TUHAN PUN BERLARI

“Maiyah is undeniable!”, Cak Nun menegaskan. Apa yang kita lakukan di Maiyah, memasuki dekade ketiga saat ini adalah sesuatu yang tidak direncanakan, maka perjuangan ini awet, karena yang melakukan adalah orang-orang yang sungguh-sungguh. “Saya tidak mengajak anda untuk bangga. Tetapi mengajak anda untuk bersungguh-sungguh dalam menikmati atmosfer kegembiraan di Maiyah”, lanjut Cak Nun. Secara psikologis kita merasakan kegembiraannya, secara akal kita mengilmui apa yang kita dapatkan di Maiyah. “Saya bukan guru besar anda, saya itu sahabat anda”, Cak Nun menegaskan bahwa Maiyah ini bukan karya beliau, bahwa beliau saat ini mungkin kita anggap sebagai icon Maiyah, menurut Cak Nun itu hanya kebetulan saja, ibarat kita sedang naik sepeda bareng-bareng, kebetulan Cak Nun ada di barisan terdepan.

Artikel sebelumnya

Mukadimah: INVERTED INDONESIA

Cak Nun pernah menulis: Pada mulanya, setiap pergerakan, setiap peristiwa, unjuk eksistensi, perjuangan dan jihad, berderap dengan tema “benar atau salah” dan atau “baik atau buruk”. Setibanya di jalanan dan lapangan, titik berat tematik bergeser menjadi “kalah atau menang”. Lapangan dan jalanan juga ikut menjelma jadi Padang Kurusetra. Hanya saja Bharata Yudha belum akan berlangsung, karena Arjuna sedang berdebat dengan Prabu Krisna, sais kereta perangnya. Sementara Adipati Karna sudah mantap dan sejak jauh sebelumnya sudah menguasai medan perang, secara teritorial, stok mesiu, gelar dan strategi perang, maupun kelimpahan dapur umumnya. (Yang Menang Harus Bangsa Indonesia, 2016).

Mukadimah: MENGHARUKAN ALLAH

Pada akhirnya, rakyat hanya menjadi pelengkap penderita. Setiap agenda Pemilihan Umum, rakyat diperdaya untuk dimanfaatkan suaranya. Skenario penguasa sudah disusun, secara alami serta dengan naluriah politis skenario itu dijalankan dengan sangat rapi. Kembali, sebagai rakyat kita hanya bisa menautkan harapan itu kepada mereka yang sudah kita prediksi bahwa mereka juga tidak akan mampu menunaikan janji-janji politik mereka. Sekian deret persitiwa penting yang menjadi tonggak sejarah Indonesia, nyata-nyata tidak melahirkan pembelajaran apa-apa bagi bangsa ini.

Mukadimah: PODIUM 2024

Sebagai rakyat, kita tidak pernah diajak rembug oleh Partai Politik saat mereka menentukan Calon Presiden dan Wakil Presiden, bahkan saat mereka menentukan Calon Legislatif sekalipun. Rakyat hanya disodorkan sederet nama yang kemudian muncul dalam surat suara. Tak ada tawaran diskusi sebelumnya antara Partai Politik dengan rakyat. Presidential threshold dan Parliamentary threshold nyata-nyata menjadi jebakan bagi semua pihak. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rakyat hanya akan melalui rutinitas seperti biasanya, menjadi target eksploitasi para politisi sekaligus menjadi pelengkap penderita. Rakyat hanya mengenal calon wakil mereka hanya melalui baliho, poster, stiker serta konten media sosial.

Mukadimah: Balada Negeri Balkadaba

Syahwat dan nafsu berkuasa begitu vulgar dipertontonkan di ruang publik akhir-akhir ini. Ya benar. Kita memang sedang menyambut tahun politik 2024. Maka, tidak begitu mengherankan sebenarnya ketika akrobat politik dipertunjukkan oleh para politisi. Mereka sanggup dan berani untuk melakukan apa saja, asalkan syahwat politiknya terpenuhi.

Mukadimah: Masih adakah sastra di dalam ruang hidup kita (?)

Karya-karya puisi Emha yang ditulis sedari berusia muda senantiasa bertemakan sosial maupun ketuhanan. Karya-karyanya bukanlah sekedar rangkain kata-kata dalam kalimat-kalimat yang indah untuk memukau pembacanya semata. Puisi-puisi Emha lebih berupa alat komunikasi beliau dengan para pembacanya. Pengalaman Emha membaca dinamika kehidupan, kesedihan masyarakat karena adanya penindasan dan ketidakadilan sosial diungkapkan melalui puisi. Kritik sosial yang beliau layangkan tidak hanya menyasar pemerintahan yang represif terhadap gerakan sosial, tetapi juga kondisi masyarakat yang tercerabut dari akar kehidupan sosial. Orientasi aktivitas kehidupan perkotaan yang dipenuhi berhala-berhala tidak tabu beliau kritik melalui puisi-puisinya.

Mukadimah: KIAIKANJENG: SOUL•HEART•SACRED

Sejak kelahiran Kenduri Cinta, KiaiKanjeng sudah menyambangi Jakarta setidaknya kisaran 20 kali. Baik itu dalam Maiyahan bulanan, maupun dalam momen spesial seperti pementasan teater atau musik puisi. Sebutlah “Presiden Balkadaba”, “Jangan Cintai Ibu Pertiwi”, “Jazz 7 Langit”, atau “Bayang-bayang Ksatria”. Dan kali ini dalam tajuk: KIAIKANJENG: SOUL•HEART•SACRED.