Mukadimah: Masih adakah sastra di dalam ruang hidup kita (?)

KATA-KATA INDAH, kalimat-kalimat menggugah atau luapan perasaan yang dituangkan dalam tulisan sehingga pembacanya dapat turut merasakan suasana hati si penulis. Sederhananya begitu yang umum diidentikkan dengan karya sastra. Ada benarnya. Namun kemudian menjadi janggal ketika karya sastra justru susah dimengerti apalagi dinikmati. Imajinasi yang dicipta tidak kunjung tiba pada pembacanya karena karya sastranya justru bertentangan dengan realita.

Karya-karya puisi Emha yang ditulis sedari berusia muda senantiasa bertemakan sosial maupun ketuhanan. Karya-karyanya bukanlah sekedar rangkain kata-kata dalam kalimat-kalimat yang indah untuk memukau pembacanya semata. Puisi-puisi Emha lebih berupa alat komunikasi beliau dengan para pembacanya. Pengalaman Emha membaca dinamika kehidupan, kesedihan masyarakat karena adanya penindasan dan ketidakadilan sosial diungkapkan melalui puisi. Kritik sosial yang beliau layangkan tidak hanya menyasar pemerintahan yang represif terhadap gerakan sosial, tetapi juga kondisi masyarakat yang tercerabut dari akar kehidupan sosial. Orientasi aktivitas kehidupan perkotaan yang dipenuhi berhala-berhala tidak tabu beliau kritik melalui puisi-puisinya.

Format musik-puisi yang Emha bawakan bersama Karawitan Dinasti  di kampung-kampung pada awal-awal penampilannya bukanlah suatu proses yang mudah. Pemerintahan Orde Baru yang represif terhadap aktivitas gerakan-gerakan sosial tentu tidak akan diam dengan aktivitas dan karya-karya Emha. Tidak pernah luput dari pengawasan aparat keamanan kala itu, beberapa kali pertunjukan musik-puisi dicekal dan dibatalkan dengan ataupun tanpa alas penjelasan.

Sastra Emha tidak lantas berhenti, musik-puisi terus berproses di tengah masyarakat. Baik sebelum maupun sesudah reformasi, tetap membersamai rakyat dari luar pemerintahan. Menemani rakyat, yang suaranya didengar dan diharapkannya hanya menjelang pemilu. Namun mereka lantas ditinggalkan.

Pada setiap zaman, ada orang-orang yang terus berproses bersama Emha dan ada yang tidak lagi berproses bersamanya, silih berganti. Tetapi kini dan seterusnya Sastra Emha senantiasa ada, tetap konsisten menemani dan berbagi kegembiraan bersama orang-orang yang terpinggirkan, terus sinau bareng bersama rakyat.

Kiranya “puisi yang kusembunyikan dari kata-kata” itu kini telah mengejawantah dalam orkestrasi kebersamaan Mbah Nun, pakde-bude Kiakanjeng dan Masyarakat Maiyah yang tersebar di berbagai daerah. Baik itu dalam acara rutin bulanan maupun kebersamaan yang bersifat by event. Snapshot puitiknya Sastra Emha yang selalu dinantikan oleh Masyarakat diantaranya tergambar saat ditengah guyuran hujan acara tidak bubar. Kebersamaan masyarakat dan Cak Nun yang sedang berkumpul itu terus berlangsung meskipun pakain basah kuyup. Cak Nun justru membaur bersama masyarakat yang terguyur hujan, sementara panggung yang tidak terkena guyuran hujan dipersilahkan untuk diisi oleh ibu-ibu dan anak-anak. Dan acara pun terus berlanjut dengan lantunan sholawat bersama-sama hingga larut.

Tentu masih sangat banyak adegan-adegan puitik yang terjadi selama proses bersentuhan dan berinteraksi antara orang-orang yang berada disekitar Emha muda, Cak Nun hingga Mbah Nun saat ini. Tidak terkecuali dengan Kenduri Cinta. Kalaulah pengertian sastra tidak disempitkan sebatas tulisan yang puitis, tetapi diartikan sebagaimana artian awal sastra sebagai metode pembelajaran sehingga mengena pada yang sedang belajar, maka Kenduri Cinta boleh disebut sebagai satu diantara karya Sastra Emha.

Haruskah kutancapkan pena ini ke matamu, supaya kudapatkan perhatianMu? Silahkan cari dari mana penggalan kalimat itu, apakah dari puisi Emha yang mana? Mungkin tidak akan ketemu. Sebaliknya, dengan begitu banyak karya puisi Emha yang telah terbit di berbagai media massa cetak dan buku, tidak lantas mudah untuk menemukan nama Emha Ainun Nadjib dalam daftar sastrawan Indonesia. Dengan begitu banyak pentas yang telah Cak Nun gelar, tidak lantas menjadikanya masuk dalam daftar penyair Indonesia. Padahal bersama Kiaikanjeng sudah sekian banyak album dengan nomor-nomor lagu yang penciptanya syairnya mayoritas adalah Cak Nun, tapi itu tidak juga lantas nama Emha Ainun Nadjib masuk dalam daftar musisi Indonesia. Begitupun dengan Maulana Muhammad Ainun Nadjib sampai sekarang tidaklah masuk kedalam daftar kriteria Ulama menurut MUI. Tapi meskipun tidak mendapatkan pengakuan semacam itu tidak lantas menghentikan Mbah Nun untuk terus berkarya.

Padahal evaluasi internal penggiat terhadap penyelenggaraan Kenduri Cinta edisi spesial Oktober bersama Kiaikanjeng belumlah usai pada Reboan terakhir awal November ini. Namun release jadwal Kenduri Cinta edisi November 2023 sudah muncul untuk tanggal 10 dengan edisi yang juga tidak kalah spesial; Sastra Emha. Kalaulah Cak Nun tidak mencontohkan kesungguhan dalam mengerjakan segala sesuatu, tentu enggan tak terelakan. Kegigihan, disiplin yang selama ini beliau contohkan menjadikan semangat bagi teman-teman penggiat untuk menghadirkan Sastra Emha di Kenduri Cinta. Sampai jumpa.