KECELA KECÈLÈ

REPORTASE KENDURI CINTA maret 2017

SUDAH LEBIH tujuh puluh tahun kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Dengan rentang waktu itu Bangsa Indonesia belum berhasil mencapai titi toto tentrem karta raharja. Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi hingga Orde yang berlangsung hari ini nyatanya tidak kunjung mewujudkan harapan tersebut. Ataukah, ada yang salah dari bangsa Indonesia ini.

Kita mengalami kecèlè berkali-kali sejak “salah kedaden” di tahun 1945. Hampir di segala bidang, kita mengalami kecèlè, bahkan berulang. Sudah tidak terhitung kita menyaksikan orang-orang yang dilahirkan oleh media massa memerankan sosok tertentu, nyatanya mereka memang bukan sosok yang pantas untuk memerankan peran tersebut.

Ada yang muncul sebagai politisi, nyatanya mereka juga tidak layak disebut politisi. Setelah menjadi Wakil Rakyat, pada akhirnya mereka pun tidak mewakili aspirasi rakyat di parlemen. Sementara itu, mereka yang di-create­ menjadi ulama, juga tidak benar-benar memiliki ruh dakwah yang tulus. Begitu juga di bidang pendidikan dan kesehatan, suatu wilayah yang seharusnya berperan sosial tapi justru menjadi markas kapitalisme. Selain itu, produsen informasi hoax begitu tumbuh subur. Dan, pada puncaknya, muncul pertanyaan besar; apakah memang begini yang dinamakan negara? Maka, beranjak dari keresahan-keresahan tersebut Kenduri Cinta pun mengangkat tema Kecela Kecèlè.

Wirid Ta’ziiz dan Tadzlil serta Wirid Tahlukah menjadi ritual pembuka yang memang sudah menjadi salah satu ikhtiar yang diinstruksikan oleh Cak Nun dalam setiap forum Maiyahan. Setelah wirid, Sigit kemudian memoderasi sesi prolog, yang seperti biasanya dijadikan alas duduk bagi berlangsungnya diskusi. Bersama Sigit, duduk pula Adi Pudjo, Luqman Baehaqi, Hendra Kusuma dan ali Arrida yang merupakan para penggiat Kenduri Cinta.

PEMILIHAN YANG DIPILIHKAN

LUQMAN MEMILIKI pandangan terhadap tema Kenduri Cinta kali ini, bahwa memang sepertinya manusia tidak mungkin bisa lepas dari yang namanya kecèlè. Ketika masih bayi, manusia merasa bahwa hidupnya hanya bermain, ternyata ketika usianya bertambah, ia disuruh untuk sekolah. Secara lahiriah, kecèlè semacam ini adalah jenis kecèlè yang normal atau wajar-wajar saja dialami.

Akan tetapi, ada juga jenis kecèlè yang sifatnya begitu merusak. Dalam kehidupan berpolitik misalnya, kita seringkali kecèlè dengan penampilan orang-orang yang begitu percaya diri mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, misalnya. Berbusa-busa mereka mencitrakan dirinya sebagai orang yang anti korupsi, tetapi pada akhirnya mereka menjadi salah satu tersangka kasus korupsi. Sementara itu, sistem Demokrasi yang dianut oleh Indonesia pun tidak benar-benar mengaplikasikan kebebasan dalam menentukan pilihan, karena pilihan yang ada merupakan hasil pilihan yang sebelumnya sudah ditentukan oleh partai politik, yang menjadi aktor utama terjadinya kecèlè-kecèlè yang berulang-ulang.

Seolah-olah kita merasa paling demokratis, tetapi semua itu hanya skenario, dan ada kelompok yang mengambil peran dan memang berniat menciptakan kecèlè untuk tujuan tertentu. Bisa jadi, kita sudah berhati-hati, tapi ternyata tetap kecèlè, ini dikarenakan memang ada pihak-pihak  yang memanfaatkan kita. Seperti halnya ungkapan skeptis yang akhir-akhir ini muncul di masyarakat tentang memilih pemimpin; pilih mana, pemimpin yang jujur tetapi kafir atau pemimpin muslim tetapi tidak jujur? Tentunya, itu bukanlah pilihan, tetapi kita dipaksa untuk berfikir dan menerima bahwa itu adalah sebuah pilihan.

Adi Pudjo mencoba menjelaskan bahwa asal kata kecèlè  ini sendiri berasal dari bahasa Jawa. Ketika kita kecèlè, kita menganggap bahwa sebuah kejadian yang tidak terduga sebelumnya.

Seringkali kita memperjuangkan sesuatu, dan kita berharap hasilnya membahagiakan bagi kita, tapi ternyata justru mengecewakan. Adi Pudjo menggarisbawahi bahwa kita disini, di Kenduri Cinta ini, bersama-sama belajar saling memperkaya diri dengan wawasan dan khasanah keilmuan yang ada supaya kita kecèlè lagi. Menukil Surat Al Mujadilah ayat 11, Adi Pudjo menjelaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu.

Menyambung paparan dari Adi Pudjo, Hendra Kusuma menjelaskan bahwa istilah kecèlè sebenarnya juga sudah menjadi bahasa serapan dalam bahasa Indonesia. Hendra yang berasal dari Lombok pun menceritakan bahwa istilah kecèlè juga digunakan di daerah asalnya untuk menjelaskan maksud yang sama seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

“Di Maiyah, yang dicari adalah gravitasinya. Kita sering kecele, kita sering berfikiran negatif terhadap seseorang, tapi ternyata apa yang kita pikirkan itu salah, kita sangat mudah kecèlè dengan penampilan seseorang yang kita temui sehari-hari. Dalam kehidupan bernegara, di Indonesia HAM yang dahulu begitu diagung-agungkan pun pada kenyataannya tidak benar-benar menolong rakyat.”
Hendra Kusuma Kenduri Cinta (Maret, 2017)

DI MAIYAH, yang dicari adalah gravitasinya. Kita sering kecele, kita sering berfikiran negatif terhadap seseorang, tapi ternyata apa yang kita pikirkan itu salah, kita sangat mudah kecèlè dengan penampilan seseorang yang kita temui sehari-hari. Dalam kehidupan bernegara, di Indonesia HAM yang dahulu begitu diagung-agungkan pun pada kenyataannya tidak benar-benar menolong rakyat. Dan, semua itu adalah contoh nyata bahwa kita kecèlè dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Mungkin sebenarnya undang-undang atau peraturan-peraturan tersebut memiliki tujuannya baik, tapi beberapa oknum memanfaatkan dan kita akhirnya kecèlè juga. HAM yang pada awalnya dianggap sebagai salah satu elemen dalam kebebasan berpendapat, pada akhirnya tidak ubahnya sebagai alat infiltrasi faham-faham ideologi dari luar untuk masuk ke Indonesia.

Usai Hendra, Sigit kemudian memancing sebuah pertanyaan kepada Luqman mengenai fenomena post-truth yang begitu marak akhir-akhir ini. Luqman lalu menjelaskan bahwa saat ini banyak sekali orang lebih mempercayai apa yang dibicarakan oleh orang banyak di media sosial, yang seringkali tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di kehidupan nyata. Netizen lebih dipercaya validitas informasinya dibandingkan dengan masyarakat yang merasakan langsung terjadinya sebuah peristiwa. Itulah yang terjadi akhir-akhir ini.

Ada satu perbedaan yang ditegaskan oleh Luqman, bahwa pada zaman dahulu, kita merasakan kecèlè karena perasaan kita sendiri, karena dugaan kita sendiri. Sementara hari ini, yang membuat kita kecèlè adalah orang lain yang ada di sekitar kita. Sehingga, rasa kecewa dan penyesalannya lebih terasa daripada menyesal akibat dugaan kita sendiri.

Sesi prolog berlangsung cukup hangat. Langit di Jakarta tampak mendung. Angin berhembus cukup kencang sehingga suhu udara lumayan dingin. Menutup prolog, Agung, salah satu Jama’ah Kenduri Cinta, membacakan sebuah syair puisi karyanya sendiri, kemudian dilanjutkan penampilan musik puisi oleh Bimo dan Parman.

KECÈLÈ LAGI DAN LAGI

SIGIT SELANJUTNYA memoderasi disuksi sesi pertama yang menghadirkan Husein Ja’far seorang Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidyatullah, Jurusan tafsir Al Qur’an. Hadir juga Bang Mathar, penggiat Kenduri Cinta asli Betawi bersama Ali Hasbullah dan Fahmi Agustian yang merupakan Penggiat Kenduri Cinta.

Husein Ja’far, meskipun memiliki latar belakang pendidikan Tafsir Al Qur’an, tetapi memiliki ketertarikan terhadap ilmu sejarah. Ia memiliki pandangan bahwa Indonesia tumbuh tidak berangkat dari jejak-jejak sejarahnya sendiri, sehingga sering mengalami kecèlè- kecèlè yang terus berulang. “Siapa saja yang tidak belajar sejarah maka ia akan mengulang sejarah”, lanjut Husein.

Untuk memantik diskusi lebih jauh, Husein pun urun pikir terhadap tema kali ini, bahwa Indonesia ini dibangun dari kearifan-kearifan lokal yang ada, dari nilai-nilai yang ada dari setiap simpul-simpul daerah yang ada di Indonesia, namun sayangnya hari ini kita seperti lupa terhadap apa yang kita miliki, dan yang paling naif adalah kita menjadi bangsa pengimpor ideologi dari bangsa lain yang nilai-nilai dasarnya tidak ada dalam rahim bangsa kita sendiri, yang nilai-nilai dasarnya tidak kita temui dalam kearifan-kearifan lokal di Indonesia. Kecèlè ini sebenarnya bisa kita hindari jika kita fokus terhadap tujuan. Kecèlè akan kita alami manakala kita lebih fokus kepada cara daripada tujuan. Tujuan yang baik, jika kita fokus terhadap tujuan itu, apapun cara yang ditempuh, asalkan juga baik, maka akan bermuara pada tujuan yang sudah kita tentukan sebelumnya. Sementara manusia hari ini lebih banyak terfokus terhadap cara, yang mana sebenarnya cara hanyalah sebuah alat, bukan tujuan.

“Syukur itu adalah fokus kepada yang dimiliki dan tidak melihat kepada apa yang tidak dimiliki”, lanjut Husein meneruskan pemaparannya. Terkadang manusia kehilangan sesuatu dan kemudian meratapinya, padahal ketika sesuatu itu hilang dari dirinya maka sudah bukan menjadi miliknya, sementara itu dalam dirinya masih ada sesuatu lain yang masih menjadi miliknya, dan manusia sering abai kepada apa yang masih ia miliki karena masih terfokus pada sesuatu yang baru saja hilang dari dirinya. Menurut Husein, hal tersebut juga merupakan salah satu fenomena kecèlè yang seringkali dialami oleh manusia. Hal inilah yang seringkali membuat kita lalai dan pada akhirnya menyebabkan kita tidak mampu bersyukur atas anugerah yang sudah diberikan oleh Allah kepada kita.

Husein mengamati kunjungan Raja Salman yang menurutnya juga merupakan salah satu bentuk kecèlè lain yang sedang dialami oleh Indonesia. Menurut Husein, jika kita melihat kunjungan Raja Salman dengan kacamata hubungan diplomatik dua buah Negara, maka yang kita dapati adalah kecèlè saja. Dilihat dari durasi pertemuan, kemudian durasi pidato yang disampaikan hingga MOU yang ditandatangani dan jumlah investasi yang sebelumnya digembar-gemborkan, ternyata tidak sesuai ekspektasi, sebenarnya hanya merupakan bentuk kecèlè yang sama. Maka Husein menawarkan agar melihat kunjungan Raja Salman ini dengan kacamata travelling saja. Hal ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa Raja Salman berada di Bali lebih lama jika dibandingkan dengan kunjungan kenegaraan yang ia lakukan di Jakarta dan Bogor, misalnya.

Hal lain yang menjadi penguat argumen Husein adalah bahwa Arab Saudi memiliki sejarah konflik dengan Yaman yang sudah berlangsung sejak lama. Husein memiliki analisis bahwa Raja Salman datang ke Indonesia salah satu tujuannya adalah karena ia ingin belajar bagaimana mengawinkan budaya lokal dengan agama. Seperti yang kita ketahui, bahwa Islam masuk ke bumi Nusantara ini bukan dengan cara peperangan, inilah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara di timur tengah. Analisis Husein cukup berdasar. Di negara-negara timur tengah, krisis Islam yang terjadi tidak berdampak besar di Indonesia. Kenyataan inilah yang sebenarnya diimpi-impikan oleh Raja Salman agar terwujud pula di timur tengah.

Menurut Husein, Arab Spring tidak mungkin terjadi di Indonesia karena di antara Demokrasi dengan Islam sudah selesai sejak lama pembahasannya, begitu juga antara Nasionalisme dengan Islam, kedua hal ini sudah selesai dibicarakan sejak lama di Indonesia sehingga tidak mudah dibuat gaduh di Indonesia. kalaupun ada kegaduhan-kegaduhan yang menyeret isu agama, maka dampaknya tidak akan seperti di Timur Tengah dengan Arab Spring-nya.

Dalam khasanah sejarah kehidupan Rasulullah SAW, Husein juga menggarisbawahi mengapa yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia, baik di sekolah dasar maupun menengah, yang disampaikan adalah sejarah tentang peperangan-peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Padahal, dalam 40 tahun usia Muhammad bin Abdullah saja, kehidupan beliau mencerminkan pendidikan akhlak yang luar biasa, sehingga beliau mendapat gelar Al Amin. Kemudian, pada 23 tahun kehidupan sebagai Nabi dan Rasul, jika diprosentasekan maka durasi jumlah hari yang beliau lalui untuk berperang tidak lebih dari 80 hari. Artinya, menurut Husein bahwa 99% kehidupan Rasulullah SAW adalah kehidupan beliau yang mengajarkan tentang akhlak. Dan, hal ini juga sejalan dengan jumlah ayat-ayat Al Qur’an yang mayoritas menjelaskan tentang akhlak, dimana hanya sedikit saja jumlah dari keseluruhan Al Qur’an yang menjelaskan tentang hukum. Lagi-lagi kita kecèlè hanya terfokus pada 1% kehidupan Rasulullah SAW dan abai terhadap 99% sisanya.

“Sebab orang mudah kecèlè adalah karena gampang kagum terhadap sesuatu dan tidak terbiasa berfikir mencari Hikmah dari apa yang terjadi disekitar kita. Dalam menilai sesuatu tidak mendalam, hanya berfikir secara artifisial semata, hanya terbiasa melihat secara wadag saja”
Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (Maret, 2017)

BANG MATHAR memiliki pandangan lain mengenai tema kali ini. Sebagai orang asli Betawi, Bang Mathar menegaskan bahwa karakter orang Betawi itu tidak pernah kecèlè. Menurut Bang Mathar, hal ini dikarenakan masyarakat asli Betawi tidak pernah mengharapkan sesuatu dan ikhlas terdap dirinya, serta bersyukur atas apa yang dimilikinya. Mereka lebih mengutamakan rukun islam. Ada satu falsafah hidup masyarakat Betawi yang selalu diingat oleh Bang Mathar, jangan sekali-sekali melawan orang tua walaupun mereka tidak pernah sekolah.

Kenapa orang tua menyiapkan generasi dengan menguatkan agama khususnya bagi perempuan. Karena, mereka ingin memperkuat pendalaman agama untuk anak anaknya. Bang Mathar bercerita bahwa dahulu, masyarakat Betawi memiliki ciri khas yaitu mencari menantu yang lulusan pondok pesantren untuk dinikahkan dengan anak perempuannya. Alasan ini sangat berdasar karena masyarakat Betawi memiliki pandangan bahwa Agama adalah fondasi yang kuat dan mutlak harus dimiliki oleh sebuah keluarga.

Kemudian Fahmi Agustian mengulas kembali mukadimah Kenduri Cinta kali ini. Fahmi menjelaskan bahwa dalam sejarah berdirinya Indonesia, Nusantara terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dulunya sudah mencapai masa kejayaannya, sampai kemudian penjajah datang dan merusak tatanan kehidupan yang sebelumnya sudah teratur. Singkat cerita, kerajaan-kerajaan ini kemudian mengalah untuk mau disatukan dalam satu kesatuan, dan diproklamirkanlah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Hanya saja, sistem demokrasi yang diadopsi dari luar terkesan dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia. Padahal sejatinya bangsa ini adalah bangsa kerajaan.

Faktanya, seperti yang disampaikan oleh Cak Nun berkali-kali dalam Maiyahan, bahwa bangsa Indonesia ini adalah bangsa ngawulo, yaitu Bangsa yang memiliki kecenderungan untuk ngawulo kepada raja. Dan, kita lihat saat ini, dengan sistem demokrasi yang ada, meskipun tiap lima tahun diadakan Pemilihan Umum, yang terjadi adalah gerombolan orang-orang yang ngawulo kepada pemimpin yang terpilih. Banyak orang sekolah dan mengejar gelar setinggi mungkin lalu berharap agar ia diangkat menjadi salah satu pembantu dalam sebuah pemerintahan. Aktivis-aktivis yang dulunya berteriak lantang menentang pemerintahan yang kapitalis, pada akhirnya akan tutup mulut manakala ia dilibatkan menjadi salah satu staff di sebuah lembaga negara atau pemerintah, ada juga yang diangkat menjadi komisaris perusahaan milik BUMN. Seketika itu lidahnya pun kelu, tak lagi berteriak tentang kebenaran.

Bangsa Indonesia ini, meskipun kecèlè berkali-kali, tetapi tidak ada kapoknya sama sekali. Meskipun sudah menyadari bahwa demokrasi tidak mampu mengantarkan Indonesia menuju negara yang adil dan makmur, tetapi setiap lima tahun masyarakat Indonesia tetap saja menikmati euforia Pemilihan Umum, bahkan dengan percaya diri hampir setiap lima tahun itu masyarakat memilih orang-orang yang sudah dipilihkan oleh partai. Meskipun berkali-kali kita melihat banyak tokoh politik yang tersandung kasus korupsi, toh lima tahun kemudian saat Pemilihan Umum kembali dilaksanakan, kita tetap ikhlas mengikuti dan merayakan pesta demokrasi tersebut.

Seperti yang juga disampaikan oleh Cak Nun, bahwa bangsa yang selalu salah dalam memilih pemimpin maka modal yang tersisa hanyalah kasih sayang dari Tuhan. Fahmi kembali mengelaborasi penjelasan Cak Nun dan Syeikh Nursamad Kamba tentang peristiwa terpojoknya Abu Bakar bersama Rasulullah SAW di Gua Tsur. Pada saat itu turun wahyu Allah; Laa takhof walaa tahzan innallaha ma’anaa. Abu Bakar begitu takut saat itu, tetapi ketakutannya bukan karena ia terpojok dan akan diserang oleh kaum kafir quraisy. Abu Bakar menyadari bahwa yang ia dampingi adalah kekasih Allah, Abu Bakar sangat takut jika kekasih Allah yaitu Rasulullah SAW ini tersakiti oleh serangan kaum kafir quraisy. Karena, jika kekasih Allah yang disakiti, maka seluruh ummat manusia akan menanggung akibatnya. Spirit Abu Bakar inilah yang akhir-akhir ini juga digelorakan oleh Cak Nun di Maiyahan, bahwa yang kita lakukan di Maiyahan ini adalah dalam rangka memantaskan diri menjadi kekasih Allah. Jika kita sudah diterima menjadi kekasih Allah, maka tanpa kita minta, Allah sendiri yang akan turun tangan dan terlibat langsung melakukan perubahan terhadap zaman yang makin amburadul.

“Maka yang kita lakukan di Maiyah ini adalah menanam kebaikan. Menanam dan terus menanam”, lanjut Fahmi. Karena, pada zaman ini kita tidak mampu mengidentifikasi dengan baik mana yang haq dan mana yang bathil. Pencitraan yang dilakukan oleh manusia era ini begitu halus dan rapi. Jika dahulu di zaman Rasulullah SAW, siapa Abu Jahal, siapa Abu Lahab itu jelas dan nyata, tanpa kemunafikan, tanpa pencitraan bahwa mereka adalah pihak yang benar-benar menentang kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tetapi, pada era ini, jangankan kita mengidentifikasi siapa yang menjadi Abu Jahal, bahkan mengidentifikasi siapa yang benar-benar menjadi Abu Bakar saja kita tidak sanggup.

“Kalau kita mendaftari satu persatu kebobrokan-kebobrokan yang ada di Indonesia, seolah-olah kita tidak melihat adanya masa depan yang cerah bagi Indonesia”, Ali Hasbullah menyambung paparan Fahmi. Ali menyoroti target-target pemerintah setiap lima tahun yang hanya berorientasi pada pencapaian pembangunan fisik dalam bentuk infrastruktur tanpa menghitung dengan cermat kemampuan keuangan negara untuk membiayai itu semua. Maka, salah satu efeknya yaitu digenjotnya Tax Amnesty yang bulan-bulan ini gencar dikampanyekan. Sementara itu, hutang luar negeri Indonesia pun semakin meningkat, karena memang pada faktanya kas negara sudah mengalami defisit setiap tahunnya untuk membiayai pengelolaan Negara.

Seperti yang dituliskan oleh Cak Nun dalam sebuah Esainya, bahwa Indonesia seperti sebuah pesawat yang sedang mengalami turbulensi luar biasa. Ketika terjadi turbulensi, maka penumpang yang ada di dalam pesawat dihimbau untuk diam ditempat, mengencangkan sabuk pengaman. Sebab, jika tidak, apapun yang dilakukan akan berkibat buruk. Meskipun yang dilakukan adalah hal yang baik, tetapi karena kondisi pesawat sedang mengalami goncangan, maka akan berakibat keburukan. Dan, itulah Indonesia saat ini.

Ali mencontohkan bagaimana saat ini muncul desa-desa fiktif yang dijadikan instrumen korupsi anggaran terkait bantuan yang digelontorkan untuk desa-desa di seluruh Indonesia. Sehingga semakin menguatkan fakta bahwa tindak korupsi yang dilakukan sudah pada tahap teknologi yang sangat canggih, karena mereka sudah mencapai tahap aturan yang mereka rancang sendiri, kemudian mencari celah untuk memanfaatkannya di dalam sistem tersebut.

Sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Fahmi sebelumnya, melihat fakta yang terjadi saat ini kita sangat pesimis dengan masa depan Indonesia. Sehingga, satu-satunya harapan untuk mewujudkan perubahan di Indonesia adalah intervensi dari Allah secara langsung. Maka Maiyahan ini dilaksanakan. Cak Nun berkeliling kemana-mana hampir setiap malam bertemu dengan rakyat kecil di berbagai daerah dengan maksud menanam kebaikan dan terus menanam, dan berharap agar Allah merasa perlu untuk melakukan intervensi dalam merubah keadaan.

“Sebab orang mudah kecèlè adalah karena gampang kagum terhadap sesuatu dan tidak terbiasa berfikir mencari Hikmah dari apa yang terjadi disekitar kita. Dalam menilai sesuatu tidak mendalam, hanya berfikir secara artifisial semata, hanya terbiasa melihat secara wadag saja”, pungkas Ali.

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ali, Husen menambahkan bahwa yang harus kita lakukan adalah bersabar dan terus bersabar. Karena kebenaran dan kesabaran adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan, Husein menegaskan bahwa menurutnya Indonesia saat ini sedang menjadi pusat perhatian dunia terkait peradaban Islam. Karena, hanya Indonesia yang mampu mengawinkan kearifan lokal dengan Islam, sehingga Islam menjadi fondasi yang sangat kuat bagi rakyat Indonesia. Arab Spring yang mampu menghancurkan tata kelola negara-negara Islam di Timur Tengah dengan konspirasinya tidak akan mampu menumbangkan Indonesia.

Memungkasi paparannya, Husein yang berasal dari Bondowoso bercerita bagaimana orang Madura yang masuk ke Bondowoso mengajarkan betapa sikap khusnudzon kepada Allah merupakan modal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Di Bondowoso, Husen mendapati seorang Madura yang berjualan bensin di pintu keluar sebuah SPBU. Ketika ditanya oleh Husen mengapa ia berjualan bensin di pintu keluar sebuah SPBU yang jelas nyata adalah toko yang lebih besar dari warungnya, dengan santai ia menjawab bahwa rezeki yang sudah ditentukan oleh Allah itu tidak akan tertukar. Ia berkelakar; “Meskipun saya berjualan di dalam SPBU sekalipun, kalau rezekinya untuk saya, orang akan beli bensin kepada saya”. Modal khusnudzon seperti inilah yang juga kita butuhkan saat ini, karena salah satu kenikmatan kita di surga kelak adalah kita menatap wajah Allah dan hidup bersama Rasulullah SAW.

MENGENALI KONTRAK HIDUP

SEJAK BEBERAPA saat lamanya Cak Nun hadir dan sudah bergabung di sayap panggung Kenduri Cinta, ia turut menyimak jalannya diskusi sesi pertama. Setelah pemaparan dari beberapa narasumber, Sigit mempersilahkan Bobby untuk membawakan beberapa nomor lagu secara akustik.

Menjelang pukul 12 malam, suasana semakin hangat, meskipun sejak sore langit tampak mendung tapi hujan tidak turun. Usai penampilan Bobby, Sigit pun mempersilahkan Cak Nun bersama Syeikh Nursamad Kamba untuk naik ke panggung. Hadir juga saat itu Ust. Agus Abu Bakar. Cak Nun mengajak Husein untuk tetap berada di panggung, sementara Fahmi dan Luqman diminta untuk mengawal jalannya diskusi yang sejak awal diharapkan bisa berjalan interaktif.

Mengawali diskusi sesi kedua, Cak Nun mengelaborasi 3 jenis suporter sepakbola di Indonesia: Bonek, Aremania dan Slemania. Dari 3 jenis suporter sepakbola ini, Cak Nun ingin menggambarkan bahwa heterogenitas rakyat Indonesia ini adalah varian manusia yang tidak bisa ditebak dengan mudah arahnya. Seringkali Cak Nun mengungkapkan kekagumannya terhadap rakyat yang begitu tangguhnya menghadapi penderitaan terus menerus. Lebih dari itu, rakyat Indonesia seperti memiliki formula khusus untuk mampu menikmati penderitaan. “Jadi begitu ragamnya Allah menciptakan manusia”, lanjut Cak Nun.

“Anda kecèlè itu kalau anda salah memahami kontrak hidup anda. Anda itu kontraknya apa sih? Apakah anda dilahirkan Allah untuk menjaga NKRI sampai mati? Indonesia ada atau nggak ada itu melanggar kontrak apa nggak?” Cak Nun melanjutkan dengan melempar pertanyaan awal. Pertanyaan awal tersebut menanggapi salah satu bait syair lagu yang barusan dinyanyikan oleh Bobby, yang menyatakan NKRI harga mati, sementara hari ini NKRI sebenarnya sudah tidak benar-benar NKRI. Cak Nun mengibaratkan bahwa NKRI hari ini adalah NKRI yang sudah diganti kakinya, tangannya, badannya bahkan kelaminnya sudah diganti. Ini bukan NKRI yang sebenarnya berlaku. Undang-undang sudah diamandemen habis-habisan, Pemilu 1955 adalah Pemilu yang paling berkualitas sepanjang sejarah Indonesia tapi justru sekarang kita mengagung-agungkan Pemilu hari ini yang kualitasnya adalah yang paling rendah sepanjang sejarah Indonesia.

Menyinggung soal kontrak, Cak Nun kembali menukil Surat Ali Imron ayat 31; Qul Inkuntum tuhibbunallaha fattabi’uuni yuhbibkumullah wa yaghfir lakum dzunuubakum, wallahu ghofuurun rahiimun. Dari ayat ini, tugas utama dalam kontrak hidup manusia sudah jelas, yaitu hubungan percintaan kasih dan sayang antara mahkluk dengan Allah, dimana syarat utamanya adalah mengikuti Rasulullah SAW. Sementara, dalam wilayah yang lain, ketika kita berbicara kontrak, maka ada alokasi waktu di situ. Berapa lama waktu kita hidup di dunia ini? Ibarat turnamen sepakbola, kehidupan di dunia ini masih dalam tahap babak penyisihan, masih akan ada babak-babak selanjutnya, bahkan babak finalnya bisa jadi masih jauh dari sekarang.

Cak Nun lalu mengelaborasi salah satu ayat didalam Al Qur’an yang menjelaskan bahwa di akhirat nanti ada sekelompok manusia yang Allah tidak akan menyapanya, tidak akan memandang wajahnya. Dan, itulah sehina-hinanya manusia. Saat ini, yang diharapkan adalah bahwa posisi kita kelak di hadapan Allah adalah sekelompok manusia yang diridhloi. Walau demikian, Cak Nun juga menjelaskan bahwa ada satu lagi posisi yang lebih mulia dan lebih tinggi, yaitu sekelompok manusia yang memang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Allah di akhirat kelak. Mereka adalah manusia yang mematuhi pasal-pasal yang sudah ditentukan dalam kontrak hidupnya, yang sudah disepakati sejak sebelum ia dilahirkan di dunia.

“Hanya orang modern yang lemah yang mengkultuskan seseorang. Di Maiyah tidak ada pengkultusan, di Maiyah tidak ada pendewaan, di Maiyah tidak ada pentuhanan. Dan, anda bukan orang lemah yang mudah mengkultuskan”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2017)

“ALLAH TAMPIL dimana-mana, Allah tampil di ekspresi wajahmu, Allah tampil di sorot matamu, Allah tampil di perilaku sosial manusia. Kalau anda tidak bisa menemukan Allah, anda melanggar kontrak, karena kontrak anda adalah bercinta dengan Allah”, Cak Nun melanjutkan. “Tetapi, saat ini manusia kebanyakan tidak memiliki kesadaran untuk menemukan Allah.”

Cak Nun kemudian menjelaskan bahwa di Maiyah, meskipun orang beribu-ribu mencium tangan beliau, ada yang minta dipeluk, ada yang minta diusap kepalanya dan lain sebagainya, Cak Nun tidak mengkhawatirkan dirinya bisa dikultuskan di Maiyah, karena memang sejak awal di Maiyah tidak ada pengkultusan kepada siapapun. Di Maiyah sudah sangat jelas bahwa yang utama adalah Allah dan Rasulullah SAW.

“Hanya orang modern yang lemah yang mengkultuskan seseorang. Di Maiyah tidak ada pengkultusan, di Maiyah tidak ada pendewaan, di Maiyah tidak ada pentuhanan. Dan, anda bukan orang lemah yang mudah mengkultuskan”, Cak Nun menegaskan.

Lebih jauh Cak Nun menjelaskan bahwa hidupnya orang Islam itu sudah fix. Karena, Allah sudah menyiapkan 5 rumusan dasar bagi Ummat Islam untuk menjadi pegangan hidup yaitu wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram. Kelima hukum ketentuan Allah ini sangat mudah diaplikasikan oleh Ummat Islam meskipun hanya dengan mengandalkan common sense.

Wajib adalah sesuatu yang harus dilakukan, apapun kondisinya. Sementara sunnah adalah sesuatu yang lebih baik dilakukan, meskipun kalau tidak dilakukan juga tidak berdosa. Sementara mubah atau halal adalah silahkan dilakukan, tidak dilakukan juga tidak masalah. Dan, makruh adalah kondisi dimana sesuatu yang lebih baik tidak dilakukan. Sedangkan haram adalah situasi dan kondisi dimana kita tidak boleh melakukannya atas alasan apapun.

Sejalan dengan paparan itu, Cak Nun kembali melemparkan pertanyaan; NKRI ini yang mana kedudukannya dalam hukum yang 5 itu? Jamaah pun bervariasi memiliki jawabannya masing-masing, ada yang menganggap sunnah, ada yang menganggap halal dan lain sebagainya. Cak Nun sendiri berpandangan bahwa posisi NKRI sangat mungkin dinamis dalam kedudukan 5 hukum Islam tersebut, mungkin pada saat tertentu ia berposisi wajib, mungkin juga sunnah, bahkan sangat mungkin pada saatnya juga berposisi haram.

Kembali ke soal kontrak, Cak Nun menjelaskan bahwa kehidupan dunia ini posisinya adalah sekunder, karena yang primer adalah akhirat, tetapi juga bukan lantas dunia ini kita tinggalkan. Dunia pada hakikatnya merupakan bagian dari akhirat. Bagi Cak Nun akhirat bukanlah bagian teritorial yang lain dari dunia, karena dunia dan akhirat merupakan sebuah kesatuan. Sebelum meminta Syeikh Nursamad Kamba untuk menjelaskan tentang zuhud, Cak Nun kembali mengelaborasi bahwa Azazil alias Kanzul Jannah yang kemudian kita kenal sebagai Iblis adalah makhluk Allah pertama yang mengaplikasikan zuhud.

Pada awalnya, Azazil ini adalah makhluk yang ditugaskan oleh Allah untuk menjadi khalifah di Bumi, hingga kemudian Allah memutuskan untuk menciptakan Adam. Singkat cerita, Azazil merasa bahwa di dunia diperlukan densitas negatif, dan ia memilih untuk mengambil tugas sebagi densitas negatif itu. Cak Nun menjelaskan bahwa Iblis adalah jabatan bukan nama sebuah makhluk, seperti halnya akhirat yang merupakan sebuah istilah.

“Bagaimana mungkin saya pesimis terhadap Indonesia. Nggak penting apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, terserah mau jadi apa, tetapi masa depan Indonesia jelas di tangan anda. Masa depan Indonesia jelas di hati dan fikiran anda yang jauh lebih seimbang dibanding kakak-kakak dan bapak-bapak anda. Anda adalah pemegang masa depan Indonesia”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2017)

DENSITAS NEGATIF atau antagonisme yang dimaksudkan oleh Azazil adalah keseimbangan dalam kehidupan di dunia, seperti juga ada siang dan malam, ada baik dan buruk, ada cinta dan benci, ada rindu dan dendam, dan lain sebagainya. Dan, tugas manusia adalah mengelola dua elemen positif dan negatif dalam kehidupan ini supaya tercipta keseimbangan.

Cak Nun berkisah tentang Umbu Landu Paranggi, dia adalah satu-satunya orang yang dianggap Guru oleh Cak Nun hingga hari ini. Kebiasaan seorang zahid adalah, bahwa ia meninggalkan dunia dan segala pernak-pernik yang dimilikinya. Umbu Landu Paranggi adalah seorang raja yang meninggalkan segala kekuasaan dan singgasananya. Kekayaan yang ia miliki ditinggalkan. Diceritakan oleh Cak Nun bahwa Umbu Landu Paranggi ini mampu untuk hidup berpuasa meninggalkan dunia dan bekerja secara ruhani setiap hari. Ia sanggup berdiam diri di dalam kamar seharian dan tidak melakukan aktivitas apapun.

Bahkan, ketika sama-sama menggelandang di Malioboro, Cak Nun menyaksikan sendiri bagaimana Umbu mencintai seorang perempuan tetapi dengan cintanya itu ia menjaga agar perempuan yang ia cintai tidak mengetahui bahwa ia dicintai oleh Umbu. Akhirnya, perempuan tersebut menikah dengan pria lain, dan Umbu tetap mencintainya. Bagi Umbu, cinta itu abadi, sehingga ia tidak ingin merusak cintanya itu dengan pertemuan fisik bersama perempuan yang ia cintai. Absurd memang, tetapi begitulah pada faktanya Umbu Landu Paranggi memanifestasikan cintanya yang sejati kepada seorang perempuan.

Dari cerita Umbu Landu Paranggi, Cak Nun ingin semua jamaah Kenduri Cinta memahami kontrak hidupnya masing-masing sehingga bisa menemukan cinta yang sejati seperti Umbu. Karena, sejatinya dalam dinamika kehidupan ini, manusia hanyalah menunggu antrian untuk dipanggil kembali oleh Allah, dan keindahan pada antrian ini adalah bahwa kita satu sama lain tidak pernah bisa mengetahui mana yang di depan dan mana yang di belakang kita. Kita tidak akan pernah mampu mengetahui siapa yang lebih dahulu di panggil oleh Allah. “Antri yang sejati adalah kehidupan yang tidak tampak di mata anda, kehidupan yang hanya tampak di dalam kesadaran dan cinta anda kepada Allah swt”, lanjut Cak Nun.

Kemudian, tentang bagaimana mensikapi kedaan dan mengatasi permasalahan, Cak Nun bercerita pengalaman yang dialami oleh Rampak, anak bungsunya. Di sekolahnya, Rampak memiliki seorang teman yang sangat nakal di kelas. Anak nakal itu tidak disukai oleh semua siswa di kelasnya. Saking nakalnya anak itu, diputuskan cara untuk melakukan pendekatan persuasif dengan mendatangkan psikolog, dan anak tersebut diajak bicara baik-baik. Namun, hasilnya juga tetap tidak bisa merubah sifat nakal itu. Kemudian, pihak sekolah melalui kepala sekolah dan juga guru bimbingan konseling turut melakukan hal yang sama, namun hasilnya tetap nihil. Akan tetapi, tanpa diduga suatu hari anak tersebut berubah drastis sifatnya, ia menjadi anak yang pendiam dan tidak nakal lagi. maka muncullah sebuah pertanyaan besar, apa gerangan yang membuat anak tersebut berubah secara drastis. Ternyata, ada salah satu anak yang pernah mendapati Rampak memberikan “pelajaran” kepada anak itu. Suatu kali, Rampak menarik anak itu ke pojok belakang sekolah, kemudian dipukuli oleh Rampak.

Dari kisah Rampak itu, Cak Nun mengelaborasi surat An-Naas. Dalam surat tersebut yang juga sudah beberapa kali pernah diterangkan oleh Cak Nun, bahwa untuk melakukan perubahan ada 3 metode yang bisa dilakukan yaitu kearifan, kekuasaan dan kekuatan. Dalam surat An-Naas, Allah menampilkan diri-Nya pada ayat pertama di dalam bentuk kearifan, Rabb. Qul ‘audzu bi robbi-n-naasi. Dengan metode pendekatan ini, maka yang diaplikasikan adalah pendekatan budaya dan kultural. Untuk mengingatkan seseorang terhadap kemunkaran yang dilakukan, tidak harus selalu dengan kekerasan. Dan, yang memang harus diutamakan adalah dengan cara pendekatan budaya dan kultural ini. Tetapi, bila cara itu tidak mempan, maka berlaku metode yang kedua yaitu kekuasaan. Maka, dalam ayat kedua berbunyi maaliki-n-naasi. Bahwa Allah adalah yang Maha Berkuasa di alam semesta ini. Jika metode kedua ini juga tidak sampai merubah seseorang, barulah metode kekuatan diaplikasikan. Dalam surat An-Naas ayat ketiga berbunyi Ilaahi-n-naasi. Allah menampilkan diri-Nya sebagai Tuhan semesta alam yang memiliki segala daya dan upaya kekuatan yang Maha Kuat.

“Anda lihat urut-urutannya dalam surat An-Naas. Pertama, Allah hadir sebagai pengasuh, hadir dengan kearifan dan kasih sayang, Rabbun. Kalau di dalam bahasa kita, bisa diterjemahkan dengan aku berlindung kepada asah, asih dan asuh-Mu ya Allah”, terang Cak Nun. “Tapi, kalau dengan ini (ayat pertama) juga tidak menyelesaikan masalah, maka berlakulah ayat yang kedua, maaliki-n-naasi. Bahwa, Dia adalah yang Maha Berkuasa. Dia tidak hanya Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tetapi Dia juga Maha Berkuasa atas kalian”, tegas Cak Nun. Dan, meskipun demikian, ada saja manusia yang tetap berlaku angkuh meskipun Allah sudah menunjukkan kekuasaan-Nya, sehingga berlaku pula ayat yang ketiga, Ilaahi-n-naasi. Allah menampilkan diri-Nya sebagai Dzat. Allah menampilkan Aku-Nya dalam diri-Nya. Dalam konteks ini, untuk menyikapi konstelasi politik di Indonesia Cak Nun berharap bahwa Allah cukup memberlakukan ayat yang pertama, jikapun harus terpaksa maka cukup sampai pada ayat yang kedua. Kita bersama-sama berharap jangan sampai yang berlaku adalah ayat yang ketiga dari Surat An-Naas ini.

Cak Nun juga menegaskan bahwa manusia jangan memaksakan diri untuk mencari kebenaran secara objektif. Kalaupun bumi ini datar atau bulat letak kebenarannya bukan pada kehendak manusia, melainkan pada kehendak Allah. Dalam hal ini Cak Nun mencuplik ayat dalam Al Qur’an; Innallaha ‘alaa kulli syaiin qodiir. Karena, yang berlaku adalah kehendak Allah. Sekuat apapun kita berpegang pada kebenaran yang kita yakini, sesungguhnya itu bukanlah kebenaran yang mutlak.

Cak Nun merespon ungkapan Husein sebelumnya yang menyatakan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tahan banting. “Ini bangsa yang tahan banting, karena urusan kontraknya dengan Allah adalah cinta. Cinta itu salah satu hasilnya adalah percaya sepenuhnya”, lanjut Cak Nun.

Seperti keberanian orang Madura yang berjualan bensin di pintu keluar SPBU, Cak Nun bercerita bahwa di Indonesia ini banyak sekali fenomena-fenomena yang menggambarkan “demonstrasi keberkahan Allah”. Di beberapa daerah, ada sederet bengkel ban mobil yang menjual ban bekas dan velg mobil bekas, berjejer, tanpa ada rasa khawatir bahwa toko atau bengkel miliknya tidak laku. Begitu juga pada setiap Maiyahan berlangsung, banyak pedagang kaki lima menjajakan barang dagangan yang sama, dan mereka semua tidak merasa khawatir sedikitpun bahwa dagangan mereka tidak akan laku. Mereka menyadari bahwa rizqi dari Allah tidak akan tertukar.

“Jadi anda juga harus tetap berada dalam koridor kontrak kepada Allah dengan selalu berkhusnudzon kepada Allah, agar anda merasa tangguh. Anda mungkin akan merasa stress, tetapi tidak akan stress-stress bangetlah. Anda juga mungkin akan sedih, tapi anda tidak akan sedih-sedih bangetlah. Begitu juga ketika anda bahagia, anda akan segera menyadari bahwa kebahagiaan itu akan segera berakhir, dan kalau anda sedih anda juga akan menyadari bahwa anda akan segera bangkit”, pungkas Cak Nun sembari membacakan surat Al-Insyiroh.

“Allah tampil dimana-mana, Allah tampil di ekspresi wajahmu, Allah tampil di sorot matamu, Allah tampil di perilaku sosial manusia. Kalau anda tidak bisa menemukan Allah, anda melanggar kontrak, karena kontrak anda adalah bercinta dengan Allah”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2017)

TIGA DIMENSI AGAMA

SYEIKH NURSAMAD KAMBA kemudian diminta oleh Cak Nun untuk menjelaskan tentang zuhud. Dalam mengawali paparannya, Syeikh Nursamad mencuplik Surat Al Kahfi ayat 103-106 yang menjelaskan tentang kecèlènya orang-orang di akhirat karena sifat mereka yang kufur terhadap ayat-ayat Allah. Tema Kenduri Cinta kali ini terasa istimewa bagi Syeikh Nursamad, karena sangat relevan dengan situasi politik di Indonesia. Para politisi yang hampir selalu berjanji dengan janji-janji manis ketika kampanye, yang kemudian juga tidak mampu mereka wujudkan ketika menduduki jabatan sebagai wakil rakyat. Padahal, sangat tidak mungkin mereka mampu mewujudkan janji-jani politik mereka tanpa pertolongan Allah.

Selanjutnya Syeikh Nursamad menjelaskan adanya 3 dimensi dalam agama yaitu dimensi Islam, dimensi Iman dan dimensi Ihsan. Syeikh Nursamad menjelaskan satu hadits yang mengisahkan ketika Jibril turun ke bumi dan menemui Rasulullah SAW lalu menanyakan tentang apa itu Islam, iman dan ihsan. Saat itu, Jibril menampilkan wujudnya menjadi seseorang manusia. Di saat itu, ketika Rasulullah SAW ditanya oleh Jibril tentang apa itu Islam, Rasulullah SAW menjawab dengan poin-poin yang saat ini kita kenal dengan Rukun Islam. Begitu juga ketika menjawab pertanyaan apa itu iman, Rasulullah SAW menjawab dengan poin-poin yang saat ini kita kenal dengan Rukun Iman. Dan, ketika menjawab pertanyaan apa itu Ihsan, Rasulullah SAW menjawab an ta’budallaha kaannaka taroohu, fa in lam taroohu fainnahu yarooka. Ihsan adalah bahwa engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, seandainya engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

“Islam itu bukan kata benda, bukan identitas.Melainkan kata kerja”, lanjut Syeikh Nursamad. Islam adalah berserah diri, menyerahkan diri kepada Allah. Berserah diri pada Allah dimaksudkan untuk membentuk manusia yang tunduk kepada Allah dan tidak pernah menyombongkan diri. Orang tersebut akan selalu rendah hati, terbuka, lapang dada, fleksibel, dan tidak keras kepala, karena dia selalu paham bahwa semua terjadi karena kehendak Allah.

Islam sendiri dibangun di atas Iman, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Tetapi, apakah kesaksian itu saja cukup? Sedangkan itu hanya bersaksi, tidak menyaksikan. Apakah kesaksianmu itu berlaku dalam tindak tandukmu? Anda harus menyaksikannya, dengan ketawadhlu’an. Selalu memahami bahwa segala sesuatu milik Allah dan berjalan atas kehendak Allah. Menyerahkan dengan penuh pada Allah, tidak hanya bersaksi saja. Syahadat bukanlah semacam sertifikat atau legalitas bahwa kita memeluk Islam, melainkan lebih esensial dari itu. Bahwa, Syahadat adalah ikrar yang kita ucapkan dilandasi dengan kesadaran penuh bahwa memang tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul utusan Allah.

Syeikh Nursamad Kamba menekankan bahwa seharusnya Islam itu bukanlah identitas yang tercantum dalam KTP atau ID Card kita, melainkan mengalir dalam perilaku kita sehari-hari seperti halnya Rasulullah SAW dalam perilakunya mencerminkan perilaku yang Islam. Lebih jauh, Syeikh Nursamad menjelaskan bahwa agama seharusnya bersifat sangat persuasif. Seperti yang dijelaskan oleh Cak Nun sebelumnya bahwa dalam Islam terdapat matrik hukum yang lima: wajib, sunnah, mubah (Halal), makruh dan haram.

Hukum-hukum tersebut menjelaskan bahwa dalam agama memang ada yang harus dilakukan, ada yang tidak boleh dilakukan, dan lain sebagainya berdasarkan matrik hukum yang lima itu. Dan, sesungguhnya, dari keseluruhan aturan tersebut, semua yang kita lakukan akan kembali kepada kita sendiri, sehingga kesadaran yang seharusnya muncul dari dalam diri kita adalah dalam melakukan sesuatu yang diwajibkan atau tidak melakukan sesuatu yang dilarang semstinya berdasarkan bahwa kita memang membutuhkannya. “Jadi, misalnya, kita melakukan sholat merupakan konsekuensi logis dari Syahadat kita kepada Allah”, terang Syeikh Nursamad Kamba.

Begitu juga ketika kita menunaikan zakat. Jangan sampai kita merasa terbebani ketika kita menunaikan zakat, karena zakat yang kita tunaikan merupakan kewajiban yang memang harus kita lakukan. Sesuai dengan apa yang disampaikan di dalam Al Qur’an, bahwa seandainya manusia sudah benar sholatnya, maka ia akan menunaikan zakat sebagai kewajiban yang juga sejalan dengan sholat yang ia dirikan. Zakat adalah wujud dari penaklukan diri manusia terhadap egonya sendiri, karena zakat yang ia tunaikan berasal dari harta yang ia peroleh secara halal, tetapi ia menyadari bahwa dalam harta yang ia miliki itu terdapat hak orang lain di dalamnya yang sudah diatur dalam Islam. Singkatnya, Syeikh Nursamad menjelaskan bahwa Rukun Islam merupakan hirarki urut-urutan sistematis yang berkesinambungan. Jika seseorang syahadatnya sudah benar, maka ia akan melaksanakan sholat secara sukarela atas dasar kebutuhan, kemudian efek dari sholat yang baik adalah ia akan menunaikan zakat, kemudian menjalankan puasa di Bulan Ramadhan, dan apabila ia memiliki kemampuan akan menunaikan ibadah haji.

Dimensi yang kedua adalah iman. Menurut Syeikh Nursamad, iman merupakan percaya sepenuhnya kepada Allah, dimana wujud kepercayaan ini membutuhkan implementasi yang kuat dan konsisten. Tidak mungkin seseorang yang beriman melakukan perbuatan zina, misalnya. Maka, apabila ada orang yang mengaku beriman, tetapi masih melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk, maka kadar keimanan dalam dirinya belum sepenuhnya dapat dibuktikan, sebab iman merupakan manifestasi dari Syahadat. Syeikh Nursamad lalu menerjemahkan dimensi ihsan dalam istilah doing beautiful. Melakukan keindahan. Jika dimensi Islam adalah dimensi kepasrahan, sementara dimensi iman adalah dimensi kepercayaan, maka dimensi ihsan adalah dimensi keindahan.

““Rasulullah SAW itu manifestasi Allah, duta Allah. Karena, makhluk tidak akan menemukan Allah kalau tidak pakai duta-Nya. Maka Allah menciptakan Muhammad SAW sebagai duta-Nya. Dan, Allah menciptakan Muhammad SAW tidak sejak wahyu pertama diturunkan, melainkan sejak Nur Muhammad diciptakan dia sudah menjadi duta Allah, maka Rasulullah SAW adalah soko guru informasi mengenai bayangan Allah kepada makhluk yang lain”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2017)

TIDAK ADA ilmu yang sia-sia di Maiyah. Cak Nun kemudian menyambung paparan dari Syeikh Nursamad. Menurut Cak Nun, Allah menciptakan alur kehidupan itu siklus, sementara ilmu modern menganggap bahwa kehidupan manusia dan alam semesta itu linier. Ilmu modern menganggap bahwa apa yang sudah berlalu dan hari ini itu linier.

Cak Nun mengibaratkan siklus kehidupan manusia seperti ketika seseorang berlari mengelilingi lapangan sepakbola. Ketika ia berlari pada putaran ke sekian, ia mungkin merasa bahwa ia adalah pelari yang paling depan, padahal bisa jadi bahwa pelari yang lainnya adalah yang paling depan. Hal ini karena ia tidak menyadari bahwa kecepatan pelari lain lebih cepat dari kecepatan yang ia miliki.

Tentang konsepsi khalifah, menurut Cak Nun, bahwa manusia melakukan sesuatu di belakang kehendak Allah. Artinya, Allah memiliki rencana dan kita mengikuti rencana Allah tersebut. Ibaratnya kita melakukan sebuah program, maka program yang kita lakukan adalah milik Allah. Kita tidak mungkin melakukan sesuatu yang bukan merupakan program Allah. Manusia hidup dilahirkan ke dunia ini atas dasar perjanjian dengan Allah, hanya saja pada satu momentum sebelum kelahiran manusia, Allah membuat manusia menjadi lupa atas perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya. Dari sinilah kemudian kita memahami fungsi orang tua, fungsi sekolah, fungsi kampus, fungsi universitas yang tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membantu manusia mencari dan menemukan kembali dasar perjanjian hidup yang sudah disepakati dengan Allah sebelum ia lahir. “Maka yang namanya menempuh Islam adalah anda melakukan penelitian untuk menemukan Allah kapan saja, di mana saja, dalam peristiwa apapun saja. Jadi, pencariannya adalah Allah, baru kemudian anda bersyahadat”, lanjut Cak Nun.

Seperti halnya ketika memekikkan kalimat takbir, seharusnya kita bertakbir atas dasar kekaguman kita terhadap ciptaan Allah swt. Tidak semestinya kita mengucapkan kalimat takbir tanpa adanya alasan apapun. Takbir merupakan salah satu efek dari pencapaian kita dalam pencarian terhadap Allah.

Cak Nun mengajak jamaah untuk mengenali diri masing-masing dan mengidentifikasi, manusia jenis apakah kita; Abu Bakar, Umar, Utsman atau Ali ketika menemukan Allah dalam proses pencariannya. Abu Bakar adalah orang yang kultural, orang yang menghayati dengan mendalam untuk menemukan Allah. Sementara Umar adalah tipe orang yang radikal dalam menemukan Allah. Utsman memiliki pertimbangan yang matang dalam menakar sesuatu hal, sehingga ia menemukan Allah dalam keseimbangan. Dan, Ali adalah orang yang tanpa memerlukan wasilah apapun untuk menemukan Allah, apapun yang ia lihat, maka Ali merasa bahwa ia melihat Allah, dia merasakan sesuatu maka ia merasakan getaran Allah.

Menjelang pukul 3 dinihari, Jama’ah tak sedikitpun beranjak dari tempatnya. Wajah-wajah mereka memperlihatkan kesejukan, tak merasa lelah meskipun sudah beberapa jam menyimak paparan-paparan narasumber. Di antara pengetahuan-pengetahuan yang diuraikannya Cak Nun selalu menyegarkan suasana dengan kelakar-kelakar yang membuat kepala tertawa. Kelakar yang penuh humor namun tak kehilangan nilai hikmah.

“Zuhud adalah kunci, sumber keselamatan. Zuhud ialah upaya terus menerus untuk  melepaskan diri dari kecintaan-kecintaan kepada selain Allah”
Ust. Agus Abu Bakar, Kenduri Cinta (Maret, 2017)

CAK NUN juga menejelaskan kembali hakikat tentang Nur Muhammad. Nur Muhammad, atau yang kemudian kita kenal sebagai Rasulullah SAW, merupakan Duta Allah yang pertama kali diciptakan. “Kenapa syahadatnya; wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah?”, Cak Nun menjelaskan lebih terperinci. Jika kita ingin mennggugat, mengapa manusia ahistoris terhadap sejarahnya, maka Cak Nun mengajak agar kita menelisik sejarah lebih jauh lagi, bukan hanya sekedar sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara, melainkan juga sejarah awal penciptaan alam semesta.

“Rasulullah SAW itu manifestasi Allah, duta Allah. Karena, makhluk tidak akan menemukan Allah kalau tidak pakai duta-Nya. Maka Allah menciptakan Muhammad SAW sebagai duta-Nya. Dan, Allah menciptakan Muhammad SAW tidak sejak wahyu pertama diturunkan, melainkan sejak Nur Muhammad diciptakan dia sudah menjadi duta Allah, maka Rasulullah SAW adalah soko guru informasi mengenai bayangan Allah kepada makhluk yang lain”, lanjut Cak Nun.

Dari penjelasan itu Cak Nun menyampaikan bahwa Maulid Nabi seharusnya bukan 12 Rabi’ul Awwal, karena jika tanggal tersebut yang digunakan maka yang lebih tepat adalah Maulid Muhammad bin Abdullah. Sebab, pada tanggal tersebut Muhammad lahir secara biologis dari rahim Siti Aminah. Jika menggunakan istilah Maulid Nabi, maka tanggal yang tepat adalah pada 17 Ramadhan, karena di tanggal itulah wahyu pertama diturunkan oleh Allah swt kepada Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril. Sedangkan Maulidu Nur Muhammad, itu bisa kita rayakan kapan saja. Karena kita tidak pernah tahu secara pasti kapan Nur Muhammad diciptakan oleh Allah.

Menarik benang merah dari 3 dimensi agama yang dijelaskan oleh Syeikh Nursamad Kamba, Cak Nun menambahkan bahwa dalam khasanah Jawa terdapat idiomatik; bebekti, bebener, bebekel. “Jadi, Islam-iman-ihsan itu siklus, dia dialektis. Dia bisa dimulai dari yang mana saja. Anda boleh memulai dari ihsan, tergantung pada momentum kesadaran anda dan tergantung pada hidayah Allah, karena semua itu dimensional”, Cak Nun menjelaskan. Begitu juga dengan; bebekti, bebekel dan bebener. Tidak ada iman tanpa Islam dan ihsan, tidak ada Islam tanpa iman dan ihsan, juga tidak ada ihsan tanpa Islam dan iman. Begitu seterusnya, saling berdialektika satu sama lain. Jadi, sangat relevan bahwa tidak untuk difahami sebagai Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah. Karena Islam bukan kata benda. Melainkan, cara berbakti (bebekti) kepada Allah itu dengan berserah diri, dan berserah diri itu tidak mungkin berjalan tanpa iman dan ihsan.

“Saya tanya, anda punya nasionalisme kan? Nasionalisme anda kalau berkonteks kewajiban dibanding dengan konteks cinta, kira-kira banyak mana yang anda berikan? Karena kewajiban atau karena cinta? Kalau anda punya istri, punya anak, kalau anda sekedar menjalankan kewajiban maka yang penting makan, yang penting sekolah. Tetapi, karena anda memberi karena cinta, maka tidak akan ada batas untuk memberi kepada mereka. Jadi, kalau nasionalisme karena kewajiban, apalagi karena dibayar, itu belum tentu nasionalisme. Tetapi, kalau nasionalisme karena cinta kepada Indonesia, tidak ada batas untuk memperjuangkannya”, lanjut Cak Nun.

Cak Nun menjelaskan bahwa beliau hampir setiap hari berkeliling, menemui berbagai lapisan masyarakat, dan kesehatan yang tetap dimilikinya merupakan bukti bahwa apabila melakukan sesuatu karena cinta, maka Allah akan memberi perlindungan. Kita tidak mungkin bersyahadat kepada Allah tanpa bersyahadat kepada Rasulullah, begitu juga sebaliknya. Kita juga tidak mungkin menemukan Allah tanpa bantuan Rasulullah SAW. Dalam istilah Jawa pemahaman tersebut dikenal sebagai; loro-loroning atunggil, dua yang satu.

“Di dalam Al Qur’an, tidak ada anjuran untuk menjadi pemimpin. Yang ada adalah bahwa manusia harus belajar bagaimana caranya menemukan pemimpin”, tutur Cak Nun. Rasulullah SAW sendiri pernah berpesan agar kita jangan meminta kakuasaan, karena jika kita meminta kekuasaan maka Allah tidak ikut campur terhadap urusan kita. Dan, salah satu rusaknya peradaban di Indonesia hari ini adalah akibat dari banyaknya orang yang mencalon-calonkan diri untuk menjadi pemimpin, padahal dalam Islam sudah jelas bahwa yang seharusnya dilakukan adalah pendidikan bagaimana cara memilih pemimpin yang baik. Tetapi, yang terjadi adalah belajar memilih pemimpin yang baik saja belum beres tapi sudah terlalu banyak orang yang sangat percaya diri untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin.

“Pada hakikatnya hanya Allah yang ada. Dan, kita adalah bagian dari ekspresi atau cipratan manifestasi atau tajalli-Nya. Tetapi, kita tidak mempunyai kemungkinan kecuali kembali kepada-Nya, dan tidak ada yang lebih nikmat kecuali kembali kepada-Nya”,
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2017)

ZUHUD

UNTUK MENGANTARKAN Ust. Agus Abu Bakar, Cak Nun menceritakan kisah jenakanya tentang Daeng Patompo, salah satu tokoh Makassar yang pernah menjadi walikota Makassar. Beberapa kisah menggelikkan tentang Daeng Patompo pun hadir menyegarkan suasana Kenduri Cinta menjelang.

Ust. Agus Abu Bakar, salah satu anak dari Arsal Al Habsyi yang dulu juga merupakan salah satu seniman ternama di Indonesia dan salah satu sahabat Cak Nun, kemudian turut menyampaikan untaian-untaian hikmah. “Zuhud adalah kunci, sumber keselamatan. Zuhud ialah upaya terus menerus untuk  melepaskan diri dari kecintaan-kecintaan kepada selain Allah”, Ust. Agus mengawali. Walau secara alami kita memiliki keterikatan dengan dunia, tapi pada saat yang sama agama membimbing kita untuk lepas dari keterikatan-keterikatan dengan dunia. Jangan sampai dunia menipu diri kita, dunia hanya kesenangan yang melalaikan. Bukan dunia ini tujuan kita, walau dunia memang diciptakan untuk kita. Allah-lah yang menundukkan dunia ini untuk manusia, maka manusia harus bersyukur. Sesungguhnya engkau diciptakan hanya untuk tunduk pada-Nya.

Ust. Agus juga tidak lupa menyampaikan keutamaan bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Di antara alasannya adalah yang disampaikan oleh Cak Nun sebelumnya. Bahwa Nur Muhammad adalah duta Allah, bahwa Rasulullah SAW merupakan manifestasi Allah, yang membantu manusia menemukan informasi yang detail tentang Allah.

Di alam rahim ibu, kita semua pernah melihat, berdialog dan berjanji dengan Allah bahwa Dia adalah Tuhan kita, itulah kontrak kita dengan Allah. Janji tersebut tersimpan di dalam alam bawah sadar kita, dan itulah yang menjadi fitrah kita. Tetapi, kita kemudian terlahir dalam keadaan lupa, manusia pun di sebut insan, yaitu mahluk yang lupa. Maka perjalanan di dunia adalah untuk mengingat kembali janji tersebut. Namun, keterikatan terhadap dunia juga menghalangi kita menuju Allah. Kita harus menghilangkan halangan tersebut, sehingga terdapatlah Islam, di dalamnya ada sholat, puasa, zakat, haji, semua semata-mata untuk mengingatkan kita pada Allah. Jika dapat melaksanakan hal tersebut dengan baik tercapailah kedudukan insan yang zuhud, yang hanya mengingat dan mencintai Allah, tidak terikat dengan dunia lagi.

Dzikrullah adalah hal pertama yang harus kita perkuat, sebelum sholat, lalu puasa, zakat, dengan puncaknya haji yaitu saat kita meninggalkan semua yang kita miliki untuk menghadap Allah. Semua tersebut merupakan langkah untuk mencapai zuhud, karena jelas bahwa tujuan kita ialah menuju zuhud. Dan jalan menempuh itu adalah diawali dengan dzikrullah.

Setelah pengembaraan memasuki hikmah-hikmah yang mendalam oleh Ust. Agus, Cak Nun kemudian kembali mengajak Jamaah untuk membangun konstruksi berfikir yang mendasar. Di Maiyah, kita tidak pernah menanyakan bagaimana sholat kita satu sama lain, di Maiyah kita juga tidak pernah mempertanyakan bagaimana kejujuran kita satu sama lain. Karena, hal tersebut merupakan hal yang substansial dan mendasar dalam diri masing-masing yang kelak akan dipertanggung jawabkan oleh diri sendiri masing-masing di hadapan Allah. Di Maiyah, yang kita lakukan adalah pembelajaran secara terus menerus untuk meneliti hadirnya Allah dalam hidup kita.

Fitrahnya manusia adalah tertarik kepada dunia dan seisinya, sedangkan yang menjadi kuncinya adalah bagaimana kita tidak takluk oleh dunia. Cak Nun bercerita bahwa beliau tetaplah sebagai manusia biasa yang masih memiliki ketertarikan kepada dunia, tetapi yang paling utama adalah jangan sampai harga diri kita kalah di hadapan Allah oleh harta benda dan dunia. Cak Nun menjelaskan bahwa sebagai manusia kita harus tetap memiliki kenikmatan dan kegembiraan sebagai manusia, kita harus mampu melakukan topo ngrame, kita harus mampu malakukan dzikrullah di tengah riuh rendah seperti apapun pasar yang berlaku di sekitar kita.

Cak Nun kemudian menuturkan mengapa banyak sekali nama-nama desa dan daerah di Indonesia yang menggunakan kata Jati. Jati artinya adalah jantung hati. Sebagaimana kisah ketika suatu hari parang Sunan Kalijaga tidak sengaja menebas leher orong-orong, iapun mencari serpihan kayu Jati untuk menambal luka di leher orong-orong itu. Dari kisah ini, Sunan Kalijaga ingin berpesan kepada ummat manusia bahwa kalau manusia ingin mendapat kesejatian hidup, maka jangan pernah kepala (akal dan fikiran) terpisah dari badan sehingga tidak memiliki penyesesaian konflik dengan batin (hati) manusia itu sendiri. Manusia harus memiliki keharmonisan antara fikiran dengan hatinya.

“Anda ini tidak bisa mengelak dari kesejatian. Mau tidak mau, anda harus kembali kepada kesejatian, anda tidak bisa mbolos. Ilaihi raaji’uun. Anda fikir kalau anda mati selesai sudah?”, tutur Cak Nun. Jadi, satu-satunya cara adalah kita menunggu waktu untuk kembali kepada kesejatian kita. “Selama kita di babak penyisihan ini kita harus bisa mengisi waktu; walaa tansa nashiibaka mina-d-dunya. Sekedar jangan lupa nasibmu di dunia, dan bukan menjadi tujuan. Jadi, di dunia bukanlah tempat membangun, dunia itu tempat memilih bahan-bahan yang terbaik untuk rumah sejati kita di kampung halaman yang sejati, yaitu di surga. Terserah anda pakai pendekatan apa, itu urusan anda dengan Allah. Yang saya tahu adalah kita berusaha menjadi manusia yang menemukan kembali asal-usul kita. Dan, kalau itu menjadi konsentrasi hidup kita, kita tidak akan bisa diganggu oleh keadaan-keadaan di sekitar kita”, lanjut Cak Nun.

Kemudian, yang juga merupakan inti persoalan Indonesia hari ini adalah hilangnya presisi setiap pemangku kebijakan yang ada di Indonesia. Dikiranya apabila mereka berkuasa, maka presisi yang diaplikasikan adalah presisi partainya, presisi kelompoknya, presisi kepentingannya. Padahal, seharusnya presisi yang diaplikasikan adalah presisi NKRI. Siapapun yang berkuasa di Indonesia, maka presisinya adalah NKRI.  Dan, Ummat Islam harus memahami presisi dalam proses pemilihan pemimpin, bahwa urusannya adalah mencari pemimpin bukan menjadi pemimpin, bukan supaya dipilih melainkan bagaimana caranya memilih. Maka urusan Pilkada ini bukan hanya sebatas kandidat yang bersaing, bahkan lebih luas dari itu, yakni apakah rakyatnya pernah belajar memilih pemimpin atau tidak?

Waktu menapaki pukul 3 dinihari. Suasana keakraban yang tercipta di Kenduri Cinta seakan tidak ingin segera disudahi oleh semua yang hadir. Allah telah menganugerahkan kehangatan dan kebersamaan tanpa jarak, juga kerinduan yang harus selalu dijaga bersama-sama agar semuanya tetap memiliki kelegaan hati dan kewaspadaan jiwa. Kerinduan diperlukan untuk keseimbangan kehidupan, seperti hal nya obat yang diresepkan oleh dokter, harus ada dosisnya yang tepat, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.

Kenduri Cinta kali pun dipuncaki dengan berdo’a bersama dipimpin oleh Ust. Agus Abu Bakar yang sebelumnya diawali dengan sholawat Alfa Salam bersama-sama.