TANAH AIR ALLAH

Reportase Kenduri Cinta Juni 2019

Tarian Tali-tali Cahaya, judul tulisan Cak Nun seri Daur I – 138. Tulisan itu menggambarkan dialog antara Saimon dan Markesot yang tengah berdiri tak jauh dari pusat orang-orang yang berkumpul pada sebuah arena. Orang-orang terus berdatangan, puluhan, ratusan, ribuan, makin malam makin banyak makin khusyuk.

Suasana itu seakan menggambarkan Kenduri Cinta. Sebuah forum yang telah diselenggarakan selama 19 tahun. Hampir dua dekade. Berawal dari 1-2 orang, sepuluh-duapuluh, seratus-duaratus orang. Kini, ribuan. Tak mudah menjaga keberlangsungan forum diskusi terbuka di ibukota. Lebih-lebih itu swadaya, tanpa sponsor pendanaan, tanpa proposal. Kenduri Cinta telah melakukannya. Paling tidak hingga malam itu, penyelenggaraannya yang ke-202, tepat 19 tahun.

Singkirkan sejenak pertanyaan tentang rumitnya dinamika pengelolaan acara selama hampir dua dekade. Cukup disyukuri saja capaian perjalanannya. Sekadar kebetulan atau mungkin juga pertanda alam, malam itu kali pertama Kenduri Cinta dilaksanakan di pelataran Teater Besar, tak lagi di Plasa TIM. Pelataran Teater Besar berada pada komplek yang sama. Secara teknis, area baru ini lebih luas dari sebelumnya. Plasa TIM, tempat diadakannya Kenduri Cinta selama 19 tahun terakhir, rencananya akan direvitalisasi menjadi lahan parkir dan taman kota.

Para penggiat dan jamaah menyadari bahwa Kenduri Cinta merupakan sebuah ruang untuk berproses, untuk saling belajar bersama. Seperti petani, tugas kita hanya menanam dengan sebaik-baiknya menanam. Hasilnya kita serahkan pada Allah. Maka, kita nikmati saja kegembiraan berproses ini untuk menuju garis akhir yang masih gaib.

19 tahun perjalanan Kenduri Cinta tidak hanya sekadar dimaknai sebagai perayaan ulang tahun, tetapi juga sebagai momen mempertajam niat. Dengan tujuan sama, Cak Nun pun “memberi kado” kepada jamaah Kenduri Cinta berupa empat pertanyaan.

Kenduri Cinta edisi Juni 2019 malam itu mengangkat tema Tanah Air Allah. Acara diawali dengan pembacaan surat Ar Rahman, wirid Padhangmbulan, wirid Hasbunallah, wirid Mawlan Siwallah serta lantunan sholawat. Mentradisi, forum maiyahan selalu diawali dengan kekhusyukan yang mendalam.

Setelah halal-bi-halal, Sigit Hariyanto menyampaikan selamat idul fitri kepada jamaah Kenduri Cinta. Ia mengucapkan permohonan maaf apabila selama penyelenggaraan Kenduri Cinta masih banyak terdapat kekurangan. Sigit mengajak agar kekurangan-kekurangan itu ditutupi bersama. Tak hanya penggiat, jamaah juga memiliki peran sama untuk merawat, menjaga, serta menyelamatkan satu sama lain.

“Perjalanan 19 tahun Kenduri Cinta ini lama atau sebentar adalah tergantung bagaimana cara pandang kita,” ucap Adi Pudjo, penggiat yang sejak awal menemani keberlangsungan forum Kenduri Cinta. Adi Pudjo adalah admin dari milis padhangmbulan.net, sebuah forum mailing list yang menjadi cikal bakal forum maiyahan di jejaring online pada medio 90-an. Milis tersebut menjadi forum komunikasi sesama jamaah padhangmbulan, dimana informasi-informasi acara-acara Cak Nun dan KiaiKanjeng disebarluaskan.

Tahun demi tahun berganti, generasi penggiat Kenduri Cinta juga mengalami pergantian, namun Adi Pudjo masih menjadi sosok yang hingga hari ini masih eksis. Ia menjadi saksi pasang surutnya jamaah Kenduri Cinta. Dari hanya 10-20, 100-200 hingga sekarang, ribuan.

“Kenduri Cinta adalah forum sinau bareng. Kenapa harus sinau bareng? Karena memang kita sebagai manusia harus selalu sinau. Ada lebih banyak hal yang tidak kita ketahui daripada hal yang sudah kita ketahui, maka dengan sinau bareng ini lah kita menjadi mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak kita ketahui,” Adi Pudjo menyampaikan dengan bahasa yang sederhana.

“Kenduri Cinta mengajarkan kesabaran dan kelegaan hati.”
Adi Pudjo, Kenduri Cinta (Juni, 2019)

Adi Pudjo melanjutkan, mengenai apa yang ia telah rasakan, “19 tahun ini, saya rasakan lama sekali, seperti apa yang dikatakan Cak Nun, kita ini harus belajar menikmati proses, maka 19 tahun menjadi tidak terasa. Tapi saya sendiri merasakan bahwa perjalanan 19 tahun ini perjalanan yang sangat lama.”

Tergambar benar bagaimana Adi Pudjo sangat menikmati proses belajar di Kenduri Cinta. Hal lain yang dapat diambil adalah bagaimana menjaga perasaan gembira dalam menikmati proses perjalanan itu. Meski ia menjadi penggiat yang paling “tua” di komunitas, namun tidak ada senioritas di Kenduri Cinta, jelasnya. Siapa saja dapat langsung bergabung, membaur dan menjadi bagian penting dari komunitas. Semangat egaliter menjadi nilai dasar berkomunitas, sebagaimana Cak Nun telah memberikan teladannya.

Menyambung Adi Pudjo, Pramono menyampaikan bahwa Kenduri Cinta mengajarkannya kesabaran dan kelegaan hati. Seringkali saat mendengar narasumber di forum, kita merasa tidak puas, merasa narasumber tidak jelas, membosankan, bertele-tele dan sebagainya. Pada saat itulah kita belajar kesabaran dan kelegaan hati.

Bagi Fahmi Agustian, Kenduri Cinta adalah tempat kita belajar kesetiaan, tempat mengikatkan diri. Ikatan yang digunakan bisa berbeda talinya, tapi pada intinya kita mengikatkan diri kita pada Maiyah, bukan Maiyah yang mengikat kita. “Hanya di Maiyah kita mau duduk bertahan 6 hingga 8 jam untuk belajar bersama. Rugi jika tidak merasakan kegembiraan di forum ini,” tambahnya.

“Cak Nun sudah dan selalu mengingatkan kita, jika kelak Maiyah tidak ada, kita harus siap. Tetapi, pertanyaan itu justru kembali kepada diri kita: siapkah kita jika Maiyah tidak ada?” Fahmi melanjutkan bahwa kesadaran bahwa suatu hari Maiyah tidak ada adalah kesadaran yang musti kita siapkan. Karena kita menyadari campur tangan Allah di Maiyah. Ada hidayah dari Allah yang sampai kepada diri kita sehingga kita mengenal Maiyah. Hanya rahmat Allah yang menyebabkan kita masih ada selama 19 tahun.

Melewati pukul sembilan malam, forum kemudian menampilkan kesenian pantomim dari Komunitas Indomime. Dilanjutkan Bobby Semberengen yang tampil membawakan musik akustik dengan dua keponakannya. Dua nomor dibawakan oleh Bobby penuh nuansa kegembiraan. Salah satu lagunya adalah puisi karya Umbu Landu Paranggi, Apa Ada Angin di Jakarta, yang ia aransemen ulang.

Setelah jeda berkesenian, forum diskusi kembali dibuka. Sigit dan Tri Mulyana memandunya. Forum mengajak jamaah untuk terlibat membuat lingkaran-lingkaran diskusi kecil, terdiri dari kelompok-kelompok, dimana masing-masing dibekali pertanyaan yang sudah disiapkan Cak Nun. Keempat pertanyaan tersebut adalah:

  1. Apa manfaat Kenduri Cinta yang anda alami untuk pribadi anda, keluarga, atau mungkin masyarakat dan negara?
  2. Apa kritik dan saran anda kepada Kenduri Cinta dan Maiyah. Apa saja yang sebaiknya terus dilakukan dan ditingkatkan, serta apa saja yang sebaiknya dihentikan.
  3. Apa saran anda sebaiknya yang Kenduri Cinta, Maiyah dan Mbah Nun lakukan terhadap Pilpres 2019 dan urusan negara serta pemerintah secara keseluruhan?
  4. Pada suatu hari kalau Tuhan memanggil Mbah Nun ke haribaan-Nya, apakah Kenduri Cinta dan Maiyah diteruskan? Apa peran anda?

Keempat kelompok itu lalu membuat forum diskusi yang lebih kecil dimana hasil diskusi akan disampaikan pada sesi berikutnya. Forum lantas dilanjutkan dengan narasumber Mardigu Wowiek, Ust. Noorshofa, dan Ali Hasbullah.

“Jika besok kiamat tiba, dan di tangan kita ada benih pohon, maka tetap lakukan yang terbaik, yaitu menanamnya.”
Noorshofa Thohir, Kenduri Cinta (Juni, 2019)

KEGEMBIRAAN BERBUAT BAIK

“Kita tidak boleh lelah mencintai NKRI, kita harus tetap mencintai NKRI,” Mardigu Wowiek mengawali paparannya. Mardigu Wowiek adalah pemerhati isu keamanan dan intelejen. Ia menjalani pendidikan intelejen di Amerika. Malam itu ia mengkritisi pembangunan bandara-bandara dan pelabuhan baru yang menurutnya tidak mendukung sistem pertahanan negara. Beberapa pelabuhan baru misalnya, secara teknis kurang ideal untuk berlabuhnya kapal perang TNI.

Cukup panjang paparan Mardigu Wowiek malam itu. Jamaah juga tampak menikmati buliran informasi yang disampaikannya. Apalagi, Mardigu terlihat cukup piawai membawakan materi dengan selipan candaan-candaan yang mengundang tawa para jamaah. Mardigu mengurai persoalan besar yang sedang dihadapi Indonesia terkait dengan konstelasi politik global. Posisi geopolitik Indonesia yang tengah berada diantara perang dagang antara Tiongkok dan Amerika. Seperti halnya negara berkembang lainnya, Indonesia masih menjadi penonton.

Mardigu menyampaikan bahwa musti ada satu hal yang harus segera ditentukan oleh Indonesia. Indonesia harus segera menemukan alchemy-nya, menentukan komoditasnya yang paling berharga, sehingga akan memperkuat perekonomiannya. Jika tidak, maka Indonesia hanya akan menjadi negara konsumen. Mardigu mencontohkan Tiongkok dengan skema ekonomi terapannya yang membuat dunia terhenyak. Tiongkok mengubah citra negara dari yang sebelumnya adalah imitate state kini menjadi innovate state. Kini, Tiongkok menjadi pesaing utama Amerika dan bersiap menjadi negara adidaya berikutnya.

Mardigu memberi ilustrasi, seandainya sumber daya alam Indonesia dikelola baik, maka kesejahteraan rakyat akan terwujud dalam waktu singkat. Mardigu mengambil contoh Arab Saudi yang memilih mengembangkan potensi properti daripada sumber daya minyak. Hal itu karena memang secara ekonomi, datangnya wisatawan ke Arab Saudi lebih menguntungkan. Maka pembangunan hotel-hotel di sekitar masjid Nabawi dan Masjidil Haram terus berlangsung, begitu juga dengan pembangunan infrastruktur pendukungnya. Itulah alchemy-nya Arab Saudi saat ini.

Sekilas, materi yang disampaikan Mardigu Wowiek terlalu berat bagi jamaah. Persoalan geopolitik yang kompleks itu tentu memusingkan. Toh, jamaah tetap menikmatinya. Cak Nun mengingatkan bahwa hal utama yang kita lakukan adalah quu anfusakum wa ahlikum naaron.

Malam itu, bisa jadi ada Saimon dan Markesot yang sedang menikmati forum dari kejauhan, duduk di pojokan, di bawah pohon, sembari menikmati kopi dan kacang rebus, sembari menghisap rokok. Saimon dan Markesot mungkin juga ikut merasakan 19 tahun lalu saat Kenduri Cinta bermula. Saimon dan Markesot memilih untuk menepi, menikmati forum dari kejauhan, nuansa kegembiraan tetap mereka rasakan.

Setelah paparan Mardigu Wowiek, Tri Mulyana lantas mempersilakan Ust. Noorshofa Thohir. Ia memulai dengan, “Jika besok kiamat tiba, dan di tangan kita ada benih pohon, maka tetap lakukan yang terbaik, yaitu menanamnya.” Ust. Noorshofa seakan mengingatkan kita untuk terus melakukan kebaikan, sekecil apapun, hingga akhir masa.

“Urusan kita bukan soal apakah pohon itu akan tumbuh dan berbuah atau tidak, urusan kita adalah ketika ada kesempatan untuk berbuat kebaikan, maka lakukanlah kebaikan itu,” Ust. Noorshofa melanjutkan, “Begitu juga untuk negeri ini, apapun yang bisa kita lakukan, maka lakukanlah. Jangan pernah berhenti untuk melakukan kebaikan.”

Ust. Noorshofa kemudian membaca doa Nabi Khidlir yang diajarkan kepada Nabi Musa AS. Bismillahi maa syaa Allah laa yasuqu-l-khairo illallah, Bismillahi maa syaa Allah laa yashrifu-s-suu`a illallah, Bismillahi maa syaa Allah maa kaana min-n-ni’matin faminallah, Bismillahi maa syaa Allah wa laa haula wa laa quwwata illallah. Ia berpesan agar jamaah juga mengamalkan.

Kenduri Cinta harus tetap menjadi rumah bagi semua orang, menampung siapa saja, saling menjaga dan saling mengamankan.

Ust. Noorshofa mengudar kisah Rasulullah SAW, dimana sejak kecil beliau sudah diyatimkan. Sebelum lahir, ayahanda sudah meninggal dunia, ibunda kemudian menyusul ketika Rasulullah SAW masih kecil. Rasulullah SAW juga diyatimkan dari kemampuan membaca, maka beliau juga dikenal sebagai An Nabi Al Ummiy, dan ketika Jibril datang membawa wahyu yang pertama, Rasulullah SAW pun kebingungan dan menjawab, “Maa ana bi qaari?

Namun demikian, keyatiman Rasulullah SAW justru mampu membangun mental yang tangguh, sehingga ketika datang wahyu sebagai pertanda kerasulan, Rasulullah SAW telah siap secara mental dan spiritual. Saatnya waktunya hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW pun mampu merangkul seluruh penduduk Madinah.

Malam itu, hadir Nanang Hape, seniman wayang dari komunitas Wayang Urban. Nanang Hape mendalami khasanah seni pewayangan. Beberapa kali ia tampil di Kenduri Cinta. Nanang Hape bahagia kembali diberi kesempatan untuk tampil di Kenduri Cinta.

Sebagai seorang seniman wayang, Nanang merasa bahwa durasi acara 7-8 jam di Kenduri Cinta itulah yang mengikat individu yang datang. Ia mengakui kangen dengan Kenduri Cinta, karena di sini ia merasa seperti di rumah sendiri. Meski ia tidak menguasai ilmu bahasa Arab, namun saat ayat-ayat Alquran atau hadits atau khasanah kisah-kisah kenabian diceritakan, ia sering menemukan benang merah dengan khasanah pewayangan. Malam itu, ia membawakan lagu Dudu dan Sari Sepi yang diaransemen dengan apik dan lembut. Kelompok hadrah Darul Islah kemudian membawakan sholawat setelah penampilan Nanang Hape.

Sesi berikutnya adalah acara syukuran 19 tahun Kenduri Cinta. Nasi tumpeng telah disiapkan. Pakde Mus memimpin wirid dan membacakan Al Fatihah dan tahlil. Pakde Mus juga membimbing wirid khusus dari Cak Nun yang malam itu tidak hadir. Wirid dibaca bersama sebanyak 41 kali. Pakde Mus membimbing: Maa syaa Allah laa haula wa laa quwwata illa billah.

Setelah prosesi wirid, secara simbolik Fahmi Agustian menyerahkan potongan nasi tumpeng kepada Syeikh Nursamad Kamba dan Pakde Mus. Nasi tumpeng lalu dinikmati bersama-sama oleh seluruh jamaah. Berkah bagi semuanya, bersyukur menikmati perjalanan Kenduri Cinta.

Sembari jamaah menikmati nasi tumpeng, keempat kelompok diskusi masing-masing bergiliran mempresentasikan hasil diskusi dari pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya dibagikan.

Kelompok pertama diwakili Eka Yuda. Secara umum, kelompok pertama menyatakan, manfaat yang mereka rasakan di Kenduri Cinta adalah tidak mudah terbawa arus, membuka cara berpikir yang baru, memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat di ruang terbuka, juga menambah silaturahmi dengan saudara-saudara yang baru.

Kelompok kedua, diwakili Dimas. Terkait pertanyaan, apa kritik dan saran kepada Kenduri Cinta dan apa saja yang sebaiknya terus dilakukan dan ditingkatkan atau dihentikan, mereka merespon: Kenduri Cinta harus tetap menjadi rumah bagi semua orang, menampung siapa saja, saling menjaga dan saling mengamankan.

Kelompok ketiga, diwakili Marsudi. Terkait pertanyaan, apa saran anda sebaiknya yang Kenduri Cinta, Maiyah dan Mbah Nun lakukan terhadap Pilpres 2019 dan urusan negara serta pemerintah secara keseluruhan, kelompok ini menyampaikan bahwa Kenduri Cinta dan Maiyah tetap menjadi forum yang seperti saat ini, tidak perlu ada legitimasi hukum, apalagi dipadatkan menjadi Ormas. Mereka juga berharap, jamaah Kenduri Cinta bergerak dalam aktivitas yang lebih nyata di masyarakat. Menyikapi Pilpres, kelompok ini berharap Cak Nun tetap berlaku seperti Semar, menyatu dengan rakyat kecil, tidak perlu mendekat kepada penguasa, justru penguasa yang seharusnya datang kepada Cak Nun.

Kelompok keempat, diwakili oleh Ugi. Terkait pertanyaan: jika Tuhan memanggil Mbah Nun ke haribaan-Nya, apakah Kenduri Cinta dan Maiyah diteruskan? Apa peran anda? Kelompok ini merespon bahwa Kenduri Cinta dan Maiyah harus diteruskan, namun ada baiknya seluruh jamaah Maiyah mempelajari bagaimana Islam pasca Rasulullah SAW wafat. Nilai-nilai Maiyah harus dipahami dengan baik, agar tidak ada klaim sepihak oleh segelintir orang yang hanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompoknya saja. Ada dan tidaknya Cak Nun, Kenduri Cinta dan Maiyah harus terus berjalan. Karena manfaat bagi pribadi maupun lingkungan sangat terasa, membangun mental, meneguhkan hati, menjernihkan pikiran, menjadi pribadi manusia yang sesungguhnya yang bisa menghargai manusia yang lainnya.

“Kenduri Cinta adalah ksatria yang tersisa.”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Juni, 2019)

SEGITIGA CINTA MAIYAH

Melewati tengah malam, suasana semakin khusyuk. Lokasi acara yang luas juga membantu tata suara menjadi lebih jernih diterima oleh jamaah. Foto-foto suasana acara berlatar belakang Teater Besar dan konten diskusi bertagar #19TahunKenduriCinta marak di media sosial Twitter. Tagar #19TahunKenduriCinta menjadi topik tren sepanjang malam.

Pada sesi berikutnya, Syeikh Nursamad Kamba tampil ke forum, menyampaikan selamat atas perjalanan 19 tahun Kenduri Cinta. Ia mengucapkan apresiasi setinggi-tingginya kepada para penggiat yang sejak awal ikut menginisiasi forum maupun yang sekarang masih aktif di Kenduri Cinta. Bagi Syeikh Kamba, para penggiat Kenduri Cinta adalah para ksatria yang tersisa yang telah lulus ujian. Melakukan tadabbur surat Al Baqoroh ayat 249, Syeikh Kamba mengisahkan bagaimana pasukan Thalut diuji oleh Allah untuk menyeberangi sungai, mereka dilarang meminum air dari sungai tersebut, kecuali hanya sedikit saja.

“Menurut saya, kalian inilah ksatria yang tersisa seperti kisah pasukan Thalut di ayat tersebut,” Syeikh Kamba menambahkan, “Dunia ini penuh dengan gemerlap cahaya materialisme. Godaan-godaan selebritas itu ibarat sungai yang harus dilalui. Ada yang tergoda, di tengah sungai akhirnya terbawa arus materialisme dunia. Maka, orang-orang yang tidak tergoda, tidak meminum air sungai di saat haus, tidak tergoda oleh dunia, itulah dia ksatria, dan mereka inilah yang akan diamanahi oleh Allah untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan yang besar. Kam min fiatan qoliilatan gholabat fiatan katsirotan biidznillah. Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.”

Malam itu, Syekh Kamba mengawali paparannya dengan membahas isu yang sempat viral, yaitu desain masjid dengan atap berbentuk segitiga, yang kemudian dipandang sebagai bagian dari gerakan konspirasi global, illuminati. Syeikh Kamba menjelaskan, pada surat Al Baqoroh ayat 249 terdapat jawaban atas kekhawatiran tersebut: Innallaha mubtaliikum binaharin faman syariba minhu falaisa minnii wa man lam yath’amhu fainnahuu minnii. Allah akan menguji kamu dengan sebuah sungai. Maka barangsiapa meminum (airnya), dia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia adalah pengikutku.

Berbicara tentang segitiga, ada banyak hal berkaitan dengan segitiga yang juga bisa dikaitkan dengan teori konspirasi. Misalnya segitiga konspirasi di zaman Nabi Musa AS, yaitu Firaun, Haman dan Qarun. Tiga sosok penguasa yang dipenuhi dengan sifat sombong. Dua sosok yang memahami hukum tetapi tidak menegakkan hukum dan sosok yang kaya raya namun penuh dengan kelicikan.

Sementara itu, ada juga simbol segitiga kota yang disucikan di dalam Islam; Mekkah, Madinah, dan Al Aqsha. Di Maiyah sendiri, kita memiliki filofosi segitiga cinta Maiyah; Allah, Rasulullah dan manusia sebagai khalifatullah. Maka, tidak semua hal bertema segitiga lantas dianggap bagian dari iluminati.

Syeikh Kamba memungkasi dengan melakukan tadabbur surat Al Ankabut: wa-l-ladziina jaahaduu fiina lanahdiyannahum subulanaa wa innallaha lama’a-l-muhsiniin. Menurut Syeikh Kamba, berkumpulnya kita semua di Maiyah adalah dalam rangka berusaha menjadi orang yang menikmati kegembiraan dalam berbuat kebaikan.

Lailatul qadar adalah saat kita diberikan pencerahan oleh Allah Swt untuk melihat sesuatu dengan apa adanya.”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Juni, 2019)

Pada kesempatan berikutnya, Syekh Kamba mengudar hikmah tentang lailatul qadar. Menurut Syeikh Kamba, lailatul qadar diturunkan oleh Allah kepada seluruh umat manusia, hanya persoalannya apakah setiap diri kita memiliki receiver yang mampu menangkap lailatul qadar atau tidak. Selaras Cak Nun pernah menyampaikan bahwa lailatul qadar bukan hal mistis, bukan peristiwa yang tidak bisa digapai oleh manusia biasa. Kapan saja kita mampu mencapai hikmah tadabbur dari nilai yang terkandung di dalam Alquran pada saat itulah kita mendapat lailatul qadar.

“Menurut saya, lailatul qadar adalah saat kita diberikan pencerahan oleh Allah Swt untuk melihat sesuatu dengan apa adanya,” lanjut Syeikh Kamba. Ia mencontohkan, bagaimana dirinya melihat sosok Cak Nun dibanding orang lain melihat sosok Cak Nun tentu akan berbeda. Disitulah perbedaan receiver yang dimaksud.

Dijelaskan oleh Syeikh Kamba, bagaimana Cak Nun selalu melibatkan Allah dan Rasulullah Saw dalam setiap langkah perjuangannya. Hal itu makin menegaskan bahwa Maiyah adalah jalan kenabian. Syeih Kamba kembali mengulas 5 prinsip kenabian yang secara alami terbangun di Maiyah, bukan direncanakan, bukan pula direkayasa, apalagi dibuat-buat. 5 prinsip tersebut adalah; kemandirian, kesucian jiwa, kebijaksanaan, kejujuran dan cinta kasih.

Dijelaskan juga oleh Syeikh Kamba, pengertian agama menurut para ulama; wad’un ilahiyyun syaaiqun lidawil ‘uquli salimah lisa’adatid daraini, artinya wahyu Allah diturunkan untuk manusia yang berakal sehat agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dua tempat yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Pada konsep ini, Tuhan tidak bisa dikonsepkan, tidak bisa didefinisikan. Maka, agama tidak bisa diajarkan secara konsep dan teori saja. Maka Rasulullah Saw berdakwah tentang Islam tidak secara teori, melainkan secara praktek, dimana dampaknya dirasakan langsung oleh orang-orang disekitarnya.

Memungkasi paparannya, Syeikh Kamba menambahkan bahwa Maiyah bisa juga dikategorikan dalam wilayah tarekat virtual. Cak Nun dipandang oleh Syeikh Kamba mampu menjadi sosok mursyid virtual yang lebih efektif dari mursyid konvensional. Sudah terlalu banyak kisah-kisah yang dialami oleh jamaah Maiyah, bagaimana Cak Nun datang di dalam mimpi-mimpi mereka, tidak hanya sekadar datang dan ditemui di dalam mimpi, tetapi juga ada yang dititipi pesan, ada yang diberi bekal wirid dan sebagainya. Setelah paparan Syeikh Kamba, Pakde Mus meminta grup musik dari Nanang Hape untuk mengiringi membawakan lagu medley syair Abu Nawas-Tombo Ati.

Menjelang pukul tiga dinihari, Kenduri Cinta edisi Juni 2019 dipuncaki dengan doa bersama yang dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba.