Mukadimah: INVERTED INDONESIA

PEMILIHAN UMUM yang dianggap sebagai hajatan demokrasi lima tahunan hampir sampai pada garis akhirnya. Sebulan sudah hari pencoblosan berlalu, rekapitulasi suara oleh panitia penyelenggara sebentar lagi akan selesai. Pemenang dalam kontestasi ini pun sepertinya sudah kita ketahui bersama. Bangsa Indonesia akan menjalani kembali hari-harinya untuk menuju hajatan lima tahunan di tahun 2029. Memang bukan hanya politisi saja yang menikmati proses perjalanan politik di Indonesia, rakyat pun turut menyambut dengan sorak sorai dan gegap gempita, meskipun rakyat hanya akan tetap menjadi pelengkap penderita.

Bangsa Indonesia telah melewati perjalanan yang sangat panjang. 1908, 1928, 1945, 1965 hingga 1998. Bisa dikatakan, tahun-tahun itu adalah momen penting perjalanan Bangsa Indonesia. Gagasan-gagasan para pendiri bangsa, pemimpin bangsa, tokoh besar, budayawan, intelektual, spirutual semua muncul pada momen-momen itu.

Dalam sebuah momen peristiwa, akan ada segelintir orang yang mampu melihat satu celah kecil untuk dapat ia manfaatkan demi kepentingan pribadi atau golongannya. Tanpa kita melihat bentuk kepentingannya itu baik atau buruk, pada momen-momen bersejarah di Indonesia, mulai dari 1908-1998, selalu ada saja segelintir orang yang memang sebenarnya memiliki kepentingannya sendiri maupun golongannya untuk kemudian memanfaatkannya. Saat ada celah yang bisa ia manfaatkan, ia hanya menentukan pilihan, bersabar sejenak atau memaksakan agar kepentingannya segera direalisasikan. Sejauh ini, kita dapat melihat bahwa beberapa pihak itu memilih untuk sabar sejenak untuk kemudian ketika saatnya tiba ia dapat melampiaskan seluruh rencananya itu sehingga kepentingan yang ia bawa tadi dapat direalisasikan.

Cak Nun pernah menulis: Pada mulanya, setiap pergerakan, setiap peristiwa, unjuk eksistensi, perjuangan dan jihad, berderap dengan tema “benar atau salah” dan atau “baik atau buruk”. Setibanya di jalanan dan lapangan, titik berat tematik bergeser menjadi “kalah atau menang”. Lapangan dan jalanan juga ikut menjelma jadi Padang Kurusetra. Hanya saja Bharata Yudha belum akan berlangsung, karena Arjuna sedang berdebat dengan Prabu Krisna, sais kereta perangnya. Sementara Adipati Karna sudah mantap dan sejak jauh sebelumnya sudah menguasai medan perang, secara teritorial, stok mesiu, gelar dan strategi perang, maupun kelimpahan dapur umumnya. (Yang Menang Harus Bangsa Indonesia, 2016).

Inverted adalah sebuah situasi dimana yang diberlakukan adalah kondisi yang sebaliknya. Contoh yang paling mudah untuk menjelaskan kondisi inverted adalah dalam strategi permainan sepakbola. Sekitar 1 dekade lalu, peran inverted winger cukup menarik perhatian publik sepakbola dunia. Jupp Heynckes, seorang pelatih berdarah Jerman merevolusi peran pemain sayap. Arjen Robben yang secara permainan sangat fasih bermain di sisi kiri, karena ia adalah pemain berkaki kidal, dimainkan oleh Heynckes di sisi kanan. Sementara Frank Ribery yang notabene memiliki kekuatan di kaki kanan, dimainkan di sisi kiri. Tujuannya untuk menambah variasai serangan ke jantung pertahanan lawan. Dengan memainkan inverted winger, maka seorang pemain yang diplot pada posisi itu akan mencari celah untuk kemudian melakukan cutting inside, sehingga ia mampu bergerak menuju area kotak pinalti, dan menemukan ruang untuk menendang bola menggunakan kaki terkuatnya tanpa harus mengubah posisi tubuhnya saat akan mengeksekusi bola.

Revolusi inverted winger ini kemudian berlanjut dengan lahirnya inverted full-back. Pep Guardiola melakukan revolusi tersebut pada Philip Lahm dan David Alaba. Lahm yang selalu berposisi di full-back kanan akan merangsek ke tengah lapangan untuk membantu build-up serangan. Begitu juga dengan Alaba yang berposisi di full-back kiri, akan bergantian dengan Lahm bergerak ke tengah untuk ikut membangun serangan dari belakang. Jika dalam sepakbola, tujuannya sangat sederhana: memenangkan pertandingan. Namun, sebaik apapun strategi yang akan dipilih oleh pelatih, itu bergantung pada kualitas individu pemain yang diturunkan.

Kembali kepada Indonesia. Setelah melewati perjalanan panjang dari 1908 hingga 1998, dimana momen-momen itu menjadi tonggak sejarah perjalanan Bangsa Indonesia, pada kenyataannya yang kita lihat hari ini sangat berkebalikan dari cita-cita yang kita harapkan sebelumnya. Tidak perlu jauh-jauh kita menengok ke belakang hingga tahun 1908. Kita cukup melihat 1998 sebagai satu titik pejalanan penting Bangsa Indonesia. Setelah berkuasa selama 32 tahun, Orde Baru lengser keprabon. Seluruh rakyat menyambut gembira, seperti lirik lagu Pemilihan Umum yang sering kita dengarkan saat era Orde Baru.

Orde Baru tumbang, kita semua menitipkan harapan pada gerakan Reformasi 1998 untuk mampu melahirkan perubahan di Indonesia. Pemerintahan pun berganti, pasca Soeharto kita sudah merasakan pergantian kekuasaan dari era Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY hingga Jokowi dan akan segera kita sambut Presiden yang baru: Prabowo.

Rezim berganti, Presiden berganti, namun cita-cita Reformasi tak kunjung tercapai. Sejauh ini yang bisa dibanggakan oleh rakyat hanyalah kebebasan berpendapat. Itupun jika pendapat kita berseberangan dengan buzzer rezim penguasa, kita terancam dengan UU ITE yang memiliki celah pasal karet yang bisa dimanfaatkan untuk menyeret kita ke meja hijau. Dan ketika rezim berganti, buzzer pun berganti. Yang sebelumnya sangat kontra narasi dengan masyarakat kebanyakan, bisa jadi hari ini berada satu gerbong dengan suara masyarakat karena kandidat yang ia dukung kalah dalam kontestasi Pilpres bulan lalu. Sebuah situasi inverted yang lain tentunya.

Meritrokasi dalam beberapa bulan terakhir menjadi salah satu kata yang begitu menarik untuk dibahas oleh banyak orang. Sebuah kondisi politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjadi pemimpin berdasarkan kemampuan atau prestasinya, bukan atas kekayaan atau kelas sosial. Meritrokasi akan bersandar pada hasil kerja atau prestasi kerja dari seseorang pada posisi jabatan sebelumnya. Pada level kepemimpinan tertentu, meritrokasi ini sudah berjalan dengan baik. Tetapi pada level kepemimpinan Negara, nyatanya meritrokasi ini masih sebatas omon-omon saja.

Salah satu hal yang paling mendasar yang patut menjadi diskursus penting kita saat ini adalah betapa peran penguasaha begitu dominan dalam dunia politik di Indonesia. Kita menyaksikan begitu banyak pengusaha yang duduk di posisi-posisi strategis pengelolaan Negara. Mulai dari Menteri, Anggota Legislatif, Gubernur, Walikota, Bupati mayoritas dari mereka memiliki latar belakang pengusaha. Bahkan Presiden kita saat ini juga memiliki latar belakang sebagai seorang pengusaha. Maka yang kita alami hari ini bukanlah meritokrasi, melainkan korporatokrasi. Karena begitu dominannya peran pengusaha dalam situasi politik di Indonesia saat ini.

Dan kita secara nyata menyaksikan, saat para pengusaha-pengusaha itu duduk di jabatan stragetis baik eksekutif maupun legislatif, yang terjadi adalah benturan kepentingan. Ketika seorang politisi bahkan seorang petinggi partai memiliki perusahaan media massa, yang terjadi adalah media massa miliknya itu menjadi media endorse bagi penguasa. Begitu juga saat seorang pengusaha yang menjadi politisi, kemudian terafiliasi dengan organisasi masyarakat, pun akhirnya akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Benturan demi benturan antara kepentingan bisnis dan politik tidak dapat dihindari.

14 November 2011, Cak Nun merilis Kalam Maiyah dalam momen Ijazah Maiyah. Berikut adalah satu kutipan yang mungkin dapat kita selami hikmahnya:

Maiyah menemukan bahwa salah satu jenis kehancuran mendasar yang kita alami secara nasional dan sebentar lagi tiba di puncaknya, adalah — bahwa — di manapun manusia berada, sebagai apapun ia, perilakunya semakin berkecenderungan untuk tidak memaksudkan setiap kosakata sebagaimana makna dari kosakata itu.

Setiap kata, idiom, istilah, dimaksudkan oleh manusia di Negeri ini tidak sebagaimana kandungan arti yang diwakili oleh kata-kata itu. Kata ‘Manusia’, ‘Masyarakat’, ‘Negara’, Demokrasi’, ‘Agama’, ‘Pembangunan’, ‘Kemajuan’, ‘Kesejahteraan’, ‘Keadilan’, ‘Pemerintah’, ‘Politik’, dan hampir kata apapun saja termasuk ‘Nabi’, ‘Malaikat’, dan ‘Tuhan’.

Kalau disebut ‘Manusia’, ternyata bisa berarti ‘Hewan’, ‘Setan’ atau ‘Benda’. Kalau diucapkan ‘Masyarakat’, yang dimaksud bisa ‘Penduduk’, ‘Gerombolan’, juga tidak diurus perbedaannya dengan ‘Ummat’, ‘Kaum’, ‘Bangsa’ atau ‘Suku’. Dikatakan ‘Negara’, padahal kenyataannya ‘Perusahaan’. Dibilang ‘Demokrasi’, faktanya ‘Jebakan’. Disebut ‘Agama’, maksud tersembunyinya adalah ‘Komoditas’. Diumumkan kata ‘Umroh’, maksud aslinya adalah ‘Money Laundring’. Dipidatokan ‘Pembangunan’, kandungannya adalah ‘Pegadaian’. Diorasikan ‘Kemajuan’, prakteknya adalah ‘Kemacetan’. Membanggakan ‘Kesejahteraan’ tanpa menyebutkan bahwa itu tidak dimaksudkan untuk rakyat. Menuturkan ‘Keadilan’, tidak ada ilmunya, sehingga tak ada pula kenyataannya. Kita pikir ‘Pemerintah’, ternyata Buruh yang berlaku Juragan. Ngomongnya Politik, ternyata yang dimaksud adalah Penipuan.

Yang dimaksud ‘Nabi’ adalah Dukun. Yang dimaksud ‘Malaikat’ adalah Peri. Yang dimaksud ‘Tuhan’ adalah Artis.

Ada begitu banyak makna kata yang mengalami denotatif, yang secara terus-menerus kita normalisasi. Inverted Indonesia adalah sebuah kondisi yang harus segera kita sikapi. Innallaha la yughayyiru maa biqoumin hatta yughayyiru maa bianfusihim itu bukan manusia sebagai subjek utamanya, melainkan Tuhan itu sendiri adalah subjek utamanya. Dalam sebuah perubahan itu harus disadari bahwa ada peran Tuhan yang sangat dominan.