Cincin Nusantara

HARI-HARI INI, dunia dibuat seolah-olah menjadi ajang pertarungan tarik menarik tiga kutub besar ideologi dalam mewujudkan eksistensi identitasnya; Kapitalisme, Sosialisme dan Islam. Perjuangan identitas ini diusung oleh para aktor gerakkan di setiap zaman. Perang opini menjadi medan persaingan eksistensi di tengah masyarakat. Hingga pada kondisi tertentu perang opini dapat berubah menjadi benturan fisik, bahkan pertumpahan darah dan nyawa. Benturan Ideologi yang semestinya berada pada wilayah intelektual pemikiran justru ampuh digunakan untuk menebar konflik dan perpecahan kemanusiaan yang mengerikan.

Tidak terkecuali dengan pergerakan zaman di Indonesia. Sejak perang perjuangan kemerdekaan, persiapan kemerdekaan, proklamasi kemerdekaan negara, bergulirnya berbagai orde-orde hingga orde reformasi saat ini, pertarungan eksistensi identitas ideologis masih terus terjadi. Kesaktian  Pancasila sebagai asas tunggal sekaligus ideologi negara mengalami fluktuasi eksistensinya dalam roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Usaha-usaha untuk menafsirkan Pancasila atau bahkan menggantinya acap kali terjadi, termasuk dengan blunder-nya ide NASAKOM yang pernah mewarnai perjalanan sejarah Indonesia.

Dalam beberapa kesempatan Cak Nun sering mengumpamakan Pancasila sebagai cincin kawin bangsa-bangsa Nusantara dalam mendirikan rumah tangga bernama Indonesia. Dengan perumpamaan semacam itu, jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila menjadi sangat penting. Namun jika terjadi perselingkuhan dan pengkhianatan, cincin kawin itu menjadi tidak bermakna meskipun masih tetap melingkar di jari Indonesia.  Keharmonisan rumah tangga negara bukanlah sekedar keharusan melingkarnya cincin, tetapi bagaimana pemerintah dan rakyat dapat mewujudkan cita-cita bersama bagi para penerus bangsa dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

NKRI bukanlah bangunan rumah tangga yang permanen langsung jadi  begitu diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Tercatat bangunan NKRI pernah mengalami bongkar pasang, Pondasi UUD 1945-pun telah mengalami sekian amandemen. Sedangkan teritorial geografis-nya telah mengalami perluasan dari awal mula diproklamasikan. Justru pada era reformasi, NKRI pernah mengalami disintegrasi seperti yang terjadi dengan Timor Leste. Ibukota Negara yang berada di Pulau Jawa pernah berpindah dari Jakarta ke Jogjakarta dan kembali ke Jakarta. Bahkan, Ibukota Negara pernah dipindahkan ke Pulau Sumatera walau untuk waktu yang tidak lama.

Dinamika politik pemerintahan-negara sejak proklamasi-kemerdekaan hingga saat ini tercatat sangat dinamis mengalami perubahan. Hanya di era rezim Soeharto peta perpolitikkan nasional terkesan beku dengan kaku-nya asas tunggal Pancasila diterapkan secara represif oleh Pemerintahan Orde Baru. Faktor militer yang menjadi pilar utama Orde Baru sangat kentara menjadikan sebuah rezim pemerintahan yang anti-kritik dan diktator. Gerakan politik yang dianggap menyimpang dari Pancasila langsung diberangus oleh pemerintahan.Tokoh-tokoh politik yang berusaha menggerakkan zaman untuk perbaikan justru dipenjara dengan berbagai tuduhan termasuk makar. Anehnya, melankolia rindu terhadap era orde baru justru mulai muncul pada saat Demokrasi-Liberal yang diterapkan paska Reformasi tidak sesuai harapan dan dianggap sudah kebablasan.

Cak Nun dibesarkan di Menturo, sebuah desa kecil di Jombang yang masyarakatnya heterogen. Ketika konflik ideologi terjadi di tahun 60-an, beliau merupakan salah satu saksi mata peristiwa chaosnya kemanusiaan akibat pertarungan identitas ideologis. Sahabat-sahabat orang tua-nya yang semula akrab lantas menjadi saling bersitegang penuh kecurigaan karena perbedaan pemahaman. Orang-orang yang berlabel komunis kocar-kacir diburu, kondisi yang semula aman tenteram berubah menjadi mencekam karena pergerakan zaman.

Ideologi komunis diberangus, para penggeraknya dibungkam, namun persoalan tidak berhenti begitu saja, yang terjadi kemudian ummat Islam yang menerima tekanan. Ruang gerak Ummat Islam dipersempit. Muslimah dilarang menggunakan Jilbab di kampus dan kantor pemerintahan. Tokoh-tokoh politik yang ekstrim berseberangan dengan pemerintah dijegal, bahkan tidak sedikit yang dijebloskan ke penjara. Penggusuran semena-mena dengan mengatasnamakan pembangunan mengerucutkan gerakan reformasi untuk segera dilakukan, namun rezim tiran tak bergeming untuk melakukan perbaikan.

“Lautan Jilbab” dan “Pak Kanjeng” sebagai bentuk protes terhadap pemerintah dipentaskan. Perjuangan melalui kebudayaan ini mungkin tidak banyak diketauhi oleh generasi millenial hari ini. Selain itu juga masih banyak bentuk protes Cak Nun melalui berbagai media guna melakukan kritik terhadap rezim Orde Baru yang nyaris tidak mungkin ditumbangkan. Hingga ‘kesalahan’ Soeharto untuk mulai berubah menjadi ‘hijau’ lambat laun semakin kentara. Angin segar bagi Gerakan Islam mulai dihembuskan oleh pemerintah. Satu diantaranya dengan dibentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia. Disisi lain gerakan-gerakan yang menginginkan tumbangnya Soeharto semakin kuat. Namun Soeharto tetap menjadi Harimau di usia senja.

Tahun 1998, Cak Nun yang kala itu berada pada pusat pusaran reformasi mengusulkan Ikrar Khusnul Khatimah guna memudahkan berjalnnya prosesi reformasi. Usulan itu diterima oleh Soeharto dengan beberapa catatan. Namun, ditengah proses ini sedang berjalan, manuver-manuver politik untuk memotong dan menelikung prosesreformasi tersebut terjadi. Nafsu haus kekuasaan mulai tercium dari sejak awal reformasi bergulir. Usulan itu menguap ditelan hiruk-pikuk pesta bancakan reformasi. Paska bergulirnya reformasi, Cak Nun memilih untuk keluar dari pusaran gerakan. Kembali ke pelosok desa dan pojok-pojok kota guna menemani masyarakat rakyat Indonesia yang dikhianati oleh aktor-aktor politik yang hanya berburu kekuasaan. Pada masa-masa itu hingga saat ini, benih Maiyah yang disebarkan Cak Nun menyebar dan mulai tumbuh di berbagai penjuru Nusantara hingga manca Negara.

Saat ini, Demokrasi Liberal yang sedang berlaku di negeri ini mulai menunjukan geliat keasliannya. Peta perpolitikkan dunia internasional jelas sangat mempengaruhi peta perpolitikan nasional. Kapitalisme global yang berada di peta perpolitikan nasional mulai menampakkan eksistensi di balik topengnya. Sepertinya rumusan trend segitiga eksistensi ideologi masih berlaku. Ketika Kapitalisme semakin eksis, Islam (Agama) dan Sosialis (Komunis) akan dibenturkan. Ketika Islam memuncak, Kapitalisme (Nasionalisme) dan Komunisme akan berbenturan, begitu juga ketika eksistensi sosialisme yang memuncak.

Jika berpegang teguh kepada Islam, ada pihak yang menggap radikal. Jika sangat setia kepada Pancasila, ada pihak yang menganggap tidak Islami. Kondisi sosial masyarakat semakin rancu, polarisasi yang terjadi melahirkan perpecahan yang rumit untuk direkatkan kembali. Masyarakat sumbu pendek begitu mudah terpancing reaksinya untk menyikapi hal-hal remeh yang seharusnya tidak perlu disikapi berlebihan. Sementara elemen rakyat dibenturkan, para pemegang saham kapitalis tertawa terbahak-bahak menyaksikan tontonan yang mereka karang sendiri skenarionya.

Maiyah tidak sedang mengusik dinamika perebutan eksistensi identitas ideologi-ideologi tersebut. Maiyah setia untuk merawat Pancasila sebagai cincin perkawinan bangsa-bangsa Nusantara yang saat-saat ini sedang dicampakkan atau bahkan mungkin digadaikan.