HULU HILIR CINTA

Reportase Kenduri Cinta Desember 2015

“Kalau engkau mencari kebenaran maka jalannya bukan cinta, apalagi kebencian. Jalan menuju kebenaran adalah ilmu, menilai sesuatu itu dengan ilmu, bukan dengan benci atau senang. Cinta itu maqamnya lain, thariqahnya beda, wasilahnya beda, meski setelah lengkap, akan bertemu juga dengan cinta,” sebuah kutipan Cak Nun tentang cinta yang diutarakan di Gambang Syafaat pada 25 Februari 2008 silam.

Ketika kita mencapai cinta, maka kita rela melakukan apapun demi yang kita cintai. Seorang pria akan melakukan apapun demi wanita yang ia cintai, seorang ayah rela gigih berjuang demi masa depan anaknya yang sangat ia cintai. Begitupun juga dengan perjalanan seorang hamba, segenap jiwa raga akan ia tumpahkan demi meraih cinta-Nya. Pada puncak kecintaan, ia akan pasrah memberikan apa saja yang ia miliki untuk dipersembahkan kepada Yang Tercinta.

Kenduri Cinta di penghujung tahun 2015 mengangkat tema Hulu Hilir Cinta, sebuah tema lanjutan dari bulan sebelumnya Kegembiraan Bersedekah Maiyah Kepada Indonesia. Pada bahasan bulan sebelumnya, segala sesuatu yang dijalankan Maiyah merupakan wujud manifestasi dari cinta yang mendalam kepada Indonesia. Maiyah tidak menagih sedikit pun kepada Indonesia, karena Indonesia merupakan bagian dari Maiyah. Maiyah memposisikan dirinya untuk mengasuh Indonesia. Patut diingat, Maiyah bukanlah pihak diamanahi mengurus Indonesia, tetapi para pejalan Maiyah bergembira bersama untuk terus menumbuhkan rasa optimis melalui forum-forum ilmu di berbagai daerah, bergiliran, rutin setiap bulannya.

Malam itu gerimis membasahi pelataran lokasi acara, tepat pukul delapan malam Kenduri Cinta dimulai dengan pembacaan surat Yusuf, dilanjutkan dengan lantunan wirid Hasbunallah, Padhangmbulan dan Shohibu Baitiy. Nashir, Hendra dan Ali bersinergi satu sama lain, mengajak serta jamaah untuk ikut menyapa Allah dan Rasulullah SAW.

Jika diibaratkan ada tiga klasifikasi intensitas forum, yaitu: spiritual, kultural dan intelektual, Kenduri Cinta edisi bulan Desember malam itu lebih banyak meng-adjust sisi kultural. Hal itu terlihat dari hal-hal teknis, seperti panggung yang tampak lebih luas dari biasanya, sound system yang lebih megah, serta perlengkapan band yang terlihat lebih lengkap dalam format big band. Meskipun, ketiga klasifikasi intensitas tersebut tetaplah bersinergi, sebab pementasan musik di Kenduri Cinta tidak hanya sekadar berhenti pada hiburan atau bersifat kultural, namun juga dimaknai secara intelektual dan spiritual.

JALAN SUNYI, SHALAWAT DAN CINTA RASUL

Mengawali, Adi Pudjo sebagai perwakilan dari penggiat Kenduri Cinta, mengutarakan pandangannya bahwa cinta musti memiliki keikhlasan karena segala sesuatu yang terjadi di kehidupan ini sudah ada yang mengatur. Ketika cinta dan ikhlas telah menyatu dalam diri, maka akan membuat kita tidak mudah mengeluh dengan apa yang sudah digariskan, justru mengolahnya menjadi sebuah kegembiraan. Jamaah Maiyah telah terbiasa melatih diri bahwa penderitaan merupakan sebuah kebutuhan dan keniscayaan, karena dengan penderitaan itulah manusia akan menjadi manusia. Manusia musti berani mengolah penderitaan menjadi kebahagiaan bukan kemudian justru menderita atas penderitaannya.

Setelahnya, Fahmi lalu menceritakan aktivitas para penggiat Maiyah di Silatnas Penggiat Maiyah II yang dilangsungkan di Magelang minggu sebelumnya. Dalam acara yang juga dihadiri oleh Cak Nun, Cak Fuad dan Syeikh Nursamad Kamba, terdapat beberapa poin yang penting untuk disampaikan kepada jamaah. Berhubungan dengan nilai-nilai dasar Maiyah, Syeikh Nursamad Kamba mengklasifikasikan Maiyah dalam 3 frame: Jalan Sunyi, Shalawat dan Cinta Rasul.

Jalan Sunyi yang dipilih Maiyah, menurut Syeikh Kamba, bukan berarti memilih jalan sepi dan berjalan sendiri, tetapi Maiyah menawarkan alternatif pemikiran di tengah kecenderungan masyarakat kebanyakan yang egosentris. Dalam hal lain, titik keheningan diperlukan manusia untuk mencapai kualitas diri, karena dalam keheningan seorang hamba akan mampu menerima gelombang frekuensi Tuhan, seperti halnya ketika seorang muslim mendirikan salat, keheningan akan mampu mengantarnya pada kekhusyukan yang ia dambakan.

Filosofi shalawat telah menjadi pondasi Cak Nun dan KiaiKanjeng, sejak awal Cak Nun menjadikan shalawat sebagai pilar dalam proses pendekatan kepada masyarakat. Pasca reformasi 1998, Cak Nun bersama KiaiKanjeng berkeliling ke kampung-kampung untuk menghidupkan kembali gairah bershalawat. Resonansi shalawat bermuara kepada Rasulullah SAW sang kekasih Allah, sebagaimana telah banyak dipahami pada banyak diskusi di forum Maiyah, Nur Muhammad adalah makhluk Allah yang paling senior. Cak Nun memperkenalkan idiom “gondelan klambine Kanjeng Nabi“, yang bermakna tentu tidak hanya bergelantungan secara materi di baju Rasulullah, melainkan melalui shalawat lah kita mendamba syafaat Rasulullah SAW.

Pada puncaknya Syeikh Nursamad Kamba menempatkan Cinta Rasul. Cinta Rasul bukan sesuatu yang rumit, yaitu dengan me-Muhammad-kan diri masing-masing, salah satunya adalah dengan bershalawat sebanyak-banyaknya. Tiga frame Maiyah inilah yang menjadi nilai dasar Maiyah, sehingga Maiyah dapat diterima di masyarakat luas. Maiyah memiliki karakter sebagai ummatan wasathon, seperti yang pernah dijabarkan oleh Cak Fuad di Kenduri Cinta edisi Juli 2012 silam.

“Setiap salat kita selalu mengucapkan: ihdina-s-shiroto-l-mustaqiim. Terus-menerus meminta agar ditunjukkan ke jalan lurus, karena sejatinya kita tidak selalu berada di jalan lurus.”
Fahmi, Kenduri Cinta (Des, 2015)

kcdes2

GELOMBANG HIDAYAH

Menyambung pembahasan “jalan sunyi”, Hendra, jamaah yang kerap duduk di barisan depan, ikut berbagi. Hendra menempatkan Maiyah sebagai cahaya, berawal dari keberangkatan dirinya yang tidak mengerti bahkan tentang konsep ketuhanan, namun dalam perjalanannya mengikuti maiyahan, Hendra menemukan arti Tuhan. Satu nilai yang dipegang teguh oleh Hendra adalah konsep sidik paningal, ia akhirnya terlatih memandang sesuatu dengan seribu cara pandang, sehingga ia dapat melihat suatu hal dengan dengan jernih.

Menjelang pukul sepuluh, jamaah tampak makin memenuhi pelataran. Grup musik Amsarasta dan Coffeisme bergantian menyuguhkan nomor-nomor lagu pilihannya. Bedur, penggiat Komunitas Jazz Kemayoran, merupakan sosok yang membina anak-anak Amsarasta. Ia bercerita tentang proses awal bergabungnya anak-anak muda di kelompok musik Amsarasta. Selain masih sekolah, tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki latar belakang pendidikan musik, namun karena semangat yang besar terhadap musik dan bimbingan dari Bedur, akhirnya terbentuklah grup musik Amsarasta.

Penggalian ilmu kemudian beralih ke Richard, vokalis grup musik Coffeisme. Setelah memainkan musiknya, Richard, seorang muallaf, ikut berbagi bagaimana proses pencarian jatidiri dan perjalanan spiritualnya yang kemudian mengantar dirinya menemukan Islam. Richard, sebelumnya dikenal sebagai rapper, menemukan nilai-nilai hakiki Islam ketika ia membaca buku tentang tokoh-tokoh filsafat dunia modern dan mempelajari sosok Rasulullah Muhammad SAW. Beberapa kisah Rasulullah kemudian ia ceritakan, terlihat ia begitu emosional. Haru menahan tangis, ia kisahkan cerita-cerita bagaimana Muhammad begitu rendah hati dalam menghadapi cemoohan kaumnya.

Dari Richard kita belajar bahwa hidayah Allah bisa datang dari mana saja, persoalannya adalah apakah manusianya mau dan siap menerima hidayah atau tidak. Fahmi menemukan ilmu dalam cerita perjalanan Richard, ia menggambarkan bahwa proses datangnya hidayah itu seperti file yang akan diolah pada sebuah komputer. Jika komputer tidak di-upgrade, tidak ditingkatkan prosesornya, memory-nya serta hardware-hardware-nya, maka ia akan terhambat dan mengalami kelambatan dalam memproses file. Seperti itulah gambaran manusia, jika manusia tidak meng-upgrade dirinya, bukan kemudian menyalahkan akan tidak hadirnya hidayah, yang harus dipertanyakan adalah apakah dirinya siap atau tidak menerima hidayah dari Allah.

Setiap orang mengalami proses berbeda satu dengan yang lain dalam menerima gelombang frekuensi informasi dari Allah. Jika Rasululllah SAW menerima wahyu, maka pada level dibawahnya kita mengenal karomah, ma’uunah, fadhilah. “Bahkan dalam tahapan kreativitas, seringkali orang menelurkan ide-ide, apakah ide bukan merupakan salah satu bentuk dari hidayah? Apakah kita sedemikian sombongnya sehingga berani menganggap bahwa ide itu bukan dari Allah?” Fahmi menggoda.

Setiap mendirikan salat kita selalu mengucapkan kalimat: ihdina-s-shiroto-l-mustaqiim. Terus-menerus meminta kepada Allah agar ditunjukkan ke jalan yang lurus. Dengan demikian, sejatinya kita tidak selalu berada di jalan lurus. Pengalaman hidup Richard bisa menjadi inspirasi bagi orang lain dalam proses perjalanannya menemukan kebenaran sejati, sejalan degan metode Maiyah yang menawarkan: mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar.

“Gembira itu nggak harus pakai uang. Asalkan anda kreatif terhadap pemaknaan hidup, anda akan gembira.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

kcdes1

ORKESTRASI SYARIAT

Menjelang pukul sebelas, tampil Hajar Bleh Big Band, sebuah kelompok musik yang tergabung di Komunitas Jazz Kemayoran. Roberto, pimpinan dari Hajar Bleh Big Band menceritakan bahwa teman-teman yang tergabung di Hajar Bleh Big Band bukanlah musisi profesional, kebanyakan adalah para pekerja kantoran yang memiliki hobi bermusik. Dari mulanya tidak bisa membaca not balok, kini semua belajar musik bersama dalam sebuah komunitas. Hajar Bleh Big Band bermula pada tahun 2010, grup musik ini berbasis komunitas sehingga dalam 5 tahun perjalanannya beberapa pemainnya banyak yang keluar-masuk dan berganti. Hajar Bleh Big Band baru saja merilis mini album yang berisi 5 lagu. Setelah memperkenalkan beberapa pemain, mereka menyapa jamaah dengan memainkan sebuah nomor instrumental, disambung dengan lagu berjudul Kopral Jono karya Ismail Marzuki yang telah diaransemen ulang.

Di tengah penampilan bermusik, Cak Nun hadir tampak hadir di tengah forum, ia duduk bersila bersama jamaah dan turut menikmati nomor-nomor yang disuguhkan oleh Hajar Bleh Big Band. Setelah lagu Don’t Worry Be Happy dibawakan, melihat performa apik dari Hajar Bleh Big Band, Cak Nun seperti tidak ingin melewatkan momentum, secara spontan Cak Nun melakukan tanya-jawab, menggali ilmu. Sembari duduk di kursi di tengah panggung, didampingi oleh Roberto sang pimpinan Hajar Bleh Big Band, Cak Nun mengelaborasi musik dan alat-alat musik yang malam itu secara lengkap dibawakan.

“Saya yang usul (sesi workshop), supaya ada pemaknaan, supaya kegembiraannya lebih mendalam dan tidak hanya di hati tetapi juga di akal pikiran,” Cak Nun membuka sesi workshop dengan meminta Roberto menjabarkan pengelompokkan alat-alat musik yang ada. Roberto menjelaskan, Hajar Bleh Big Band terdiri dari rhytm section, brass section dan vocal section. Cak Nun lalu meminta satu persatu para pemain untuk bergiliran memainkan alat musiknya. Cak Nun mengolah sesi workshop dalam suasana segar, penuh kegembiraan tetapi juga kaya akan penggalian ilmu dan nilai-nilai. “Gembira itu nggak harus pakai uang. Asalkan anda kreatif terhadap pemaknaan hidup, anda akan gembira,” lanjut Cak Nun sembari terus menggali pengetahuan dari Roberto.

“Kenapa orang mencari uang sebanyak-banyaknya, mencari kekuasaan ndak habis-habis, karena mereka pikir hanya itu yang bisa membuat mereka hidup bahagia. Disini, anda membuktikan semakin lapar semakin enak makan, karena setiap hari anda tahu bahwa lauk yang paling enak adalah lapar,” Cak Nun melanjutkan, “Surga itu tempat dimana apa yang kamu kehendaki terjadi, itu belum tentu enak lho, karena setiap kali (yang dikehendaki) ingin selalu terjadi, akhirnya kamu tidak bisa mengontrol keinginanmu, akhirnya semua yang terjadi itu menjadi tidak nikmat bagimu. Bagi kita sekarang ini, nikmat adalah ketika lama tidak terjadi, suatu hari terjadi, senengnya ndak karu-karuan.”

“Seimbang adalah prinsip utama Alquran. Allah menciptakan langit dan seluruh struktur alam semesta dengan meletakkan padanya keseimbangan. Orkestra adalah syariat Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

kcdes3

Cak Nun melanjutkan workshop lebih mendalam menuju konsep orkestra nada dan ketukan, bahwa sekumpulan alat musik bukan hanya sembarang orkestra biasa, pada hakikatnya sekumpulan alat musik dalam orkestra merupakan ilmu kehidupan yang sangat nyata. Dalam sebuah kelompok musik, tidak boleh ada alat musik yang menonjol suaranya secara individu, semua harus selaras dan seimbang dalam memainkan nada, sebab setiap alat musik adalah unik, tidak seragam cara memainkannya sehingga dibutuhkan sebuah aransemen yang tepat agar dapat harmonis.

“Seimbang adalah prinsip utama dalam Alquran. Allah menciptakan langit dan seluruh struktur alam semesta dengan meletakkan padanya keseimbangan. Jadi, orkestra adalah syariat Allah,” jelas Cak Nun. Dalam konsep alam semesta, segala sesuatunya di-setting sedemikian rupa agar orkestratif, bukan hanya yang terdengar melainkan juga yang terlihat. Cak Nun lalu menanyakan pada Roberto, “Apakah dalam penampilan orkestra pemain musiknya bebas menempatkan dirinya dimana saja dengan gaya apa saja?” Roberto tegas menjawab, “Tidak boleh, karena akan berakibat pada ketidakharmonisan nada.” Cak Nun mencontohkan struktur alam semuanya yang diletakkan oleh Allah sedemikian rupa secara orkestratif, bagaimana ketika angin berhembus kita tidak melihat anginnya tetapi berhembusnya angin ditampakkan dengan daun-daun yang bergoyang bahkan berjatuhan ketika dihembus angin.

Dalam setiap penyusunan partitur, seorang komponis harus mampu menentukan urutan alat musik mana yang akan dibunyikan, bahkan sunyi sekalipun dibutuhkan dalam komponen terbentuknya sebuah orkestrasi musik. Begitu juga dalam kehidupan, jeda atau sunyi dibutuhkan sebagai unsur keseimbangan kehidupan.

“Teman-teman sekalian, hidup adalah syariat Allah, alam semesta adalah syariat Allah, hidupnya manusia adalah syariat Allah, semua yang ada dalam dirimu berlaku metabolisme, metabolisme adalah syariat Allah. Alam semesta merupakan syariat yang paling mendasar dalam kehidupan dan Alquran merupakan sebuah orkestra yang luar biasa,” pungkas Cak Nun yang juga menjelaskan bahwa dalam Islam berlaku ibadah mahdah sebagai sebuah syariat dalam beragama yang tercantum dalam rukun Islam, tetapi semua yang diluar itu sejatinya adalah syariat Allah. Berhembusnya angin, mengalirnya air, tumbuhnya anggota dan organ-organ tubuh manusia merupakan satu kesatuan yang terkumpul dalam syariat Allah.

“Alam semesta merupakan syariat yang paling mendasar dalam kehidupan dan Alquran merupakan sebuah orkestra yang luar biasa.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

Jika digambarkan dalam sebuah orkestra, maka Allah adalah seorang maestro kehidupan yang mengatur segala sesuatunya yang berlaku. Seperti halnya seorang komposer ketika menyusun partitur dalam sebuah aransemen, ia tidak sekaligus menyelesaikannya dalam satu waktu, ia membutuhkan jeda sehingga terbentuklah sebuah aransemen yang harmonis, melibatkan banyak alat musik ketika dimainkan. Begitu juga Allah ketika menurunkan informasi kepada manusia, tidak serta merta begitu Nabi Adam diciptakan kemudian diwahyukan Alquran, melainkan semuanya berproses sehingga aransemen kehidupan yang sudah disusun oleh Allah berjalan harmonis.

Seorang maestro adalah orang yang ahli dalam suatu bidang, meskipun istilah ini seringkali disebut dalam dunia kesenian, namun pada hakikatnya setiap orang yang ahli dalam sebuah bidang layak disebut maestro. Seorang konduktor dalam orkestra ibarat seorang direktur harian pelaksana tugas sehari-hari, secara struktural diatas direktur harian ada yang berposisi sebagai direktur utama, ia menentukan siapa-siapa saja yang berhak menduduki jabatan direksi. Konsep ini sebenarnya juga sama ketika diaplikasikan dalam wilayah organisasi, hanya saja di setiap organisasi memiliki istilah-istilah berbeda. Di NU misalnya, terdapat Dewan Syuro dan Dewan Tanfidziah, kemudian terdapat pimpinan wilayah, pimpinan daerah hingga pimpinan cabang, kemudian ada sayap-sayap organisasi seperti Ansor dan PMII.

“Semua sama (konsep stukturnya), mau musik, mau organisasi, mau politik, mau kabinet, mau alam semesta, semuanya sama, tetapi syaratnya satu: kamu jangan melawan syariat Allah. Syariat Allah adalah hukum yang sudah ditetapkan di dalam dirimu, di alam semesta dan di apa saja, semua harus taat kepada sifat yang Allah kasih kepada syariatnya itu. Kamu tidak bisa bikin pesawat kalau kamu melawan hukum gravitasi, jadi kamu harus memahami hukum gravitasi. Semua harus taat kepada syariat Allah, kalau tidak taat kepada syariat Allah maka akan hancur,” lanjut Cak Nun mengelaborasi konsep struktur orkestrasi alam semesta.

Memberi jeda sebelum memasuki diskusi lanjutan, Cak Nun mempersilakan Hajar Bleh Big Band kembali membawakan beberapa lagu, diawali dengan Juwita Malam karya Ismail Marzuki, dipungkasi dengan Barcelona karya Fariz RM. Setelah penampilan Hajar Bleh Big Band, Fahmi dan Tri mempersilakan Cak Nun untuk tampil ke forum bersama Dewi Umaya, Sari Koeswoyo, Cicha Koeswoyo, Pak Hartono, Habib Ali dan Habib Levi, menuntun pengajian lebih mendalam.

“Sebenarnya syariat itu tidak perlu diwajibkan, kalau cinta maka syariat akan jalan dengan sendirinya. Maka dasarnya bukan ketaatan tetapi cinta.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

kcdes4

ROBBUN – MAALIKUN – ILAAHUN

Memasuki tengah malam, konsep ihdina-s-shiroto-l-mustaqiim ditegaskan kembali oleh Cak Nun sebagai sebuah falsafah hidup. Dengan ayat yang selalu dibaca oleh setiap muslim dalam salatnya itulah terbuka kemungkinan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru. Cak Nun menerangkan beberapa pendekatan, ada pendekatan spiritual, pendekatan sosiologis, pendekatan kekuasaan, pendekatan ekonomi, pendekatan kultural, pendekatan intelektual dan masih banyak lagi berbagai macam pendekatan-pendekatan yang bisa digunakan.

“Saya ingin tanya sama anda. Sepanjang anda mengenal Islam, anda mengenal Alquran, anda mengenal sirah Rasulullah SAW, Allah itu default-nya memakai pendekatan apa?” Cak Nun melempar pertanyaan kepada jamaah. Jamaah menjawab dengan “pendekatan kasih sayang” atau “rahman rahiim”, dimana kasih sayang itulah yang menjadi ikon utama Allah, seperti yang selalu diucapkan dalam kalimat basmalah. Pada Kenduri Cinta bulan sebelumnya, telah dibahas bahwa Allah menggunakan pendekatan kasih sayang kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya dengan struktur yang termaktub dalam Surat An-Naas. Dalam Surat An-Naas terdapat urutan bagaimana Allah memposisikan dirinya dihadapan makhluk-Nya; Robbun-Maalikun-Ilaahun.

Cak Nun menjelaskan konsep struktur Robbun-Maalikun-Ilaahun untuk dapat diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan, baik sebagai pemimpin negara, perusahaan, organisasi bahkan dalam ruang lingkup keluarga. Pendekatan inilah yang seharusnya dilakukan oleh setiap pemimpin. Dialektika kasih sayang berlangsung dengan segala dinamikanya, dimana seluruh makhluk Allah diberi anugerah, rizqi, nikmat hingga musibah, kesemuanya dalam rangka dialektika cinta dan kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa bukan ibadah makhluknya yang kemudian menjadikan indikator masuk ke dalam surga, melainkan atas rahmat-Nya lah manusia diizinkan masuk ke surga atau tidak. Meskipun demikian, bukan berarti manusia kemudian tidak melaksanakan syariat Allah. Melaksanakan syariat justru dalam rangka mencapai rahmat-Nya. Manusia harus tetap memiliki kesadaran bahwa menjalankan syariat merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.

“Sama Allah itu apa saja ngikut, tanpa reserve, itu namanya laa ilaaha illallah. Ndak usah mempertanyakan: kok Tuhan tidak adil? Lha sing ngarani Gusti Allah kudu adil iku sopo? Keharusan untuk adil itu hanya terjadi pada orang yang saling membutuhkan,” lanjut Cak Nun sembari menjelaskan bahwa apapun keputusan Allah terhadap kita, harus kita terima tanpa mempertanyakan alasannya. Karena justru dengan sikap menerima semua keputusan Allah, kita akan menerima sesuatu yang tidak disangka-sangka yang merupakan wujud dari kasih sayang Allah; min haitsu laa yahtasib.

“Syariat Allah dasarnya adalah cinta. Allah menciptakan Nur Muhammad, kemudian karena cintanya kepada Nur Muhammad maka Allah menciptakan alam semesta. Laulaaka yaa Muhammad, ma kholaqtu-l-aflaak.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

Setelah konsep Rahman-Rahiim, An-Naas, Robbun-Maalikun-Ilaahun dan rahmat Allah dalam menampakkan rasa kasih sayangnya kepada makhluk-Nya, Allah menggenapkan dalam surat Ali Imron ayat 31: Qul in kuntum tuhibbunallaha fattabi’uunii yuhbibkumullaha wayaghfirlakum dzunuubakum wallahu ghofuurun rohiimun. “Jadi seluruh peristiwa hidup ini ternyata urusan cinta. Bahwa di tengah cinta itu terdapat urusan syariat, itu sebagaimana kehidupan suami istri, disuruh atau nggak disuruh pagi-pagi istri tetap mbikinin kopi. Karena itu merupakan dialektika kehidupan,” Cak Nun melanjutkan,

“Sebenarnya syariat itu tidak perlu diwajibkan, kalau cinta maka syariat akan jalan dengan sendirinya. Maka dasarnya bukan ketaatan tetapi cinta. Dalam ayat tersebut (Ali Imron 31), nomor satu adalah fattabi’uuni dimana landasan utamanya adalah inkuntum tuhibbuunallah. Manusia diperintahkan mengikuti Rasulullah SAW atas dasar cinta kepada Allah, sehingga Allah akan meresonansikan rasa cinta kepada manusianya itu sendiri.”

“Kalau kamu cinta Allah, ikutlah Muhammad SAW, maka Allah akan mencintai kamu dan akan mengampuni dosamu. Suksesnya orang hidup itu bukan kamu kaya atau tidak, kamu terkenal apa tidak, kamu jadi pejabat apa tidak, tetapi suksesnya orang adalah kalau Allah memaafkan kamu,” lanjut Cak Nun mengulang kembali pemahaman baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur.

Thoyyibah lebih mudah mencapainya dan sangat relatif, kunci utamanya justru ada pada robbun ghoffur. Begitu mudahnya manusia mencapai tingkat thoyyibah, tetapi betapa sukarnya manusia untuk menuju robbun ghoffur. Seperti halnya dialektika in lam takun ‘alayya ghodobun, falaa ubaalii; asalkan Allah tidak marah sama kita, maka sudah beres hidup kita. “Jadi, setiap hari pertanyaan kita sederhana: tadi saya melakukan apa ya? Kira-kira Allah marah nggak ya? Itu saja. Kalau Allah ndak marah, selesai masalah. Pokoknya robbun ghoffur apa tidak,” jelas Cak Nun.

“Pendekatan kita kepada Indonesia adalah pendekatan Rahman-Rahiim, pendekatan kasih sayang. Kalau tidak karena kasih sayang kita kepada Indonesia, tidak akan bisa tumbuh bener nasionalisme kita.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

kcdes5

Dalam dialektika kehidupan, kita seringkali menemui dua hal yang begitu tipis perbedaannya, bahkan sukar dibedakan, seperti antara hemat dan pelit, antara teguh pendirian dan keras kepala, waspada dan penakut. Kita sering terlibat disitu dan kita sering ingin menyelamatkan diri dalam topeng-topeng kebaikan, namun sesungguhnya kita penakut, kita sembunyi di dalam waspada. “Sesungguhnya kita orang yang koppig, terus kita tutupi dengan label iman yang kuat,” Cak Nun memberi landasan berpikir agar kita tidak mudah terseret informasi. Dengan landasan berpikir seperti itu, maka setidaknya kita bisa menakar mana informasi yang layak untuk kita pelajari lebih lanjut dan memilah mana informasi yang layak kita tinggalkan, hingga kita mampu menertawakan dunia.

Sejenak kemudian, Cak Nun menjelaskan perbedaan antara cinta dan mencintai. Cinta adalah keadaan di dalam hati kita untuk mencintai seseorang, tetapi cinta belum mencintai, mencintai adalah suatu keadaan saat cinta itu diterapkan pada perilaku yang menyenangkan dan membahagiakan orang yang kita cintai. “Aku tidak perlu pernyataan cintamu, yang aku perlukan adalah engkau mencintaiku dengan bukti-bukti,” ucap Cak Nun.

“Saya kesini ini mencintai siapa? Saya disini ini cinta atau mencintai? Saya mencintai. Terus aku cinta sama siapa disini? Aku cinta kepadamu karena engkau adalah kekasih Tuhanku, maka aku mengasihi semua kekasih Tuhanku. Maka pertemuan di Kenduri Cinta selalu aku doakan: Ya Allah pertemukanlah kami malam hari ini semua, kekasihmu, dalam satu lingkaran Kenduri Cinta yang saling membahagiakan satu sama lain,” lanjut Cak Nun.

Dimensi cinta kemudian diperluas kepada Indonesia, “Selalu saya bilang Indonesia itu bagian dari diri saya, kalau diperjelas, Indonesia bagian dari cinta saya, maka kerjaan saya mencintai Indonesia. Dan aku tidak menagih cinta kepada Indonesia atasku. Indonesia ndak cinta sama aku, tidak masalah. Yang penting aku cinta kepadamu (Indonesia). Jadi aku akan selalu memberi kepada Indonesia dan aku tidak meminta bagian apa-apa kepada Indonesia. Maka aku tidak bilang bahwa aku bagian dari Indonesia, kalau aku bagian dari Indonesia maka aku minta bagian terus kepada Indonesia (jabatan, uang dan lain-lainnya). Maka pendekatan kita kepada Indonesia adalah pendekatan Rahman-Rahiim, pendekatan kasih sayang. Kalau tidak karena kasih sayang kita kepada Indonesia, tidak akan bisa tumbuh bener nasionalisme kita,” kata Cak Nun.

“Indonesia adalah bagian dari cinta saya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

Apa yang dilakukan Maiyah di Indonesia merupakan sebuah pekerjaan yang seharusnya menjadi kewajiban dari negara. Di Maiyah kita belajar pendidikan spiritual, intelektual, ekonomi, politik, budaya, hukum, teknologi, olahraga dan segala macam ilmu pengetahuan lainnya yang seharusnya menjadi kewajiban bagi departemen agama, departemen pendidikan dan departemen-departemen. Kita tidak menagih kepada siapa-siapa, tetapi kita menagih kepada cinta kita sendiri untuk kita tumpahkan kepada bangsa kita dan seluruh umat manusia. “Alhamdulillah kita diberi kekuatan sugih tanpo bondo menyelenggarakan pendidikan spiritual seperti (kenduri cinta) ini,” Cak Nun bersyukur.

Namun, selalu saja ada yang mencurigai bahwa Cak Nun sedang menyiapkan agenda politik, hal tersebut karena begitu banyaknya yang hadir pada setiap forum maiyahan. Banyak yang belum mampu memahami bahwa yang terjadi dalam setiap maiyahan adalah wujud dari cinta, kasih dan sayang satu sama lain, sehingga orang yang hadir selalu merasakan kerinduan yang mendalam untuk ingin kembali bertemu, berkumpul meskipun tidak mengenal satu sama lain.

“Engkau berjumpa disini, sesungguhnya yang mendorongmu untuk datang kesini adalah kerinduan kepada teman-temanmu. Ketika anda pulang nanti, anda merasa eman dalam hatimu, karena engkau masih rindu kepada sahabat-sahabatmu, meskipun engkau tidak mengerti siapa mereka tapi engkau sudah menjadi satu disini di dalam kerinduan. Apa yang lebih indah dari kerinduan? Betul nggak? Ini kan rindu satu sama lain. Anda pikir saya itu kuat ndak kesini? Aku iki yo kangen karo awakmu rek! Kangen aku!” ungkap Cak Nun.

kcdes6

ORISINALITAS MANUSIA KOES

Hadir malam itu Sari Koeswoyo, ia merasa bahwa Kenduri Cinta menghadirkan jawaban atas persoalan yang kini sedang dihadapinya tentang cinta. Melalui pemaparan Cak Nun, Sari mendapatkan jawaban bahwa yang seharusnya dilakukan adalah mencintai, belajar mencintai, apapun keadaan dan situasinya. “Memang tidak gampang, tapi ya kalau Allah bisa mencintai kita tanpa reserve apapun, mosok kita yang diberi nafas setiap hari kok tidak bisa ngebalikin. Memang paling susah mencintai Allah tanpa reserve, karena kita tidak bisa membayangkan wujudnya bagaimana dan Dia ada dimana, berbeda jika kita mencintai seseorang yang bisa kita lihat wujudnya,” ungkap Sari.

Sari berpendapat, apabila kita ingin ngobrol dengan Allah, salah satu caranya adalah dengan membaca Alquran, meskipun belum tentu dengan membaca Alquran langsung menemukan jawaban atas keresahan kita, tetapi dengan gelombang cinta yang ada dalam diri, meskipun saat itu kita tidak menemukan jawabannya, bisa jadi besok ketika kita membuka mata setelah tidur, kita dipertemukan dengan jawabannya. “Saya datang kesini karena saya mencintai Cak Nun, amat sangat mencintai Cak Nun. Dan saya tidak pernah meminta apapun dari Cak Nun, karena apa yang dia ucapkan itu sudah cintanya Cak Nun buat saya,” pungkas Sari.

Pak Hartono ikut berpendapat, dalam pandangannya mencintai dan mengasihi adalah berbeda. “Sepengertian saya, antara kasih sayang dengan cinta itu terdapat perbedaan. Kalau kasih sayang itu asal pihak yang kita kasihi dia senang, kita ikut senang. Kalau mencintai, itu masih mengandung ego rasa memiliki. Kalau Allah, Dia mencintai kita karena dia memiliki hak prerogatif sebagai Tuhan. Tetapi kita, sebagai manusia kepada Allah harusnya mengasihi, karena apapun yang Allah lakukan kepada kita, kita akan menerima dengan bahagia dan senang. Jadi kasih sayang itu tidak ada ego, sedangkan cinta ada ego,” ungkap Pak Hartono.

“Itu hanya masalah epistimologi, masalah harfiah, masalah kosakata yang dalam bahasa Indonesia yang tidak ada asal-usul dan sejarahnya, sehingga kita kebingungan antara cinta dan kasih sayang,” Cak Nun merespon Pak Hartono, “Tadi Mbak Sari mengatakan: mencintai itu ya mencintai saja, saya harus menerima apa adanya. Itu kalau kita melihat dari sudut pandang Mbak Sari, seakan-akan kejadiannya tragis karena apapun yang dilakukan oleh yang kita cintai itu boleh. Jangan lupa bahwa mencintai itu harus kedua belah pihak, maka hasilnya saling menerima, maka pasti masing-masing akan berlaku supaya nyenengin (membahagiakan) orang yang dicintainya. Akhirnya terjadi keindahan.”

“Allah menomorsatukan keluasan untuk sebanyak mungkin pihak, maka Dia menyebut Rahman dulu baru Rahiim.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

“Mencintai merupakan peristiwa dialektika antara kedua belah pihak yang saling cinta, maka hasilnya akan sangat indah, akan saling mengalah, akan saling meminimalisir ego masing-masing. Bahkan ego orang yang mencintai itu meniadakan egonya yang kemudian egonya akan diadakan oleh orang yang dicintai,” papar Cak Nun.

“Katakanlah saya mencintai Mbak Novia, saya tidak peduli dengan diri saya, Mbak Novia yang peduli dengan diri saya. Karena dia mencintai saya. Begitu juga, dia tidak peduli dengan dirinya karena dia mencintai saya, tapi saya yang wajib peduli dengan dirinya, egonya. Jadi cuma ping-pong sebenarnya dan itu keindahan yang luar biasa,” Cak Nun menambahkan paparan Sari Koeswoyo.

“Kalau dalam Islam, ada satu akar kata: ra-ha-mim. Nanti kalau dia peristiwanya meluas, subyeknya disebut Rahman, kalau peristiwanya meninggi (mendalam) itu Rahiim. Maka, bunyinya saja sudah menggambarkan secara teater,” Cak Nun melanjutkan, “Maka Allah menomorsatukan keluasan untuk sebanyak mungkin pihak, maka Dia menyebut Rahman dulu baru Rahiim. Orang yang sudah berdialektika secara sosial (Rahman, cinta yang meluas) baru nanti punya hak pribadi untuk Rahiim, yaitu cinta yang mendalam. Jadi nomor satu cinta yang meluas dulu, baru cinta yang mendalam.”

Cak Nun menyarankan jamaah untuk membuka Alquran surat Al-Furqon untuk mempelajari tentang cinta yang meluas dan mendalam. Setiap kalimat-kalimat Allah dalam Alquran dapat dipahami sebagai metodologi sosial, karena kalau kita mengikuti alur, struktur dan tatanan kalimat-kalimat Allah dalam Alquran maka kita akan mencapai keindahan hidup yang luar biasa.

Melengkapi pemaparan Pak Hartono, yang utama untuk diungkapkan dan diwujudkan adalah kasih sayang terlebih dahulu, seperti dialektika dalam kalimat basmalah, Rahman dulu baru kemudian Rahiim. Setelah kasih sayang diwujudkan, barulah kita menagih cinta yang mendalam, Rahiim. Cak Nun menggambarkan, dalam setiap kali kita berdoa kita mendoakan orang lain dulu baru kemudian kita berdoa untuk diri kita sendiri, hal itu membuat Allah bahagia.

“Yang membaiat dirimu adalah dirimu, yang bersyahadat adalah dirimu kepada Tuhanmu. Tidak ada disyahadatkan, yang ada adalah bersyahadat.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

Prinsip kedaulatan tak henti ditegaskan oleh Cak Nun, jamaah diminta untuk tidak selalu melegitimasikan pernyataan-pernyataan Cak Nun hanya sebatas sebagai klaim pembenaran, ”Bukan berarti yang saya omongkan pasti benar, tolong ini dicatat terus ya. Ojo ‘kata Cak Nun’. Semua anda dengarkan, baik buruk kamu dengarkan, kamu punya parameter untuk mengambil yang baik dan anda yang ambil keputusan. Begitu engkau salat, engkau yang ambil keputusan (untuk mendirikan salat), bukan gurumu, bukan murysidmu, bukan kyaimu, hanya Muhammad SAW saja yang berhak ada disitu (didalam pengambilan keputusan untuk salat).”

Mencontohkan apa yang terjadi di masyarakat, meskipun di Islam terdapat banyak aliran dan organisasi, tidak ada orang yang pantas untuk melegitimasi bahwa dia adalah Islam NU, Islam Muhammadiyah, Islam Sunni, Islam Syiah dan label-label lainnya, karena yang paling utama adalah Islamnya. Bahwa kemudian setiap individu mengambil pemahaman dan penafsiran tentang Islam itu berbeda satu sama lain, hal itu karena pengalaman dan pengetahuan masing-masing, tetapi begitu kita mengambil keputusan (untuk salat) itu merupakan keputusan yang genuine, orisinal keputusan kita sendiri, tidak karena siapa-siapa kecuali karena Allah dan Rasulullah SAW. Bahwa yang boleh ada antara kita dengan Allah hanya Rasulullah SAW, karena hanya Rasulullah SAW yang pantas mengisi ruang itu. Mereka lainnya tidak mampu menyelamatkan kita atau mengamankan kita di hadapan Allah, semua akan kita pertanggungjawabkan mandiri oleh diri kita masing-masing.

“Meskipun anda saya baiat, nanti di pengadilan yang sejati saya ndak bisa mbelain kamu to? Jadi yang membaiat dirimu adalah dirimu, yang bersyahadat adalah dirimu kepada Tuhanmu. Tidak ada disyahadatkan, yang ada adalah bersyahadat,” Cak Nun menegaskan.

kcdes7

“Koes Bersaudara merupakan teladan manusia Indonesia yang orisinil. Kepada Pak Nomo dan Pak Yok, kita belajar tentang manusia, karena mereka menampilkan diri apa adanya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

Mengenai kegelisahan mengapa kita harus mencintai Allah sementara Allah sendiri tidak bisa kita lihat secara kasat mata, Cak Nun menyampaikan, Allah telah memberi kita rumusan: salat lah kamu seakan-akan kamu melihat-Ku, jika kamu tidak mampu melihat-Ku maka ingatlah sesungguhnya Aku melihatmu. Seperti halnya suhu udara, apabila suhu udara dingin rata-rata dapat mengakibatkan air membeku menjadi es. Ada warna dan dimensi kehidupan yang bisa kita lihat, tetapi juga ada warna dan dimensi kehidupan yang tidak bisa kita lihat karena struktur kornea mata kita yang terbatas.

Satu hal yang juga harus selalu kita ingat, bahwa Allah sendiri yang menentukan untuk bertemu dengan kita, dalam dimensi ruang dan waktu yang tidak kita sangka-sangka, bukan kita yang menentukan. Allah mengatakan, apabila kita melangkah menuju Allah maka Allah akan berlari menuju kita. Berdasar itu, kita dibolehkan merasa ge-er dekat dengan Allah, kita tidak perlu terlalu pusing memikirkan seperti apa wujud-Nya, sehingga berakibat kita kebingungan menyatakan cinta kita kepada Allah.

Pada kesempatan berikutnya, Dewi Umaya, produser film Guru Bangsa: Tjokroaminoto, tampil ke forum dan menceritakan mengapa malam itu ia mengajak Cicha Koeswoyo dan Sari Koeswoyo ke Kenduri Cinta. Rumah produksi Pick Lock saat ini sedang dalam proses pembuatan film Koes Bersaudara, sebuah film tentang perjalanan kehidupan kelompok musik legendaris Koes Plus, kehadiran mereka sekaligus dalam rangka meminta doa agar proses pembuatan film tersebut berjalan baik.

Menambahkan, Cak Nun sampaikan bahwa skenario persambungan tersebut menjadikan Maiyah lebih dekat dengan Koes Bersaudara, setelah bulan sebelumnya Pak Yok Koeswoyo hadir di Kenduri Cinta, beberapa hari setelahnya Pak Yok dan Pak Nomo ikut pula hadir di sebuah acara maiyahan di Tuban. Pak Nomo Koeswoyo juga direncanakan akan hadir di Mocopat Syafaat Yogyakarta.

Dalam pandangan Cak Nun, Koes Bersaudara merupakan teladan manusia Indonesia yang orisinil. Mereka tidak memalsukan penampilan, tidak mementingkan image building, tidak terpengaruh oleh industri, bahkan meski hidup di Jakarta hampir 60 tahun tetapi identitas Jawa dalam diri mereka tidak hilang. Kepada Pak Nomo dan Pak Yok, kita belajar tentang manusia, karena mereka menampilkan diri apa adanya. Selama ini kita belajar kepada intelektual, kaum profesional, ulama, kyai tetapi kita lupa belajar kepada manusia karena sekarang manusia sudah banyak yang ditopengi oleh kepentingan, jabatan, profesi dan sifat-sifat keduniaan lainnya.

Menjelang pukul dua dinihari, Komunitas Jazz Kemayoran (KJK) membawakan lagu-lagunya, memberi jeda sebelum sesi tanya jawab. Penampilan KJK kali itu terasa lebih meriah karena secara spontan Sari dan Cicha Koeswoyo bergabung KJK menyanyikan lagu berjudul Jemu dan Andaikan Kau Datang Kembali karya Koes Bersaudara.

“Saya hanyalah bagian dari yang Allah sebut yastami’uuna-l-qoul. Anda harus mendengar sebanyak mungkin pendapat, tetapi kembali kepada anda pengambilan keputusannya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

kcdes12

UMMATAN WASATHON

Sebelum memasuki sesi tanya jawab, Cak Nun menyampaikan harapannya, seperti yang tercantum dalam Alquran, umat Islam sudah seharusnya menjadi ummatan wasathon, menjadi umat penengah, menjadi perekat antar umat. Pada masa dahulu, kaum Yahudi memiliki ajaran bahwa apabila mereka disakiti maka mereka harus membalas perlakuan yang menyakitkan itu kepada orang yang menyakiti, jika dipukul maka dibalas dengan memukul. Sementara orang Nasrani memiliki ajaran apabila ditampar pipi kiri berikanlah pipi kanan. Islam memiliki pilihan yang lebih arif, bahwa apabila kita disakiti oleh orang lain, kita berhak untuk membalas perlakuan itu tetapi Allah menawarkan sebuah kemuliaan, yaitu apabila kita memaafkan perbuatan itu.

Setelah berbagai pertanyaan dilontarkan oleh jamaah, Cak Nun merespon satu persatu pertanyaan dengan tetap memberi landasan bahwa dirinya bukanlah pedoman hidup. “Saya jawab semampu-mampu saya, tetapi tolong tetap pedomannya adalah saya bukan pedoman hidup anda. Saya hanyalah bagian dari yang Allah sebut yastami’uuna-l-qoul. Anda harus mendengar sebanyak mungkin pendapat, tetapi kembali kepada anda pengambilan keputusannya. Kalau anda mau ngikutin, ikutilah Rasulullah SAW atas dasar cinta kepada Allah. Saya ada atau tidak ada bukanlah hal yang primer, asal itu dijadikan pedoman, kita akan lebih selamat,” ungkap Cak Nun.

Cak Nun kemudian menceritakan pengalaman pribadinya dalam menghadapi berbagai pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut halyang sangat pribadi. Semisal saat seseorang mengeluhkan istrinya yang selingkuh dan tidak tahu bagaimana akan bersikap. Menghadapi situasi demikian, Cak Nun percaya bahwa orang tersebut (beserta persoalan yang dibawanya) adalah datang karena perintah Allah, sehingga Cak Nun meyakini Allah pula yang akan memberikan jawaban kepadanya.

Miliho, kate dadi wong arif ta dadi wong lanang (Pilihlah, kamu mau jadi orang arif atau jadi laki-laki),” Cak Nun memberi tanggapan, orang tersebut singkat menjawab “Oh Beres, tak pikire Cak!” Beberapa hari kemudian orang tersebut bertemu kembali dengan Cak Nun dan menyampaikan pilihan yang sudah diambilnya, “Cak, lanang Cak!”

Pilihan menjadi orang arif adalah dengan menerima kondisi istrinya yang telah berbuat kesalahan, sebuah pilihan berat, tetapi hal itu akan membawanya menjadi orang yang arif. Kalau “menjadi laki-laki” maka ia akan meninggalkan istrinya, menceraikannya dan mencari wanita lain untuk dinikahi kemudian kembali membangun rumah tangga yang baru. Kedua pilihan ini bukan dalam konteks baik atau buruk, keduanya merupakan hak Allah untuk menilainya. Cak Nun hanya menyampaikan pilihan-pilihan.

Solusi ini yang juga diberikan kepada jamaah yang sebelumnya menanyakan tentang hubungan dengan tetangganya yang tidak harmonis, jika memilih menjadi orang arif maka nikmati dan terima saja kondisinya, teruslah menyapa setiap pagi, teruslah membangun hubungan yang baik. Tapi kalau memilih untuk menjadi “wong lanang”, maka harus bertindak tegas dan tegurlah, dan tanyakan dengan tegas mengapa ia bersikap tidak sesuai.

Struktur kehidupan alam semesta seperti halnya sebuah orkestra, yang mana Allah sebagai maestronya.

Seringkali Cak Nun menyampaikan kisah-kisah Rasulullah sebagai sebuah cermin besar, kali itu sebuah kisah Rasulullah SAW yang selalu dihina oleh pengemis yahudi buta. Pengemis itu memberitahu semua orang yang ditemuinya agar menjauhi Rasulullah Muhammad SAW. Rasulullah mengetahui itu, namun di saat sama, setiap hari Rasulullah SAW mendatangi pengemis tersebut dan memberinya kurma, bahkan karena pengemis tersebut sudah tua, Rasulullah SAW mengupaskan kurmanya agar si pengemis dapat dengan mudah memakannya. Dalam sebuah riwayat bahkan diceritakan Rasulullah SAW mengunyahkan kurma tersebut sebelum kemudian menyuapkan ke si pengemis. Pengemis itu, karena ia tidak dapat melihat, setiap kali Rasulullah SAW memberinya kurma pun tetap berpesan agar menjauhi Rasulullah Muhammad SAW, ia tidak menyadari bahwa orang yang memberinya makan setiap hari adalah orang yang ia kutuk-kutuk. Hingga suatu hari Rasulullah SAW sakit dan tidak memberi makan, si pengemis bertanya-tanya kemana orang yang setiap hari memberinya makan. Seseorang memberitahu bahwa yang biasa memberinya kurma setiap hari adalah Rasulullah SAW. Sontak pengemis tersebut kaget. Yang terjadi kemudian adalah peristiwa masuknya pengemis tersebut ke dalam Islam.

Cak Nun berbelok sedikit menjelaskan struktur kehidupan alam semesta seperti halnya sebuah orkestra, yang mana Allah sebagai maestronya, Rasulullah SAW sebagai prinsipal, dibawah Rasulullah SAW ada malaikat, iblis, jin, manusia dan semua makhluk yang diciptakan Allah. Malaikat melakukan semua yang diperintahkan dan tidak ada opsi untuk improvisasi, tetapi manusia memiliki hak untuk berkreasi, melakukan improvisasi. Dalam sebuah riwayat, iblis dikisahkan mendatangi Rasulullah SAW dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Rasulullah SAW. Ini menandakan bahwa Iblis merupakan satu komponen dalam kehidupan manusia untuk dijadikan sparring partner, bukan sebagai kompetitor. Seandainya Iblis musuh manusia, tentu tidak mungkin menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Rasulullah SAW saat ia mendatangi Rasulullah SAW, karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah hal-hal yang menyangkut dengan skenario yang sudah ditetapkan oleh Allah kepada iblis dalam tatanan orkestra kehidupan di alam semesta ini.

kcdes9

Kembali ke ayat qul ‘auudzu bi robbi-n-naasi, Cak Nun menawarkan sebuah pendekatan penyelesaian persoalan konflik Sunni dan Syiah yang hingg kini belum menemukan titik temu. Ketika Hadaad Alwi masih bersama KiaiKanjeng ikut menggelorakan shalawatan, dalam sebuah diskusi Cak Nun pernah berpesan kepada Hadaad Alwi agar memaafkan Abu Bakar, Umar dan Utsman, karena mereka juga manusia seperti kita. Yang terjadi hari ini adalah antara keduanya (Sunni dan Syiah) sama-sama tidak mau mengalah, sehingga terus menerus terjadi konflik.

Merefleksikan kepada pengalaman pribadi, suatu waktu Cak Nun pernah mengalami upaya pembunuhan, tetapi Allah menyelamatkan Cak Nun sehingga berhasil selamat. Cak Nun tahu siapa orang yang melakukannya dan yang dilakukan Cak Nun adalah memaafkannya, bahkan menghormatinya lebih dari sebelumnya. Jika kembali kepada respon pertanyaan pertama tadi, maka pilihan yang diambil oleh Cak Nun adalah pilihan menjadi orang yang arif, sehingga kedudukannya lebih mulia jika dibandingkan dengan memilih menjadi “wong lanang“.

Faddholallahu ba’dhon ‘alaa ba’dhin. Kamu jangan remehkan kaki gara-gara dia dibawah. Apa kaki itu rendah karena dia dibawah?” lanjut Cak Nun, “Segala sesuatu itu akan pantas jika pada tempatnya, apakah sandal lebih hina dari peci? Belum tentu. Begitu juga dalam musik, semua alat musik sama istimewanya, tidak ada yang paling istimewa. Dalam kehidupan pun demikian adanya, ada manusia drum, ada manusia bass, ada manusia gitar, ada manusia saxsophone dan lain sebagainya, semua berdiri pada posisinya masing-masing, berperan sesuai dengan perannya masing-masing, memainkan partitur-partitur yang sudah diberikan oleh konduktor.”

Merespon pertanyaan jamaah yang menghadapi persoalan dimana ia sudah bulat tekad untuk menikah, sementara perempuan yang akan dinkahinya belum mendapat restu dari bapaknya, Cak Nun memberi saran untuk mengajak bapaknya salat istikharah dan berpuasa. “Menurut saya, ajak (bapakmu) salat istikharah 3 malam berturut-turut, syukur-syukur dilanjutkan dengan berpuasa selama 3 hari. Untuk menunjukkan kesungguhan kepada Allah (atas niat baikmu), dengan harapan Allah memberi petunjuk,” Cak Nun merespon. Salat Istikharah adalah upaya kita untuk kepada Allah agar diberi petunjuk, dan kita diberi kebebasan untuk menentukan idiom yang tepat bagaimana Allah memberi tanda kepada kita. Kita boleh saja mengatakan: Ya Allah, kalau memang perempuan ini layak menjadi istriku, berilah tanda dengan engkau memperlihatkanku warna hijau, jika tidak maka perlihatkanlah aku warna hitam. Jika memang kita yakin, maka Allah akan memberikan jawaban kepada kita.

“Kalau anda belum mantap dan belum yakin dengan salat istikharah yang anda laksanakan, anda baca Surat Yaasin, itu tradisi saya,” sambung Cak Nun. Membaca Yaasin bukan dalam rangka mensakralkan Surat Yaasin, melainkan karena di dalam Surat Yaasin terdapat kata Mubiin, yang artinya Allah Maha Memperjelas, dan setiap membaca kata Mubiin tersebut diulang sebanyak 99 kali. “Memohon kepada Allah Yang Maha Menjelaskan, Insya Allah Allah akan sayang kepadamu dan memberikan kejelasan. Mudah-mudahan cintamu kepada pacarmu dan cintamu kepada bapakmu diharmonikan oleh Allah,” doa Cak Nun.

“Khusyuk atau tidaknya salat kita hanya Allah yang tahu, sedangkan kita sebagai manusia hanya bisa merasakannya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Des, 2015)

kcdes10

EPILOG

“Semua orang itu bisanya berjuang supaya khusyuk,” Cak Nun merespon pertanyaan jamaah mengenai cara agar salat khusyuk. Spirit Ihdina-s-shiroto-l-mustaqiim dijelaskan kembali oleh Cak Nun mengingat betapa sukarnya kita mencapai tingkat kekhusyukan dalam salat, perlu diingat juga bahwa khusyuk atau tidaknya salat kita hanya Allah yang tahu, sedangkan kita sebagai manusia hanya bisa merasakannya. Bukan lantas hal tersebut menjadi hal yang dipamerkan, karena sejatinya kita sendiri pun tidak dapat menilai apakah salat kita khusyuk atau tidak.

Secara sederhana Cak Nun menjelaskan, yang penting kita lakukan adalah fokus kepada Allah saat salat. Cak Nun mengibaratkan apabila kita bersalaman dengan orang lain, tetapi wajah kita tidak memandang wajah orang yang kita salami, tentu ia akan sakit hatinya karena kita tidak sepenuhnya ikhlas bersalaman kepadanya. Begitu juga saat kita salat, kalau kita tidak fokus kepada Allah, maka apakah kemudian salat kita akan dianggap khusyuk?

Cak Nun juga mengingatkan bahwa dalam ilmu fikih tidak ada syarat khusyuk dalam mendirikan salat, meskipun salat kita tidak khusyuk tetap dianggap sah secara syariat ilmu fikih. Khusyuk berada di wilayah ruhani, bukan materi. “Kekhusyukan itu bukan peristiwa syariat, kekhusyukan itu peristiwa cinta. Jadi misalnya kalau dalam fikih tidak ada syarat khusyuk, tolong diteruskan pikiranmu; apa bener kalau saya nggak khusyuk, saya ndak diterima (salatnya). Secara syariat, diterima. Tetapi kalau kamu mau mikir, sebenarnya salat itu menghadap Allah maka: salat lah seakan-akan engkau melihat-Ku kalau engkau tidak bisa melihat-Ku ketahuilah bahwa Aku melihatmu. Jadi salat itu adalah berhadapan dengan Allah, padahal salat itu ndak ada syarat bahwa anda harus merasa berhadapan dengan Allah,” Cak Nun menjelaskan dengan sederhana namun komprehensif.

“Yang penting logikanya, kalau saya tidak ingat Allah (ketika salat), Allah menganggap saya salat nggak?” Cak Nun menanyakan. Maka dapat disimpulkan bahwa kekhusyukan dalam salat adalah sefokus mungkin kita kepada Allah, jangan sampai ada seorang pun merasa lebih khusyuk dalam salat dari orang lain, karena kita tidak bisa menilai satu sama lain. Yang bisa kita lakukan adalah terus berjuang untuk tetap fokus kepada Allah ketika kita salat. Jadi, kekhusyukan itu tidak boleh dijadikan sebuah pertandingan karena kekhuysukan itu hanya Allah yang tahu.

Setelah semua pertanyaan dijawab oleh Cak Nun, KJK bersama Sari dan Cicha Koeswoyo tampil membawakan medley lagu Dara Manisku dan Tul Jaenak. Setelahnya, Cak Nun mengajak hadirin berdiri bersama menyanyikan lagu Syukur. Kenduri Cinta edisi Desember 2015 dipuncaki dengan doa bersama yang dipimpin oleh Cak Nun.