Mukadimah: Balada Negeri Balkadaba

Kalau memang itu maumu
Mencari bahagia dengan menuruti nafsu
Terserah kamu.. Pandailah sendiri dan bodohlah sendiri…

Buat apa ku mengingatkan
Kalau Tuhan saja tiada engkau dengarkan
Silahkan jalan.. Hebatlah sendiri dan konyollah sendiri..

Syahwat dan nafsu berkuasa begitu vulgar dipertontonkan di ruang publik akhir-akhir ini. Ya benar. Kita memang sedang menyambut tahun politik 2024. Maka, tidak begitu mengherankan sebenarnya ketika akrobat politik dipertunjukkan oleh para politisi. Mereka sanggup dan berani untuk melakukan apa saja, asalkan syahwat politiknya terpenuhi.

Bangsa ini bukan tanpa kesadaran tentang adanya ketidakberesan dalam dirinya. Para alim ulama pun tidak terlalu bodoh untuk mengakui bahwa memang kondisi bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Kaum cerdik cendekia juga sangat memahami bahwa bangsa ini butuh perombakan besar-besaran dan fundamental untuk melahirkan perubahan.

Pada kurun waktu 10 tahun terakhir, kita menjalani suasana persaudaraan yang sangat tidak harmonis. Perbedaan pandangan politik yang sangat tajam mengakibatkan perpecahan di sana-sini. Berapa banyak ikatan persaudaraan yang rusak begitu saja akibat perbedaan pilihan? Terlalu besar ongkos yang harus kita bayarkan untuk menjalani tahun demi tahun untuk saling bermusuhan satu sama lain.

Hari-hari ini kita menyaksikan tingkah laku politisi yang sedemikian rupa. Bahkan mungkin karena kita sudah memiliki imunitas yang tinggi, kita tidak merasa heran sama sekali dengan situasi dan kondisi akhir-akhir ini. Pada tataran elit politik, kita menyaksikan bagaimana konstitusi dibongkar secara frontal tanpa ada rasa malu sedikitpun dari para pemangkunya. Para pejabat eksekutif, yudikatif dan legislatif tidak menjalankan perannya sesuai porsinya. Mereka justru menyimpan kepingan-kepingan kepentingan masing-masing yang perlu mereka segera amankan.

Akrobat politik yang diperlihatkan di muka publik oleh para politisi sungguh-sungguh tanpa kepura-puraan. Membaur dengan masyarakat. Mulai dari yang jenaka, lucu, menggelikan, menggemaskan, menyejukkan, menggairahkan, menggelorakan, namun juga ada yang tanpa ragu untuk menghinakan dirinya.

Sementara pada masyarkat kelas menengah, semakin terombang-ambing dengan ketidakmenentuan. Pengkultusan terhadap individu terbukti mengakibatkan rasa sakit hati yang mendalam saat sosok yang dijunjung-junjung ternyata justru mengecewakan dirinya. Sebagian kaum oportunis yang lain merasa peduli setan terhadap moral dan akal sehat. Bukan hanya kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala. Bahkan wajah menjadi pantat dan pantat menjadi wajah pun tak mengapa bagi mereka, asalkan ada kesempatan untuk mencicipi kekuasaan.

Bangsa ini bukan tanpa piweling. Ada banyak peringatan yang sudah disampaikan. Tapi memang dasarnya bangsa ini sudah bebal, ahmaq. Merawat kecelik berjamaah secara nasional, menjalani tahun demi tahun tipu daya, kemudian saat pesta demokrasi kembali datang, semua merasa optimis bahwa era baru akan tiba. Matahari pagi bersinar terasa lebih terang dari sebelumnya. Tak masalah jika pada akhirnya kembali dikecewakan. Masih ada waktu lima tahun lagi untuk menumbuhkan kembali rasa optimis itu.

Jika bangsa diibaratkan sebagai sebuah keluarga, negara itu rumahnya. Rakyat adalah kepala keluarga yang dapat memilih siapa Presiden yang akan menjabat menjadi kepala rumah tangga. Presiden itu memimpin pemerintahan yang pada prinsipnya adalah menjalankan roda pemerintahan untuk mengurusi rumah tangga, ya menjadi pelayan, jongos, petugas atau buruh yang digaji oleh rakyat, dan rakyat adalah juragannya. Untuk itu kas negara dan kas pemerintah mestinya terpisah. Sehingga pemerintah tidak nranyak menguasai aset negara. Pemerintah hanya boleh belanja sebatas yang dianggarkan oleh negara dan tidak berhutang tanpa persetujuan rakyatnya. Begitu idealnya.

Kita semua pun sebenarnya memahami, bahwa ini bukan soal siapa yang menjadi Presiden. Terserah-terserah saja tentang siapa yang akan menjadi Pemimpin bangsa ini di tahun 2024 nanti. Apakah ia seorang Prajurit, Pengusaha, Kyai, Akademisi, Politisi bahkan mungkin hanya sekadar tukang becak, semua memiliki hak yang sama untuk dipilih bukan?

Kita juga sangat menyadari bahwa sesungguhnya kita memiliki kriteria yang ideal mengenai siapa sesungguhnya yang paling pantas untuk kita jadikan Pemimpin. Ada banyak falsafah yang diajarkan oleh orang tua kita tentang bagaimana caranya memilih Pemimpin. Kita ini bukan bangsa yang miskin akan pengetahuan tentang bagaimana menentukan kriteria Pemimpin yang ideal.

2009 silam, fragmen Presiden Balkadaba dipentaskan. Sebagai sebuah media kritik sosial terhadap penguasa. Jika memang kita sudah tidak memiliki kesempatan untuk memiliki pemimpin yang ideal, sepertinya memang tak mengapa jika kita memiliki seorang pemimpin yang sangat kapitalis bahkan ultra liberal. Tidak hanya memberikan kesempatan bagi oligarki untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada, tetapi juga membuka pintu lebar-lebar bagi investor asing untuk menanamkan modal yang besar sehingga menghasilkan keuntungan berlipat ganda. Asalkan memiliki satu falsafah dalam berkuasa dengan pesan yang sangat jelas dan gamblang: Laba Untuk Rakyat.

Bukan. Ini bukan tentang imajinasi kita untuk mewujudkan kepemimpinan Balkadaba. Bukan itu tujuannya. Kita sudah  berada pada tahap dimana teori-teori kepemimpinan itu terasa usang. Segala bentuk sistem politik, berbangsa dan bernegara sudah pernah diuji coba oleh Bangsa ini. Nyatanya, tidak menghasilkan kepemimpinan nasional yang ideal. Kita hanya terus menerus untuk memberikan permakluman-permakluman yang tidak ada habisnya. Kita sadar bahwa kita kecelik, tetapi kita enggan untuk memperbaikinya.

Pada akhirnya, sebuah ide, gagasan, visi, misi, cita-cita, konsep, secanggih apapun itu, sesungguhnya yang dibutuhkan oleh rakyat saat ini adalah pelayanan dari pemerintahan yang senantiasa berorientasi terhadap kepentingan bangsa dan negara. Namun kenyataannya yang mereka usahakan adalah kepentingan pribadi dan partainya. Bahkan tak jarang di antara mereka saling intai untuk saling memangsa. Sekali lagi, kita hanya menjadi pelengkap penderita saja.

Lampiaskanlah semau-maumu
Hanyutkanlah diri sesuka-sukamu
Telanlah api dunia sekenyangmu
Tapi jangan sesalkan akan cepat datang mautmu