembung cintamu kepada Allah”, tegas Cak Nun.

 

 

“Dan tidak ada cinta yang tidak 100%, cuma gelembungnya yang berbeda. Cintamu kepada Bapak dan keluarga itu adalah gelembung kecil yang berada di gelembung yang lebih besar di dalam gelembung cintamu kepada Rasululah. Dan, kecintaanmu kepada Rasulullah itu berada di dalam gelembung yang Maha Besar, yaitu gelembung cintamu kepada Allah”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2017)

CAK NUN kembali mengajak Jama’ah untuk berfikir secara dialektis, seperti sebelumnya dalam Maiyahan di Kudus, Cak Nun melempar sebuah pertanyaan kepada seorang anak; Ibumu berada di dalam dirimu atau di luar dirimu? Jawaban anak tersebut adalah Ibu berada di dalam dirinya. Padahal, seharusnya jawabannya adalah jawaban yang dialektis. Pada saat tertentu Ibu berada di dalam dirinya, pada saat yang lain Ibu berada di luar dirinya. Gambaran sederhana seperti ini menurut Cak Nun merupakan jawaban yang muncul karena hasil dari peradaban multiple choice itu tadi. Yakni, semakin engganna manusia untuk berfikir bahwa jawaban atas sebuah pertanyaan adalah jawaban yang memiliki kemungkinan begitu banyak, bukan hanya dalam pilihan yang terbatas.

Ketika kita berbicara “rakyat kecil”, maka yang kita bicarakan adalah gelembung Negara, bukan gelembung Agama. Hanya saja, kita juga harus menyadari bahwa gelembung Negara tersebut berada dalam gelembung Agama, sehingga tidak akan ada ungkapan bahwa Negara dan Agama harus dipisahkan. NKRI adalah hal yang sangat penting bagi setiap Warga Negara Indonesia, seperti halnya Keluarga merupakan hal yang sangat penting bagi setiap anggota keluarga. Jika sudah menikah dan memiliki anak, maka seharusnya sudah tidak ada lagi pertanyaan tentang alasan kenapa menikah.

Maka ketika Allah menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, dua kalimat syahadat merupakan kalimat persaksian akan ke-Esaan Allah. Dan, Malaikat Jibril pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sekalipun mengucapkan dua kalimat syahadat.

Karena, dzat Muhammad yang disyahadati dalam dua kalimat syahadat tersebut merupakan gelembung besar Nur Muhammad yang sudah diciptakan oleh Allah terlebih dahulu, bukan Muhammad bin Abdullah yang merupakan gelembung kecil yang hidup selama 63 tahun di dunia yang dilahrikan Ibu Aminah dengan Ayah Abdullah.

Rasulullah SAW adalah ciptaan Allah yang paling agung, ciptaan yang paling senior. Dan, harus difahami bahwa Rasul itu berbeda dengan Nabi. Rasul itu ibarat “duta”nya Allah. Nabi Adam pun mengucapkan dua kalimat syahadat, dan itu tidak usah kita pertanyakan kenapa, karena Muhammad yang dimaksud dalam dua kalimat syahadat adalah Muhammad dalam gelembung besar, yang mewadahi alam semesta yang memiliki prinsip Rahmatan Lil ‘Alamiin. Dan, Cak Nun menyarankan untuk memahami hal seperti ini, yang kita perlukan adalah jembatan yang bernama Iman, bukan Ilmu. Karena Iman adalah yang kita gunakan manakala kita tidak mampu menjangkau sesuatu yang tidak dijangkau oleh Ilmu.

Seperti halnya wujud atau dzat Allah, kita tidak akan pernah mampu menjangkaunya dengan Ilmu, maka yang kita gunakan adalah Iman. “Sesuatu yang jembatannya Iman jangan diperdebatkan dengan Ilmu. Kita seringkali memperdebatkan persoalan Iman dengan metode Ilmu. Iman itu diperlukan ketika Ilmu tidak bisa menjangkau. Kenapa kita beriman kepada Allah, karena kita tidak bisa menjelaskan Allah secara Ilmu, maka kita hanya bisa percaya, yaitu Iman. Dan, hanya Allah yang akan menjelaskan diri-Nya kepada manusia”, tegas Cak Nun.

Semakin mendalam, Cak Nun mengajak Jama’ah untuk lebih memahami bahwa pada hakikatnya Islam dimulai bukan ketika ayat Iqra’ diturunkan, melainkan sejak awal penciptaan alam semesta, disitulah Islam bermula. Seperti halnya ombak di laut, yang bisa kita ambil adalah airnya, bukan ombaknya. Aliran sungai, yang bisa kita rasakan adalah airnya.

Cak Nun menambahkan, tajri min tahtiha-l-anhar yang dimaksud dalam Al Qur’an adalah bukan sungai yang mengalir. Di Maiyah kita memahami bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut adalah bahwa kita memiliki kuasa atas aliran sungai, sehingga kelak di surga kita setiap hari memiliki kretaifitas dan inovasi yang terus menerus untuk mengalirkan sungai, karena sungai dibawah kendali kita. Dan, di surga kelak, tidak ada konflik, tidak ada pertikaian, tidak ada pertengkaran, tidak ada benturan. Tidak terjadi apa yang kita rasakan di dunia hari ini, dimana surga bagi seseorang bisa saja berlaku neraka bagi orang lain.

“Jadi yang dimaksud Negara Dalam Gelembung itu adalah, anda jangan terlalu cemas dengan keadaan Negara saat ini. Wong bayi saja bisa keluar dari perut Ibunya, ada subjek utamanya,” lanjut Cak Nun. Apalagi bila kita sudah mengetahui dimana letak Negara dalam kesadaran kita, berada di dalam gelembung yang lebih besar atau kecil, kita sudah mampu memetakannya dalam diri masing-masing.

Dan, juga sudah berulang kali terjadi, bubarnya sebuah Negara atau Pemerintahan tidak memiliki efek yang berkepanjangan bagi manusianya. “Maka jangan terlalu ge-er dengan NKRI harga mati. Emang kamu bisa menjamin ketidakmatian NKRI? Yang penting kita berbuat baik terus menerus, sebaik-baiknya kita cintai, kita ayomi seluruh urusan Indonesia. Bahwa, dia akan mati atau tidak, akan berakhir atau tidak, bukan urusan kita”, tutur Cak Nun.

EMPAN PAPAN

SATU PERJALANAN hidup bersama Mbak Via diceritakan pula oleh Cak Nun, dimana anak pertama dari Mbak Via tidak diperkenankan Allah untuk merasakan hidup di dunia. Anak pertama itu meninggal pada saat masih berada dalam kandungan. Tetapi, yang dilakukan oleh Cak Nun dan Mbak Via saat itu bukan memilih untuk bersedih karena anak itu meninggal dunia di dalam rahim. Melainkan tetap bersyukur, karena Cak Nun menganggap Mbak Via sudah diamanahi oleh Allah untuk mengandung anak tersebut selama 9 bulan.

Jika kita menggunakan metode multiple choice di dunia, maka yang akan kita lakukan pada saat anak meninggal di dalam rahim adalah bersedih. Tetapi, Cak Nun tidak mengambil metode multiple choice itu tadi, karena ia menemukan hal-hal lain yang tetap harus disyukuri dari peristiwa yang dialami bersama Mbak Via itu.

Maka, yang kemudian dilakukan oleh Cak Nun dan Mbak Via setelah pemakaman bayi itu adalah mengadakan tasyakuran. Dan, karena kebudayaan kita adalah multiple choice, karena kalau anak mati kita harus bersedih, anak mati dianggap buruk, dan hanya anak hidup yang dianggap baik. Padahal tidak seperti itu seharusnya kita menyikapi sebuah peristiwa.

Di Maiyah kita mempelajari bahwa hidup tidak multiple choice. Jika terjadi tanah longsor misalnya, bahwa yang meninggal itu tidak selamat, dan yang hidup itu selamat, di Maiyah kita tidak memahaminya dengan metode multiple choice. Meninggal atau masih hidup itu bukan konteks selamat atau tidak selamat. Bisa jadi yang meninggal adalah yang selamat, dan yang hidup adalah yang tidak selamat, itu semua tergantung pada konteksnya masing-masing. Karena hidup itu bergerak dan mengalir, sangat dinamis dan berdialektika terus menerus.

Betapa dinamisnya hidup berjalan, sehingga manusia seharusnya juga mampu berdialektik dengan kehidupan yang ia jalani. Allah menagih; udkhuluu fi-s-silmi kaaffah,  bukan udkhuluu fi-l-islaami kaaffah. Cak Nun menjabarkan bahwa disinilah perbedaan antara As Silmi dengan Al Islam. Islam itu sesuatu yang sangat besar, sebuah sistem nilai yang sangat besar yang belum tentu kita, setiap individu, mampu mendirikannya.

Masing-masing dari kita memiliki lahan perjuangan masing-masing. Ada yang menjadi karyawan hotel, ada yang menjadi supir bus, ada yang menjadi tukang ojek, ada yang berdagang, ada yang berjualan di pasar dan lain sebagainya. Maka, di mana kita tidak mampu merintis Islam dalam skala yang besar, maka yang kita lakukan adalah membangun Islam dalam skala yang kecil, yaitu di dalam keluarga kita, dengan orang-orang sekitar kita. “Kebanyakan manusia dan umat Islam adalah orang-orang yang tidak punya kemungkinan dan budaya sosial untuk membangun Islam dalam skala besar, itulah sebabnya Allah menagih; udkhuluu fi-s-silmi kaaffah”, lanjut Cak Nun.

Dengan metode pemahaman As Silmi ini, maka yang harus dilakukan oleh umat Islam adalah berbuat baik terus menerus, berjuang terus menerus, tidak harus berpatokan pada aturan bahwa sholat harus khusyuk, bahwa harus hafal ayat-ayat Al Qur’an, bahwa harus faham asbabu nuzul sebuah ayat, tetapi tetap melakukan ibadah yang istiqomah. Tentu saja, kita berharap mampu melakukan itu semua. Tetapi, fakta dan realitanya adalah bahwa kita menghadapi dinamika kehidupan yang begitu rupa, yang sangat tidak memungkinkan kita melakukan itu semua.

Mungkin ada 1-2 hal yang bisa kita lakukan, ada juga 1-2 hal lain yang tidak mampu kita laksanakan. Dan, memang seperti inilah berlakunya hidup manusia. Manusia harus mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. “Sesuatu yang tidak boleh di suatu ruang dan waktu belum tentu juga dilarang di suatu ruang dan waktu yang lain.”

Cak Nun menjelaskan bahwa ada hal-hal yang sebenarnya boleh dilakukan asal tepat penempatan ruang dan waktunya. Bahwa, segala perbuatan harus dipertimbangkan secara estetika, seperti halnya perdebatan boleh tidaknya memainkan alat musik, masih ada beberapa golongan yang memperdebatkan halal atau haramnya musik. Seharusnya, yang menjadi pertimbangan adalah persoalan estetika. Konser musik jika dilakukan di dekat Masjid dan dilaksanakan pada saat Sholat Jum’at, tentu akan menjadi kontroversial. Tetapi, jika konser musik digelar pada ruang dan waktu yang tepat, tentu menjadi hal yang biasa saja.

Empan papan, titik koordinat. Sesuatu yang bagus itu akan menjadi baik jika diletakkan pada tempatnya. Hukum itu ada konteksnya. Anda di Maiyah terbiasa untuk melihat konteks secara dinamis, mengerti relativitas, mengerti ketidakmenentuan, sehingga tidak multiple choice terus”, lengkap Cak Nun.

Ada hal-hal yang memang sifatnya harus multiple choice. Pasangan suami dan istri misalnya, itu harus multiple choice, tidak boleh esai. Tentu akan berbahaya dan menimbulkan chaos sosial yang baru jika suami atau istri bersifat esai.

Usai memberi uraian-uraiannya, Cak Nun kembali mempersilahkan jama’ah untuk merespon apa yang sudah dipaparkan.

Seorang jama’ah asal Aceh yang kebetulan sedang berada di Jakarta karena urusan pekerjaan mengungkapkan harapan agar acara seperti Kenduri Cinta dapat juga dilaksanakan di Aceh. Jama’ah ini mengaku sudah mengenal Cak Nun sejak tahun 80-an, melalui tulisan-tulisan Cak Nun di Majalah Panji Masyarakat. Ia merasa kagum dengan jalannya diskusi di Kenduri Cinta. Menurutnya, Kenduri Cinta menghadirkan pemahaman tentang Islam, tentang Indonesia, tentang Negara, tentang Hukum, tentang Politik dan lain sebagainya sesuai dengan porsinya dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jama’ah asal Aceh ini adalah seorang Politisi PDIP di daerahnya, dan ia mengaku sering menyampaikan kepada para petinggi PDIP agar bersikap baik kepada Ummat Islam jika ingin PDIP langgeng di Indonesia. “Saya ngomong dengan orang PDIP, kalau mau langgeng coba berbaik-baik hatilah dengan Ummat Islam sebagai mayoritas, bukan membuat Umat Islam dituduh dengan tuduhan-tuduhan palsu”, tegasnya.

Ada pula jama’ah yang bertanya tentang apa yang menjadi latar belakang Ian L. Bets begitu tertarik dengan Islam saat datang ke Indonesia. Ada juga, yang meminta analisis Ian L. Bets mengenai pergerakan Maiyahan di beberapa daerah saat ini yang begitu banyak melibatkan anak-anak kecil turut hadir di Maiyahan, padahal secara teori, wawasan-wawasan yang ada di Maiyah sangat tidak mungkin difahami oleh anak-anak kecil. Dan, juga ada sedikit format yang cukup bagus di Maiyahan akhir-akhir ini ketika Cak Nun dan KiaiKanjeng diundang di suatu daerah, dimana personel KiaiKanjeng saat ini terlibat aktif dalam Maiyahan, artinya bukan hanya memainkan alat musik dan bernyanyi saja, melainkan juga aktif dalam sesi diskusi dengan jama’ah.

Ian L. Bets mengakui, bahwa sya’ir Tombo Ati yang berbahasa Jawa, kemudian ia cari translasinya, dan secara perlahan ia memahami betapa kalimat-kalimat dalam Tombo Ati itu seperti memiliki kekuatan magis tersendiri yang sangat membekas dalam hatinya. Lalu, secara perlahan, karena saat itu mulai hidup di Indonesia, ia belajar Islam dari orang-orang di sekitarnya hingga ia juga faham bagaimana cara hidup orang Islam baik di Indonesia maupun di luar negeri yang memiliki kultur budaya berbeda. Proses panjang inilah yang kemudian memperkuat alasan Ian untuk meneguhkan hati memeluk Islam.

“Hidup itu bukan rumah dengan banyak kamar. Hidup adalah rumah besar yang longgar dengan banyak pintu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2017)

PERSENTUHAN Ian dengan Cak Nun pun turut mewarnai perkenalannya dengan Islam. Buku-buku Cak Nun yang ia baca, naskah drama karya Cak Nun seperti Lautan Jilbab, semakin menguatkan Ian untuk memeluk Islam saat itu. Ian merasa berada di tempat yang tepat bersama orang-orang yang tepat untuk memutuskan sebuah keputusan yang krusial.

Mengenai Gerakan Maiyah, Ian menitikberatkan bahwa Maiyah adalah forum sosial yang berporos pada fondasi kekeluargaan. Meskipun dalam forum Maiyah dibicarakan tentang politik, budaya, agama, sosial atau tema-tema yang lain. Prioritas utama dalam Maiyah adalah kekeluargaan yang merangkul siapa saja yang datang ke Maiyah, bahkan sekalipun ia datang dengan keluarganya, anaknya, secara otomatis akan terangkul dalam sebuah sistem yang sudah berlangsung di Maiyah.

Ian kembali menegaskan bahwa di luar Negeri, ia tidak menemukan forum diskusi seperti Maiyahan ini. Sebuah forum yang menerima semua orang yang datang tanpa melihat latar belakang kehidupannya, tanpa melihat usia, gender, suku, ras, agama, bahkan asal negara tidak menjadi pertimbangan utama di Maiyah. Terlebih lagi, forum seperti Kenduri Cinta ini juga berlangsung di beberapa kota di Indonesia, secara rutin setiap bulannya. Ian merasa bahwa ada sebuah mukjizat di Maiyah yang menjadi magnet utama, dan menurutnya itu adalah suasana kekeluargaan yang terbangun dengan baik di Maiyah.

Cak Nun turut merespon uraian dari Ian L Bets. Yakni, berawal dari jenis tulisan yang sering ditulis oleh Cak Nun adalah esai. Cak Nun menjelaskan bahwa titik berat esai adalah tulisan yang harus mampu mencakup hal-hal yang bersifat materi dan rohani. Meskipun berupa esai, tulisan-tulisan Cak Nun juga mampu dipertanggung jawabkan dari sisi akademis maupun spiritual.

Cak Nun menyadari bahwa salah satu kesulitan mengapa tulisan-tulisannya sulit untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris yaitu karena berbentuk esai. Menurutnya, Esai merupakan jenis tulisan yang sangat berbeda dari tajuk, opini, feature, cerpen, puisi karena muatannya yang sangat seimbang. Dan, di Maiyah, yang menjadi titik beratnya adalah kesimbangan, sehingga kita juga bisa melihat bagaimana Cak Nun hingga hari ini mampu merangkul semua pihak, Cak Nun mengayomi semua pihak di Indonesia. Bahkan, Cak Nun sendiri pun diposisikan dalam berbagai jenis sebagai budayawan, kiai, ulama, sastrawan, orang tua dan sebagainya.

Kita semua juga mengetahui, Cak Nun tidak memiliki satu pun gelar akademis, tetapi ia sering kali diundang untuk berbicara dalam forum diskusi yang sifatnya akademis. Akan tetapi, kata Cak Nun, titik berat Keseimbangan di Maiyah seperti ini juga bisa dianggap sebagai kelemahan di Maiyah.

“Sama dengan praktek kita berkumpul di Maiyahan seperti ini. Disebut sebagai diskusi akademis bisa, karena memang akademis dan ilmiah. Tetapi, disebut sebagai acara show atau hiburan saja juga tidak bisa, walaupun sangat menghibur dan kultural. Disebut sebagai acara spiritual, ya ndak cocok wong potongane koyok ngene arek-arek. Tapi kan sangat spiritual. Sangat mendalam di hati. Sangat bertauhid. Terserah agama anda apa, kepercayaan anda di proses sebelah mana, tetapi Tuhan begitu hadir  dan menjadi primer dalam kehidupan dan diskusi kita, sehingga dia (Maiyah) betul-betul berada di tengah dan bertanggung jawab ke wilayah materi sekaligus ke wilayah spiritual. Tetapi, sangat sukar untuk mensosialisasikan Maiyah ini ke Luar Negeri, karena yang kita terima dari Barat adalah kotak-kotak, division of labour,  fakultas-fakultas”, ungkap Cak Nun. Dan, itulah juga yang dialami oleh KiaiKanjeng dalam bermusik.

Musik KiaiKanjeng mengalami hal yang sama dengan Maiyah hari ini. Semua jenis musik mampu diaransemen oleh KiaiKanjeng, sehingga dunia modern mengalami kesulitan mengklasifikasikan dimana letak KiaiKanjeng dalam belantika musik hari ini. “Jadi, kita tidak memiliki pretensi untuk diterima oleh manusia di dunia karena terlalu komprehensif”, lanjut Cak Nun.

Cak Nun menjelaskan bahwa Maiyah ini beliau serahkan kepada Allah untuk kelak dilahirkan dalam bentuk seperti apa, kemudian diperjalankan untuk apa. Cak Nun sendiri memiliki keteguhan sikap bahwa dirinya tidak ingin terjebak dalam mimpi-mimpi dan cita-cita, sehingga tidak memiliki pretensi apa-apa di dunia ini. “Saya Silmi saja”, tegas Cak Nun sembari menjelaskan bahwa Silmi itu berarti melakukan kebaikan semampu-mampu kita sebagai manusia. Dan, Silmi itu adalah peristiwa yang otentik dalam beragama. Kita mampu berdialog kepada Allah dengan metode apapun yang kita punya. Kita mengalami dalam Islam tentang bagaimana diperbolehkan mendirikan Sholat tidak harus di Masjid atau Musholla, di kamar kita boleh, di ruang depan rumah boleh, di ruang belakang rumah juga boleh.

Cak Nun juga menjelaskan bahwa Maiyah seperti disembunyikan oleh Allah agar tidak tercemar oleh kotaran-kotoran dunia yang ada saat ini. Ia memiliki banyak sahabat pengusaha yang kaya raya, yang sangat dermawan ketika menyumbang pesantren, kampus, atau pagelaran Budaya di beberapa kota. Tetapi, meskipun mereka mengetahui perjuangan Cak Nun dan Maiyah seperti apa, sedikitpun mereka tidak pernah menyumbang hartanya untuk pergerakan Maiyah. “Jadi kita itu betul-betul disembunyikan oleh Allah swt. Jadi nanti lahir apa tidak bayinya itu, terserah Allah”, Cak Nun menegaskan.

Cak Nun sendiri mengakui bahwa pada setiap Maiyahan berlangsung bersama KiaiKanjeng, ia tidak pernah menyusun semacam rundown dalam pelaksanaannya. Yang selalu terjadi adalah menyepakati nomor-nomor awal yang akan dimainkan oleh KiaiKanjeng. Tetapi tidak pernah merencanakan akan berbicara apa dan lagu-lagu apa yang akan dimainkan. Juga, ketika melihat banyak anak-anak kecil hadir dalam sebuah Maiyahan, maka Cak Nun melakukan metode switch, bahwa yang primer adalah anak-anak kecil itu. Dan pada faktanya, setiap Cak Nun menjadikan anak-anak kecil sebagai subjek utama dalam sebuah Maiyahan, justru menghasilkan output pendidikan yang luar biasa kepada orang tua mereka sekaligus.

Dari peristiwa seperti itu Cak Nun sangat meyakini bahwa Maiyah memiliki banyak sekali konsep-konsep kehidupan yang mampu diaplikasikan, dan berharap kelak kesemuanya dibukukan dalam banyak bentuk buku sesuai dengan konteksnya, baik itu Agama, Pendidikan, Politik, Sosial, Budaya dan lain sebagainya.

Yang terjadi dalam kehidupan manusia hari ini adalah Hidup adalah sebuah rumah dengan banyak kamar, bukan sebuah rumah dengan banyak pintu. Ketika seseorang memasuki rumah kehidupan, ia akan memilih sebuah kamar dan masuk kedalamnya. Sementara, Maiyah memiliki konsep bahwa hidup adalah sebuah rumah besar dengan banyak pintu.

Kita boleh memasuki kehidupan dari pintu yang mana saja, pintu politik, pintu budaya, pintu kesehatan, pintu pendidikan dan lain sebagainya. Tetapi, yang terjadi hari ini, “hidup adalah rumah besar dengan banyak kamar”, akibatnya manusia menjadi merasa sangat eksklusif, dikelompokkan berdasarkan pilihan-pilihan mereka. Ini sangat berbeda dengan budaya Maiyah yang bersifat gelembung, Orang Maiyah sangat memahami budaya dan cara berfikir siklikal, mengalir dan sangat egaliter.

“Saya punya kedekatan dengan teman-teman politisi, termasuk PDIP. Dan, jangan difikir dekat itu sama dengan setuju. Saya masuk kandang kambing tidak kemudian saya jadi kambing. Saya hanya ingin kambing itu juga merasakan bahwa saya adalah sahabatnya sebagai makhluk Allah. Orang sekarang sangat tidak percaya diri. Sehingga, kalau ketemu orang hitam, takut menjadi orang hitam. Kalau ketemu sapi, orang takut menjadi sapi. Kita itu sekarang sangat eksklusif dan sangat hidup di dalam kotak terus menerus”, lanjut Cak Nun.

“Revolusi Maiyah itu tidak berlangsung secara hardware. Hardare-nya terserah Allah, lahir atau tidak dari rahim Ibu. Tetapi pokoknya ada konsep yang berbeda, ada filosofi yang berbeda, ada tafsir yang berbeda. Bahkan, tafsir Al Qur’an yang saya lakukan pun merupakan sebuah buku besar, dan rata-rata revolusioner”, lanjut Cak Nun.

Titik berat Maiyah adalah Al Qur’an, dimana di Al Qur’an kita boleh masuki dari surat yang manapun, dari ayat berapapun, untuk mempelajari kehidupan. Di Al Qur’an, jika ingin belajar tentang Sapi bukan kemudian membaca Surat Al Baqoroh. Yang berlaku di Al Qur’an tidak demikian, tidak seperti yang terjadi di kampus-kampus hari ini. Jika kita ingin belajar tentang sapi, maka kita masuk ke Fakultas Peternakan, jika kita ingin belajar padi kita masuk ke Fakultas Pertanian.

“Kalau anda baca Al Qur’an, apakah anda bisa mempelajari sapi di dalam surat Al Baqoroh? Apakah An Nisa adalah pelajaran tentang Wanita? Apakah An Nahl pelajaran tentang Lebah? Apakah An Naml adalah pelajaran tentang Semut? Al Qur’an itu tidak akademis. Al Qur’an itu mengalir, berputar dalam gelembung kecil dan besar yang terus menerus berdialektika satu sama lain, itulah Al Qur’an” tegas Cak Nun.

Untuk memuncaki Kenduri Cinta malam ini, Cak Nun juga mengelaborasi sedikit tentang sistem Pendidikan yang seharusnya berlaku. Di Indonesia, mulai dari SD sampai SMA, saat ini sistem pendidikan yang berlaku adalah madrasah, padahal dalam proses pembelajaran ada beberapa tahapan yang harus dilalui yaituu Madrasah, Mahfadzoh, Ma’lamah, Ma’rofah kemudian Ma’dabah.

Madrasah adalah lembaga yang melakukan dirosah, memahami dan menghafal dasar-dasar pendidikan, mengenal huruf, aksara dan lain sebagainya. Kemudian masuk ke tingkat mahfadzoh, untuk mengetahui mana yang baik mana yang buruk.

Tingkatan berikutnya adalah ma’lamah, bukan hanya mengatahui dan menghafal, tetapi mengerti dan memahami hal-hal yang lebih lanjut. Lalu, ma’rofah itu memperdalam sesuatu, maka di tingkat aliyah kita mengenal jurusan IPA, IPS dan Bahasa. Dan, puncaknya adalah ma’dabah, dimana setiap siswa melakukan ta’dib, yaitu menciptakan peradaban-peradaban yang baru dari segala hal yang telah ia pelajari.

April 2017, Kenduri Cinta kali pun dipuncaki dengan ‘Indal Qiyam, bersholawat bersama-sama dan berdo’a bersama-sama.