MENDIRIKAN INDONESIA

reportase kenduri cinta juli 2012

Mujib, seorang sastrawan yang juga jamaah Kenduri Cinta malam itu membuka acara dengan membacakan puisi berjudul Indonesia (1) karya Cak Nun. Juga tampak di atas panggung; Inu Febiana, Azis, Mbah Zen, Danar dari SPEAK (Suara Pemuda Anti Korupsi) ditemani moderator dari pengurus komunitas.

Azis bercerita panjang mengenai perjalanan sejarah Indonesia dari masa kemerdekaan hingga saat kini. Beliau mengingatkan bahwa keterpurukan negara ini disebabkan oleh tingkah borjuis dan untuk bangkit dari keterpurukan, kita perlu memberdayakan diri. Kita perlu menginventarisasi masalah-masalah, mengidentifikasi, dan kemudian memetakan solusi-solusi atasnya. Pembicara selanjutnya, Danar, memperkenalkan SPEAK kepada audiens. Karena korupsi ada di mana-mana, tidak terbatas hanya pada isu-isu berat bernegara tetapi juga pada kehidupan sehari-hari, SPEAK didirikan untuk menyebarkan budaya antikorupsi di dunia anak muda dengan pendekatan pop-culture. Pembicara lainnya, Mbah Zen, selaku pelaku sejarah mengatakan bahwa sebagaimana Islam tidak dapat dipisahkan dari Muhammad, Nasrani tidak mungkin dipisahkan dari Isa, Pancasila juga tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno. Pancasila bukanlah dasar, melainkan landasan. Pilar-pilarnya adalah USDEK, sebagaimana tersebut dalam pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1960.

“Ada beda sekitar dua jengkal antara yang di atas dan yang di bawah, yang semoga bukan menunjukkan strata. Pada saat saya berbicara, semua yang di luar diri saya adalah cermin yang akan memantulkan perkataan saya kepada diri saya sendiri,” ujar Inu Febiana menyambung pembicara sebelumnya. Inu yang sehari-hari selalu bersepeda ke mana-mana, mengatakan bahwa pertimbangannya bersepeda sederhana saja, yaitu: memang adanya itu. Bersepeda merupakan kemerdekaan terakhir yang dia punya. Menggunakan sepeda motor berarti harus mengurus ini dan itu, membayar pajak, dan keharusan-keharusan lain.

Inu kemudian menyampaikan pendapatnya terhadap poin-poin pertanyaan Cak Nun tentang Mendirikan Indonesia, “Dari dulu kita pernah menjadi adidaya. Pada saat Yunani belum ada apa-apanya kita sudah melanglang buana menghidupi mereka. Dari pengalaman saya bersama 7 orang teman yang mengembara, numpang-numpang nginep di rumah-rumah penduduk, saya punya hipotesis sederhana: orang pedalaman amat sangat ramah bahkan terhadap pendatang asing, sangat berbeda dengan karakter orang kota. Ketika kami kelaparan, mereka datang memberikan makanan. Sementara beberapa hari sebelumnya, di pinggir jalan kami dianggap sebagai objek pemerasan.”

“Wasath ada pula kaitannya dengan yusrun (mudah). Agama jangan lantas dijadikan beban, karena agama selalu memberikan kemudahan.”

Cak Fuad

Beben Jazz, yang untuk kali ketiga datang ke Kenduri Cinta, menyebut Kenduri Cinta sebagai komunitas Jazz karena jiwanya. Dengan gitarnya, Beben Jazz menganalogikan Mendirikan Indonesia dengan membangun komposisi full orchestra. “Do mi sol adalah sebuah chord, yang jika disambungkan dengan chord lainnya akan menjadi bangunan kalimat. Dari kalimat, dapat dibentuk menjadi lagu pendek. Masyarakat juga harus belajar, C itu yang bagaimana; jangan jadi apatis. Di dalam musik, orkestra dikatakan baik jika dia harmonis, bukan enak atau tidak enak. Harmonis adalah mampu bekerja bersama-sama, di mana not, chord, chord progression, dipimpin oleh konduktor yang baik dan dipercaya dan dimainkan oleh masyarakat yang memiliki knowledge dan kesadaran.”

Beben kemudian menyajikan dua lagu; yang pertama Yesterday dari The Beatles kemudian disusul dengan Night and Day dari Cole Porter. Setelah itu giliran Aiz Paseba yang menampilkan satu karyanya, dengan sebelumnya berpesan, “Bebaskan bunyi dari beban kulturnya.”

“Jazzy adalah mampu berjalan di sela-sela, karena akan anda temui bahwa daerah di sela air hujan jauh lebih luas daripada hujan itu sendiri. Begitu pula dengan hidup ini, yang sesungguhnya sedemikian luas; tapi sayang anda terlalu terkungkung oleh derasnya hujan.”

Emha Ainun Nadjib

mendirikan1

Menjelang tengah malam, Cak Nun naik ke panggung. Bersama beliau hadir pula Cak Fuad, Habib Anis Ba’ayin, dan Syekh Nurshamad Kamba.

“Saya pengen melanjutkan belajar musik pada Bung Beben. Kalau orang musik ngasih informasi pada orang yang nggak ngerti musik, pasti idiom-idiom yang digunakannya adalah idiom musik; begitu pula sebaliknya. Nah, sekarang saya ingin kita belajar musik dengan menggunakan bahasa-bahasa yang kita pahami. Kalau diibaratkan kutub, seperti adanya kutub utara dan kutub selatan, atau mungkin ada pula kutub timur dan barat; bagaimana pemetaan musik?”

Beben menanggapi pertanyaan pertama dari Cak Nun dengan menerangkan bahwa secara prinsip musik hanya dibagi menjadi dua, yaitu musik dengan pendekatan Barat (popular music) dan world music (musik etnik atau musik daerah). Dalam sejarahnya, pada abad ke-12 musik mulai dikembangkan ketika Paus Gregorius ingin mengembangkan peran Gereja lebih luas. Mereka menggunakan dan mempopulerkan salah satu penemuan Phytagoras, yaitu pembagian 1 oktaf menjadi 8 not, dengan 12 nada kromatik. Dari major scale ini dikembangkan menjadi 7 warna.

Cak Nun kembali bertanya kepada Beben, “Di dalam musik selain ada tangga-tangga nada, ada pula approach terhadap nada yang menghasilkan cengkok. Puncak pertanyaan saya adalah: barat kan lurus-lurus, negro aja yang ngajarin belok-belok. Barat itu yang paling lurus. Ini menunjukkan bahwa mereka paling awam dalam hal ini. Approach terhadap nada bukan hanya berupa cengkok dan lekukan yang berbeda-beda. Orang Indonesia memiliki keluwesan dan keluasan musikal yang bisa merangkum semua musik di dunia. Katakanlah musik Arab itu satu kutub, musik Jawa kutub yang lain. Barat adalah khatulistiwa. Sunda juga merupakan kutub unik tersendiri. Di mana posisi Jazz? Apakah Jazz memiliki approach sendiri yang tidak tergantung pada kutub itu, karena yang membuat dia jazzy adalah caranya dalam meletakkan diri di antara kutub-kutub itu?”


Beben kemudian meminta izin kepada Cak Nun untuk sambil bermain musik untuk menjelaskan kepada jamaah, karena menurutnya, dalam beberapa hal, bahasa lisan tidak memadai untuk mendeskripsikan.

“Bagi orang Barat, ada dua kutub tadi: musik dengan pendekatan Barat dan musik etnik, yang masing-masing memiliki banyak pohon. Tangga nada diatonik terdiri dari 7 not. Darinya orang Barat menciptakan lagu. Kalau murni Barat, akan terdengar kaku dan datar. Kalau Blues nggak pernah muncul di Barat, mungkin di sana hanya akan nada musik klasik dan musik yang lurus dan kaku.

“Blues muncul ketika orang kulit hitam di Amerika tidak punya kemungkinan hiburan lain selain menghibur diri dengan musik sambil bekerja. Tangga nada yang mereka senandungkan bukanlah tangga nada diatonik, melainkan tangga nada pentatonik yang terdiri dari 5 nada. Yang paling hakiki dalam musik adalah manusianya, kemudian baru alat musik. Percobaan untuk mengawinkan musik Barat dan world music adalah pada saat tuning-nya.

“Ada tiga unsur dalam musik, yakni: harmoni, melodi, dan ritmik. Biasanya gitaris klasik menggabungkan ketiganya. Ritmik dari musik Blues adalah bahasa tubuh orang kulit hitam. Ketika disuruh menyanyikan sol-mi-sa-si pun mereka goyang.

“Ada 4 syarat sebuah lagu disebut Jazz, yaitu: swing feel, blues note, syncopation (hitungan yang tidak jatuh pada hitungan utama), dan improvisation, ada yang menyebutnya sebagai membuat lagu di atas lagu atau membuat lagu baru di dalam lagu. Jazz adalah manifestasi dari kebebasan, Jazz adalah bahagia dengan apa yang dimiliki,” Beben menerangkan.


Cak Nun menambahkan, “Katakanlah di dalam dunia politik dan ideologi ada kutub-kutub yang baku. Jazz memiliki kemampuan dan keluasan untuk merangkul keduanya dan berbahagia dengannya. Kemampuan jazzy adalah kemampuan di mana dia bisa menyambung keduanya, mampu mencari titik tengah. Jazzy adalah mampu berjalan di sela-sela, karena akan anda temui bahwa daerah di sela air hujan jauh lebih luas daripada hujan itu sendiri. Begitu pula dengan hidup ini, yang sesungguhnya sedemikian luas; tapi sayang anda terlalu terkungkung oleh derasnya hujan.

“Mengenai berjalan di sela-sela, ada satu idiom yang tepat menerangkan hal itu, yakni ummatan wasathan. Kata sifatnya khairul umuri ausatuha. Sebaik-baik perkara adalah yang di tengah-tengah. Hidup ini bukan untuk mencari surga, karena surga bukan tempat untuk orang yang mencari surga. Surga adalah tempat untuk orang-orang yang mencari Yang Sejati.”

mendirikan2

KETEPATAN KALIMAT TAHYYIBAH

Tak lama Cak Fuad diberi waktu untuk memberikan uraiannya, beliau membabarkan tiga poin pada Kenduri Cinta kali ini, yakni tentang penggunaan kalimat thayyibah yang tepat, tentang ummatan wasathan, dan tentang angka 7.

“Kalimat thayyibah yang paling sering kita ucapkan barangkali adalah Insya Allah. Kalimat ini sering digunakan untuk menutupi kesalahan kita tidak menepati janji. Dalam surah Al-Kahfi, Allah memperingatkan Nabi Muhammad dengan agak keras ketika Rasulullah berjanji kepada Ahli Kitab tanpa mengucap Insya Allah terlebih dahulu. Ketika itu Rasulullah didatangi dan diuji oleh orang-orang Yahudi mengenai kisah ashabul kahfi. Rasulullah yang tidak tahu mengenai kisah tersebut, mengatakan pada mereka, “Besok pagi datanglah kembali ke sini, akan saya jelaskan.” Ternyata sampai waktu itu datang, wahyu tak juga datang.

Insya Allah merupakan ungkapan akidah bahwa yang tahu apa yang akan terjadi nanti atau besok hanyalah Allah yang mengetahui. Perhitungan ilmiah sekalipun, kalau tidak diucapkan dengan kalimat Insya Allah terasa ada kesombongan di situ. Insya Allah merupakan kalimat yang semestinya kita ucapkan ketika berjanji untuk melakukan sesuatu di masa datang, bukan untuk sesuatu yang sudah terjadi. Bukan pula cara untuk menutupi niat yang tidak baik, misalnya ketika kita ragu atau sudah tahu tak akan melakukan yang kita janjikan tapi sungkan untuk menolaknya.

“Kalimat thayyibah berikutnya, Subhanallah atau Maha Suci Allah, bagaimanakah penggunaannya yang tepat? Cak Fuad mengajak jamaah untuk kembali menilik Al-Quran dalam menggunakan kalimat thayyibah tersebut. Subhanallah dikatakan ketika ada manusia yang berpikir tidak benar mengenai Allah, atau ada manusia yang berperilaku sangat menjijikkan. Maha Suci Allah dari segala yang ada di pikiran kita. Sementara itu Masya Allah justru semestinya digunakan ketika kita melihat perilaku manusia yang baik.

“Rasulullah pernah mengatakan bahwa ada saat di mana kita tidak boleh mengucapkan Alhamdulillah dengan keras, yaitu jika ia akan menyakiti hati orang lain.”

“Jazz adalah manifestasi dari kebebasan, Jazz adalah bahagia dengan apa yang dimiliki.”

Beben

Ummatan wasathan (umat penengah) disebutkan di dalam surah Al-Baqarah 143: …supaya kamu menjadi saksi kebenaran di antara manusia. Wasath bisa berarti sedang, kebalikan dari ghulluw (berlebih-lebihan). Wasath merupakan sikap yang tidak berlebihan. Hal ini biasa dikaitkan dengan karakter Yahudi dan Nasrani. Misalnya dalam hal hukuman terhadap orang yang bersalah. Yahudi memberikan hukuman seberat-beratnya kepada orang yang bersalah, sementara Nasrani memiliki ajaran untuk tidak membalas perbuatan buruk orang lain terhadap kita. Sementara Islam mengajarkan: balasan atas kejahatan adalah kejahatan yang serupa, tapi barangsiapa mau memaafkan dan berbuat baik, pahalanya ditanggung Allah. Kalau ingin membalas, balaslah dengan yang setimpal, tapi jika mampu memaafkan, itu jauh lebih baik. Islam memberikan peluang untuk membalas. Inilah keadilan yang merupakan tugas hakim. Setelah itu Islam mengajarkan akhlak di atas keadilan; yakni dalam bentuk pemberian maaf.

Meminta tebusan atas kejahatan orang lain pun tetap harus dilakukan dengan cara yang baik. Jika orang yang menyebabkan kematian, misalnya, tidak punya uang, keluarga korban sebaiknya jangan meminta dalam jumlah yang terlalu tinggi. Sementara orang yang diharuskan membayar tebusan itu disarankan untuk membayar dalam jumlah yang lebih tinggi daripada yang diminta keluarga korban.

Wasath dapat pula diartikan sebagai tidak berlebihan, tapi juga tidak mengabaikan. Orientasi hidup adalah ke akhirat, tapi jangan lupakan dunia. Carilah kebahagiaan akhirat dalam segala yang kamu lakukan di dunia, tapi jangan lupa terhadap bagianmu di dunia.

Wasath ada pula kaitannya dengan yusrun (mudah). Agama jangan lantas dijadikan beban, karena agama selalu memberikan kemudahan. Ada dosa, ada ampunan. Di samping itu, wasath dapat pula diterapkan dalam sikap tidak berlebihan ketika melihat manusia. Kalau melihat orang baik, jangan dianggap bahwa dia suci. Kalau melihat orang jahat, jangan kira dia hina-dina.

Wasath juga berarti toleran. Toleran bukan berarti kehilangan pondasi atau keyakinan. Ayat yang menyebut ummatan wasathan dimulai dari ayat 142 sampai 150, berbicara mengenai pemindahan kiblat. Perpindahan kiblat merupakan ujian iman. Untuk bisa menjadi ummatan wasathan, dia harus terlebih dahulu berdiri pada landasan yang kuat. Toleransi harus ada baik dalam dakwah maupun dalam perang, juga dalam memperlakukan orang jahat. Orang jahat bukan untuk dihardik, dihina, atau dicela.

“Dalam ayat mengenai toleransi dalam perang, disebutkan pada akhirnya bahwa: jika kamu mengepung penghuni satu benteng dan mereka menyerah, jangan menerapkan hukum Allah atas mereka, tapi terapkan hukum-hukummu. Jangan gampang merasa telah menerapkan hukum Allah, padahal jangan-jangan itu hukum kita sendiri. Jangan merasa paling tahu tentang hukum Allah,” tambah Cak Fuad.

“Puncak kemerdekaan adalah pengetahuan tentang batas.”

Emha Ainun Nadjib

“Kita doakan mudah-mudahan Cak Fuad bisa agak sering ke sini. Kali ini datang juga Mbah Sudjiwo Tedjo,” ujar Cak Nun. “Kalau angka itu puncaknya 9, Rasulullah adalah manusia 9 yang menujuhkan diri. Beliau 9 segala-galanya. Infinity, karena bersambung dengan Allah, tapi beliau menujuhkan diri, bahkan ketujuhannya itu dilegitimasi oleh Allah dengan ungkapan an-nabiy al-ummiy. Badannya juga ditujuhkan oleh Allah.

“Secara ekonomi beliau 9, tapi 95% uangnya disalurkan ke UKM-UKM di Madinah sehingga ketika beliau hijrah, Madinah sudah terstruktur. Kalau Cak Fuad mengatakan bahwa saya 9 dan dia 7, itu kan kebaikan seorang kakak kepada adiknya. Saya kira angka 7 ini terapan dari ummatan wasathan. Kejadian-kejadian besar terjadi pada putaran 7.

“Kita sedang akan memasuki 700 tahun yang ketiga. 700 yang pertama adalah pada masa Sriwijaya; yang satu zaman dengan Rasulullah. 700 yang kedua adalah ketika Sunan Kalijaga merombak kesatuan Majapahit menjadi federasi Demak. 117 anak Prabu Brawijaya V dijadikan pemimpin dalam tanah-tanah perdikan. Meskipun eksperimentasi negara federasi gagal, perlu kita pelajari watak federal atau commonwealth itu, di mana tidak ada linking-up. Yang ada adalah koordinasi.

“Kenapa sekarang untuk jadi gubernur harus lewat parpol? Kalau kita memilih gubernur secara langsung, untuk apa parpol? Kenapa bukan dengan panitia negara saja? Orang yang lewat partai, pasti telah melalui proses tawar-menawar yang luar biasa. Pemimpin yang benar adalah pemimpin yang disebut namanya oleh rakyat. Untuk praktisnya, bisa dengan KPU tapi dikontrol dengan benar. Setiap orang bisa memilih melalui email dengan memasukkan kode KTP dan menentukan pilihannya. Jumlah terbanyak yang akan menjadi gubernur, dan jumlah kedua terbanyak yang menjadi wakilnya.”


Setelah meminta jamaah membaca Al-Fatehah, Habib Anis sampaikan, “Kita pernah merdeka nggak? Yang menjadi masalah pokok adalah bagaimana kita menemukan diri yang sebenarnya, dan terus-menerus berproses untuk itu. Semua yang berhenti berproses adalah comberan. Semua sistem peradaban ini salah, karena tidak memberikan kesempatan bagi manusia untuk berkembang.”

Sudjiwo Tedjo menyambung uraian dari Habib Anis, “Kalau pemimpin masih mencalonkan diri ya berarti dia bukan pemimpin. Regenerasi yang nggak demokratis apa ya? Saya nggak setuju sama demokrasi, karena saya nggak percaya pada benernya orang banyak.”

“Pemimpin yang punya harga diri adalah pemimpin yang tidak tega menawarkan diri,” lanjut Cak Nun, “Pertimbangannya bukan mau atau tidak mau, melainkan kewajiban. Apapun kenyataan Indonesia, anda harus punya Indonesia di dalam hidup masing-masing. Puncak kemerdekaan adalah pengetahuan tentang batas. Kita bikin negara yang bukan merupakan kontinuitas dari apa yang kita punya. Negara harus didirikan di atas penemuan-penemuan tinggi yang pernah kita miliki.”

“Orang Jawa tanpa wahyu telah melakukan religiusisasi, mencari tuhan sampai mereka bertemu dengan Sang Hyang Tunggal yang juga Wenang. Jawa itu yang paling tinggi, selapis lagi sudah Islam. Orang Jawa sekarang tidak menyadari bagaimana hidup di tengah puncak peradaban. Yang saya maksud Jawa bukan Jawa yang sekarang, melainkan Jawa yang juga Sunda dan kebudayaan-kebudayaan lain.”

“Pemimpin yang punya harga diri adalah pemimpin yang tidak tega menawarkan diri.”

Emha Ainun Nadjib

Syekh Nursamad Kamba pada sesi berikutnya ikut berpesan bahwa dalam “mendirikan Indonesia” yang sangat penting adalah tauhid, yaitu mensinergikan diri. Kesalahan yang paling mendasar yang kita lakukan adalah kita berlari menjauh dari karakter kita sendiri.

“Di dalam frasa Mendirikan Indonesia ada tiga hal yang mesti diperhatikan. Pertama: diri. Mendirikan berarti menjadikan Indonesia dirimu. Kedua: qada dan qadar-Nya Allah. Mendirikan Indonesia berarti kita sedang berproses menaati qada dan qadar-Nya. Ketiga: Yuk kita bebaskan diri dari nama Betawi, Jawa, Sunda; kita sebut sebagai Nusantara. Kita satu leluhur yang sangat kuat.

“Percayalah bahwa sekarang sedang terjadi rekonsiliasi leluhur. Pelajarilah rekonsiliasi leluhur itu dan ambillah kebaikan dari berita itu. Mudah-mudahan koran-koran dan televisi diberi hidayah; karena merekalah penghalang nomor satu terhadap perubahan Indonesia. Mendirikan Indonesia adalah anda pulang dan anda punya Indonesia anda sendiri. Insya Allah anda akan diamanati Allah untuk menjadi penegak Indonesia.”

Menjelang pukul tiga dini hari, Cak Nun meminta Sujiwo Tedjo berkolaborasi dengan Beben.

Setelah itu Cak Nun mengajak jamaah berdiri, berdoa bersama, dilanjutkan dengan tumpengan dalam rangka syukuran memperingati hari lahir Kenduri Cinta yang kedua belas.