MENEMUKAN KEMERDEKAAN SEJATI MANUSIA

Tidak lebih dari tiga minggu teman-teman Jamparing Asih merumuskan acara maiyahan. Dirintisnya kembali maiyahan Bandung merupakan hasil rembug yang telah dilakukan jauh hari sebelumnya oleh beberapa penggiat Maiyah di Bandung bersama penggiat Maiyah di Jakarta.

Dilihat dari sejarah atau usianya, Jamparing Asih termasuk ‘prematur’ karena umurnya yang masih sangat muda. Acara maiyahan Bandung tersebar secara viral di dunia maya, dari WhatsApp ke WhatsApp, dari mulut ke mulut. Handphone salah satu penggiat begitu seringnya berdering, baik telpon ataupun SMS, yang menanyakan perihal kebenaran acara tersebut atau sekiranya melakukan konfirmasi. Hal tersebut menandakan bahwa masyarakat Bandung sudah sebegitu rindunya dengan Cak Nun, sosok orang tua yang dinilai bisa membesarkan hati banyak orang, ngemong siapa saja tanpa membedakan satu dan lainnya dengan menyadari bahwa aku, kamu dan kita hakikatnya sama-sama manusia.

Maiyahan perdana Jamparing Asih edisi Agustus ini difasilitasi oleh Penerbit Mizan yang juga penerbit buku-buku Cak Nun. Mizan kini menerbitkan ulang buku-buku Cak Nun sehingga tulisan-tulisan lawasnya dapat dibaca dan dinikmati kembali di seantero negeri. Bisa dibilang, keberjalanan forum perdana Maiyah ibarat gayung bersambut dengan Mizan. Menurut Ibu Sari Meutia dari Mizan, Mizan secara rutin mengadakan Mizan Executive Forum, sebuah forum yang mengundang tokoh-tokoh publik untuk diskusi terbuka. Ibarat tutup bertemu dengan wadah, Jamparing Asih yang memiliki kesamaan tujuan untuk mendatangkan Cak Nun dan masih belum memiliki tempat rutin untuk melangsungkan acara akhirnya dapat bergandengan dengan Mizan untuk bermaiyahan di kantornya, tepatnya di Jl. Cinambo 135.

Kedatangan Cak Nun di Kantor Mizan membuat kawasan Cisaranten ramai tak seperti biasanya. Pukul 3 sore area forum telah ramai didatangi masyarakat. Lapangan futsal di komplek perkantoran itu telah disulap sebagai lokasi forum dengan tenda terbentang menutupi hampir satu lapangan beralaskan karpet berjejer rapi menghadap ke arah panggung setinggi 50 cm. Walau bisa dibilang kantornya berlokasi agak terpencil dan jauh dari pusat kota, di sekitar Bandung Timur, namun tidak menyurutkan semangat dan pengorbanan dari masyarakat Bandung untuk datang dan duduk bersama. Dari data yang dihimpun, banyak masyarakathadir dari berbagai kota di sekitar Bandung, baik dari Subang, Sukabumi, Garut, hingga dari Tasikmalaya.

“Kun ma’allah, failam takun ma’allah, fakun man ma’allah. Waktu berdiri, duduk, berbaring terus ingatlah Allah. Tapi ketika kita tak mampu membersamai diri mengingat Allah terus-menerus, maka hendaklah bersama orang yang bersama Allah.”
Bambang Pranggono, Jamparing Asih (Agu, 2015)

Sekitar pukul setengah empat setelah melaksanakan salat Ashar berjamaah di lokasi, forum dibuka oleh perwakilan Jamparing Asih, yaitu Andityas, Mufti dan Nissa. Secara bergantian mereka memaparkan keterkaitan Cak Nun dengan masyarakat Bandung. Mufti mengangkat kembali kisah tahun 90-an, dimana Cak Nun memiliki forum di Pusda’i yang dinamakan Tali Kaasih.

Jamparing Asih memiliki arti Panah Cinta. Penamaan tersebut juga merupakan secercah doa dan harapan agar Jamparing Asih dapat menjadi forum yang mampu menjadi busur panah yang menebarkan atau bahkan menghujamkan cinta bagi siapa saja yang berada dalam lingkarannya; bagi siapa saja yang berada di sekitarnya. Menurut Nissa, Bandung membutuhkan forum seperti Jamparing Asih karena menurutnya di Bandung belum ada forum yang dapat mewadahi semua aspek masyarakat. “Kami ingin membersamai siapa saja yang memang ingin diajak untuk (berjalan bergandengan) bersama-sama,” ungkap Tyas di depan forum sore itu.

Selain itu, menurut penggiat, Bandung memiliki banyak forum namun semuanya dirasa berjalan sendiri-sendiri. Bandung belum memiliki forum kebersamaan, dimana masyarakat bisa duduk bersama secara apa adanya, secara sederhana, arif, dan bersahaja dengan menanggalkan semua status yang dimilikinya. Menghapus polesan-polesan wajah sebentar saja agar dapat saling bertatapan dan berpadangan secara apa adanya sebagai manusia. Itulah prinsip dasar dari Jamparing Asih. Diharapkan Jamparing Asih dapat memayungi dan menaungi siapa saja yang ‘kepanasan’ ataupun ‘kehujanan’ dengan cinta kasih dan keikhlasan. Diharapkan pula, Jamparing Asih dapat mengajarkan arti dari kebersamaan tanpa pamrih. Dapat tertawa bersama tanpa ada paksaan atau tekanan. Melupakan status, posisi dan profesi sejenak, agar dapat memandang sesama saudaranya tanpa ego diri dan tinggi hati. Mencari kemaslahatan dan kebermanfaatan bersama.

Keberadaan Jamparing Asih diingatkan oleh Cak Nun agar setiap pelakunya menganggap yang dikerjakannya sebagai shadaqah, agar tinggi derajatnya dan nikmat dalam menjalankannya. Cak Nun juga menjabarkan tentang falsafah kebrahmanaan. Mengenai minimnya manusia berjiwa brahmana, bahwa kini manusia-manusia kebanyakan berjiwa sudra. Meskipun memang pada setiap tatanan itu masing-masingnya dibutuhkan dalam masyarakat, namun bukan secara hierarkiah, melainkan secara kemaslahatan dalam bermasyarakat. Sedikitnya manusia-manusia brahmana atau orang bijak dan arif sangatlah disayangkan karena sejatinya mereka sangat dibutuhkan dalam struktur dan tatanan kemasyarakatan.

“Jamparing Asih memiliki arti Panah Cinta, merupakan secercah harapan agar forum dapat menjadi busur panah yang menebarkan atau menghujamkan cinta bagi siapa saja yang berada dalam lingkarannya.”
Nissa Rachmidwiati, Jamparing Asih (Agu, 2015)

Jamparing Asih edisi Agustus tampak semakin ramai. Cak Nun sore itu berada di forum bersama Pak Bambang Pranggono — ketua Yayasan Masjid Istiqamah. Pak Bambang, seorang sepuh, berwajah bersih dengan tatapan mata yang tenang, janggut panjang memutih, sore itu mengisahkan tentang pertemanan beliau dengan Cak Nun dahulu kala Lautan Jilbab dipentaskan. Bersuarah lirih, beliau menelaah prihal kemerdekaan sejati manusia, yang merupakan anak judul dari acara (MEDAR KADAULATAN: Menemukan Kemerdekaan Sejati Manusia).

“Kita tidak akan pernah merdeka,” begitu Pak Bambang mengawali paparannya, “Karena menurut ilmu fisika kuantum tak ada yg namanya freewill, semua yg ada di alam ini pada hakikatnya sudah terencana dengan detil. Jadi, tidak ada yang namanya kehendak bebas. Ketertataan alam semesta yang disebut finetuned universe menegaskan bahwa alam semesta tidak akan terbentuk sebagai mana yang kita kenal saat ini bila dalam proses kejadiannya suhu dan kecepatan lebih rendah atau lebih tinggi sedikit saja. Kalau bergeser sedikit saja, panasnya, negatif entropi bergeser dikit, kalau kecepatan mengembangnya berbeda sedikit juga, maka galaksi tidak terwujud, tidak sempat membentuk planet yang ada kehidupan. Kita menyebutnya takdir. Kelihatannya memang semuanya seperti telah diprogram.”

Pak Bambang mengajak masyarakat untuk merenungkan keberadaan masing-masing. Bahwa adanya kita sebagai diri yang hadir di planet bumi — bukan di tempat lainnya di alam semesta dan keberadaan diri kita pun adalah hasil kompetisi dari jutaan sperma yang ndilalah (kebetulan) jadi satu dan jadi diri kita yang ada sekarang yang dapat berpikir — dapat memikirkan alam semesta. Apakah tidak menakjubkan membayangkan itu semua? Apakah itu pilihan ataukah memang pada dasarnya sudah ‘diprogram’ dari sananya? Apa salahnya jika manusia itu seperti wayang, dan tidak masalah kalau dalangnya adalah Tuhan yang Maha Kuasa; jadi tidak usah terlalu menuntut kemerdekaan. Menurut Pak Bambang, kalau memang harus berjuang hidup, berjuangnya di ‘program’ yang telah diamanahkan kepada masing-masing manusia.

Pemaparan Pak Bambang makin menarik saat beliau menjelaskan teori tentang warna. Menurut beliau, hakikat warna itu adalah apa yang ditolak. Ketika suatu benda memantulkan spektrum warna merah, maka ia akan tampak di mata kita sebagai warna merah. Apa yang dipantulkan oleh benda itu lah yang diterima oleh mata kita. Maka falsafah yang dapat diambil penganalogiannya adalah bahwa apa yang dilihat seseorang lihat dari sikap orang lain, apa yang diasumsikannya, refleksi yang ditangkapnya, itulah warna dirinya. Berhati-hatilah bila berpikiran buruk dan benci pada orang lain, jangan-jangan asumsi kita itu lebih menjelaskan banyak hal tentang diri kita. Di akhir paparan, Pak Bambang menyampaikan apa yg menjadi pesan Guru beliau: Kun ma’allah, failam takun ma’allah, fakun man ma’allah. Waktu berdiri, duduk, berbaring terus ingatlah Allah. Tapi ketika kita tak mampu membersamai diri mengingat Allah terus-menerus, maka hendaklah bersama orang yang bersama Allah. Melalui pesan tersebut, Pak Bambang seperti menjawab tanya tak terucap tanpa menjelaskan panjang lebar sejarah dan apa itu Maiyah — Maiyah: kebersamaan, dari kata maiyatullah: kebersamaan Allah — kepada para hadirin yang mayoritas  mungkin baru mendengar term Maiyah.

Setelah menyempurnakan posisi duduknya — posisi duduk diantara dua sujud, posisi yang mampu membuat beliau tahan berjam-jam tetap dalam kondisi prima — maka terdengarlah sapaan salam dari Cak Nun. Tanpa mengawali dengan pengantar, Cak Nun dengan ringan langsung mencecar masyarakat yang hadir dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah dimuati nilai-nilai kearifan guna menggugah dan menggelitik kesadaran.

Diskusi yang berlangsung sepanjang sore itu lebih beraurakan diskusi dialektis. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang menggoda pola pikir dilontarkan Cak Nun. Beliau meminta teman-teman di forum untuk dapat bersama-sama menjadi rujukan bersama untuk kebenaran sesuai dengan latar belakang keahliannya, baik yang berlatarbelakang hukum, kesehatan dan lain-lain. Cak Nun menjelaskan bahwa keberjalanan forum tidak boleh memiliki sifat fatalistik.

“Kita tidak sedang berhadapan dengan pemimpin, kyai, ulama, atau siapa pun. Kita bersama-sama sedang mencari apa yang benar, dan nggak peduli siapa yang benar, siapa yang salah. Apa yang benar dulu dijelaskan, kita cari-cari dulu la ilaha itu apa saja, supaya punya keputusan mengenai illa Allah. Karena yang terjadi di Indonesia, illa Allah-nya tiap hari, tapi tak jelas la ilaha-nya, maka illa Allah-nya jadi tidak menentu karena yang ditidakkan nggak jelas, maka yang diiyakan juga jadi tidak jelas,” Cak Nun menegaskan bahwa Maiyah bukanlah forum atau format-format pengajian yang dikenal selama ini. Maiyah adalah sumur, dimana semua orang punya hak yang sama untuk menimbanya. Maiyah adalah sawah dimana semua orang belajar bersama-sama untuk mengolahnya untuk dinikmati hasilnya kelak juga bersama-sama.

Pertanyaan-pertanyaan sederhana kembali dilontarkan: Mana yang lebih baik, hukum rimba atau hukum negara? Spontan terdengar jawaban yg beragam. Ternyata hampir imbang antara yang menjawab “hukum negara lebih baik” dengan penjawab “hukum rimba lebih baik”. Cak Nun katakan, “Ini masalah besar. Ini sumber konflik.” Dengan apik Cak Nun mengajak menyelami cara berpikir, mengajak memahami lebih dalam bahwa rimba adalah ciptaan Allah sedang negara adalah buatan manusia sambil berkali-kali melempar kembali pertanyaan: Jadi mana yg lebih baik, hukum rimba atau hukum negara? — kali ini mayoritas menjawab: hukum rimba. Banyak orang mengatakan “Jangan main hakim sendiri karena itu adalah hukum rimba”. Hukum rimba tentu baik, karena itu sudah darisananya ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan organisme yang relung-relungnya sudah jelas, salah satunya adalah manusia. Dan, manusia sebagai organismenya Tuhan diberikan kewenangan untuk mengelola aspek-aspek kehidupan. Maka, namanya organisasi. Mengacu kepada hukum rimba sebagai sebuah wacana, sebagai suatu organisme kehidupan, maka dipaparkan bahwa organisme adalah pengorganisasian yang sudah fix dan matang, yang disebut sebagai sunatullah. Yang sudah betul-betul tidak bisa dibantah dan pasti baiknya. Maka manusia diberi kesempatan untuk menakdirkan dirinya sedikit, jadi freewill-nya ada juga sedikit-sedikit, Cak Nun mewacanakan ucapan Pak Bambang sebelumnya.

“Hubungan manusia akan menjadi indah bila dalam berkomunikasi dapat ‘berpolitik’ dengan pendekatan yang arif guna membesarkan hati orang. Menyampaikan pendapat, berstrategi komunikasi, dan berdiplomasi secara bil hikmah.”
Emha Ainun Nadjib, Jamparing Asih (Agu, 2015)

Manusia memiliki kecenderungan untuk menata, mengorganisasi, membuat tatanan. Hutan rimba diambil sebagian dibuat sawah. Sawah kemudian dibajak, digaru, disirami, dan ditanami adalah buatan manusia, namun Tuhan tetap berperan mau menumbuhkan padi-padinya atau tidak. Sehingga bagaimanapun dalam kedaulatan manusia sekalipun, faktanya kedaulatan Allah lebih berperan dan lebih tinggi dibandingkan kedaulatan manusia itu sendiri.

Lebih lanjut Cak Nun sampaikan, “Padi ditanam, kemudian dipanen menjadi gabah, gabah digiling menjadi beras, beras dimasak menjadi nasi, nasi dikembangkan lagi dengan kedaulatan kuliner manusia menjadi bermacam-macam panganan. Kedaulatan Tuhan itu berhenti pada padi. Begitu padi sudah ada, kedaulatannya diserahkan kepada manusia. Terserah-serah kecerdikan manusianya, apakah padi itu mau langsung digrogoti di sawah atau dimasak dulu menjadi nasi. Manusia memiliki kedaulatan untuk memperindah rasa dari padi.”

Menyelam lebih dalam, forum disuguhkan pertanyaan, “Apakah macan itu binatang buas dan kejam? Pilih jadi rusa atau macan?” Hampir semua menjawab bahwa macan adalah binatang buas dan lebih memilih menjadi macan dibanding rusa. Mungkin karena macan simbol kegagahan, kekuasaan, dan kedigdayaan. Tapi setelah Cak Nun menjelaskan bahwa rusa tak perlu susah mencari makan secara susah payah, apa yang ditemuinya, rumput dan dedaunan bisa ia makan, sedangkan macan harus dan hanya makan daging segar, itu pun harus melalui proses kejar-kejaran dan 90% macan mati sengsara karena dimasa tuanya sudah tak punya kekuatan untuk mengejar. Sambil tertawa, masyarakat yang hadir merubah jawaban untuk lebih memilih jadi rusa.

Cak Nun berujar, “Kebuasan itu hanya dikenal oleh tatanan dan struktur psikologi manusia. Buas itu kata-kata dari kebudayaan manusia. Binatang tidak mengenal kebuasan dan kejinakkan. Jadi kalau ada macan makan rusa, itu bukan kekejaman.” Contoh lain mengenai hama pertanian. Bahwa munculnya binatang yang mengganggu pertanian dan menjadi hama dikarenakan binatang dengan tingkatan trofik atasnya telah dimatikan dengan pestisida atau dihilangkan tempat tinggalnya. Jadi singkatnya manusia memiliki peran dalam merusak ekosistem, maka munculah hama. “Jadi, yang kejam ini yang memotong ekosistem ataukah hamanya?” goda Cak Nun kembali sore itu.

“Khair itu kebaikan yang cair, yang bersifat universal, maka tidak boleh diperintahkan dan tidak boleh dibakukan dalam pasal-pasal perundangan, tapi hanya dianjurkan.”
Emha Ainun Nadjib, Jamparing Asih (Agu, 2015)

Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Cak Nun memang sengaja dilakukan agar suasana diskusi menjadi lebih hidup dan bersifat dialektis. “Riset, riset, riset!” berkali-kali terdengar Cak Nun menyebutkannya.

Setiap makhluk yang diciptakan oleh Allah sudah memiliki peran juga sunatullah-nya. Seperti lingkaran jaring makanan yang saling menyeimbangkan ekosistem, memiliki niche atau relungnya masing-masing dan memiliki peranan-peranannya yang dititipkan dalam wilayah-wilayah tertentu. Sama juga dengan Iblis yang dititipi peranan khusus oleh Allah. Namun manusia kerap memandangnya sebatas makhluk yang mencelakakan manusia. Padahal ia memiliki jasanya tersendiri dalam panggung kehidupan yang diciptakan Allah ini. Selain itu, bahasa kebudayaan manusia terkadang kejam terhadap kenyataan-kenyataan kehidupan.

Contohnya adalah anjing yang selalu disalahkan dan menjadi julukan dan umpatan untuk orang kebanyakan. Hal itu menunjukkan adanya diskriminasi terhadap anjing. Anjing tidak memiliki salah apa-apa, ia tidak rakus seperti manusia, tidak berbuat kejam, bahkan memiliki sifat sangat setia. Namun manusia kerap merendahkan anjing. Kemudian merendahkan manusia lainnya dengan menyebutnya anjing. Dan orang yang direndahkan itu marah karena ejekan tersebut. “Makanya kalau orang menyebut saya anjing, saya bangga. Berarti kamu mengakui kesetiaanku,” aku Cak Nun yang ditepuki banyak orang. “Coba dirombak ya, Dik, pikirannya. Dibawa santai hidupmu itu,” imbuhnya kemudian. Hidup ternyata penuh hiasan, banyak kisah-kisah yang dapat dituturkan sebagai media penyampaian ilmu. Demikian itu tidak menyalahi aturan kemanusiaan dan kebudayaan, asal ketersampaian dan hakekatnya benar.

“Manusia itu memang sok pintar, dia pikir bisa punya anak, bisa panen padi, bisa buang air besar dan kecil. Siapakah yang berdaulat menciptakan irama dan metabolisme? Siapa yang memiliki otoritas mengatur titik-titik kapan kita buang air kecil? Tuhan. Setelah itu baru temukan kedaulatan-kedaulatan di wilayah yang lain. Jadi, tolong temukan dimana kedaulatanmu, dimana kedaulatan Tuhan. Kalau sudah tahu bener-bener kedaulatan Tuhan, baru ngurusin kedaulatan manusia, sampai ke kedaulatan diri, kedaulatan keluarga, kedaulatan sosial, kedaulatan masyarakat, kedaulatan organisasi-organisasimu, kedaulatan NKRI, kedualatan macem-macem sakarepmu. Tapi kalau engkau sendiri belum (dengan nada penuh penekanan) menemukan kedaulatan Tuhan di dalam dirimu, nggak usah banyak omong dulu. Nanti dulu. Nanti dulu,” ujar Cak Nun lagi.

“Anda ini berdaulat untuk makan, tapi anda tidak berdaulat untuk memproses makanan begitu masuk tenggorokan. Coba, bisakah engkau berdaulat atas makananmu sendiri?” tanyanya ringan. Masyarakat diminta membayangkan kalau Tuhan menyuruh masing-masing yang hadir untuk memproses seluruh metabolisme tubuhnya, mengurai protein-protein, sampai sampah pencernaannya dikeluarkan lagi. “Pernahkah anda bisa tidak ingat Allah dalam hidupmu? Pernahkah ada detik dimana engkau berpisah dari Allah dan sempat tidak ingat Allah dalam hidupmu? Sedangkan jantungmu engkau rasakan detaknya “deg.. deg.. deg..” ketika akan tidur… Apakah engkau berdaulat terhadap detak jantungmu itu?” Masyarakat yang hadir di forum terlihat berpikir dan loading bareng-bareng.

“Saya cuma mbongkarmbongkar anda, kalau anda tidak terbongkar, anda ndak bisa membongkar Indonesia. Kalau anda sendiri ndak bisa bongkar otakmu, pemahamanmu, cara berpikirmu ndak usah berobsesi untuk membongkar negara. Karena anda sendiri belum mampu membongkar yang terkecil saja dari isi pikiranmu,” tutur Cak Nun

“Perjuanganmu akan diberi kemenangan oleh Allah asalkan landasan perjuanganmu adalah membela dan mencintai orang kecil atau engkau melakukan apa saja demi cinta dan pembelaanmu kepada orang-orang kecil, orang-orang yang lemah.”
Emha Ainun Nadjib, Jamparing Asih (Agu, 2015)

Cara ngemong Cak Nun di Maiyah Bandung tentunya berbeda pendekatannya dengan saudara-saudaranya di kota-kota lain, seperti Kenduri Cinta, PadhangmBulan atau Mocopat Syafaat. Jamparing Asih adalah proses kelahiran kembali, dimana simpul Maiyah lainnya telah “berkuliah” sejak lama, sedang Jamparing Asih baru masuk sekolah. “Tapi, Cak Nun mampu membuat kita semua naik kelas hanya dalam sekali pertemuan,” setidaknya itu yang dirasakan oleh salah seorang jamaah Bandung, Iwa, yang datang dari Sukabumi.

Wacana lainnya dilontarkan Cak Nun berkenaan dengan kesehatan. “Bagaimana kalau saya bilang bahwa hidup bukanlah soal kolestrol dan asam urat, melainkan jatah detak jantung yang diberikan Allah kepada kita, bagaimana? Maka semakin cepat jantung kita berdetak semakin pendek umur kita. Maka dari itu saya menghemat detak jantung saya. Saya gak boleh kagum. Saya gak boleh kaget. Saya gak mau keburu nafsu. Tidak boleh terlalu menggebu-gebu akan sesuatu. Kebanyakan orang gumunan, kagetan. Makanya.. Tenang hidupmu itu.. Ada apapun juga harus dijaga tetap muthmainah,” ujarnya diliputi canda tawa.

Dengan gaya teatrikal Cak Nun memberikan contoh tentang bagaimana mengelola detak jantung, “Anda lari pagi jangan irama kakimu sama dengan irama nafasmu, sama irama jantungmu. Nafasmu berdaulat sendiri, irama kakimu berdaulat sendiri supaya jantungmu terjaga kedaulatannya, itu yang namanya kesehatan.” Lagi-lagi masyarakat berhasil dibuat mempertanyakan kembali hal-hal yang selama ini menjadi kebutuhan pokok sebagai manusia, salah satunya adalah kesehatan. Indonesia sebenarnya memiliki teori kesehatan sendiri. Tapi, bangsa kita terlanjur menganggap teori kesehatan dari Barat sebagai mainstream sedangkan yang terlahir dari nenek moyang sendiri — seperti dukun, tabib — disebut alternatif. “Iki gendheng arek-arek,” tandasnya. “Dirimu sendiri kau sebut alternatif! Terus sekarang mau bicara kedaulatan? Piye karepmu?” Wacana demi wacana menjebak nalar terus dilontarkan oleh beliau sehingga membuat masyarakat dapat lebih berpikir secara jujur dalam menertawai kekonyolan kehidupan yang tengah terjadi. “Saya bukan ngasih ilmu, hanya menggoda kamu.”

Mengenai wacana pernikahan dan tatanan kenegaraan juga dihadirkan Cak Nun dalam forum. Wacana dihantarkan dengan penjabaran bahwa menikah itu adalah idenya Allah, sehingga menjadi perintahnya Allah. Sehingga tinggi derajatnya, tinggi nilainya. Sementara negara itu bikinan manusia. “Sekarang silakan pilih, keluargamu bubar atau Indonesia bubar?” goda Cak Nun lagi yang disambut oleh riuh tawa dari jamaah. “Saya mengatakan ini bukan berarti merendahkan negara, justru kalau manusia sudah berdaulat, maka cintanya kepada negara itu jauh lebih tinggi derajatnya karena bukan berdasarkan kewajiban, tapi berdasarkan cinta, kasih sayang, dan komitmen yang sejati. Jadi pejabat atau tidak pun, kamu akan tetap cinta Indonesia.”

“Setiap langkah yang diambil harus diperhitungkan secara arif dengan kedalaman ilmu. Untuk orang yang memiliki sedikit pengetahuan, ia akan merasa ketakutan untuk kehilangan sedikit pengetahuannya itu. Kalau pengetahuan yang dimiliki luas, maka tidak akan mengalami ketakutan untuk kehilangan pengetahuan-pengetahuan itu.”
Emha Ainun Nadjib, Jamparing Asih (Agu, 2015)

JAMPARING ASIH


Masyarakat Indonesia kebanyakan menganggap bahwa nasionalisme dan cinta tanah air merupakan kewajiban bersama. Perlu diluruskan lagi apakah konteks kewajiban itu diambil dari epistemologi syariat Islam atau bahasa kebudayaan. Karena akan berbeda hakikatnya. Apabila dalam konteks syariat Islam, maka bila dilakukan akan menjadi dosa, padahal di alam kubur sekalipun tidak akan ditanya mengenai Pemilu ataukah alasan berdiam diri ketika tahun 2015 ini puluhan ribu tenaga kerja kiriman China masuk ke Indonesia. Yang dipertanyakan malaikat adalah perilaku pribadi manusia dalam menyelamatkan keluarganya dari api neraka: Qu anfusakum wa-ahlikum nara.

Untuk mencoba menjawab hukum membela negara dalam Islam, hukum cinta negara, hukum mikirin negara, Cak Nun mencoba memberikan alat untuk membantu dengan mengajak kita kembali kepada ilmu dasar dalam ilmu fikih, tentang hukum-hukum dalam Islam, dari Fardhuain seperti salat, fardhu kifayah seperti mengurusi jenazah, sunnah, mubah, makruh, hingga haram. Jadi, secara hukum Islam ternyata kita tidak menemukan dasar hukum yang jelas perihal ‘bela negara’. Kalau (mengurus) jenazah itu tidak ada yang dibayar untuk mengurusi, kalau (mengurus) negara sudah. Untuk pengurus-pengurus negara secara formal itu hukumnya adalah wajib, namun untuk masyarakat umum yang tidak bertransaksi maka hukumnya masih berupa pertanyaan.

“Lah, sudah bayar presiden mahal, menteri-menteri mahal, sudah kita kasih fasilitas semua, kita sudah bebas kewajiban dong? Kita yang mbayar kok kita yang berkewajiban?” ujar Cak Nun dengan cara bicaranya yang khas. “Kita ndak punya kewajiban sama sekali. Kalau kita mau (bela negara) itu namanya shadaqah! Jadi, kalau kita mau bela negara, cinta negara, itu tinggi derajatnya karena posisinya adalah shadaqah. Karena cinta kita, karena kerelaan kita,” pungkasnya.

“Allah memberi peluang yang luas bagi manusia untuk saling mengasihi, memaafkan, dan melakukan pertaubatan.”
Emha Ainun Nadjib, Jamparing Asih (Agu, 2015)

Untuk mengelaborasi maksudnya, Cak Nun menjelaskan tentang 5 tipe kebaikan dalam Islam dan bela negara adalah kebaikan di tataran tertinggi, yaitu ihsan — melebihi khair, ma’ruf, birr dan saleh. Shadaqah lebih tinggi dari zakat, karena tanpa diwajibkan kita tetap melaksanakannya. Kalau zakat ya dilakukan karena memang disuruh, jadi harus bayar. Berbeda dengan shadaqah yang tidak diwajibkan tapi dilandasi keikhlasan dalam melakukan. Pembenahan arti kata ‘saleh’ harus diangkat karena secara epistemologis artinya berbeda dengan ungkapan-ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang kebanyakan, seperti “aku anak saleh”. Ketika masih anak-anak tentu ia belum mencapai derajat saleh, karena saleh adalah kebaikan yang sudah dewasa. Kebaikan yang sudah matang. Saleh adalah kebaikan yang sudah dihitung, disimulasi betul mudharat-manfaatnya. Manfaatnya setinggi mungkin, mudharat-nya serendah mungkin, itu baru saleh.

Khair itu kebaikan yang cair, yang bersifat universal, maka tidak boleh diperintahkan dan tidak boleh dibakukan dalam pasal-pasal perundangan, tapi hanya dianjurkan. Contohnya adalah: hormatilah orang tua; karena setiap pribadi memiliki caranya sendiri-sendiri yang bersifat relatif dalam memandang kebaikan pada konteks menghormati orang tua. Ada yang menghormatinya dengan membiayai hidupnya, mendoakannya, mengunjunginya saban minggu, ataupun menginjak-injak punggungnya saat disuruh ketika orang tua merasa capai dan pegal. Itu semua adalah cara masing-masing orang untuk menghormati orang tua maka setiap individu diberi kedaulatan sendiri-sendiri dalam mengartikannya atas dasar kebaikan.

Sementara, pasal hukum itu merupakan transformasi nilai dari khair ke ma’ruf. Ma’ruf itu berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfaanan, ‘arifun, ma’ruufun. Jadi, kata ma’ruf itu adalah satu nilai yang sudah disusun sampai menjadi aturan yang matang yang sudah diarifi dengan segala segi, dengan segala pendekatan dan metodologi, sehingga dia menjadi padat dan dapat menjadi pasal hukum. Maka dalam Alquran terdapat ayat: Waltakun minkum ummatun yad’uuna ilal khoiri waya muruuna bil ma’ruufi… Mengacu pada ayat tersebut, maka ma’ruf itu diperintahkan sementara khair itu diserukan, dianjurkan, atau dihimbaukan.

Sedangkan ihsan hukumnya tidak wajib. Tapi dilakukan atas dasar cinta. Lebih mulia kalau anda membela negara anda, membela rakyat anda atas dasar cinta dan shadaqah. Maka anda akan mendapatkan kemuliaan yang tinggi. Dalam konteks keihsanan, dapat dimaknai ucapan Rasulullah dalam perang Badar: Innama tunshoruna wa turhamuuna wa turzaquna bi dhu’afaaikum.— Perjuanganmu akan diberi kemenangan oleh Allah asalkan landasan perjuanganmu adalah membela dan mencintai orang kecil. — Orang yang paling lemah, orang yang paling kecil, atau engkau melakukan apa saja demi cinta dan pembelaanmu kepada orang-orang kecil, orang-orang yang lemah.

“Kalau anda sekarang mencari kedaulatan bernegara, kedaulatan bermasyarakat, dan macam-macam itu atas dasar cintamu kepada rakyat kecil, cintamu pada orang kebanyakan, maka itu luar biasa tinggi derajatnya. Tapi itu posisinya bukan kewajiban, posisinya shadaqah,” tutur Cak Nun. “Maka, setiap kewajiban jadikanlah shadaqah supaya nikmat,” lanjutnya. Manusia tidak pernah diajarkan untuk melakukan kewajiban dengan kenikmatan. “Carilah kenikmatan dalam salatmu. Jangan pula menganjurkan orang berbuat baik kecuali engkau dapat memberinya contoh bagaimana berbuat baik itu nikmat.”

“Salah satu yang membuat kita sulit untuk mencapai kedaulatan otentik adalah identitas.”
Emha Ainun Nadjib, Jamparing Asih (Agu, 2015)

Cak Nun kemudian memaparkan orang-orang yang dapat menjadi rujukan keilmuan Maiyah bagi warga Bandung yang masih sangat awam dengan ‘kemaiyahan’; seperti Dr. Nursamad Kamba dan Cak Fuad atau Drs Ahmad Fuad Effendy, adik dari Cak Nun yang juga merupakan 1 dari 9 orang di dunia anggota Member of The Board of Trustees of King Abdullah Bin Abdul Aiz International Center for The Arabic Language, dewan dunia yang berperan dalam menjaga bahasa Arab.

Dipaparkan lebih lanjut berkenaan penggunaan kata bahasa Arab di Indonesia. Misalnya saja kata ‘ustadz’ yang dalam wacana kebudayaan Indonesia telah dipadatkan menjadi profesi. Secara terminologi bahasa, ustadz itu tidak ada hubungannya dengan Islam, “Tapi ya kalau memang mau digunakan, ya monggo. Karena bila diadopsi dengan bahasa-bahasa budaya keindonesiaan, ustadz itu sama dengan akang, mas, cak, atau pak. Ustadz itu panggilan biasa. Masyarakat itu sepatutnya paham kaidah dan perbedaan antara wacana-wacana keislaman dan wacana budaya. Idiom keislaman itu antara lain adalah: ‘ulama, ulin-nuha, ulil-albab, ulil-abshor, syekh, dan maula. Sementara: ustadz, gus, kyai, adalah idiom-idiom kebudayaan.”
Banyak juga idiom-idiom manusia modern yang bisa dibilang abu-abu dalam pemaknaan secara hakikat, seperti profesi, karier, ataupun eksistensi atau meng-ada-ada-kan diri.

“Padahal, untuk bisa merdeka dan berdaulat, dan memerdekakan serta mendaulatkan di sekitar kita termasuk negara dan dunia, maka yang pertama-tama menjadi syarat adalah saya harus berdaulat untuk merdeka dari diri saya sendiri. Saya harus berani mengatakan: saya ndak ada ndak apa-apa. Kalau suatu hari oleh Allah ditiadakan lagi ya ndak apa-apa. Kalau anda sudah merdeka dan berdaulat atas dirimu sendiri, sehingga anda tidak takut kehilangan diri anda, baru anda bisa mendaulatkan orang lain,” tutur Cak Nun.

Dalam konteks yang lebih besar, sebagai orang Indonesia, manusia Indonesia sendiri tidak berdaulat atas negaranya. Sebagai anggota Ormas-ormas besar pun, nyatanya masyarakat yang hadir tidak saling berdaulat atas Ormas-ormas yang diakuinya itu. Manusia memiliki banyak sekali identitas yang ia sendiri tidak berdaulat atas konteks identitas itu. Manusia dikepung oleh identitas bermacam-macam. “Kalau kamu masih menjadi budak dari identitas, dan tidak mampu untuk melepaskan identitasmu menjadi manusia merdeka, ya jangan keburu nafsu ngomongin kedaulatan. Karena titik tolak pembicaraannya harus dari situ.” Tentunya dalam hal kedaulatan, Cak Nun adalah orang yang sangat pantas untuk itu, karena nyatanya sedari dahulu beliau telah ‘merdeka’ dari berbagai identitas, profesi, dan status-status sosial yang mengikat. “Mari temukan LA ILAHA, LA ILAHA, LA ILAHA supaya jelas ILLA ALLAH-mu. Kamu harus berani men-tidak-kan, men-tidak-kan, men-tidak-kan,” tegasnya.

“Dalam pencarian ilmu, ketika pikiran manusianya terfokus kepada Allah dan ilmu, maka semuanya identitas itu menjadi pertimbangan sekunder.”
Emha Ainun Nadjib, Jamparing Asih (Agu, 2015)

Sesi diskusi berikutnya diawali oleh kang Fauzan dari Garut. Berpakaian pangsi hitam khas Sunda lengkap dengan ikat kepala. Bertanya ia tentang bagaimana menyikapi info-info yang berasal dari dimensi lain — wangsit, ramalan karuhun (leluhur) dan pitutur sesepuh — yang sebenarnya bisa menjadi wacana dan sumber epistemologi dari bangsa ini, seperti contoh kasus aktual mengenai Waduk Jatigede. “Sebab saya yakin suatu hari nanti, Indonesia akan maju ketika dia mengakar kepada kebudayaannya,” pungkas Fauzan. Penanya berikutnya adalah saudara Firdaus dari UIN Bandung yang ingin mendapatkan jawaban dari Cak Nun tentang apa ekspektasi sebagai seorang mahasiswa dan mahasiswa seperti apa yang dibutuhkan oleh negara ini?

Cak Nun merespon, local wisdom tentunya menyimpan banyak kebaikan. Namun, untuk dapat menentukan suatu hal itu sebagai kebenaran, harus dilakukan secara hati-hati. Bisa jadi itu semua juga merupakan isyarah-isyarah yang memang dikehendaki Allah dan perlu dipertimbangkan untuk menyelamatkan makhluk-Nya. Untuk menentukan kebaikan atas informasi-informasi tersebut secara arif manusia harus mampu melihat manfaat-mudharatnya sehingga tidak dapat ditolak dan diterima 100%. Sederhana saja prinsipnya, Alquran itu mutlak benar. Untuk urusan di luar informasi langsung dari Allah, maka sifatnya menjadi relatif. Juga harus dipahami bahwa penafsiran-penafsiran manusia terhadap Alquran itu sifatnya multitafsir sehingga dapat menjadi relatif lagi. Ucapan-ucapan dan pendapat dalam majlis pun sifat kebenarannya masih relatif.

Setiap langkah-langkah yang diambil harus diperhitungkan secara arif dengan kedalaman ilmu. Untuk orang yang memiliki sedikit pengetahuan, ia akan merasa ketakutan untuk kehilangan sedikit pengetahuannya itu. Kalau pengetahuan yang dimiliki luas, maka tidak akan mengalami ketakutan untuk kehilangan pengetahuan-pengetahuan itu. Jadi, kalau ada informasi-informasi di luar itu ya, seperti mitos, wangsit, pitutur, ataukah mimpi, dan lain sebagainya, ya silakan saja. Benar alhamdulillah, salah ya gak masalah; sehingga tidak akan terjadi perdebatan tiada ujung. Wong semuanya itu relatif.

“Maka dari itu, sesama murid jangan saling memberi raport. Yang memberi raport itu gurunya, sekolahannya. Itu menjadi otoritas Allah untuk menuliskan ‘rapot’ terhadap makhluk-makhluk ciptaan-Nya.” Dan Allah pun memberi peluang yang luas bagi manusia untuk saling mengasihi, memaafkan, dan melakukan pertaubatan.

Dalam konteks identitas kesukuan, Cak Nun menjelaskannya dengan penganalogian gado-gado. “Salah satu yang membuat kita sulit untuk mencapai kedaulatan otentik adalah identitas. Untuk kesukuan Sunda-Jawa, anda Sunda, saya Jawa, Bugis, dan seterusnya. Hal tersebut sudah dijelaskan dalam hadits Rasulullah: bukan seorang yang beriman kalau dia belum mencintai tetangganya sama dengan mencintai dirinya sendiri. Maka kesukuan-kesukuan itu kita lihat ilmunya saja, tidak dilihat secara subyektivitas dan identitasnya.

“Kalau anda bilang saya cinta Jawa, ya masa saya nggak cinta Sunda? Seperti Indonesia yang bisa diibaratkan sebagai gado-gado. Untuk menjadi gado-gado yang enak, kubisnya harus benar-benar kubis, kacangnya harus benar-benar kacang, tahu, tempe, dan kentangnya harus benar-benar tahu, tempe, dan kentang. Jawa harus benar-benar Jawa, Sunda harus benar-benar Sunda, Bugis harus benar-benar Bugis. Jadi, jangan ada yang bisa melarang Jawa untuk tidak menjadi Jawa, Sunda tidak menjadi Sunda. Jangan melarang kubis untuk tidak menjadi kubis. Beda cerita, kalau kubisnya adalah kubis-kubisan, bukan gado-gado namanya. Jadilah orang Jawa beneran, orang Sunda beneran, orang Bugis beneran, dalam batasnya masing-masing. Kalau anda orang Arab saya terima anda sebagai orang Arab, karena Allah yang menciptakan anda sebagai orang Arab.”

Namun di atas itu semua tentunya banyak identitas yang derajatnya lebih tinggi lagi, seperti kemanusiaan, keislaman, orang yang sama-sama mencintai Allah dan Rasulullah, maka identitas kesukuannya menjadi nomor dua, laki-perempuannya jadi nomor dua. Terlebih lagi dalam pencarian ilmu, ketika pikiran manusianya terfokus kepada Allah dan ilmu, maka semuanya identitas itu menjadi pertimbangan sekunder.

“Untuk  bisa merdeka dan berdaulat, dan memerdekakan serta mendaulatkan di sekitar kita termasuk negara dan dunia, maka yang pertama-tama menjadi syarat adalah saya harus berdaulat untuk merdeka dari diri saya sendiri.”
Emha Ainun Nadjib, Jamparing Asih (Agu, 2015)

Penyampaian sesuatu kepada lawan bicara juga arifnya dilakukan dengan bil hikmah. Penyampaian maksudnya itu Cak Nun misalkan dengan penganalogian warna kulit dan ragam wajah. Orang Indonesia biasanya tersinggung bila dikatakan kulitnya kurang kuning atau hidungnya kurang mancung. Mengutip Sabrang, hal itu dikarenakan manusia Indonesia punya mindset dalam otak dan pikirannya bahwa fisik bagus itu adalah yang berhidung mancung dan berkulit kuning, maka bila dibilang tidak kuning dan tidak mancung ia akan sakit hati. Jadi, dalam konteks tersebut bisa jadi yang salah itu yang ngomongin atau mindset orang yang diajak bicaranya.

Maka, kalau berbicara kepada orang Indonesia, berkatalah bahwa bule itu kulitnya terlalu putih, orang afrika kulitnya terlalu hitam; sehingga keduanya tidak oke, yang baik itu yang berkulit coklat matang, yang warnanya di antara keduanya, ya kulitnya orang Indonesia sendiri. Sementara kalau di Ethiopia, beda lagi cara membawa diri dan jurs berkomunikasinya. Orang Ethiopia harus bisa dijunjung untuk melebih kelebihan dirinya. Triknya adalah dengan pendekatan bahwa kulit orang barat itu terlalu putih pucat, sedangkan kulit orang asia terlihat tanggung dan ‘plin-plan’; maka yang baik itu ya kulit orang Ethiopia yang tegas dan mantap. Tentunya akan berbeda lagi cara bicaranya bila berhadapan dengan orang barat.

Hal tersebut dapat dipelajari dari cara berkomunikasi Nabi dengan Abu Bakar dan Umar mengenai salat Tahajjud. Perbedaan pelaksanaan Tahajjud keduanya disikapi oleh Rasulullah dengan memuji kedua sahabatnya itu. Kepada Abu Bakar, beliau memuji kehati-hatiannya, sedangkan kepada Umar beliau menyanjung kekuatannya yang bangun kembali untuk Tahajjud setelah tidur malam. Begitu pula dalam keseharian, dalam proses pengajaran, dalam konteks rumah tangga dan keluarga. Hubungan manusia akan menjadi indah bila dalam berkomunikasi dapat ‘berpolitik’ dengan pendekatan yang arif guna membesarkan hati orang. Menyampaikan pendapat, berstrategi komunikasi, dan berdiplomasi secara bil hikmah.

Menjelang Magrib, Cak Nun mengajak masyarakat yang hadir untuk berdzikir bersama. Diawali dengan bersama-sama memperbaiki posisi duduk, memejamkan mata, menghela nafas sambil mengucap dalam hati kalimat “LA ILAHA” dan menghirup nafas sambil mengucap dalam hati “ILLA ALLAH” berkali-kali. Kemudian masyarakat diajak menghayati tiga sifat Allah, diringi Alfatihah, dan ditutup Cak Nun dengan membacakan salah satu ayat dari surat An-Nuur. Setelah itu, semua yang hadir membuka matanya kembali untuk akhirnya menyadari bahwa forum sore itu sudah selesai.