WARASATUL ANBIYA

Reportase Kenduri Cinta Desember 2018

Kenduri Cinta edisi penghujung tahun dihelat pada tanggal 21 Desember, menggenapi 12 edisi Kenduri Cinta di tahun 2018. Kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng (CNKK) melengkapi kegembiraan malam itu. Secara khusus CNKK membuka dan menutup Kenduri Cinta tahun 2018. Pada Januari lalu, Cak Nun dan KiaiKanjeng juga hadir di Kenduri Cinta yang bertema Amenangi Zaman Now. Sebuah naskah fragmen berjudul sama disusun khusus Cak Nun ketika itu.

Menutup tahun 2018, bukan fragmen, Cak Nun dan KiaiKanjeng memberikan workshop kepada jamaah. Penampilan KiaiKanjeng di Kenduri Cinta malam itu merupakan perjalanan mereka ke-4040. Para penggiat komunitas pun maksimal mempersiapkan acara. Sejak pagi hari, beberapa dari mereka sudah hadir di Taman Ismail Marjuki dan mempersiapkan acara dengan ikut mendirikan tenda, panggung dan tata suara. Kru KiaiKanjeng ikut serta menata alat-alat musik agar kualitas suara menjadi lebih sempurna. Menjelang Magrib, personel KiaiKanjeng melakukan cek suara, memainkan beberapa nomor lagunya.

Tema Waras-atul Anbiya diangkat untuk mentadabburi pembahasan tentang kesehatan. Waras dalam bahasa Jawa sering diartikan dengan sehat. Orang yang waras adalah orang yang sehat. Sementara dalam bahasa Arab, waras memiliki arti warisan atau sesuatu yang diwariskan, diteruskan kepada generasi selanjutnya. Istilah Warasatul Anbiya juga banyak disamakan dengan para ulama yang dipercaya sebagai pewaris keteladanan para Nabi.

Waras itu seakar dengan kata warisan,” kata Ibrahim, salah satu penggiat yang kini mengasuh pesantren di Lampung, memulai sesi prolog. Dalam kehidupan masyarakat, warisan identik dengan harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia untuk dipindahkan kepemilikannya kepada anak-anak yang ditinggalkan. Menurut Ibrahim, kata anbiya berasal dari kata nabi, jika dirunut lagi, satu akar dengan kata naba’ yang artinya berita atau informasi. Maka tema ini juga bisa ditafsirkan dengan pemahaman bahwa yang kita butuhkan hari ini adalah bagaimana kita menjaga kewarasan dalam mencerna setiap informasi yang kita terima.

Sementara Adi Pudjo lebih menekankan bahwa tema waras ini sengaja diangkat agar kita semua, melalui sinau bareng di maiyahan, tetap mampu menjaga kewarasan, apalagi ia merasakan betapa perpecahan demi perpecahan banyak terjadi, salah satunya adalah akibat ketidakwarasan masyarakat kita dalam membaca peristiwa dan informasi. “Waras itu artinya sehat, baik jasmani maupun rohani. Kaitannya dengan kita sinau bareng di Kenduri Cinta ini adalah dalam rangka untuk selalu berusaha menjaga pikiran agar selalu sehat dan waras. Karena bila secara pikiran kita sudah tidak waras, maka secara jasmani pun kita tidak akan waras,” tambah Adi Pudjo.

Ibrahim ikut menambahkan. Menurutnya peran ulama sering diidentikkan dengan peristiwa dakwah kepada masyarakat untuk menuju tauhid. Perihal konsep tauhid, Ibrahim membagi perspektifnya. Dalam pandangannya, tauhid satu akar dengan kata ahad, yang artinya penyatuan. Di forum maiyahan, seperti Kenduri Cinta, semua orang membaur, siapa saja, apapun latar belakangnya, apapun profesinya, semua datang melebur menjadi satu. Maiyahan adalah berproses menuju penyatuan.

Setelah sesi prolog, kelompok musik Semberengen dari Mampang Prapatan tampil ke forum membawakan beberapa lagu karya mereka yaitu Bapak, Orang-orang dan disusul Bento karya Iwan Fals yang diaransemen ulang. Audiens pun memberikan apresiasi dengan ikut beryanyi bersama.

Setelah penampilan Semberengan, Cak Nun dan KiaiKanjeng naik ke forum. Cak Nun menyapa jamaah yang malam itu tampak memadati area plasa Taman Ismail Marjuki, beberapa diantaranya bahkan berdiri karena area tempat duduk sudah dipenuhi jamaah.

“Maiyahan adalah berproses menuju penyatuan.”
Ibrahim, Kenduri Cinta (Desember, 2018)

TRANSFORMASI RAHMAT MENJADI BERKAH

Mengawali sinau bareng, Cak Nun kembali mengurai makna salam yang sehari-hari banyak diucapkan. Substansi salam adalah sebuah perjanjian untuk mengamankan dan menyelamatkan antara satu dan yang lain. Setelah saling sepakat mengamankan, maka output dari perjumpaan itu adalah manfaat yang baik. Terkadang perjanjian berupa salam banyak disepelekan. Banyak orang mengucap kalimat salam namun tidak mampu menjamin keamanan dan keselamatan orang lain.

Cak Nun melanjutkan. Kalimat assalaamu‘alaikum dikuti dengan rangkaian kata yang menegaskan transformasi dari rahmat menjadi berkah, yaitu: warahamatullahi wabarakatuh. Transformasi dari rahmat menjadi berkah ibarat menanak beras untuk dijadikan nasi. Potensi awalnya adalah padi, kemudian ditrasnformasikan menjadi beras kemudian menjadi nasi. Pada konteks hubungan sosial kemasyarakatan, jika manusia tak berpegang pada perjanjian saling menyelamatkan dan mengamankan itu maka rahmat dari Allah bisa jadi justru ditransformasi menjadi adzab. Maka perjanjian salam merupakan sebuah perjanjian yang agung; mitsaqan galidzha.

Cak Nun lantas mengajak jamaah membaca Al-Fatihah guna mendoakan Cak Fuad, salah satu Marja’ Maiyah yang saat ini kondisinya sedang kurang sehat dan membutuhkan istirahat yang cukup.

Setelahnya, Cak Nun kembali menyapa, melontarkan sebuah perjanjian, “Siapkah malam ini Anda bergembira? Siapkah malam ini Anda merendah satu sama lain?” Jamaah menjawab, “Siap!” Sebelum memasuki atmosfer sinau bareng, KiaiKanjeng lantas membawakan nomer medley Fix You dan Eling-eling Sliro Menungso untuk menghangatkan suasana.

Setelah penampilan KiaiKanjeng, Cak Nun menyampaikan, “Kalau dalam khasanah Jawa kita mengenal ngelmu kuwi kelakone nganti laku, maka kita cari ilmu tidak hanya dengan otak, tapi juga dengan hati, dengan keringat, dengan seluruh kesungguhan. Jadi iman kita ikut belajar, mental kita juga ikut belajar.” Cak Nun lantas meminta sebagian dari jamaah, sebanyak 15 orang, untuk maju ke depan menjadi peserta workshop yang akan dimentori langsung oleh Cak Nun dan KiaiKanjeng. Sebanyak 15 jamaah kemudian maju, berdiri di area yang sudah disiapkan antara panggung dan jamaah. Joko Kamto, personel KiaiKanjeng, menjadi mentor sesi workshop.

Workshop pertama adalah workshop untuk tidak malu. Apa maksudnya “tidak malu”? Tidak malu yang dimaksudkan adalah melakukan sesuatu yang tidak membuat malu pelakunya, baik secara nilai, akhlak, hukum, sosial, syariat dan sebagainya. Cak Nun meminta peserta untuk menyebutkan perbuatan-perbuatan yang memalukan. Beberapa jawaban muncul, seperti: mencuri, mabuk, main perempuan, berjudi, telanjang, dan sebagainya.

Pada sesi workshop selanjutnya, Joko Kamto mengajak peserta workshop mempraktikkan ilmu teater dasar. Joko Kamto adalah seorang aktor teater yang mumpuni. Ia memerankan Smarabhumi dalam pentas teater Tikungan Iblis dan Ruwat Sengkolo dalam pentas teater Nabi Darurat Rasul Ad Hoc. Kedua naskah teater yang ditulis Cak Nun. Persahabatan Cak Nun dengan Joko Kamto sudah terjalin lama, sejak era Karawitan Dinasti yang lahir di era 80-an.

Joko Kamto mengajak peserta workshop untuk memutar bola mata mereka ke berbagai arah secara acak. Banyak peserta yang merasa pusing. Kemudian dilanjutkan dengan menggerak-gerakkan mulut secara acak. Jamaah yang melihat pun tertawa menyaksikan para peserta menggerak-gerakkan mata dan bibir mereka. Gerakan kemudian dilanjutkan dengan gerakan tangan, leher, kaki, dan tubuh sambil berteriak-teriak sesukanya.

Selanjutnya, seluruh peserta diminta menirukan suara dan gerak binatang sesuai binatang apa yang terlintas dalam pikiran mereka. Ada yang menirukan kucing, monyet, ayam, gorila, sapi, bebek, anjing. Lalu dilanjutkan dengan memeragakan benda, dan terakhir mengekspresikan suasana hati masing-masing.

“Salam adalah sebuah perjanjian untuk mengamankan dan menyelamatkan antara satu dan yang lain.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2018)

PEMBELAJARAN yang dapat diambil dari workshop yang dimentori oleh Joko Kamto adalah kesiapan diri untuk menghadapi berbagai situasi serta kondisi kehidupan. Hal itu perlu dilatih karena hidup begitu dinamis, sehingga seringkali yang berlaku dalam hidup adalah sesuatu yang tidak kita harapkan, bahkan bisa sesuatu yang sangat kita benci. Maka, kita musti waspada dan bersiap. Sementara, banyak manusia masih merasa hidup akan memberi situasi yang mereka senangi saja.

Workshop yang dilakukan memang terlihat sederhana, banyak disepelekan dan memang hakikatnya sangat remeh. Namun seluruh peserta workshop mengakui bahwa hati mereka menjadi dekat satu sama lain. Padahal, sebelumnya saling tidak mengenal. Dengan hati yang semakin dekat maka secara tidak langsung mereka telah bersaudara.

“Anda baru saja melakukan sesuatu yang selama ini tidak anda perhatikan. Itulah kunci kreativitas, kunci inovasi,” Cak Nun melanjutkan, “Ketika kita melakukan sesuatu yang selama ini tidak kita perhatikan, pada tahap kesekian kita akan mencapai titik kreativitas yang maksimal, kita terlatih memperhatikan hal-hal yang sebelumnya kita abaikan. Seringkali dari hal-hal kecil itu justru muncul ide-ide kreatif.”

Ditegaskan Cak Nun bahwa kreativitas tidak hanya terbatas pada kesenian. Kreativitas pada dunia kuliner misalnya dengan menemukan racikan-racikan baru, menemukan bermacam menu baru. “Kunci kreativitas adalah mempunyai kepekaan untuk memperhatikan sesuatu yang tidak diperhatikan orang lain, bahkan tidak diperhatikan oleh diri anda sendiri,” ucap Cak Nun.

Selain kemesraan dan kedekataan, sesi workshop juga menghadirkan kebahagiaan diantara jamaah. Hal yang kemudian disadari bahwa bahagia itu mudah jika kita memahami kehidupan. “Bahagia itu mudah kalau anda memahami kehidupan. Orang yang mencari uang mati-matian sampai mengorbankan harga dirinya adalah orang yang tidak mampu menemukan kenikmatan dalam hidupnya,” tutur Cak Nun. Workshop pun dilanjutkan dengan membagi peserta menjadi tiga kelompok.

Setelah rangkaian workshop, KiaiKanjeng memainkan nomor Man Paman dan Tembang Setan. Menghikmahi lagu Man Paman, Cak Nun mengelaborasi khasanah Jawa: sandang, pangan, dan papan, dimana urutan ketiganya pun telah sesuai proporsinya. Pertama bahwa yang utama adalah sandang. Pakaian menjadi hal utama karena dengan pakaian (sandang) manusia menjadi manusia. Jika manusia harus memilih antara sandang dan pangan, maka sandang menjadi utama demi menjaga martabatnya. Tak masalah kebutuhan pangan belum terpenuhi, asalkan martabatnya sebagai manusia terselamatkan.

Cak Nun memperlebar sudut pandang, bahwa bentuk pakaian itu bermacam-macam, ada pakaian moral, pakaian mental, pakaian spiritual, dan seterusnya. Berapa banyak koruptor yang berpakaian rapi namun perilakunya justru kotor, mengambil sesuatu yang bukan haknya. Berapa banyak pejabat yang sehari-hari berpakaian rapi, namun justru melakukan kecurangan-kecurangan birokrasi.

Melalui workshop, peserta, bahkan jamaah, dapat melatih imajinasi mereka. Imajinasi menirukan suara dan gerak binatang. Terlihat mudah namun tidak mudah. Imajinasi semakin dilatih maka akan semakin terbiasa untuk secara cepat menemukan solusi ketika menghadapi berbagai persoalan.

Setelah manusia melatih imajinasinya, pada tahap tertentu manusia akan menemukan bahwa segala sesuatu pasti ada hubungannya dengan Tuhan. Apa saja yang dialami oleh manusia tidak mungkin tidak ada hubungannya dengan Tuhan. “Mustahil manusia tidak mengingat Allah. Dunia modern adalah dunia dimana mereka sangat canggih membangun dunia namun sangat bodoh di dalam mengingat Allah. Sementara manusia yang canggih dalam mengingat Allah, dia bodoh dalam membangun dunia. Nah, Anda semua harus canggih membangun dunia dan juga canggih mengingat Allah,” pesan Cak Nun.

“Kunci kreativitas adalah mempunyai kepekaan untuk memperhatikan sesuatu yang tidak diperhatikan orang lain.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2018)

BERPIKIR SEBAGAI INDONESIA

Dari sisi musikalitas, dua nomor lagu yang dibawakan KiaiKanjeng (Man Pangan dan Tembang Setan) bukan hanya menampilkan tata aransemen yang apik, namun juga bagaimana berbagai genre disatukan dalam sebuah nomor lagu, terutama pada lagu Tembang Setan. Mulai dari genre slow rock, langgam Jawa, hingga qasidah dapat kita temukan. KiaiKanjeng seringkali mengaransemen ulang lagu-lagu dengan memasukkan berbagai unsur musikal dan genre. Tujuannya agar kita bisa mengambil banyak khasanah. Tak sekadar hiburan yang disajikan, namun ada landasan ilmunya agar lagu-lagu itu tak hanya menjadi pelengkap mengisi jeda sinau bareng.

Lagu Man Paman misalnya, esensi dari lagu itu adalah pakaian memiliki fungsi penting bagi manusia, bukan hanya menutupi aurat namun juga sebagai media menjaga martabat manusia.

Mengapa harmonisasi aransemen sebuah lagu itu penting? Ternyata bukan hanya urusan perpaduan nada dan irama saja, bukan hanya memadukan antara lirik dan musik saja. Harmonisasi aransemen diperlukan agar sebuah lagu menjadi monumental dan bisa diterima oleh banyak orang. Dari urusan musik KiaiKanjeng ini kita bisa mempelajari bahwa harmonisasi hubungan masyarakat dalam kehidupan sosial itu penting. Keseimbangan hidup salah satunya adalah memiliki hubungan yang baik antar sesama manusia. Sayangnya, kebanyakan manusia hari ini hanya memikirkan bagaimana hidup enak bagi dirinya sendiri atau bagi kelompoknya saja.

Pada proses konstestasi politik elektoral misalnya, seorang kandidat (Capres atau Caleg) akan sangat senang jika lawannya kalah, begitu pun sebaliknya. Ketika berkuasa yang diajak bergabung menduduki posisi-posisi di pemerintahan juga hanya orang-orang yang ada di sekitar mereka saja. Maka menjadi omong kosong jika para politisi menginginkan persatuan dan kesatuan bangsa, karena pada faktanya mereka tidak mau merangkul lawan politiknya untuk bahu membahu bersama-sama membangun masa depan yang baik untuk Indonesia.

Setiap kandidat hanya berpikir segaris, berpikir sempit dan parsial. Merak tak memiliki kemampuan berpikir sebagai Indonesia. Kita semua mengharapkan, pemimpin-pemimpin Indonesia mampu berpikir secara Indonesia. Sehingga tidak ada lagi tuduhan-tuduhan negatif disematkan hanya karena perbedaan kepentingan politik kepada pihak yang tersingkir.

Melalui sinau bareng, Maiyah menanamkan kepada jamaah untuk tidak berpikir egosentris, memikirkan dirinya sendiri. Ibarat tubuh, semua organ tubuh tak hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Kaki tidak boleh hanya berpikir sebagai kaki, tangan jangan hanya berpikir sebagai tangan, namun seluruh organ tubuh harus bersatu dan merasakan bersama bahwa mereka adalah satu kesatuan, seperti itulah seharusnya bangsa Indonesia ini berlaku.

Cak Nun lantas menyitir apa yang diungkapkan Sabrang pada forum Mocopat Syafaat sebelumnya. Perumpamaan memilih calon presiden itu seperti orang yang ingin bepergian menggunakan bus. Ketika sampai di terminal, maka ia tidak menanyakan siapa supir bus, yang terpenting adalah bahwa pasti bus akan mengantarkannya menuju kota yang hendak dituju. Maka dalam kontestasi Pilpres pun seharusnya demikian, bukan siapanya, namun kemana mereka akan membawa. Apa langkah-langkahnya, apa rencana jangka pendek, menengah, dan panjang, dan seterusnya. Sementara kita justru banyak mempersoalkan sisi personal.

Belum lagi jika kita memahami bahwa presiden itu layaknya tenaga outsourcing lima tahunan. Justru yang memiliki kontrak panjang adalah ASN, Polri, dan TNI. Pemerintah ada batas garis akhirnya, sementara negara tidak ada garis akhirnya. Perbedaan pandang terhadap pemerintah dan negara ini pun masih belum jangkep. Dimana negara seharusnya berada di atas kekuasaan pemerintah.

Melalui sinau bareng, Maiyah menanamkan kepada jamaah untuk tidak berpikir egosentris.

Seribu Jamaah Satu Maiyah

Cak Nun malam itu kembali mengingatkan bahwa tujuan dilangsungkannya sinau bareng adalah untuk membangun manusia-manusia masa depan yang memiliki paradigma berpikir yang berbeda dengan manusia hari ini. “Yang penting gurumu itu siapa atau bagaimana caramu belajar? Yang penting itu mursyidmu siapa ataukah caramu mendapatkan ilmunya?” tanya Cak Nun. Ia menjelaskan, di maiyahan kita belajar multi dimensi ilmu. Pelaku utama sinau bareng adalah jamaah itu sendiri, bukan narasumber yang ada di depan forum.

Hadir di Kenduri Cinta malam itu, Ian L. Bets, seorang ekspatriat dari Inggris yang lebih dari 20 tahun tinggal di Indonesia. Ian bersahabat dengan Cak Nun sejak Cak Nun dan Ibu Via masih tinggal di Kelapa Gading. Ian kerap berkunjung dan berdiskusi dengan Cak Nun.

“Suka atau tidak suka, Indonesia akan berada di pusat peradaban dunia. Indonesia memegang kunci negara-negara di Asia,” tukas Ian mengawali paparannya. Kebebasan berpendapat sangat berharga, keadaan ini yang sulit dijumpai di negara lain. Ian mengingatkan, yang harus diwaspadai dalam era kebebasan yaitu masih sering terjebaknya masyarakat dengan berita-berita palsu.

Ian juga menggarisbawahi, kebebasan berpendapat yang dirasakan masyarakat Indonesia saat ini adalah juga hasil dari perjuangan Cak Nun yang berada di garis depan saat peristiwa Reformasi. Perjuangan itu tidak banyak dicatat oleh media massa. Maka, menurut Ian L. Bets, kesunyian Maiyah hari ini merupakan konsekuensi dari apa yang dialami Cak Nun. Maka, bagi Ian, tidak mengherankan jika Maiyah tidak diekspos media massa.

“Sekian banyak kelompok di Indonesia yang berani mengklaim bahwa kebebasan berpendapat diraih atas perjuangan mereka, padahal sebenarnya perjuangan mendapatkan kebebasan berpendapat itu dimenangkan oleh Cak Nun,” Ian menambahkan. Winston Churchil, Perdana Menteri Inggris tahun 1940-1955, pernah menyampaikan, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk dari semua bentuk yang ada. Namun demokrasi menjadi pilihan terbaik dari yang ada. Ian menyarankan agar bangsa Indonesia bisa menjaga demokratisasi, terlebih di tahun politik 2019.

Ian juga ceritakan kisahnya saat pertama kali berinteraksi dengan Maiyah. Ia mengawalinya di forum Kenduri Cinta, Juni 2004. Ian mengakui bahwa sejak pertama ia mengenal Maiyah, Maiyah konsisten membawa nilai-nilai mulia. Ian L. Bets beberapa kali diundang dalam forum-forum, konferensi, dan symposium internasional di berbagai kampus, dan salah satu yang disampaikan Ian. L Bets adalah tentang Maiyah. Melalui foto-foto dan pengalaman pribadinya dalam bersentuhan dengan Maiyah, Ian L. Bets mempresentasikan Maiyah di kancah dunia internasional. Seperti tahun 2018 lalu, Ian L. Bets diundang oleh Cranfield University di Inggris untuk mempresentasikan nilai Maiyah dalam sebuah simposium yang digelar oleh kampus itu.

Ian lantas menceritakan perjalanannya bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng saat berkeliling di banyak tempat, seperti masjid, gereja, sinagog, kantor kedutaan, gedung teater dan berbagai tempat lainnya. Suatu kali di sebuah sinagog di Belanda, Cak Nun bertemu dengan tokoh komunitas Yahudi. Mereka membangun iktikad antara seluruh umat beragama untuk bersama menjaga kepercayaan dan persatuan. Perjalanan di Belanda saat itu, dicatat oleh Ian L. Bets sebagai salah satu pencapaian yang penting bagi Maiyah, terlebih dilakukan di kancah internasional.

“Saya ucapkan selamat kepada anda semua, karena anda membawa obor ilahi di tangan anda. Cak Nun pernah menulis Seribu Masjid Satu Jumlahnya, maka anda adalah Seribu Jamaah Satu Maiyah,” kata Ian mengakhiri.

“Pelaku utama sinau bareng adalah jamaah itu sendiri, bukan narasumber yang ada di depan forum.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2018)

MERESPONS paparan Ian L. Betts, Cak Nun sampaikan, “Karena Maiyah tidak punya identitas institusional, maka Maiyah bisa kemana saja.” Cak Nun sangat menyadari, betapa sulitnya ketika pergerakan diinstitusikan. Maka, Maiyah tidak memilih menjadi institusi, sehingga Maiyah dapat diterima dimana saja, diterima oleh siapa saja, tanpa ada resistensi.

Hadirnya KiaiKanjeng di Kenduri Cinta malam itu juga menandai perjalanannya yang ke-4.040. Cak Nun dan KiaiKanjeng berkeliling ke berbagai kota, desa, dalam negeri maupun luar negeri. Capaian itu bukan dimaksudkan sebagai bentuk prestasi, namun sebagai bukti bahwa Maiyah mampu menembus batas-batas institusional. Maiyah mampu melebur bersama umat Muhammadiyah, Maiyah juga aman bergaul dengan ummat nahdliyin, bahkan dengan masyarakat luas yang berbeda kepercayaan pun, Maiyah mampu bergaul.

Cak Nun dan KiaiKanjeng bisa masuk ke semua lini, bukan hanya di perkotaan, di pedesaan, bahkan di kampus-kampus pun maiyaha bisa terselenggara dengan aman tanpa adanya kendala berarti. Hal itu sekali lagi memperkuat pandangan Cak Nun sebelumnya, dimana menjadi bentuk benefit tertentu Maiyah tidak memiliki identitas institusional.

“Memangnya anda pikir Maiyah milik saya? Anda pikir saya bisa bikin Maiyah? Memangnya saya bisa menahan orang sebanyak ini sampai jam 3 pagi? Atas dasar energi dan ilmu apa saya mampu mengumpulkan anda? Saya bahkan tidak percaya bahwa Ainun Nadjib bisa bikin Maiyah. I don’t believe in him,” Cak Nun sampaikan bahwasanya Maiyah bukan lah sesuatu yang direncakanan apalagi dicita-citakan.

Ian L. Bets ikut menambahkan, sekaligus merespon jamaah yang bertanya sebelumnya. Maiyah, menurutnya, memiliki kelengkapan untuk membicarakan apa saja, membahas apa saja, menjadi sebuah forum yang menampung siapa saja. Formulasi Maiyah, menurut Ian L. Bets, adalah konsep yang sangat dibutuhkan oleh dunia hari ini. Ia hanya menemukan forum seperti maiyahan di Indonesia, tak ada yang serupa di negara-negara lain.

“Maiyah adalah software yang menemukan dan mengidentifikasi kekeliruan-kekeliruan cara berpikir manusia, dari demokrasi sampai agama, sampai Islam, sampai Kristen, sampai Yesus, sampai Muhammad, Maiyah ada pandangan tersendiri,” Cak Nun menambahkan.

“Menjadi sarjana itu masih input, belum output. Jangan dibanggakan dulu kesarajanaanmu, yang harus kamu banggakan adalah ketika kesarjanaanmu bisa memberikan manfaat bagi masyarakat,” Cak Nun menambahkan. Begitu pun dengan ibadah yang dilakukan sehari-hari, semua itu input. Salat merupakan kebaikan antara manusia dengan Allah. Output sosialnya adalah perbuatan baik kepada sesama manusia. Untuk menjadi orang Islam yang baik dan benar, bukan dengan cara menuduh-nuduh orang lain tidak benar.

Cak Nun menjelaskan, ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah, ia berlaku sebagai seorang social engineer, sebagai orang yang mampu mengelola kehidupan sosial. Tidak hanya manusianya, tetapi juga seluruh makhluk Allah yang ada di Madinah. Secara bertahap. Langkah awal yang dilakukan adalah mencari sumber air, kemudian menata lahan-lahan pertanian, baru kemudian membangun sistem perdagangan yang mengakomodir seluruh elemen masyarakat, bukan hanya masyarkat Islam saja. Sementara dunia modern dengan demokrasi yang diagung-agungkan hari ini hanya melibatkan manusia saja. Tidak ada salam sejarah demokrasi melibatkan makhluk selain manusia, demokrasi hanya menghitung kebenaran berdasarkan pendapat manusia saja.

“Maiyah adalah software yang menemukan dan mengidentifikasi kekeliruan-kekeliruan cara berpikir.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2018)

MENGENYAM YANG TIDAK DISUKA

Setelah berbagai pembahasan, workshop kembali dilakukan. Para peserta dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok diminta memeragakan Tumpeng, Ambeng, dan Kabah. Masing-masing bentuk memiliki ciri masing-masing. Tumpeng melambangkan wujud strata masyarakat, sementara Ambeng adalah metode yang menggambarkan kesetaraan, sama rasa, sama rata, dan Kabah menjadi simbol yang paling lengkap, mengajarkan manusia membaca peristiwa. Secara kasat mata, orang yang thawaf hanya berkeliling Kabah, namun secara alam bawah sadar mengajarkan manusia bahwa setiap persoalan harus dilihat dari berbagai sudut pandang.

Selanjutnya, ke-15 peserta itu diajak personel KiaiKanjeng untuk bermain Lepetan. Dari permainan Lepetan, banyak nilai-nilai hidup yang terlihat. Mulai dari kesediaan diri untuk mau mengalah, melatih kesabaran, tepo seliro, istiqomah, mau belajar, hingga persatuan. Melalui Lepetan, KiaiKanjeng hendak mengangkat, nguri-uri kearifan lokal yang sebenarnya sudah menjadi budaya dan tradisi masyarakat di Indonesia secara turun temurun. Kearifan lokal itu banyak ditemukan pada dolanan anak-anak kecil, memiliki makna kemanusiaan dan kebangsaan.

Kemudian, masing-masing dari kelompok workshop diminta menggerak badannya sesuai arahan KiaiKanjeng. Gerakan ketiganya tentu berbeda-beda, saat sebuah nomor sholawat dimainkan, ketiga kelompok diharuskan tetap harmonis dengan iringan musik yang dimainkan KiaiKanjeng.

Tantangan berikutnya lebih sulit. KiaiKanjeng membawakan musik instrumental dari nomor-nomor yang sudah diaransemen, mulai dari dangdut, rock, pop, jazz, blues, hingga qasidah. Para peserta diharuskan menari secara acak, namun harus sesuai dengan alunan musik yang dimainkan. Kalau dangdut maka harus berjoget dangdut, jika rock juga harus bergaya penikmat rock dan seterusnya. Intinya adalah melatih kepekaan kreativitas secara mendadak.

Cak Nun lantas menyampaikan tujuan dari diadakannya workshop, “Ini (workshop) adalah cara untuk melatih bahwa anda itu hidup harus berkenalan dengan berbagai macam kemungkinan, karena anda harus hidup secara universitas. Anda harus belajar sesuatu yang anda tidak suka. Anda harus hidup untuk mengenyam yang anda tidak suka, karena anda akan menjadi pendekar. Untuk menjadi pendekar, anda harus siap mendengar yang anda tidak suka, bahkan anda harus siap untuk tidak mendengar yang An anda suka. Anda harus bisa menikmati yang sesungguhnya bukan kecenderunganmu dan tidak menikmati sesuatu yang sebenarnya adalah kecenderunganmu. Kamu harus siap untuk menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan kemauanmu. Itulah pejuang, itulah pendekar.”

“Ya Allah sesenang apapun hidupku di dunia, setinggi apapun jabatanku di dunia, sekaya apapun harta bendaku di dunia, tapi kalau itu membuat-Mu marah kepadaku, aku tidak ambil semuanya. Ya Allah semenderita apapun hidupku di dunia, sesedih apapun hatiku di dunia, semiskin apapun kehidupan keluargaku di dunia, tapi kalau itu membuat-Mu senang dan menyayangiku, maka akan aku reguk semua penderitaan dan kesedihan itu. Tidak ada masalah asalkan Engkau senang kepadaku,” ucap Cak Nun memanjatkan doanya.

Seluruh peserta workshop kemudian diberi selembar kertas oleh Cak Nun yang berisi beberapa pertanyaan, kemudian mereka diminta untuk mencari tempat di luar panggung Kenduri Cinta di sekitaran Taman Ismail Marzuki untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan menjawabnya. Cak Nun memberi mereka waktu kurang lebih selama satu jam untuk berdiskusi bersama, merumuskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.

Ian L. Bets ikut memperhatikan rangkaian workshop. Menurutnya apa yang dilakukan oleh peserta bukan hanya memberikan pelajaran bagi dirinya sendiri, namun juga bagi keseluruhan jamaah Maiyah yang hadir.

“Ulama adalah orang yang mampu menjadi juru bicara kebijaksanaan, alsinatul hikmah.”
Syekh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Desember, 2018)

LIMA PRINSIP KENABIAN

Menjelang dini hari, jamaah tampak makin memadati area plasa Taman ismail Marjuki. Lahan parkir pun luber dipenuhi mereka. Cak Nun kemudian meminta Syeikh Nursamad Kamba untuk berbagi di forum. Syeikh Kamba mengawali dengan pembahasan tentang warasatul anbiya. Kalimat yang banyak terkait adalah: Al ulama warasatul anbiya. Syeikh Kamba sendiri adsalah dosen yang melakukan kajian tentang ulama. Dalam kamus bahasa Indonesia (KBBI), kata ulama diartikan sebagai “seseorang yang ahli dalam ilmu-ilmu agama Islam”.

Syeikh Nursamad Kamba lantas menjabarkan, ilmu-ilmu agama Islam yang kita kenal saat ini lahir pada abad ke-2 Hijriyah. Ilmu-ilmu seperti Ilmu Kalam, Ilmu Balaghoh, Ilmu Mantiq, Ilmu Hadits, Ilmu Musthalahul Hadits dan sebagainya, lahir satu abad setelah era Rasulullah SAW. Lantas pertanyaanya, bagaimana cara Rasulullah mewariskan ilmu-ilmu tersebut, sementara rentang waktu antara kelahiran beliau dan kelahiran ilmu-ilmu itu sangat jauh.

Dalam pandangan Syeikh Kamba, pengertian ulama bukan seperti yang dimaksud KBBI. Menurut Imam Al Junaid Al Baghdadi, seseorang yang mampu menjadi pewaris Nabi adalah orang yang mampu menjadi juru bicara kebijaksanaan, alsinatul hikmah. Mereka adalah orang-orang yang tidak berbicara kecuali dengan izin Allah, dan jika mereka berbicara mereka meninggalkan manfaat bagi orang yang mendengarkan.

Syeikh Kamba menyoroti kehidupan beragama, dimana banyak orang beragama tetapi tidak bertuhan. Ajaran-ajaran Rasulullah SAW berhenti dipelajari pada taraf material semata, hanya dipahami atas dasar yang dilihat saja. Esensi dari bertuhan justru tidak tampak dalam kehidupan beragama. Tanha ‘ani-l-fakhsyaai wa-l-munkar yang seharusnya merupakan akibat dari didirikannya salat justru tidak tampak.

Dalam KBBI agama diartikan sebagai aturan tata kelola hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam pandangan Syeikh Kamba, agama dipahami sebagai situasi keilahian yang menuntut orang-orang berakal menuju kepada kesalehan di dunia dan kebahagiaan keselamatan di akhirat. Makna saleh dalam bahasa Arab artinya adalah layak, kelayakan, kepantasan, kepatutan.

Maka, manusia yang saleh adalah manusia yang pantas disebut manusia di hadapan Allah. Agama adalah situasi keilahian dalam diri manusia yang menuntun orang melakukan sesuatu bukan atas dasar paksaan, melainkan atas dasar keterpanggilan. Maka tidak tepat, jika umat beragama melakukan sesuatu karena instruksi, atas dasar aturan hukum yang dipaksakan, bukan atas dasar keterpanggilan hati bahwa memang dirinya harus mengabdi kepada Allah.

Tuhan adalah cinta, maka jika manusia bertuhan maka manusia seharusnya menjadi representasi kasih sayang Tuhan kepada seluruh alam. Ditambahkan Syeikh Kamba, bahwa prinsip kenabian yang pertama adalah kemandirian. Prinsip kenabian kedua adalah pembebasan diri dari segala jenis egoisme manusia. Maiyah juga mengajarkan hal ini, dimana jamaah tidak hanya memikirkan dirinya saja, namun juga memikirkan kebaikan bersama.

“Salah satu ajaran Nabi adalah kesadaran manusia untuk membebaskan diri dari egonya,” Syeikh Kamba menambahkan. Esensi tauhid adalah meniadakan diri manusia, karena yang ada hanya Tuhan. Ketika manusia mampu meniadakan diri, maka implementasi hadits Nabi yang menyatakan bahwa perumpamaan “kaum muslimin itu seperti sebuah tubuh yang saling tersambung” akan dapat terealisasikan.

Salah satu ciri masyarakat muslim adalah apabila ada tetangganya yang membutuhkan sesuatu, ia akan mengutamakan tetangganya itu untuk diberi bantuan. Prinsip ketiga dari jalan kenabian adalah kebijaksanaan. “Prinsip keempat dari jalan kenabian adalah kejujuran; Al Amin. Dan yang kelima adalah cinta; mahabbah,” tutur Syeikh Kamba.

“Prinsip kenabian pertama adalah kemandirian, kedua adalah pembebasan diri dari segala jenis egoisme.”
Syekh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Desember, 2018)

MELENGKAPI paparan Syekh Nursamad Kamba, Cak Nun sampaikan, “Anda sudah mendengar sendiri betapa banyak ketidaktepatan dibawakan oleh para ulama kepada masyarakat kita. Anda melihat fakta bahwa Islam begitu dibenci di dunia, menurut saya penyebabnya sekitar 70% karena kita sebagai umat Islam kurang bisa membawakan Islam kepada dunia.”

Membahas idiom “supremasi hukum”, menurut Cak Nun supremasi hukum bukanlah yang tertinggi. Yang harus diletakkan di posisi tertinggi adalah supremasi keadilan. Hakim dipahami dalam KBBI sebagai orang yang memvonis, seorang yang datang ke pengadilan dengan membawa pasal-pasal. Padahal seharusnya hakim dipahami sebagai orang yang membawa kebijaksanaan, membawa keadilan. Sehingga ketika memutuskan perkara ia tidak sekadar berlandaskan pasal-pasal hukum, tetapi juga rasa keadilan dan kebijaksanaan.

“Hukum itu bertentangan dengan demokrasi. Hukum itu adalah sesuatu yang dipaksakan. Anda mau tidak mau harus taat kepada hukum,” lanjut Cak Nun. Maka hukum letaknya paling rendah, diatas hukum ada akhlak, kemudian yang paling tinggi adalah takwa. Ketiganya dibingkai dalam keadilan.

Cak Nun kemudian melemparkan pertanyaan, titik berat dari Islamnya seseorang itu identitasnya atau perilakunya? Jamaah pun serentak menjawab: perilakunya. Seseorang disebut muslim memang seharusnya berdasar perilakunya, bukan identitasnya. Ketika Islam dipahami sebagai identitas, maka perilaku seperti apapun sama sekali tidak menyebabkan batalnya Islam seseorang. Secara identitas, seorang pejabat yang beragama Islam melakukan korupsi, tidak batal Islamnya. Namun secara esensi, sudah batal Islamnya. Karena perilakunya tidak mencerminkan Islam. Dunia modern tidak sanggup memandang Islam dalam esensi detail seperti ini, yang menjadi titik pandang adalah Islam sebagai identitas di kartu tanda penduduk. “Jadi Islam itu adalah kata kerja, bukan kata benda,” lanjut Cak Nun.

Setelah membawakan lagu Ahlu Ziman, para personel KiaiKanjeng, Jijit, Donny, Joko SP dan Yoyok kembali memandu workshop. Setelah workshop, Cak Nun meminta Joko Kamto menampilkan sebagian fragmen drama teater Sengkuni 2019 yang akan dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta pada 12-13 Januari 2019 mendatang.

Malam itu Sudjiwo Tedjo juga datang, ia pun turut merespon penampilan Joko Kamto. Menurut Sudjiwo Tedjo, Sengkuni memiliki sisi baik, tak hanya representasi aktor antagonis saja.

Cak Nun ikut membabarkan, bahwa Sengkuni yang diceritakan dalam teater Sengkuni 2019 berpijak pada kisah Sengkuni yang harus berkorban untuk meneruskan generasi keluarganya dengan cara memakan 98 saudara-saudaranya, termasuk bapak dan ibunya, hanya tersisa 2 bersaudara yang hidup yaitu Sengkuni dan Gandari.

Dalam Alquran Allah menyatakan bahwa Allah tidak menyukai orang yang berkata kasar kecuali dalam keadaan teraniaya. Ayat ini jika dirasionalkan berarti orang yang berbuat jahat bisa dimaklumi, jika sebelumnya ia menjalani hidup menderita, dibandingkan orang yang tidak pernah merasakan penderitaan namun kemudian berbuat jahat. Dengan pijakan ini, maka Sengkuni yang sebelumnya harus menanggung penderitaan harus memakan saudaranya sejumlah 98 dan juga bapak dan ibunya, maka dia layak untuk menjadi pemberontak di kerajaan Astinapura.

Melalui fragmen Sengkuni, Cak Nun mengingatkan kepada para penguasa yang berlaku zalim, bahwasannya mereka tidak memiliki sejarah menderita seperti Sengkuni tetapi justru berani berbuat jahat kepada rakyat.

Kenduri Cinta edisi Desember 2018 diakhiri dengan nomor medley KiaiKanjeng dan ‘indal qiyam. Syeikh Nursamad Kamba memimpin berdoa bersama dan Cak Nun membacakan surat An Nur ayat ke 35.