Mukadimah: KIAIKANJENG: SOUL•HEART•SACRED

KIAIKANJENG ke Jakarta, di Kenduri Cinta! Ini adalah momen spesial. KiaiKanjeng masuk ke Jakarta, ya ke Kenduri Cinta. Setelah sebelumnya di bulan April tahun 2022 lalu, kemudian di bulan Agustus saat pementasan teater rakyat “WALIRAJA-RAJAWALI”. Sejak kelahiran Kenduri Cinta, KiaiKanjeng sudah menyambangi Jakarta setidaknya kisaran 20 kali. Baik itu dalam Maiyahan bulanan, maupun dalam momen spesial seperti pementasan teater atau musik puisi. Sebutlah “Presiden Balkadaba”, “Jangan Cintai Ibu Pertiwi”, “Jazz 7 Langit”, atau “Bayang-bayang Ksatria”. Dan kali ini dalam tajuk: KIAIKANJENG: SOULHEARTSACRED.

Momen dimana KiaiKanjeng hadir di Jakarta, selalu spesial. Karena ini bukan sekadar soal musik. Gamelan KiaiKanjeng adalah tentang sebuah pergerakan. Tentang kegelisahan yang harus disuarakan. Gamelan KiaiKanjeng bukan sekadar sebuah “grup musik”. Ini adalah sebuah komunitas yang mengusung world music. Jakarta hanyalah 1 dari sekian ratus kota yang sudah disinggahi oleh Gamelan KiaiKanjeng. Jakarta hanya 1 dari sekian ribu Desa yang pernah disinggahi oleh Gamelan KiaiKanjeng yang sudah melintasi 4 benua. Dan Jakarta selalu spesial, karena Kenduri Cinta dihelat tepat di pusat denyut nadi Ibukota. Di Taman Ismail Marzuki, Cikini.

Sense of “Ngeng”. Begitulah jawaban Pak Nevi Budianto saat ditanya mengenai pijakan nada Gamelan KiaiKanjeng. Sebuah jawaban yang mungkin tidak akan memuaskan orang yang bertanya. Tetapi memang begitulah adanya Gamelan KiaiKanjeng dikonsep oleh Pak Nevi pada awalnya. Gamelan KiaiKanjeng bukan pelog juga bukan slendro seperti pakem gamelan-gamelan pentatonic biasanya. Secara bentuk fisik, Gamelan KiaiKanjeng tidak berbeda dengan gamelan jawa pada umumnya, perbedaannya terdapat pada jumlah bilah dan tangga nada yang digunakan. Gamelan KiaiKanjeng menggunakan tangga nada solmisasi: sel-la-si-do-re-mi-fa-sol dengan nada dasar G=do atau E minor.

Keunikan Gamelan KiaiKanjeng bukan hanya terletak pada media musiknya saja, tetapi yang lebih utama tentu saja para pelakunya, para penggamel-nya. Saron, Demung, Bonang, Kendang, Siter, Gambang, Gender, Gong yang kemudian dipadukan dengan Synthesizer, Keyboard, Bass, Gitar, Suling, Biola hingga Drum dan alat perkusi lainnya. Perpaduan ini bukan semata-mata untuk tujuan eksperimental musical semata, namun juga sebagai media untuk menemukan takaran yang tepat sehingga tercipta sebuah harmoni dalam bermusik itu sendiri.

Gamelan KiaiKanjeng ini dimainkan oleh orang-orang spesial. Mereka bukan sekadar para pemusik, tetapi mereka juga merupakan pegiat sosial. Dan dalam kehidupan sehari-hari, mereka pun memiliki kesibukannya masing-masing. Gamelan KiaiKanjeng sudah melewati ribuan kota, puluhan negara dan 4 benua. Tidak hanya untuk sekadar bermusik, melainkan untuk aktivitgas-aktivitas sosial bertemu dan bersentuhan dengan masyarakat yang berlatarbelakang sangat beragam.

Tahun 1996, “Kado Muhammad” sebagai masterpiece utama Gamelan KiaiKanjeng menggebrak belantika musik Indonesia. Saat kemunculannya, aransemen musik dalam “Kado Muhammad” memberi warna baru bagi para penikmat musik. Cak Nun menyebut album tersebut bukanlah album karier. Melainkan sebuah karya untuk bertegur sapa antar hati manusia. Album ini juga disebut oleh Cak Nun bukan sebagai album ambisi maupun eksistensi, apalagi album unjuk kebolehan dan kehebatan dalam bermusik. Terlebih, dalam ”Kado Muhammad” terdapat beragam genre musik. Sholawatan ada, Gambusan ada, lagu yang mendayu-dayu pun ada, hingga aransemen musik yang menghentak pun ada.

Semangat untuk tidak unjuk kehebatan itu menjadi landasan yang kuat, yang memang sudah dijalani oleh Cak Nun sejak lama. Dan juga, embrio dari Gamelan KiaiKanjeng itu sendiri sebenarnya sudah berproses ejak 1976 di Kampung Dipowinatan. Persentuhan Cak Nun dengan Pak Nevi, Pak Joko Kamto, alm Pak Is, Pak Bobiet, Pak Joko SP, Pak Jijit, Pak Yoyok, Pak Bayu, Pak Giyanto, Pak Saryanto dan juga Pak Ari Blothong  dan Mas Patub bukanlah persentuhan yang sebentar. Nuansa vokal alm Mas Zainul, Mas Islamiyanto, Mas Imam Fatawi, Mas Doni hingga Mbak Nia dan Mbak Yuli, serta kini dilengkapi Fakih putera alm Mas Zainul semakin melengkapi harmoni Gamelan KiaiKanjeng hingga hari ini. Cak Nun sendiri mengakui, bahwa sebenarnya sudah sejak pertengahan 80’an diminta beberapa pihak untuk memproduksi album bersama sahabat-sahabat beliau itu.

Perjalanan panjang dari Dipowinatan, Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan, Kadipiro hingga Tebet, kemudian Kelapa Gading melahirkan episode-episode panjang yang secara alami menjadi racikan bumbu tersendiri hingga Gamelan KiaiKanjeng begitu produktif berkarya melahirkan album-album yang juga tak kalah apik dari ”Kado Muhammad”. Sebutlah ”Wirid Padhangmbulan”, ”Jaman Wis Akhir”, ”Menyorong Rembulan”, ”Album Kesejukan”, ”Raja Diraja”, hingga ”Terus Berjalan” dan yang teranyar adalah ”Wakafa”. Selain itu beberapa single juga dirilis dalam beberapa tahun terakhir.

Bagi personel KiaiKanjeng, usia hanyalah deretan angka. Saat jeda di awal 2000-an, mereka tidak melahirkan album baru, namun undangan dari masyarakat begitu banyak. Tak ayal, seringkali dalam satu minggu, Gamelan KiaiKanjeng tak berhenti berkeliling ke desa-kota, menyapa masyarakat secara langsung. Bersentuhan dengan mereka. Bukan untuk pentas. Namun untuk bersilaturahmi, mengaitkan tali persaudaraan. Sentuhan sosial humanis yang sangat berkesan, hingga akhirnya Gamelan KiaiKanjeng pun memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat.

Saat hadir di tengah-tengah masyarakat pun, Gamelan KiaiKanjeng sangat adaptif dengan kondisi sosial masyarakat yang dihadapi. Cak Nun dengan kepiawaiannya menyentuh hati dan batin masyarakat yang dihadapi. Gamelan KiaiKanjeng selalu sigap untuk memainkan nomor-nomor lagu yang bahkan sebelumnya tidak pernah disiapkan, bahkan tidak pernah dimainkan saat latihan. Nomor-nomor spontan yang justru kemudian juga mendapat atensi dari masyarakat.

Gamelan KiaiKanjeng pun tidak kaget saat harus memainkan nomor-nomor yang lebih familiar dengan generasi millenial dan gen-Z saat ini. Membawakan lagu-lagu yang akrab di telinga anak-anak muda bonus demografi ini, Gamelan KiaiKanjeng tetap piawai memainkannya. Gamelan KiaiKanjeng tidak canggung berhadapan dengan permintaan lagu dari masyarakat. Kalau kata orang Jakarta; Lu jual, gue beli!

3 dekade sudah Gamelan KiaiKanjeng ini menemani masyarakat dari berbagai lapisan. Gamelan KiaiKanjeng tak lekang oleh waktu. Melalui berbagai dinamika zaman, ia tetap setia untuk menjadi dirinya sendiri.