Usai Pagelaran

KEWAJIBAN SEORANG Pemanah atas anak panah yang dilepaskan sebatas membidik sasaran dan meregangkan busurnya supaya ujung panah dapat tepat menancap pada target sasaran. Begitu anak panah terlepas dari busurnya, meleset atau tepat sasaran bukan lagi berada pada kemampuan si Pemanah untuk menentukan. Mungkin objek bergerak yang jadi sasaran akan berusaha mengelak atau menangkis anak panah yang mengarah padanya. Mungkin juga hembusan angin dapat membelokkan sepersekian derajat sehingga anak panah meleset. Sebaliknya bisa jadi karena kesalahan gerak objek sasaran, yang semestinya panah meleset justru malah jadi kena sasaran. Angin-pun mungkin mengarahkan gerak panah sehingga yang tadinya meleset menjadi tepat sasaran.

Pada cerita Perang Baratayuda, dikisahkan ketika melakukan perang tanding melawan Arjuna, roda kereta tempur Karna terperosok. Pada momentum Karna turun dari kereta untuk berusaha mengangkat roda yang terperosok, Panah Pasopati dilepaskan oleh Arjuna sehingga mengenai kepala Karna hingga Karna gugur di Padang Kurusetra. Sebenarnya Arjuna pada saat itu ragu untuk melepaskan anak panahnya. Namun dorongan emosi karena Karna berperan dalam kematian Abimanyu(anaknya) dan juga karena bujuk rayu Kresna untuk memanfaatkan momentum itu, Arjuna-pun pada akhirnya melepaskan anak panah Pasopati yang sudah membidik ke arah kepala Karna.

Jika menggunakan penilaian sportifitas pertandingan yang saat ini digunakan secara umum, kemenangan Arjuna atas Karna bisa dibilang tidak sportif. Karna yang berada pada posisi tidak siap untuk mengelak dari bidikkan panah Arjuna mendapatkan serangan yang sangat mematikan. Tetapi begitulah dalam situasi perang, seperti pepatah yang mengatakan; Norma aturan mungkin ditanggalkan dalam dua situasi yaitu percintaan dan peperangan. Mungkin jika berada pada kodisi yang fair, Arjuna dapat dikalahkan oleh Karna. Tetetapi begitulah kisah perang saudara Baratayuda dalam cerita Mahabarata, bagaimanapun juga Karna harus gugur ditangan Arjuna.

Dengan lakon Karna Tanding yang utama dalam pagelaran wayang kulit bukan soal kalah-menangnya Arjuna atau Karna, tetapi bagaimana dapat menyuguhkan tontonan yang menghibur untuk disaksikan dan dapat menjadi tuntunan yang baik sebagai bahan pelajaran. Suksesi pagelaran wayang bukan hanya faktor kemampuan Dalang dalam membawakan lakon wayang, tetapi  juga melibatkan proses panjang dibalik layar yang melibatkan banyak pihak. Ada Pesinden dan Nayaga penabuh gamelan yang mengiringi Dalang selama gelaran wayang. Uborampe persiapan pagelaran juga dapat mempengaruhi suksesi sebuah pagelaran wayang, seperti penataan panggung, setting gamelan, sound sistem, pencahayaan, dan penataan wayang-wayang yang disusun sebagai pajangan maupun yang disusun tumpuk di kanan-kiri Dalang disesuaikan dengan alur cerita yang hendak dimainkan. Belum termasuk bertahun proses latihan setiap personil yang terlibat pagelaran sehingga dapat terjalin harmonis dan terjadi keselarasan meskipun terjadi banyak improvisasi selama jalannya pagelaran wayang.

Ada yang mengartikan wayang sebagai bayangan dari realitas kehidupan sosial. Pada zaman awal adanya pagelaran wayang kulit, yang disaksikan oleh penonton adalah bayangan-bayangan hitam-putih yang nampak di kelir berupa refleksi cahaya dari lampu blencong yang menampakkan bayangan wayang-wayang yang dimainkan Dalang. Realitas warna-warni cat pada wayang tidak begitu penting karena yang ditunjukan adalah bayangannya.

Namun seiring inovasi dan kreasi budaya, penataan panggung pagelaran mengalami banyak perubahan. Bahkan interaksi dialog antara penonton dan Dalang dalam pagelaran wayang dapat terjadi. Meskipun demikian, ada pakem-pakem yang tidak dapat dilanggar dalam pagelaran wayang, ada adab sopan-santun yang saling dihormati antara Dalang, para Nayaga dan masyarakat yan datang sebagai penonton. Sensitifitas Dalang dalam menentukan dan membawakan lakon wayang dalam hal ini menjadi penting untuk menghidupkan cerita lakon yang dimainkan.

Jakarta baru saja menggelar pemilihan Kepala Daerah, yang mengharuskan digelar hingga putaran kedua. Dinamika politik yang mewarnai Jakarta satu tahun terakhir, seakan membawa aroma dendam Pilpres 2014 silam. Isu sentimen suku, ras dan agama semakin memuncak pada bulan-bulan terakhir. Bahkan isu makar untuk menggulingkan Pemerintahan Negara yang sah, ditengarai ikut menunggangi Pesta Demokrasi Ibukota kali ini. Tidak mengherankan, Jakarta sebagai pusat kekuasaan Negara Republik Indonesia saat ini adalah lokasi yang sangat strategis dan menjadi titik fokus utama para politisi nasional. Hampir seluruh partai pengusung mengirimkan kader-kader terbaiknya untuk mengawal Pilkada Jakarta pekan lalu.

Namun, seperti biasanya rakyat hanya menjadi komoditas politik temporer. Suara rakyat hanya dimanfaatkan oleh segelintir pihak yang sebenarnya tidak sepenuhnya memiliki niatan untuk memperbaiki kehidupan warga Ibukota. Sang Petahana akhirnya mengakui kekalahan dalam gelaran kontestasi Pilkada Jakarta kali ini. Ia kini tinggal memiliki waktu sekitar 6 bulan untuk menutup masa jabatannya dengan torehan sejarah yang terserah ia akan menuliskannya dengan tinta emas atau bukan. 6 bulan tersisa untuk menggenapi janji-janji kampanye yang ia usung 5 tahun silam. Pengakuan atas kekalahan dirinya merupakan sikap petarung yang sejati, ia seharusnya tak perlu risau memikirkan bagaimana Jakarta 5 tahun kedepan, karena mayoritas warga Jakarta telah menentukan pilihannya kepada sang penantang Petahana.

Sebaliknya, bagi Sang Pemenang bukanlah hal yang mudah memimpin Jakarta yabg notabene merupakan pusat dari kekuasaan Indonesia. Sudah barang tentu, ia akan menghadapi preman-preman yang lebib bengis lagi dari sebelumnya. Sederet program janji kampanye yang telah ia gembar-gemborkan harus ia wujudkan dalam waktu 5 tahun kedepan. Jika tidak, maka warga Jakarta akan mengenangnya sebagai Pemimpin pengumbar janji palsu. Dalam dunia politik, tak ada musuh abadi pun tak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan individu yang diperjuangkan melalui kepentingan kelompok.

Sebagian rakyat hanya memahami bahwa pertarungan Pilkada Jakarta kali ini adalah pertarungan antara dua suku, dua ras atau dua agama. Padahal sejatinya tidak sesederhana itu. Ibarat drama pewayangan, di masing-masing kubu sebenarnya sama-sama ada Pandhawa-nya, juga ada Kurawa-nya. Masing-masing pihak pun ada Punakawan-nya. Kesemua peran tersebut akan dipergunakan pada saat diperlukan, bukan pada saat yang tepat.

Yang tersisa dari pertarungan Pilkada Jakarta adalah gemuruh suara para pendukung masing-masing kandidat. Pihak yang kalah, sudah memantapkan diri menjadi oposisi yang selalu siap sedia kala untuk memberi nilai kepuasan atau kekecewaan atas kinerja pemimpin terpilih. Dan tugas dari para pendukung kandidat terpilih adalah mengawal jalannya pemerintahan Jakarta 5 tahun kedepan, agar impian dan janji-janji manis kampanye segera terwujud.

Usai pagelaran wayang, mungkin muncul kepuasan atau sebaliknya kekecewaan dari penonton maupun orang-orang yang terlibat dalam pagelaran wayang. Bahkan Dalang boleh jadi sedikit kecewa karena merasa pesan-pesan yang hendak disampaikan ke penonton terasa belum dapat tersampaikan sepenuhnya. Dari apa yang terjadi usai pagelaran, baru diketahui kurang-kurangnya persiapan ataupun latihan. Yang pasti anak panah sudah dilepaskan setelah setepat mungkin membidik dan busur direntangkan. Dan kedepan masih panjang perjalanan untuk terlibat dalam peperangan dan pagelaran-pagelaran wayang kehidupan.