HARTA ATAU NYAWAH

Reportase Kenduri Cinta Agustus 2015

Lewat pukul delapan malam, forum Maiyah Kenduri Cinta diawali dengan membaca Surat Yasin dan selawatan bersama. Selama hampir 15 tahun terakhir, Kenduri Cinta secara bulanan telah rutin diadakan di pelataran Taman Ismail Marzuki pada hari Jumat setiap minggu keduanya. Edisi Agustus 2015 kali ini, para penggiat Kenduri Cinta mengangkat judul Harta Atau Nyawah. (Baca: Mukadimah: Harta Atau Nyawah)

Tema sebagai titik berangkat diskusi malam itu disikapi Andrean dengan pembahasan tentang banyaknya lahan persawahan yang telah beralih fungsi. Area persawahan kini bukan lagi dimiliki oleh para petani namun banyak dikuasai oleh investor luar daerah bahkan investor asing. Andrean yang kini banyak beraktivitas di daerah Karawang, sebuah daerah yang dikenal sebagai lumbung padi, mengemukakan temuannya mengenai ribuan hektar persawahan yang kini telah berubah fungsi menjadi daerah industri dan pabrik-pabrik. Sektor pertanian yang makin terpinggirkan itu berakibat pada rendahnya produksi hasil bumi, negara kini justru mengimpor bahan makanan pokok dan palawija yang sebenarnya bisa dihasilkan sendiri dari budidaya rakyatnya.

Adi Pudjo mengingatkan bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang vital dalam stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya dan situasi masyarakat petani dewasa ini menurutnya juga ikut menjadi penyebab turunnya produksi persawahan dan hasil bumi. Banyak petani kini tak menginginkan anaknya menjadi petani. Ekspektasi masyarakat kebanyakan mengharapkan generasi berikutnya menjadi kaum pekerja bukan lagi menjadi kaum tani. Pada masyarakat pedesaan telah terbangun cara pandang dimana yang disebut ‘orang sukses’ adalah mereka yang bekerja di kota dan memiliki penghasilan tetap setiap bulannya. Bertani kini bukan lagi dianggap sebagai sebuah profesi yang memiliki masa depan cerah. Jika diteliti, menurut Adi, banyak para pekerja di kota yang berasal dari keluarga petani.

Situasi itu yang juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya konsumerisme. Pada masyarakat yang muncul saat ini adalah daya konsumsi bukan daya produksi, yang terpenting bisa membeli beras bukan memikirkan bagaimana menghasilkan beras. Hal itu diperparah dengan lemahnya pondasi masyarakat dalam menerima arus perkembangan teknologi. Mulai dari teknologi perangkat komunikasi hingga kendaraan bermotor, hingga memaksa para petani untuk menjual sawah-sawah mereka demi memenuhi keinginan anak untuk memiliki sepeda motor, televisi hingga seluler. Fenomena ini sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Akibatnya, banyak sekali petani yang saat ini justru menjadi pekerja, mengelola sawah yang bukan miliknya sendiri, bahkan tidak sedikit yang menjadi petani di sawahnya sendiri, ia justru bekerja kepada orang lain untuk menggarap sawah yang notabene sebelumnya adalah sawahnya sendiri.

“Jika tidak ingin dikatakan hilang, maka bisa dikatakan bahwa yang terjadi saat ini adalah berkurangnya naluri produksi dan meningkatnya naluri konsumsi, bahkan dari lapisan terbawah di pedesaan. Idiom ini yang kemudian dirumuskan oleh penggiat Kenduri Cinta untuk kemudian menjadi tema pada Kenduri Cinta kali ini,” jelas Adi.

Pada kesempatan berikutnya, Luqman Baehaqi lebih menyoroti tema Harta Atau Nyawah sebagai pilihan-pilihan yang memiliki resikonya masing-masing. Ia menyambungkan pilihan-pilihan tersebut dengan kebijakan pemerintah yang apapun pilihannya tidak akan memberikan keuntungan bagi kita. Ia mencontohkan pilihan pembangunan kereta super cepat Jakarta – Bandung oleh investasi dari Jepang atau China, menurutnya kedua pilihan itu tidak berdampak apa-apa. Ia justru mempertanyakan mengapa dana besar itu tidak digunakan saja untuk menutup ketergantungan bahan pokok kita terhadap impor misalnya.

Tidak bisa kita menghakimi seseorang tanpa kita mengetahui mana sebab dan mana akibat.”
Andri Dwi, Kenduri Cinta (Agu, 2015)

harta atau nyawah


Diskusi semakin hangat, beberapa jamaah terlihat aktif menyampaikan pendapat dan pandangannya. Tak lama, tampil para penggiat Kenduri Cinta di forum, antara lain Tri Mulyana, Rusdianto, Andri Dwi Wiyono dan Arya Palguna, mereka malam itu ikut mengantar jalannya diskusi. Juga terlihat Ust. Wijayanto dan Ust. Nurshofa di barisan depan.

Sebagai sosok yang ikut mengawali perjalanan Kenduri Cinta sejak 15 tahun lalu, Rusdianto membangun spirit forum dengan menceritakan kembali sejarah perjalanan Kenduri Cinta. Kenduri Cinta tidak bisa dilepaskan dari komunitas Hammas (Himpunan Masyarakat Sholawat) dan Komunitas padhangmbulan.net yang digawangi oleh Syahid Ibrahim dan Adi Pudjo ketika itu. Padhangmbulan.net merupakan sebuah forum berbasis ‘dunia maya’ berlanjut di dunia nyata, melahirkan Kenduri Cinta. Sejarah berdirinya Kenduri Cinta juga tidak bisa dilepaskan dari sosok-sosok penggerak seperti Taufik Ismail, (Alm.) Hamid Jabar, Jose Rizal Manua, Mbah Sujud, hingga (Alm.) Andi Priuk.

“Forum ini (Kenduri Cinta) merupakan forum silaturahmi bukan forum yang dengan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat saja,” terang Rusdi. Rusdi ajak jamaah Kenduri Cinta untuk memiliki rasa perhatian yang lebih untuk sama-sama menjaga nama baik Kenduri Cinta.

Terkait tema, Rusdi memaknai Harta atau Nyawah sebagai sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, apalagi dijadikan pilihan satu diantara keduanya. Nyawah merupakan idiomatik dari bekerja, siapapun yang bekerja maka harta akan mengikutinya. Begitu juga sebaliknya, harta harus dikelola sedemikian rupa, salah satunya adalah dengan cara nyawah atau bekerja.

“Kematian itu dirahasiakan oleh Allah, supaya ada dinamika dalam kehidupan,” Ust. Wijayanto mengawali. Diakuinya, dari Kenduri Cinta inilah terjalin silaturahmi yang erat dengan beberapa kolega, sejalan dengan hal tersebut kelancaran rezeki juga dirasakan. Lebih jauh Ust. Wijayanto menjelaskan bahwa bentuk kesyukuran setiap manusia akan dibalas dengan bertambahnya nikmat yang dianugerahkan oleh Allah SWT.

Merefleksikan tema Kenduri Cinta, Ust. Wijayanto menceritakan kisah salah satu sahabat Rasulullah SAW, Abu Mukhlak yang berprofesi sebagai pedagang. Pada suatu hari dalam sebuah perjalanannya, Abu Mukhlak dikhianati oleh pembantunya yang akan merampas semua barang dagangannya. Abu Mukhlak bersedia menuruti permintaannya dengan satu syarat, yaitu diperbolehkan untuk menunaikan salat dua rakaat. Ternyata, pada saat Abu Mukhlak melaksanakan salat, perampok itu tertusuk 2 busur panah di dadanya. Berdasarkan informasi dari tafsir Al Manaar, panah tersebut berasal dari daerah sekitar tempat kejadian, bukan karena ada peperangan melainkan ada orang yang sedang berlatih memanah.

“Pesan saya malam ini, apabila anda dalam keadaan terdesak, larilah kepada Allah. Hari ini Harta dan Nyawah kita sedang berada dalam masalah,” tegas Ust. Wijayanto. Konteks ‘nyawah’ lebih ditekankan karena melihat kegagalan negara dalam mengelola hasil bumi dan pertanian. Semakin tahun, jumlah barang yang diimpor justru semakin bertambah. Negara yang wilayah lautnya sangat luas justru melakukan impor garam setiap tahunnya. Benang merah yang dapat diambil dari kisah Abu Mukhlak dengan kondisi kita sekarang ini adalah bahwa sudah saatnya kita meminta pertolongan kepada Allah untuk menangani persoalan bangsa, sehingga di kemudian hari para perampok-perampok yang hanya mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri akan terhunus tombak-tombak yang sudah disiapkan oleh Allah.

“Pesan saya malam ini, apabila anda dalam keadaan terdesak, larilah kepada Allah.”
Wijayanto, Kenduri Cinta (Agu, 2015)

harta atau nyawah


Andri Dwi Wiyono menambahkan, bahwa persoalan harta atau nyawah di Indonesia ini tidak hanya ditelaah berdasarkan satu cara pandang. Di Maiyah sendiri sudah dipelajari sejak lama bahwa dalam meneliti sebuah persoalan harus didasari dengan sudut pandang, cara pandang dan jarak pandang yang mungkin berbeda satu dan lain. Begitu juga dengan media instrumen yang digunakannya, apakah dengan mata, pikiran atau hati, tentu setiap orang memiliki takaran yang berbeda-beda dan prioritas yang berbeda-beda satu sama lain.

“Tidak bisa kita menghakimi seseorang tanpa kita mengetahui mana sebab dan mana akibat. Dalam istilah Jawa kita mengenal sangkan paran,” lanjutnya. Andri mengingatkan, apabila kita salah dalam memaknai suatu persoalan, apalagi hanya dengan menggunakan alat indera penglihatan (mata), maka yang kita dapatkan hanya sebuah fakta materialis bukan substansi.

Melanjutkan forum, Arya Palguna sampaikan bahwa masyarakat kita dihadapkan pada pilihan yang sulit antara harta atau nyawah. “Kita sedang berada dalam fenomena yang bisa dikatakan pada situasi api dalam sekam. Teman-teman menyadari akan bahaya terjadinya sesuatu yang dalam waktu dekat akan meledak,” lanjut Arya. Arya menjelaskan bahwa hampir di setiap negara, 70% roda ekonomi dijalankan dalam lingkup sektor informal yang tidak diatur secara detil dalam undang-undang, pedagang makanan dan kaki lima di pinggir jalan adalah salah satu contohnya. Perputaran uang dalam sektor inilah yang menurut Arya sangat membantu sebuah negara dalam menopang pertumbuhan ekonominya.

Persoalan lain yang dihadapi Indonesia saat ini menurut Arya adalah pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan pemanfaatan lahan yang ada untuk produksi bahan makanan pokok. Sehingga yang terjadi negara melakukan impor barang dalam jumlah besar, dimana salah satu akibatnya adalah produk lokal yang ada dengan segala tindak kecurangannya menjadi barang yang dikalahkan dan tidak termanfaatkan dengan baik. Belum lagi persoalan banyaknya area persawahan yang saat ini sudah banyak berubah fungsi bukan lagi menjadi area produksi barang pertanian. Hal ini berakibat pada persoalan besar yaitu kesulitan pangan. Dengan kondisi seperti inilah maka impor barang dari luar negeri menjadi suatu hal yang dibenarkan.

Nilai-nilai gotong royong dan musyawarah yang mulai luntur juga ditekankan oleh Arya menjadi salah satu penyebab kemunduran bangsa Indonesia. Arya mencontohkan bagaimana mantan narapidana saat ini diperbolehkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, menurutnya hal ini merupakan salah satu degradasi moral bangsa yang sangat signifikan, seolah-olah sudah tidak ada lagi orang yang layak menjadi pemimpin di Indonesia.

“Jamparing adalah anak panah dan Asih adalah cinta, harapannya Jamparing Asih menjadi menjadi busur panah yang menebarkan cinta bagi siapa saja yang bergabung didalamnya juga bagi siapa saja yang berada di sekitarnya.”
Wawan, Kenduri Cinta (Agu, 2015)

harta atau nyawah


Alinz sebuah kelompok musik dari Komunitas Jazz Kemayoran malam itu ikut berpartisipasi di forum Kenduri Cinta dengan memperdengarkan komposisi-komposisi musik Jazz karyanya. Komunitas Jazz Kemayoran merupakan sebuah forum belajar dan silaturahmi, komunitas ini mempunyai misi memasyarakatkan musik Jazz dan telah melakukan banyak aktivitas-aktivitas belajar di masyarakat.

Pada sesi diskusi berikutnya, tampil ke forum perwakilan dari Jamparing Asih — sebuah komunitas lingkar Maiyah daerah Bandung dan sekitarnya. Wawan, salah satu penggiat Jamparing Asih menceritakan bahwa Bandung juga merupakan salah satu kota yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan seorang Cak Nun. Pada dekade 80-an, pementasan teater Lautan Jilbab pernah diadakan di kota Bandung dan momen itu merupakan salah satu titik balik gerakan ‘kebebasan berjilbab’. Wawan juga ceritakan sejarah pergerakan Maiyah di daerah Bandung. Sebelumnya sudah pernah ada komunitas Maiyah bernama Tali Keasih, digawangi oleh aktivis-aktivis pergerakan di Bandung.

Jamparing Asih, jika dilihat dari asal katanya memiliki arti Jamparing adalah anak panah dan Asih adalah cinta, harapannya adalah Maiyah Bandung dengan nama Jamparing Asih menjadi forum yang mampu menjadi busur panah yang menebarkan cinta bagi siapa saja yang bergabung didalamnya juga bagi siapa saja yang berada di sekitarnya.

Tyas memberitahukan bahwa tanggal 21 Agustus 2015, Jamparing Asih edisi perdana akan dilaksanakan di Mizan, Bandung. Tyas juga menjelaskan bahwa beberapa buku-buku Cak Nun sudah diterbitkan kembali oleh Mizan, seperti Slilit Sang Kyai dan Markesot Bertutur. Beberapa buku lama juga akan diterbitkan kembali, salah satunya Seribu Masjid Satu Jumlahnya.

*

Lewat tengah malam, Kyai Syauqi, Ust. Noorshofa dan Sabrang MDP bergabung bersama di forum. Sebelum menyampaikan materinya, Kyai Syauqi mangajak jamaah untuk berdiri untuk selawatan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Dalam paparannya, Kyai Syauqi menjelaskan, Rahman dalam kalimat Basmallah merupakan salah satu Asmaul Husna yang dalam aplikasinya pada awal terasa tidak menyenangkan tetapi akan berakhir pada kebahagiaan. Berbeda dengan Ro’uuf yang sejak awal terasa kebahagiaan dan akan berakhir pula dengan kebahagiaan. Dalam Alquran surat At Taubah 129 Allah berfirman: Laqod jaa’a Rasuulun min anfusikum ‘aziizun ‘alaihi maa ‘anittum hariishun alaikum bi-l-mu’miniina ro’uufu-r-rohiim, fa in tawallau faqul hasbiyallahu laa ilaaha illaa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa robbu-l-‘arsy-l-‘adzhiim.

“Salah satu sifat Rasulullah SAW adalah Ro’uuf, sehingga ketika akhir hayat beliau yang terucap adalah: ummatii..ummatii..ummatii,” lanjut kyai Syauqi. Hal tersebut merupakan bukti kecintaan yang luar biasa dari Rasulullah SAW kepada kita semua. Seperti kita ketahui, pada hakikatnya Rasulullah SAW itu merupakan rahmatan li-l-‘alaamiin, sehingga diutusnya Rasululah SAW ke bumi bukan hanya untuk umat Islam semata tetapi juga untuk alam semesta dalam cakupan yang lebih luas. Terlebih lagi dalam sebuah hadits Qudsi Allah menyatakan: Lau laka yaa Muhammad, maa kholaqtu-l-aflaak.

“Banyak jarak antara arti, presentasi dan komunikasi, dan banyak jarak yang membuat kita gampang terpeleset kalau melihat sesuatu hanya benar atau salah.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Agu, 2015)

harta atau nyawah


Sabrang malam itu membuka diskusi dengan menginterpretasi kembali makna ‘benar’ dan ‘salah’. Menurutnya, dengan mengganti ‘benar’ menjadi ‘belum salah’ maka tidak akan terjadi benturan antara ‘benar’ dan ‘salah’, yang terjadi adalah dialektika antara ‘salah’ dan ‘belum salah’. Dalam pandangannya, jangkauan spektrum ‘belum salah’ lebih luas daripada jangkauan spektrum ‘benar’, hal itu akan memberi kesempatan kita untuk menimba ilmu lebih banyak lagi.

“Jangan kita memulai dengan melihat apakah itu benar atau salah karena itu akan menjebak diri kita,” Sabrang menambahkan, “Kalau kita punya naluri melihat ‘belum salah’-nya, kita punya kesempatan lebih panjang untuk bisa benar-benar mendapatkan ilmunya. Kita belum paham ‘belum salah’-nya dimana, dan kita memberikan kesempatan kepada diri kita untuk memahaminya di lain kesempatan.”

Pada kehidupan masyarakat saat ini, dimana media massa sangat menguasai cara berpikir manusia, perspektif ‘salah’ dan ‘belum salah’ akan lebih memberi kesempatan keluasan berpikir. Ketika kita mendapati seseorang berbeda cara berpikirnya, kita akan mengukur seberapa presisi ‘belum salah’-nya, sehingga pada sejengkal berikutnya yang kita cari adalah bagaimana yang ‘belum salah’ menurut orang tersebut, sehingga kita memiliki kesempatan untuk membuka ilmu yang lebih luas lagi.

“Banyak jarak antara arti, presentasi dan komunikasi, dan banyak jarak yang membuat kita gampang terpeleset kalau melihat sesuatu hanya benar atau salah,” ucap Sabrang.

Merespon tema, Sabrang mendefinisikan harta sebagai barang titipan dari Allah untuk kita mengolahnya. Memberi tamsil pemaknaan sebelumnya, cara berpikir tentang definisi harta dicontohkan Sabrang dengan menggunakan term ‘salah’ dan ‘belum salah’. Definisi harta dengan pijakan diatas akan melahirkan cakupan-cakupan yang lebih luas, bisa berbentuk uang, emas, sawah, istri, anak, keluarga dan sebagainya. Mengajak jamaah berdiskusi, Sabrang mempertanyakan: Jika harta adalah sesuatu yang dititipkan oleh Allah untuk kita olah, maka bisa dikatakan bahwa nyawa juga merupakan harta. Bukan begitu? Bahkan kesadaran individu dalam diri kita itu sejatinya adalah titipan dari Allah. Sehingga kemudian yang menjadi persoalan adalah bahwa kita gagal mendefinisikan mana yang merupakan harta dan mana yang bukan merupakan harta, sedangkan sejatinya semua yang ada di alam semesta ini adalah titipan Allah pada kita, bisa diartikan bahwa semua ini adalah harta. Pertanyaan selanjutnya adalah: sampai pada titik mana kita mampu mengolah harta ini?

Dalam Islam terdapat aturan bahwa harta itu memiliki hak untuk dizakati, disedekahi dan masih banyak lagi istilah-istilah yang ada dalam Islam yang mengatur tentang pengelolaan harta manusia, dimana hal tersebut menjadi kewajiban bagi setiap individu manusia. Sejengkal kemudian, jika sudah disepakati bahwa definisi harta adalah segala sesuatu yang dititipkan oleh Allah kepada kita, begitu juga dengan nyawa, tubuh dan yang lain, maka yang terdapat dalam diri kita juga memiliki hak yang sama (dizakati, disedekahi dsb).

“Jadi mau nyawa, uang atau apapun saja harta yang dimaksud, ia harus memiliki fungsi nyawah, yaitu fungsi yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain untuk kemaslahatan bersama. Apakah definisi ini benar? Yang pasti belum salah,” pungkas Sabrang.

“Waktu di depan bukanlah milik kita, yang menjadi milik kita adalah waktu kita saat ini. Salah satu nasehat Rasulullah SAW kepada sahabatnya: apabila datang waktu pagi, jangan berpikir waktu sore hari.”
Noorshofa, Kenduri Cinta (Agu, 2015)

harta atau nyawah


Kyai Syauqi kemudian menjelaskan konsep Laa haula walaa quwwata illa billah dan Alhamdulillah. Menurut beliau, kekuatan kebaikan yang dilakukan oleh setiap manusia bisa dipastikan bahwa didalamnya ada kekuatan Allah. “Maka etikanya sesudah berbuat baik adalah memuji Tuhan, sehingga kita seringkali mengucapkan Alhamdulillah,” tutur Kyai Syauqi.

Kyai Syauqi melanjutkan, manusia harus tetap memiliki kesadaran bahwa tidak ada kekuatan selain Allah dan tidak ada kekuasaan selain kekuasaan Allah. Pondasi ini yang kemudian menjadikan manusia selalu berada dalam bingkai naungan kekuatan dan kekuasaan Allah, sehingga tidak akan ada satupun alasan untuk tidak bersyukur kepada Allah.

Ust. Noorshofa mencoba menarik benang merah diskusi dengan sebuah cerita hikmah antara seorang raja dengan rakyat petani. Suatu hari, Sang Raja berkeliling desa, didapati seorang yang sudah tua renta masih bekerja di lahan pertanian. Singkat cerita, raja bertanya kepada si petani, untuk apa ia bertani sedangkan usianya sudah sangat tua, belum tentu ia akan menikmati hasil dari apa yang ia tanam. Sang petani menjawab, mungkin ia tidak merasakan hasil apa yang ia tanam hari ini tetapi sebisa mungkin kebaikan apapun harus ia lakukan, meskipun hanya menanam sebiji kurma.

Dari kisah tersebut Ust. Noorshofa mengajak kita agar senantiasa selalu istiqomah dalam berbuat kebaikan. Seperti yang sudah disampaikan oleh Cak Nun, bahwa yang kita kerjakan setiap hari adalah menanam, kita tidak perlu memikirkan kapan kita akan menuainya, bahkan tidak perlu kita pikirkan apakah kita akan ikut merasakan panen dari apa yang kita tanam ini atau tidak.

“Waktu di depan bukanlah milik kita, yang menjadi milik kita adalah waktu kita saat ini. Salah satu nasehat Rasulullah SAW kepada sahabatnya: apabila datang waktu pagi, jangan berpikir waktu sore hari,” terang Ust. Noorshofa.

Ust. Noorshofa kemudian menceritakan kisah Sawat, seorang sahabat Rasulullah yang hendak menikahi Zaenab, perempuan cantik di kota Madinah. Singkat cerita, ketika Sawat pergi menuju pasar untuk membeli mas kawin untuk menikahi Zaenab, terdengarlah panggilan dari Bilal untuk berjuang menuju medan perang. Tanpa berpikir panjang, Sawat menerima panggilan berjihad dan pada akhirnya Sawat gugur. Rasulullah SAW menitikkan air mata ketika hari pemakaman Sawat. Dari kisah ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran, bahwa seperti yang sudah dijelaskan oleh Sabrang sebelumnya, harta merupakan titipan yang diberikan oleh Allah untuk kita mengolahnya. Sawat berhasil mengolah dirinya sendiri sebagai harta titipan Allah dengan mengambil pilihan menerima panggilan berjihad dalam peperangan, padahal di saat yang bersamaan ia sedang dalam proses pernikahan.

Dikisahkan, Rasulullah SAW pada hari pemakaman Sawat tersenyum beberapa saat setelah meneteskan air mata, seorang sahabat bertanya kepada beliau mengapa beliau menangis dan setelahnya tersenyum? Rasulullah SAW menjawab: beliau meneteskan air mata sebagai bentuk rasa haru karena Sawat lebih memilih berjuang di medan perang untuk membela Islam daripada menikahi Zaenab. Dan Rasulullah SAW menjelaskan mengapa beliau tersenyum, karena seribu bidadari menyambut Sawat di langit.

“Yang terpenting yang harus kita lakukan adalah mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar.”
Sabrang MDPb, Kenduri Cinta (Agu, 2015)

harta atau nyawah


Melanjutkan penjelasan tentang ‘salah’ dan ‘belum salah’, Sabrang menekankan bahwa memposisikan diri pada tahap belum salah akan sangat membuka kemungkinan bagi kita untuk menemukan hal-hal baru yang presisi ‘belum salah’-nya lebih tinggi lagi untuk mendekat kepada yang benar. Titik ‘belum salah’ akan sangat fleksibel jika dibandingkan dengan titik ‘benar’. Seseorang yang sudah memposisikan diri pada titik ‘benar’ akan sangat sukar untuk dijadikan tandem dalam menemukan sesuatu yang benar, karena dia sudah memutuskan dirinya pada posisi benar, padahal masih sangat mungkin ditemukan fakta-fakta yang lebih bisa dijadikan presisi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran ilmu tidak sesederhana itu fungsinya, keindahan ilmu akan terwujud pada presisi yang tepat, pada posisi koordinat yang tepat, sehingga ia akan mudah diterima dan dipahami konsepnya oleh banyak orang.“Ada banyak presisi yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain atau menyerap ilmu dari orang lain. Ini bukan masalah tinggi rendah, tetapi masalahnya adalah dimana kita akan menempatkan presisi yang tepat disitu,” lanjutnya.

Dalam konteks pola komunikasi dengan orang lain, Sabrang mencontohkan bagaimana zakat merupakan salah satu metode dimana dengan zakat kita mengenal zedekah. Ini merupakan sebuah pola, apabila kita memperluas pemahaman dan presisi kita terhadap sesuatu hal, kita justru akan menemukan sesuatu yang lebih luas lagi. Jika zakat memiliki aturan-aturan baku, maka tidak dengan sedekah. Ia bersifat lebih luas, dan lebih lentur. Bisa ditunaikan kapan saja, dan tidak ada batasan minimal berapa yang harus disedekahkan.

Sabrang mengingatkan, dalam Al Fatihah kita diajarkan untuk terus menerus meminta kepada Allah untuk ditunjukkan jalan yang lurus (benar); ihdindaa-s-shiroto-l-mustaqiim. Seyakin apapun kita tentang kebenaran yang kita yakini, kita tetap harus mengucapkan kalimat tersebut, karena masih sangat mungkin kita akan dipertemukan dengan kebenaran-kebenaran yang baru. Sebab sejatinya, manusia tidak akan mencapai pada presisi dan posisi koordinat yang benar-benar Maha Benar. Karena posisi tersebut hanya milik Allah. Yang paling mungkin kita capai adalah proses mendekati kebenaran yang sebenar-benarnya kebenaran, sehingga kita mampu memposisikan diri untuk menggunakan kebenaran yang kita yakini itu. Dalam arti lain, posisi ‘belum salah’ yang kita capai dapat kita gunakan untuk terus menerus mendekatkan diri kita mencapai titik kebenaran yang hakiki. Dengan metode yang seperti itu, kita akan mengetahui mana jenjang-jenjang yang memang belum benar yang telah kita gunakan, sesuai dengan keadaan yang kita hadapi.

Allah menganugerahi kita hidup, dimana dalam hidup ini kita merasa diberi kebebasan untuk memilih. Orang menganggap bahwa dalam kebebasan memilih, dia dapat memilih kanan atau kiri. Menurut Sabrang, hal tersebut bukanlah hasil dari kebebasan berpikir, melainkan hasil dari proses sebab-akibat cara berpikirnya dalam mempertimbangkan mana yang akan dipilih. Ketika seseorang dihdapkan pada dua pilihan antara A dan B misalnya, apabila yang dipilih A hal ini berdasarkan kepada pengalaman yang memang pernah dialami sehingga memutuskan untuk memilih A, begitu juga ketika memutuskan untuk memilih B. Sehingga yang terjadi adalah bukan kebebasan dalam memilih, tidak terdapat free will dalam konsep seperti ini.

Konsep free will dijelaskan Sabrang terletak pada bagaimana seseorang mengambil sebuah pengalaman. Sabrang mencontohkan, ketika seseorang mengalami kecelakaan maka akan muncul beberapa asumsi sebagai sebab dari kecelakaan yang ia alami. Beberapa asumsi yang biasanya muncul adalah: kecelakaan yang dialami adalah bentuk hukuman dari Allah. Ada juga yang berasumsi bahwa kecelakaan tersebut merupakan peringatan dari Allah. Ada pula yang memiliki asumsi bahwa kecelakaan tersebut merupakan sebuah kesempatan baginya untuk kembali kepada Allah. Satu peristiwa memiliki banyak arti yang berbeda-beda pada setiap orang yang mengalaminya.

“Kejadian itu sendiri tidak punya arti apapun. Dia hanya punya arti ketika manusia mengartikan dan bagaimana manusia mengartikan disitulah letak free will-nya,” jelas Sabrang. Ia mengambil sebuah pelajaran dimana Islam seringkali mengajarkan kepada kita untuk selalu mengambil sisi positif dari setiap kejadian yang dialami bukan sisi negatifnya. Ketika free will kita memutuskan untuk mengambil sisi negatif pada sebuah peristiwa maka ketika kita mengalami peristiwa serupa di waktu yang lain, kita akan mendapatkan pengalaman dan ilmu yang berbeda dari sebelumnya. Sehingga pada tahapan selanjutnya, seseorang akan berani mengambil keputusan yang berbeda dari keputusan sebelumnya pada peristiwa yang sama.

“Kalau sudah berbuat, itu pasti berguna,” Sabrang memberi kunci bahkan perbuatan seburuk apapun ia akan berguna, minimal sebagai contoh buruk bagi orang lain. Ketika koruptor ditangkap, maka setidaknya ia akan menjadi contoh buruk bagi orang lain dan menjadi peringatan bagi orang lain untuk tidak menjadi dirinya. Apapun yang dilakukan oleh manusia, pasti ada gunanya.

Menyambung dengan pertanyaan jamaah sekaligus kekhawatiran tentang nasib anak-cucu generasi mendatang yang dikhawatirkan akan menjadi babu di negeri sendiri karena daya cengkram kekuatan asing, Sabrang berpendapat bahwa yang harus dilakukan adalah setiap dari kita segera melepaskan identitas Indonesia dalam memahami persoalan ini. Identitas dalam diri kita mesti diperluas hingga ke tingkat Hamba Allah, bukan hanya sebagai Orang Indonesia. Semakin kita memperluas ruang identitas kita, semakin kita menemukan kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Konsep dalang dan pawang dalam struktur kehidupan malam itu juga turut dipaparkan oleh Sabrang. Dalang adalah sosok yang berkuasa atas segala sesuatu yang dimilikinya, tetapi pawang adalah yang sepertinya tidak memiliki apa-apa tetapi justru lebih berkuasa dibandingkan dalang. Dari konsep dalang dan pawang kita bisa memahami bahwa kekuasaan siapa menguasai siapa itu sangatlah cair. Yang membedakan antara konsep dalang dan pawang adalah jika dalam konsep dalang lakon yang dikontrol itu tahu dan mengerti bahwa ia dikontrol dan dikuasai oleh dalang, sedangkan dalam konsep pawang yang dikontrol dan dikendalikan tidak memahami dan tidak mengerti bahwa dia sedang dikendalikan oleh pawang.

“Kejadian itu sendiri tidak punya arti apapun. Dia hanya punya arti ketika manusia mengartikan dan bagaimana manusia mengartikan disitulah letak free will-nya.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Agu, 2015)

harta atau nyawah


Merespon paparan Sabrang, Ibrahim sampaikan tentang pemimpin-pemimpin daerah yang kurang jeli dalam melihat potensi yang ada di daerahnya sehingga para pemilik lahan lebih tergiur dengan uang yang ditawarkan investor. Menurut Ibrahim, dengan adanya sistem otonomi daerah seperti sekarang, seharusnya pemerintah daerah bertanggung jawab memaksimalkan potensi pendapatan daerah, dimana salah satu caranya adalah bersinergi bersama dengan rakyat dalam mengolah apa yang mereka miliki.

Sabrang menyikapi Ibrahim, menurutnya jika kita ingin mengambil jawaban yang cepat maka jawaban tersebut adalah dengan menyalahkan pemerintah, karena pemimpin memiliki tanggung jawab terhadap apa yang mereka pimpin. Sabrang menawarkan sebuah cara lain yaitu dengan membuat kegelisahan personal tadi menjadi kegelisahan bersama. Jika hanya ada satu orang yang merasa khawatir bahwa generasi penerus kita kelak hanya menjadi babu di negeri sendiri, maka akan menjadi sebuah gerakan yang berbeda ketika hal tersebut menjadi kekhawatiran bersama. Ada cara ketiga yang ditawarkan oleh Sabrang untuk menghadapi persoalan ini, yaitu ber-khusnudzon kepada Allah.

“Yang terpenting yang harus kita lakukan adalah mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar,” ucap Sabrang. Kisah Jengis Khan dijadikan contoh, dengam menghancurkan peradaban Irak saat itu Islam berada pada posisi yang sangat krusial, bahkan berada pada titik kekalahan yang luar biasa. Tetapi Allah memiliki skenario berbeda, justru salah satu keturunan Jengis Khan adalah orang yang menghidupkan kembali kejayaan Islam. “Yang harus kita jaga adalah khusnudzon kita kepada Allah dan keyakinan kita untuk terus menanam bukan tentang kapan akan menikmati panen dari tanaman yang kita tanam. Karena tanpa adanya pondasi maka tidak akan terbangun sebuah rumah,” jelas Sabrang.

Kyai Syauqi menambahkan bahwa apapun yang kita lakukan harus dibarengi dengan interaksi kepada Allah. Apapun yang kita lakukan untuk kebaikan bersama, harus kita imbangi dengan peran Allah. Karena salah satu tugas khalifatullah di muka bumi ini adalah mengelola segala yang ada di alam semesta, dalam bahasa yang lain bisa dikatakan bahwa manusia sebagai khalifah sejatinya berbagi tugas dengan Tuhan.

Menutup forum, Sabrang sampaikan bahwa Allah memberi informasi kepada kita salah satunya adalah dengan rasa yang ada dalam hati kita. Tetapi kita harus mampu membedakan mana yang senang dan mana yang bahagia, mana yang memberikan ketenangan sesaat dan yang menenangkan seterusnya, mana yang teguh dan mana yang keras kepala, mana yang plin-plan dan mana yang strategik. Dalam istilah Jawa kita mengenal salah satu jenis rasa dalam hati yang biasa disebut dengan sreg (cocok). Jika memang kita diperintahkan untuk menuju ke suatu titik misalnya, jika memang itu baik bagi kita maka hati kita akan merasa sreg. Tetapi yang harus dibangun terlebih dahulu adalah bagaimana kita mampu membedakan antara rasa sreg itu tadi dengan hawa nafsu dalam hati kita. Untuk membedakannya, Sabrang memberikan salah satu indikasi, “Jika seseorang terseret hawa nafsu maka yang dirasakan adalah kepuasan yang seringkali identik dengan api. Tetapi jika rasa sreg maka yang dirasakan adalah dingin yang kemudian berakibat pada ketenangan batin dan ketenangan pikiran.”

Menurut Sabrang, salat adalah sebuah metode yang paling jangkep untuk menemukan jawaban atas kebimbangan mana yang benar-benar rasa sreg dan mana yang merupakan hawa nafsu, karena hanya Allah yang mampu memberikan jawaban tersebut. Dengan salat kita akan menemukan dimana letak koordinat diri kita masing-masing dalam setiap peran yang kita jalani, baik di kantor tempat kita bekerja, di komunitas tempat kita bergaul, di keluarga kita sendiri, di lingkungan masyarakat dan sebagainya.

“Hari ini kita berbicara tentang harta dan nyawah. Hari ini kita sedikit merubah pemahaman kita tentang harta dan nyawah dari informasi sebelumnya. Semoga setelah ini kita mendapatkan kesimpulan yang baru, pemahaman yang baru, bukan dari berdasarkan pemahaman orang banyak dan berdasarkan apa yang kita dengar sebelumnya,” Sabrang memungkasi. Kenduri Cinta edisi Agustus 2015 dipuncaki dengan doa bersama dipimpin oleh Kyai Syauqi.