Sinau Cak Nun dan KiaiKanjeng ; Peresmian Perpustakaan Daerah Yogyakarta

Catatan Sinau Cak Nun dan KiaiKanjeng Dalam Rangka Peresmian Perpustakaan Daerah Yogyakarta

Setelah dua malam maiyahan di pedesaan di daerah Mungkid Magelang dan Imogiri Bantul, malam ini Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah berada di Gedung Grhatama Pustaka Yogyakarta. Gedung perpustakaan daerah Yogyakarta yang baru yang sudah selesai dibangun ini, malam ini diresmikan. Gedung tiga lantai ini didirikan di atas total area tanah seluas dua hektar, dan dilengkapi berbagai fasilitas. Tak hanya ruang-ruang berisi buku-buku, melainkan pelbagai sarana kreatif yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan masyarakat.

‎Untuk peresmian inilah Cak Nun dan KiaiKanjeng diundang untuk turut memberikan pemahaman dan makna bagi dibukanya Grhatama Pustaka ini melalui Maiyahan bersama masyarakat luas Yogyakarta. Acara digelar di pelataran depan gedung Grhatama ini yang bersebelahan dengan gedung JEC. Hadirin yang datang sangat banyak dan duduk lesehan, sebagian malah berdiri, sebagian lain memenuhi sisi kanan-kiri panggung KiaiKanjeng yang memanfaatkan area selasar depan gedung perpustakaan ini.

Sesungguhnya Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam formulasi maiyahan ini semakin lekat dalam banyak kalangan masyarakat. “Gedung perpustakaan ini dibangun atas biaya APBD dan dengan maksud untuk dimanfaatkan oleh rakyat. Kalau bangsa Indonesia dan masyarakat dunia mengenal Cak Nun dan KiaiKanjeng, saya ingin kelak masyarakat Indonesia dan dunia juga mengenal Perpustakaan Daerah Yogyakarta ini sebagaimana mereka mengenal Cak Nun dan KiaiKanjeng, dan untuk kami mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng malam ini di sini,” papar Pak Budi Wibowo, Kepala BPAD DIY di depan segenap hadirin.

Cak Nun sendiri sangat siap dengan pelbagai macam pemikiran mengenai macam-macam topik yang sedang menjadi concern banyak orang atau pihak sebagaimana telah jamaah atau hadirin simak dan terima melalui Maiyahan selama ini. Dan malam ini beliau sedari awal sudah memberikan dasar-dasar dalam memahami perpustakaan. “Perpustakaan itu tempat sunyi, bukan pasar, bukan tempat yak-yakan. Sunyi yang dimaksud adalah kontemplasi. Pulang dari perpustakaan orang akan melakukan ekspresi. Saya berharap Perpustakaan DIY ini mampu memberikan perubahan-perubahan mindset, memberikan kreativitas dan strategi kebudayaan, menciptakan hijrahnya nilai-nilai, dan bahkan dapat mengilhami policy-policy yang benar,” kata Cak Nun.

Tetapi Cak Nun juga bertanya setengah menggoda apakah kalau ada perubahan mindset yang dimulai dari perpustakaan ini apakah siap. Apakah para pengambil kebijakan siap. Namun, Cak Nun tetap sangat mendorong bahwa perpustakaan DIY ini terus berjalan, sekurang-kurang nanti dengan orang datang ke sini menjadi tahu bahwa ‘seharusnya seperti ini’, apakah itu dalam hal politik, kebudayaan, dan lain-lain.

‎Selanjutnya Cak Nun membekali Pak Budi Wibowo, Pak Bambang (Kepala Litbang BPAD DIY) dan  segenap hadirin dengan sebuah cara berpikir dalam melihat perpustakaan, yaitu produsen-konsumen. “Apakah anda sebaiknya menjadi konsumen atau produsen. Kalau anda produsen berarti anda menulis dan menulis. Sebab kalau kita pun menjadikan perpustakaan dengan posisi sebagai konsumen, itu bisa memplesetkan kita juga. Maka saran saya, rajin-rajinlah anda menulis, dan tulisan anda ditampung di perpustakaan ini. Bahkan ada ruang khusus untuk buku-buku anak muda Jogja. Sebab, mestinya pengadaan buku-buku dan fasilitas lain dibangun dengan mindset nasionalisme. Bahkan ada 10 hingga 20 persen di dalam perpustakaan ini yang rubrikasinya dengan pendekatan khusus,” lontar Cak Nun.

‎Semua hadirin menyimak sangat serius ‘kuliah umum paradigma budaya keperpustakaan’ oleh Cak Nun. Suatu topik sangat spesifik yang justru dikemukakan oleh sosok yang ribuan kali ‘dipaksa’ oleh masyarakat untuk berbicara tentang macam-macam soal, yang jika dicermati dan dirasakan lebih mendalam, ternyata mayoritas materi yang disampaikannya spesifik dan mendalam seluruhnya. Lebih jauh, Cak Nun menegaskan bahwa hendaknya anda datang ke perpustakaan itu tidak menjadi budak informasi, sebagaimana yang terjadi melalui teknologi informasi. “Masuklah ke IT sebagai subjek. Masuklah ke perpustakaan sebagai subjek dan pensuplai informasi. Masuklah ke perpustakaan dengan semangat ‘alladziina yastamiunal qaula tsumma yattabi’una ahsanahu, mereka yang mendengar perkataan/pendapat dan kemudian mengikuti atau mengambil yang terbaik,” ajak Cak Nun.

Para hadirin dibawa untuk mengetahui bahwa di kota-kota besar seperti Washington atau Tel Aviv, perpustakaan yang ada di sana sangat banyak memiliki koleksi naskah/pengetahuan tentang Jawa. Sementara kita sebagai orang Jawa tak memilikinya sampai selengkap itu. Ini penting sebab memperlihatkan siapa yang aslinya ‘lebih tinggi’. Pada abad ke-16, para leluhur kita menyembunyikan kunci-kunci informasi. Yang dibawa ke Belanda itu paling jauh hanya 30 persen, dan ‘celakanya’ kita tidak mau menggali yang 70 persen itu.

Bobot bahasan yang komprehensif ini asiknya malah makin menguat dengan nomor-nomor KiaiKanjeng, saat bawakan Medlei Nusantara dan ‘Nusantara‘-nya Koes Plus, dan puncaknya saat Cak Nun memanggil Mbak Via tuk maju ke depan dan membawakan lagu ABCD, yang amat relevan dengan soal-soal membaca dan perpustakaan. Sapa-menyapa dan dialognya dengan Cak Nun mengundang tepuk-tangan dan menjadikan suasana sangat meriah. Satu lagu tak cukup. Cak Nun minta tambah satu lagi. Semua gembira dan menyambut hangat saat Mbak Via bilang, “Keluarga Cemara aja deh,” dan kemudian hadirin mengikutinya bersama-sama. Kehadiran Mbak Via yang sebenarnya tak sengaja karena sedang menemani delapan anak-anak ini memberikan warna tersendiri. Juga saat di akhir lagu, Mbak Via menggoda Pak Muzammil yang asli Madura dengan logat khasnya untuk mau ikut nyanyi lagu Keluarga Cemara. Aplaus meriah dari hadirin buat sambung-menyambung antara Cak Nun, Mbak Via, dan Kiai Muzammil.

Melengkapi penjelasan Pak Budi Wibowo, Pak Bambang memperkenalkan bahwa perpustakaan ini dilengkapi ruang kontemplasi (membaca), ruang diskusi, dan ruang-ruang lain yang pada intinya tidak hanya untuk keperluan membaca tapi juga sampai ke ruang di mana berbagai macam sumber informasi yang dibutuhkan untuk diskusi disediakan. Penataan atau klasifikasi ruang dan fasilitas di perpustakaan ini diupayakan seakomodatif terhadap cara dan kecenderungan belajar orang ternyata yang berbeda-beda.

“Perpustakaan itu tempat sunyi, bukan pasar, bukan tempat yak-yakan. Sunyi yang dimaksud adalah kontemplasi. Pulang dari perpustakaan orang akan melakukan ekspresi.”
Emha Ainun Nadjib, Perpus DIY (Des, 2015)

cnkk

Dari penjelasan Pak Bambang, Cak Nun menangkap bahwa perpustakaan bisa dikatakan sebagai suatu unit dari budaya ilmu. Lalu Cak Nun menggoda, “Kalau perlu disediakan sebuah ruang yang ramai dan berisik buat menguji kekuatan topo ngrame pembaca atau pengunjung, sebab saya ini bertahun-tahun seperti itu. Sampai tak membutuhkan kesunyian. Di dalam pikiran yang kokoh dan teguh, sudah tak ada lagi sunyi atau ramai,” ujar Cak Nun tersenyum.

Nuansa di perpustakaan ini dibangun sedemikian rupa kondusifnya buat belajar, ilmu, pengetahuan, dan informasi. Salah satunya, pada setiap pilar besar yang menyangga atap selasar ini terukir tulisan besar, ada yang berbahasa Jawa, Indonesia, dan dengan aksara Jawa, berisi pesan-pesan akan laku menimba ilmu. Begitu masuk pintu utama, pengunjung akan disambut tulisan besar beraksara Jawa dan berbahasa Jawa: Maca iku sawijining laku Tumuju gapuraning ngelmu. Sejalan dengan itu, lebih jauh Cak Nun membabar mengenai membaca. “Membaca itu peristiwa ta’lim, yaitu suatu laku memproses diri dari belum tahu menjadi tahu atau weruh. Tetapi jangan hanya weruh thok, tapi dimangerteni. Artinya harus bergerak ke depan yaitu memahami (tafhim), dan dalam posisi itu ilmu dipahami dan dijadikan sebagai bagian dari dirinya,” papar Cak Nun yang dilanjut dengan menguraikan tahap selanjutnya yaitu ta’rif dan ta’dib.

Sepanjang Cak Nun, KiaiKanjeng, dan Mbak Via ‘membawa’ semua hadirin menikmati berjalannya acara dari satu step ke step selanjutnya, tapi karena sedemikian mengalir dan murni sehingga terasa mengalir, terlihat Pak Budi dan Pak Bambang duduk rileks, banyak tersenyum, dan ikut tertawa, tapi juga pada saatnya sangat mencurahkan perhatian pada apa yang disampaikan Cak Nun. Suasananya sangat enak, dinamis, tapi rapi dan komprehensif.

‎Selanjutnya masih terkait kerangka dalam memahami perpustakaan, Cak Nun menyatakan, “Perpustakaan ini sebagai ilmu itu bersifat padat atau cair? Siap ditelan atau dikunyah? Ingatlah bahwa perpecahan umat atau masyarakat itu karena pada ompong artinya tidak mau mengunyah informasi. Apalagi di era sekarang. Jadi, metodologinya informasi, pengetahuan, atau ilmu perlu dikunyah dulu. Sampahnya dimasukkan keranjang, gizi dan proteinnya dimasukkan ke dalam tubuh/diri. Sekarang ini serba ‘diuntal langsung’,” papar Cak Nun.

Sisi lain yang perlu dipahami bagi setiap pemustaka, pengkaji ilmu dan pembaca buku adalah ‘iqra‘ (ayat pertama Alquran) jelas bukan perintah membaca buku dalam pengertian fisik melainkan membaca kehidupan secara keseluruhan. Dan karena itu, menurut Cak Nun, membaca buku pun harusnya membaca secara saling-silang. Bahkan anda datang ke perpustakaan adalah juga dalam rangka ‘ndunungke/memahamkan’ pengetahuan akan asal-usul anda.

Dari paparan ilmu, berpindah lagi ke keindahan dan kesegaran, supaya tidak menegang dan cepat lelah. Begitulah irama hidup. Dan, siapa tak terserap dalam kenikmatan musik KiaiKanjeng. Saat Mas Donni KK membawakan lagunya Maroon 5, sebuah nomor yang disentuh KiaiKanjeng dengan adanya segmen yang menyuguhkan eksposisi-eksposisi masing-masing alat musik sehingga detail keindahannya makin jelas. Cak Nun, Pak Budi, dan Pak Bambang pun membalikkan badan, kakinya selonjor, menghadap ke para player KiaiKanjeng, menikmati lagu Maroon 5 ini yang disusul kemudian dengan dangdut mas Imam Fatawi.

“Biasanya untuk para pejabat cocoknya lagu Campursari,” kelakar Cak Nun membuat regulasi untuk memberi persembahan kepada Pak Budi dan Pak Bambang. Sewu Kutho ditembangkan oleh Mas Imam dan ternyata Pak Budi pun juga bisa menyanyikannya. Sambutan tepuk tangan dari hadirin menyusul Pak Budi selesai menembangkan lagu campursari ini.

‎Kembali ke ihwal perpustakaan. Cak Nun menyarankan sebuah pertanyaan yang patut dipegang para pengunjung atau pembaca buku di perpustakaan. “Anda datang ke perpustakaan itu kira akan sampai pada tahap apa? Tahap ta’lim saja, atau sampai ke ta’rif dan tafhim, atau sampai ke tingkat ta’dib. Ta’rif adalah anda membaca buku untuk mengarifi berbagai fenomena kehidupan. Sedangkan ta’dib adalah anda membaca buku untuk mendapat pemahaman, laku, dan keputusan/kearifan pada tingkat peradaban.

Dalam tanya jawab-jawab yang dibuka Cak Nun, muncul beberapa pertanyaan seputar perpustakaan, mulai dari soal ‘mau baca buku tapi kok gampang ngantuk’, bagaimana karya penulis bisa masuk ke perpus, hingga kekayaan koleksi perpustakaan DIY ini. Pak Budi menjelaskan apa saja yang dimiliki perpustakaan ini, kerja-kerja yang sudah dilakukannya (seperi alih aksara dan digitalisasi manuskrip-manuskrip hingga pencarian manuskrip yang sangat langka), hingga cerita soal keluhuran karya para pujangga zaman dahulu, serta ketinggian peradaban bangsa Jawa di masa lalu.

Cak Nun sendiri lalu menambahkan bahwa khazanah-khazanah ketinggian peradaban bangsa kita diakui oleh dunia internasional, dan bahkan kini ada arus di mana ada perpustakaan di luar negeri yang akan mengembalikan buku-buku dari dan tentang Indonesia. Bahkan Cak Nun menegaskan bahkan kita sebenarnya masih punya perpustakaan lapis ketiga yang belum banyak dijangkau oleh orang. Karena keterbatasan itulah, kita gampang terseret ikut narasi yang dibuat oleh orang luar seperti sejarah-sejarah yang ditulis sarjana-sarjana Belanda. Misalnya mengenai perang Bubat. Dari metodologi ta’lim, ta’rif, tafhim, dan ta’dib, sekurang-kurangnya kita bisa melakukan sikap rileks. “Perlu rileksiasi. Dulu Keraton Jogja-Solo juga dipertengkarkan, bahkan saya dulu sebagai penyair juga dipersaing-saingkan. Kalau kita membaca buku sejarah dan tahu bahwa tulisan-tulisan sejarah banyak yang disusun menurut versi raja atau penguasa, atau bahwa narasi sejarah itu mengandung relativitas, mengapa bukan kearifan yang kita ambil.”

Di bagian akhir, Yai Muzammil turut melengkapi. Soal mau membaca tapi mengantuk, menurutnya itu lebih terletak pada faktor eksternal. Dengan gayanya yang mengundang tawa, Yai Muzammil menjelaskan, ada dua jenis orang betah melek. Yaitu orang yang jatuh cinta, dan orang yang patah hati. Dayagunakan lah dua kekuatan itu. Kemudian Yai Muzammil mengisahkan sejarah peradaban Islam yang salah satunya ditandai oleh besarnya perpustakaan Islam sejak masa Umar bin Abdul Aziz, pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dengan nama perpustakaan “Khozanatul Hikmah” dan Khalifaj al-Mansur dengan perpustakaan bernama “Baitul Hikmah”. Semua kemajuan ilmu dan perabadan intelektual Islam ini bermula dari Aquran dan Hadis yang melahirkan beragam disiplin ilmu.

Tanpa terasa komprehensi maiyahan sudah tiba pada pukul 24.00. Cak Nun segera meminta semua hadirin berdiri, berdoa, dan bersama-sama menyanyikan lagu Kemesraan. Kemudian para hadirin dan jamaah kembali ke tempat masing-masing dan jumlah mereka sangat banyak malam ini sampai banyak pula yang nggak bisa masuk ke area utama. Sebagian harus menyimak dari kejauhan, dan mereka tetap melakukannya dengan khusyuk dan penuh atensi hingga acara selesai.

Teks: Red Progress/Helmi Mustofa