Syariat Kerajaan Sengkuni

Mana si Sengkuni, yang paling kau benci, berkacalah di cermin
Apa bukan wajahmu sendiri?
Polah tingkah Senguni, kutu loncat Sengkuni, sana-sini Sengkuni
Mana yang bukan Sengkuni?

SENGKUNI. Semua dituduh-tuduh sebagai Sengkuni. Dan selalu, Sengkuni menjadi tokoh yang disebut-sebut sebagai provokator, penjahat, paling licik, paling bengis, paling buruk. Banyak orang menuduh orang lain adalah Sengkuni, tanpa mau mengukur diri apakah mereka pantas disebut sebagai Pandawa. Betapa bodohnya manusia, menuduh-nuduh orang lain sebagai Sengkuni tanpa mengetahui seperti apa sejarah hidup Sengkuni. Bagi mereka, Sengkuni adalah sosok yang layak menjadi kambing hitam atas segala kerusakan dan kebobrokan yang terjadi di dunia ini. Semua yang menuduh orang lain sebagai Sengkuni selalu mengaku dirinya adalah Pandawa.

Selalu saja, jika ada keburukan dalam diri kita, jika ada perilaku jahat yang sudah kita lakukan, kita selalu mencari kambing hitam. Dan ternyata, tidak cukup Iblis dan Setan, kini Sengkuni pun menjadi salah satu kambing hitam yang selalu disalahkan oleh manusia jika ada perilaku buruk yang dilakukan oleh manusia lainnya.

Pernahkah kita belajar sejarah kehidupan Sengkuni? Pernahkah kita membaca literatur bagaimana perjalanan hidup Sengkuni? Adakah dari kita yang pernah mempelajari sebab-sebab mengapa Sengkuni dianggap menjadi biang kerok Perang Baratayudha? Adakah kita pernah mencari fakta sejarah mengapa kerajaan Gandhara diserbu oleh Prabu Destarastra, yang notabene adalah seorang Raja yang memperistiri Gandari, kakak kandung Sengkuni?

Melalui lakon “Sengkuni 2019”, Sengkuni menggugat karena selalu saja dijadikan sebagai kambing hitam atas kejahatan, kelicikan, kezaliman yang dilakukan oleh manusia. Setiap perilaku kejahatan selalu diasosiasikan dengan istilah Sengkuni.

Sengkuni menjadi “korban” atas mal praktek kekuasaan kerajaan Astina yang memenjarakan Bapak (Raja Gandhara), Ibu dan 100 saudara-saudari-nya. Mereka dikurung dan hanya diberi sebulir nasi sehari, sehingga pasti lama kelamaan mereka akan mati satu-persatu. Untuk itu, dalam penjara Raja Gandhara mesti mengambil keputusan siapa diantara anak-anaknya yang layak untuk bertahan meneruskan darah keluarga. Keputusan itu diambil dengan ujian memasukkan benang ke dalam tulang, dan yang Lolos ialah Sengkuni. Karenanya 98 saudaranya beserta Bapak dan Ibunya meyediakan diri untuk dikorbankan untuk dimakan oleh Sengkuni agar Sengkuni dapat meneruskan hidup generasi kerajaan Gandhara. Dalam hal ini, Sengkuni bisa disebut sebagai salah satu aspirator sebuah prinsip dalam membangun keluarga yang kelak di kemudian hari disebut dengan istilah keluarga sakinah. Sakinah adalah daya juang yang tak ada habis-habisnya untuk menomorsatukan martabat keluarga, kesejahteraan keluarga, dan keseimbangan keluarga.

Yang tidak kita ketahui ternyata adalah sejarah hidup Sengkuni yang sedemikian menderita. Kepedihan yang harus ditanggung oleh Sengkuni adalah kepedihan yang tidak seorangpun dari kita sanggup untuk merasakannya. Ada alasan yang kuat mengapa Sengkuni menjadi provokator Perang Baratayudha, sehingga Pandawa dan Kurawa saling bunuh.

Arus utama cerita Mahabarata tertuju pada konflik antara Pandawa melawan Kurawa, mereka dua kubu bersaudara. Cerita ribuan tahun silam ini seolah sudah membatu dengan polaritas Pandawa sebagai kutub protagonis dan Kurawa  kutub antagonis. Bagi generasi Milenial cerita Mahabarata menjadi menarik perhatian jika hanya pembaca atau penonton merasa dilibatkan dalam cerita atau setidaknya ada karakter yang mewakili dirinya dalam cerita. Alur ceritanya pun hidup dan alasan-alasan perbuatan para tokohnya yang dapat diterima dan kompatibel dengan realitas zaman ini.

Cerita komik Spider-man misalnya, tokoh-tokoh karakter cerita itu seolah hidup. Ketika diangkat ke layar lebar, alur ceritanya tidak statis. Sehingga memungkinkan adanya alur cerita yang variatif untuk tiap-tiap karakter dan selalu muncul sub-versi sub-versi dari arus utama. Tokoh Simbiot Venom dalam spidermen berperan sebagai antagonis. Tetapi ketika karakter Venom dijadikan tokoh utama dalam film lain yang tersendiri, ternyata Venom juga menjadi protagonis pada sub versi ceritanya. Hal ini terjadi pula dengan berbagai karakter superhero DC Comic maupun Marvel yang merajai dunia fiksi di era sekarang ini. Ironis memang, cerita wayang yang semestinya dapat menjadi bayangan hidup dari kehidupan masyarakat justru membatu menjadi seperti prasasti, sementara cerita-cerita superhero impor semakin tumbuh ditengah masyarakat sebagai inspirasi. Teater Sengkuni2019 sepertinya dapat berhasil menjadi sub-versi untuk memecahkan kebuntuan jalan diterimanya Mahabarata oleh generasi millenial.

Berada pada momentum yang tepat untuk kembali dihadirkan di tengah masyarakat. Memasuki tahun politik 2019, tokoh Sengkuni selalu dituduhkan berada pada kubu lawan. Polarisasi orientasi politik sangat rawan berubah menjadi konflik. Tentu, masing-masing kubu tidak akan mengklaim bahwa mereka sekubu dengan Sengkuni. Masing-masing kubu menghendaki menjadi Pandawa, sebagai kubu yang akan memenangi perang Baratayuda dalam pemilu 2019 nanti. Artinya kedua kubu sedang dipermainkan oleh siasat Sengkuni tanpa mereka sadari. Ini bisa tidak terjadi apabila masyarakat tahu apa dan siapakah Sengkuni, serta kenapa Sengkuni menjadi begitu provokatif menginginkan konflik terjadi di tengah masyarakat.

Sementara, dengan gampangnya kita merasa diri kita adalah Pandawa. Kita enggan menunjuk diri kita sendiri sebagai Sengkuni. Karena sejauh-jauh sejarah tentang kepribadian Sengkuni yang kita ketahui adalah bahwa Sengkuni merupakan tokoh kelicikan dunia, tokoh kerusakan dunia, tokoh kebobrokan dunia. Kita merasa paling pantas untuk menjadi Pandawa, atau setidaknya menjadi bagian dari Pandawa. Karena kita memang tidak mau untuk dikelompokkan dalam gerbong Kurawa. Meskipun perilaku kita juga tidak kalah bengisnya dengan Kurawa. Sementara iri dengki Sengkuni, hasad-hasut Sengkuni adalah kehidupan kita sehari-hari dan menjadi isi dada kita sendiri. Mana yang bukan Sengkuni dalam diri kita? Kita gagal mengidentifikasinya.

“Tapi kita iseng. Kita tidak pernah serius terhadap nilai-nilai, bahkan terhadap Tuhan pun kita bersikap setengah hati”, itulah nukilan salah satu puisi Cak Nun yang berjudul “Kemana anak-anak itu”. Sudah lebih dari 2 dekade Cak Nun telah mewanti-wanti kita untuk menakar diri, mengukur diri, agar tidak terperosok lebih dalam di jurang kehancuran ini. Pada setiap nilai-nilai kehidupan, kita memenggal-menggal, memutilasi, memotong-motong sekenanya, seenak kita sendiri, disesuaikan dengan apa yang kita sukai, bukan berdasarkan apa yang kita butuhkan. Sehingga pada puncaknya pun, terhadap ketentuan Tuhan, terhadap keputusan Tuhan, kita bersikap setengah hati.

Iblis, Setan, dan juga Sengkuni adalah amsal dari Tuhan agar kita semua belajar tentang nilai-nilai kehidupan. Jika Iblis dan Setan memang sudah di-casting oleh Tuhan untuk menjadi pihak yang hanya memiliki kemungkinan untuk membangkang kepada Tuhan, meskipun jika ditelisik lebih dalam, pembangkangan mereka juga dalam rangka karena mereka taat kepada Tuhan. Sengkuni melakukan banyak hal yang secara normatif dinilai sebagai salah satu kejahatan besar sepanjang sejarah perjalanan manusia, namun Sengkuni juga memiliki alasan kuat dan logis mengapa ia melakukan itu semua. Sejahat-jahatnya Sengkuni, setidaknya ia memiliki satu titik fokus yang menjadi pijakan kehidupan yang ia jalani. Baginya, pasca penderitaan yang ia alami bersama seluruh keluarganya, martabat keluarga adalah sesuatu hal yang harus ia perjuangkan untuk dikambalikan ke posisi seharusnya. Tidak bisa ia menerima perlakuan Raja Destarastra terhadap keluarganya dan juga kerajaan Gandhara. Tidak bisa tidak, ia harus memperjuangkan kehormatan dan martabat keluarganya. Meskipun harus dengan cara yang kejam, yaitu dengan terlebih dahulu memakan daging tubuh saudara-saudaranya sendiri, agar ia mampu bertahan hidup.

Bagi Sengkuni, adanya norma masyarakat, syariat agama, konstitusi negara, peraturan, hukum dan undang-undang bukanlah halangan untuk melancarkan kerajaan dendam permusuhan. Justru dengan itu dapat menjadi alat bagi Sengkuni untuk mengipaskan peperangan. Potensi Sengkuni ada dalam diri kita masing-masing. Namun pertanyaannya adalah, atas dasar apa kita berlaku seperti Sengkuni? Alasan apa yang membuat kita berhak untuk berlaku seperti Sengkuni?

Yang mana Sengkuni?
Mana yang bukan Sengkuni?
Di panggung negeri ini Sengkuni harga mati