Mukadimah: Menemukan Kemerdekaan Sejati Manusia

Mukadimah Jamparing Asih Agustus 2015

Arti Kemerdekaan

Dalam dunia sains dikenal adanya istilah taksonomi, yaitu pengelompokan suatu hal berdasarkan hierarki atau tingkatan. Untuk melakukan pengelompokkan taksonomi itu diperlukan metodologi-metodologi agar dapat dilakukan klasifikasi ilmiah lebih lanjut secara hierarkis; sehingga dapat memudahkan manusia dalam mempelajari makhluk hidup yang sangat beraneka ragam. Makhluk hidup yang memiliki kesamaan ciri dapat dikelompokkan dalam satu golongan.

Golongan yang memiliki kesamaan terbanyak berada di tingkatan tertinggi yang sama, yaitu domain sampai kepada klasifikasi yang lebih rinci lagi, yaitu tingkatan spesies. Tersebut dalam pengklasifikasian ilmiah, terdapat berbagai pendekatan yang dapat dilakukan untuk memasukkan makhluk hidup ke dalam golongan-golongan klas tertentu. Pendekatan tersebut dapat dilihat perbedaan dan persamaan dari ukuran tubuh; struktur-anatomi; faal-fisiologi; lingkungan tempat hidup; jenis makanan; dan manfaatnya.

Banyak hal yang dapat kita pelajari dan ambil saripatinya dari sistem pengklasifikasian makhluk hidup ini dalam hal kebijaksanaan kehidupan sampai kepada konsep kedaulatan, baik dalam tataran hierarki tertinggi, yaitu kehidupan bernegara sampai kepada kehidupan manusia secara individu. Manusia harus tahu dan dapat mahfum betul akan persamaan dan perbedaan apa yang membuatnya tidak diklasifikasikan ke dalam kelompok lain secara tingkatan terendah di tataran spesies. Harus tahu apa yang membuatnya digolongkan sama dalam tataran famili atau sukunya.

Dan dalam kehidupan bernegara, harus mengetahui betul karakteristik yang membuatnya ternaung dalam suatu golongan yang disebut ordo atau bangsa. Elemen-elemen apa saja yang membuat manusia secara utuh masuk ke dalam kelompok di setiap tataran itu. Dan manusia seutuhnya harus memiliki kedaulatan untuk berpikir dan memandang secara jernih akan lapisan-lapisan pengetahuan di kehidupan tersebut.

Tentunya pengklasifikasian di tataran falsafah kehidupan manusia berbeda dengan pengklasifiasian sains praktis. Metodologinya tentu jauh lebih rumit dan saling tumpuk-menumpuk; jalin-menjalin; bahkan silang sengkarut. Manusia akan sulit memahami diri dan menentukan kiblat apabila manusianya sendiri tidak memiliki kedaulatan berpikir yang jernih untuk menentukan titik acuan untuk memandang persamaan dan perbedaan. Tidak hanya persamaan dan perbedaan itu yang harus diperhitungkan; melainkan harus mengetahui juga kapan faktor-faktor tersebut harus dihilangkan dan ditiadakan.
Manusia harus memiliki dan menjaga kedaulatan berpikir, beragama, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Caranya, dengan selalu melakukan eksplorasi pikiran dan percaya terhadap diri sendiri dan berdaulat akan diri. Dari eksplorasi yang benar diharapkan manusia dapat memiliki pemahaman yang sejati untuk membedakan kedaulatan diri dan ego yang kerap menyelimuti.

Mempelajari kedaulatan dapat dari lapisan kehidupan yang terkecil ke terbesar; terendah ke tertinggi; ataupun sebaliknya. Dari titik acuan manapun saja tidak akan menjadi pembeda; asalkan manusianya memiliki daya pikiran, nalar, dan pengetahuan yang keseluruhannya sudah terkativasi.

Dalam tataran hidup kedaulatan kebangsaan, dapat kita pelajari mulai dari tingkatan Negara. Telah 70 tahun Indonesia mendapat status negara berdaulat. Dalam hitungan umur manusia, 70 tahun semestinya menunjukkan kematangan pengalaman, kearifan bersikap, kejernihan pandangan. Namun nyatanya sampai sekarang, kita masih gagap menemukan kedaulatan. Di tingkatan berikutnya, manusia harus memahami bagaimana menempatkan diri dalam suatu struktur kemasyarakatan. Sebagai bagian dari masyarakat perkotaan. Sebagai bagian dari masyarakat yang memahami identitas sosial, kebudayaan, dan kesukuan.

Kita masih perlu bertanya: sudahkah kita berdaulat penuh dalam politik, ekonomi, militer, budaya, ilmu pengetahuan, penafsiran agama? Jika masih ragu menjawabnya, maka saatnyalah kita mempelajari dan memaknai kedaulatan—sebelum terlambat. Apa sebenarnya kedaulatan itu? Dan seperti apa kemerdekaan sejati, yang paripurna itu, dan bagaimana mencapainya? Jika kita telah menggenggam jawaban-jawaban itu, maka setidaknya sebagai individu kita bisa mulai berjuang menjadi manusia merdeka. Meski mungkin sebagai manusia, sebagai umat, sebagai bangsa, dan bagian dari masyarakat, proses itu masih lebih panjang dan berliku jalannya.

Penganalogian kehidupan diidentikkan dengan berkaca kepada konsep tingkatan trofik jaring-jaring makanan. Ada yang saling caplok-mencaplok; makan-memakan; mempredasi; berkompetisi; dan menjadi parasit; dan omnivor memakan saudaranya sendiri. Namun tentunya ada juga yang saling bersimbiosis; saling menguntungkan; memberi manfaatkan; dan dapat memberikan naungan dan saripati untuk kemaslahatan ekosistem yang berada dalam cakupan wilayahnya.

Hidup yang sejatinya tentunya tidak akan bergulir tanpa dinamika. Semuanya sudah ada perannya. Bagiku, maupun bagimu. Coba kau runutkan kehidupanmu sendiri, cari polanya. Telaah, peran apa yang kira-kira Tuhan suruh untuk kau emban. Diperjalankan ke arah manakah hidupmu. Kenali haluan, hulu, dan hilirnya. Bukan atas dasar klasifikasi profesi atau kesibukan sehari-hari semata; melainkan menemukan kesejatian akan diri. Menyadari keberadaan mutiara di balik kerasnya kulit kerang. Menyadari tersembunyinya emas di balik kerikil dan bongkahan-bongkahan bebatuan.

Dalam suatu kesempatan, Cak Nun pernah mengatakan, “Tidak semua manusia harus menjadi ulama. Tidak semua manusia pun ditakdirkan untuk menjadi umara. Tidak semua orang ditakdirkan menjadi teknokrat. Tidak semua orang ditugaskan menjadi saintis. Ada juga yang ditugaskan Tuhan untuk menjadi rakyat jelata. Ada yang diberikan peran sebagai punakawan. Ada yang diberikan peran sebagai tokoh masyarakat. Dunia ini saling berikatan, saling memiliki keterkaitan. Petani belajar kepada pedagang, pedagang belajar kepada ulama, ulama belajar kepada tukang becak, tukang becak belajar kepada yang lain. Kita semua saling belajar untuk menemukan inti dari daya hidup bersama-sama.”

 

Apapun profesi dan takdir status sosial manusia, siapapun itu, saat ini, janganlah dilupa bahwa kemanusiaan adalah sebenar-benarnya takdir sejati. Bila mengacu kepada klasifikasi secara ilmiah, golongan diacu sebagai tingkatan tertinggi adalah yang memiliki banyak perbedaan; yaitu domain, kingdom, ataukah ordo atau bangsa. Sementara spesies adalah tingkatan klasifikasi terendah namun memiliki banyak sekali kemiripan yang antar anggota golongannya memiliki pengerucutan dalam hal perbedaan. Analogi tersebut sejalan Secara kasat mata, mungkin tingkatan bangsa tampak tinggi stratanya dibandingkan spesies dengan segala keunikannya. Namun, secara hakikat, sejatinya tingkatan tertinggi itu adalah tentunya spesies itu sendiri. Dan dalam hal ini, yang memiliki tingkatan hakikat tertinggi adalah manusia itu sendiri. Sang Homo sapiens.

Spesies dikatakan memiliki hakikat lebih tinggi dikarenakan ia sudah semakin mengenal perbedaan, persamaan, manfaat, dan elemen-elemen yang membuatnya mengalami pengenalan akan diri. Sudah memiliki pengetahuan yang benar dan sejati untuk mengklasifikasikan diri secara lebih rinci. Namun, Homo sapiens seperti apakah yang memiliki tingkatan tertinggi itu? Apakah mereka yang dapat berkuasa, memerintah, mengeksekusi, ataukah berinovasi? Apakah mereka yang mengetahui bahwa di hidupnya mereka mampu bersekolah, berlari, berenang, menjahit, atau bekerja banting tulang menghidupi sanak famili? Kalau bicara pekerjaan dan profesi; pencuri atau tukan korupsi pun punya titel dan predikat sebagai orang yang beikhtiar menyambut rezeki.

Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa mereka yang ditinggikan derajatnya adalah mereka yang berilmu. Namun, ilmu seperti apakah yang dapat membuatnya memiliki ketinggian derajat? Siapakah yang dapat menilai ketinggian derajat itu semua? Karena apapun sebenar-benarnya dapat dimanipulir oleh manusia; tak ketinggalan juga ilmu. Ilmu dapat meninggikan dan menjatuhkan. Ilmu dapat mendidik dan membodohi. Maka, untuk mengambil titik temu dari segala hal yang saling berkelindan itu, manusia harus memiliki ilmu yang Sejati. Pandangan yang hakiki. Tahu akan apa, kemana, dan mau apa di kehidupan ini; atau singkatnya adalah mengetahui sangkan paran-nya. Sehingga tahu hakikat kemanusiaan yang memanusiakan.

Sebagai elemen dari suatu otoritas yang bernama negara; manusia harus memahami hakikat dari ketertindasan dan kemerdekaan. Seperti apa kemerdekaan sejati, yang paripurna itu, dan bagaimana mencapainya? Jika kita telah menggenggam jawaban-jawaban itu, maka setidaknya sebagai individu kita bisa mulai berjuang menjadi manusia merdeka. Meski mungkin sebagai manusia, sebagai umat, sebagai bangsa, dan bagian dari masyarakat, proses itu masih lebih panjang dan berliku jalannya.
Kemanusiaan adalah keniscayaan. Itu adalah takdir perjanjian dengan Tuhan semenjak zaman azali. Yang harus dipegang erat-erat. Dan itulah yang harus dipertanggungjawabkan betul. Yang membuat manusia dipertentangkan oleh para malaikat yang takut kau akan tumbuh tidak menjadi sebenar-benarnya manusia. Tuhan sudah percaya kita. Tuhan sudah membela kita. Jangan malu-maluin Tuhan di hadapan malaikat dan iblis lah.