TAKFIRI VERSUS TAMKIRY

REPORTASE KENDURI CINTA MEI 2017

TIDAK SEPERTI bulan-bulan sebelumnya, Kenduri Cinta kali ini dilaksanakan pada hari Senin, di awal pekan, bukan Jum’at kedua. Terlihat banyak yang baru pulang dari tempat bekerja, ada yang sudah sempat pulang dulu ke rumah, keduanya lalu bermuara di Taman Ismail Marzuki.

Sejak sore hari tidak ada yang berubah dari persiapan Kenduri Cinta sebagaimana setiap bulannya. Baliho sudah terpasang sejak minggu sebelumnya di halaman luar Taman Ismail Marzuki. Karpet, tenda, sound system dan level pun sudah tertata rapi menjelang maghrib. Langit sedikit mendung, angin berhembus cukup kencang.

Kenduri di hari Senin ini tidak seramai biasanya. Di antara pedagang kaki lima dan angkringan yang menggelar lapak dagangannya, Kenduri Cinta adalah potret kecil di Taman Ismail Marzuki yang meyakinkan bahwa suasana Jakarta sebenarnya aman-aman saja, jauh dari pemberitaan panas politik paska Pilkada DKI Jakarta putaran kedua.

Wirid Ta’ziiz dan Tadzlil, serta Wirid Tahlukah dibacakan oleh Sigit, Hendra, Donny dan Fahmi, yang kemudian dilanjutkan dengan sesi Prolog untuk sekedar mbeber kloso memasuki sesi diskusi yang lebih mendalam. Takfiri Versus Tamkiry adalah sebuah tema yang diusulkan oleh Cak Nun untuk Kenduri Cinta Mei ini. Berangkat apa yang sedang menjadi isu nasional akhir-akhir ini, dimana Islamis dibenturkan dengan Nasionalis, disaat yang bersamaan juga nampak Pluralis dan Liebralis yang dibenturkan. Pemberian label-label itu, yang maknanya saja masih belum disepakati oleh masing-masing individu, sudah nyata semakin meruncingkan keadaan.

MENANG TANPA MERENDAHKAN

POLARISASI YANG terjadi semakin rumit karena jika ada orang yang berpegang teguh dengan nilai-nilai Islam, ia dianggap anti NKRI. Sementara yang berteriak “NKRI harga mati”, dianggap tidak Islamis. Suara yang tidak sesuai dengan suara kelompoknya, segera dianggap sebagai musuh. Sementara suara apapun yang sesuai dengan pendapat kelompoknya akan dianggap kawan, meskipun yang bersuara adalah musuhnya. Dalam beberapa Maiyahan, Cak Nun berpandangan bahwa Bangsa Indonesia saat ini seperti pasien yang sedang sakit parah, tidak tahu akan berobat kemana, dan yang lebih parah lagi tidak ingin diobati penyakitnya.

Sebelum memberikan kesempatan kepada beberapa narasumber yang sudah hadir, Sigit memberi sebuah landasan bahwa dalam falsafah Jawa terdapat sebuah idiom menang tanpo ngasorake. Yaitu, menang tanpa merendahkan. Sigit memiliki pemahaman bahwa kata merendahkan dalam falsafah tersebut tidak hanya berlaku bagi musuh saja, tetapi juga bagi diri sendiri.

Bagaimana kita berlaku dalam sebuah kompetisi misalnya, dan ketika kita memenangkan sebuah pertarungan, kita meraih kemenangan bukan hanya dengan cara merendahkan lawan kita, tetapi juga dengan cara tidak merendahkan diri sendiri. Ketika seorang petarung mengalahkan lawannya dengan kecurangan, maka kecurangan yang ia lakukan pada akhirnya merendahkan martabatnya sendiri sebagai seorang petarung. Amsal ini sangat mungkin untuk diaplikasikan di berbagai jenis profesi, bukan hanya dalam bidang olahraga.

Menyambung Sigit, Adi Pudjo mengawali paparannya dengan menyampaikan apresiasi kepada Jamaah Kenduri Cinta yang tetap hadir meskipun Kenduri Cinta dilaksanakan di hari Senin. Adi mencoba menjelaskan secara sederhana apa itu Takfiri dan apa itu Tamkiry.

Secara sederhana, Takfiri adalah sebutan untuk pihak yang menuduh orang lain Kafir, sementara Tamkiry adalah sebutan untuk pihak yang menuduh orang lain berbuat Makar. Kemudian, Ali Hasbullah bercerita pengalaman pribadinya, ketika mengakses media sosial ia mendapati bahwa polarisasi yang terjadi di lingkaran terdekatnya pun sudah sangat memprihatinkan. Padahal, media sosial pada awalnya ia gunakan untuk menjalin kembali silaturahmi dengan teman-teman lama yang sudah jarang bertemu, tetapi justru hari-hari ini teman satu almamater bisa saling bermusuhan hanya karena perbedaan pandangan dan pemikiran.

“Di Maiyah kita berlatih untuk menjadi Ummatan Wasathan. Yaitu ummat yang mampu melihat sebuah persoalan dari berbagai sisi, sejalan dengan ilmu Thawaf yang kita pelajari di Maiyah ini,” lanjut Ali. Juga ditekankan oleh Ali Hasbullah, bahwa kita melatih diri masing-masing untuk duduk bersama dalam menyelesaikan sebuah persoalan, karena masing-masing menyadari bahwa tidak ada yang berhak merasa paling benar sendiri. Prinsip-prinsip di Maiyah inilah yang sudah seharusnya menjadi pijakan bagi Jama’ah Maiyah agar tidak mudah terjebak dalam pemikiran-pemikiran sempit yang mengakibatkan perpecahan antar sesama ummat manusia.

Polarisasi yang dimaksud oleh Ali Hasbullah kemudian ditekankan kembali oleh Sigit, dimana saat ini ada kelompok-kelompok yang menganggap orang lain Kafir hanya karena pemahaman agama yang berbeda dari apa  yang ia pahami. Label-label seperti bid’ah, sesat, neraka sangat mudah disematkan oleh gerakan Takfiri ini. Sementara di pihak lain, ada kelompok yang sangat mudah juga menuduh kelompok atau orang lain yang  tidak sependapat dengan menyematkan label-label Intoleran, Radikal, Teroris, Fundamentalis, Anti NKRI, Anti Bhinneka Tunggal Ika, bahkan ada yang diberi label Makar. Sedangkan dengan segala keragamannya, Bangsa Indonesia seharusnya mengutamakan diri untuk mencari rumusan mempersatukan keragaman dalam melangkah bersama membangun Indonesia, bukannya menambah ruwet situasi.

“Maka yang ditekankan di Maiyah adalah keseimbangannya. Kepada yang paling buruk sekalipun, kita mencari kebaikannya. Kepada yang paling baik pun, kita tidak akan silau atas semua yang melekat dalam dirinya”,
Fahmi Agustian Kenduri Cinta (Mei, 2017)

Fahmi kemudian menambahi uraian sesuai dengan yang sudah dirilis di Mukadimah Kenduri Cinta, bahwa isu yang sangat laku untuk di-blow up akhir-akhir ini adalah isu Populis. Di Amerika misalnya, Donald Trump ketika kempanye pencalonan Presiden, yang diserang adalah Islam dan ras kulit hitam, meskipun pada akhirnya ketika menjadi Presiden, Trump memutuskan untuk mendekati Islam. Di Indonesia pun tidak jauh berbeda, bagaimana isu-isu Islam dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk kepentingan Politik. Salah satu isu yang berkembang akhir-akhir ini adalah isu tentang HTI yang dianggap hendak merubah ideologi NKRI.

Mengutip esai terbaru dari Cak Nun; Khalifah Islam dan Khilafah Silmi, bahwa seandainya Bangsa Indonesia atau sekelompok orang yang ada di Indonesia ingin merubah ideologi Negara, katakanlah HTI ingin merubah Pancasila dengan ideologi Khilafah, jalannya tidak akan semudah yang mereka kira. Jangankan dengan elemen bangsa yang berbeda keyakinan, dengan sesama ummat muslim saja sudah pasti akan berbenturan, dan tidak mudah menghindari konflik besar yang akan terjadi jika perubahan ideologi tersebut tetap dipaksakan. Oleh karenanya pula, Cak Nun juga Cak Fuad mengajak Jama’ah Maiyah untuk memahami betul ayat Udkhuluu fi-s-silmi kaffah. Yang perlu digaris bawahi dari ayat ini adalah, bahwa Allah tidak menggunakan kata Islam, melainkan Silmi.

Reformasi 1998 merupakan satu tonggak sejarah di Indonesia yang awalnya memimpikan perubahan. Namun, justru para pelaku Reformasi itu sendiri yang tidak serius menjalani Reformasi setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden. Dan, menjadi semakin terbukti bahwa tujuan dilengserkannya Soeharto bukan hanya perkara bahwa Soeharto itu pemimpin diktator yang korup, yang sudah terlalu lama berkuasa, tetapi ada pihak lain yang ingin merasakan kekuasaan yang pernah dirasakan oleh Soeharto.

Sementara itu, di era internet hari ini, opini publik, terutama kelas menengah keatas sangat mudah digiring dan dibenturkan satu sama lain. Ketika satu isu dihembuskan, seketika juga muncul polarisasi dua kubu untuk dibenturkan.

Dengan teknologi kita dimungkinkan untuk melacak jejak-jejak digital yang pernah ditinggalkan oleh para pengguna Internet. Sayangnya, kemajuan teknologi ini tidak diimbangi dengan kepekaan dan kesiapan mental manusia Indonesia dalam menyaring informasi yang didapatkan. Semakin hari yang terlihat justru semakin banyak orang menelan informasi tanpa melakukan verifikasi.

Begitu juga dengan fenomena pengkultusan terhadap individu yang terjadi diluar batas kewajaran, demikian juga kebencian yang sudah sangat berlebihan. “Maka yang ditekankan di Maiyah adalah keseimbangannya. Kepada yang paling buruk sekalipun, kita mencari kebaikannya. Kepada yang paling baik pun, kita tidak akan silau atas semua yang melekat dalam dirinya”, pungkas Fahmi.

“Ketika kita gagal memfilter informasi yang kita terima, maka informasi tersebut akan menjadi bumerang bagi kita sendiri”, Tri Mulyana mengawali paparannya. Fenomena mengkafir-kafirkan orang lain, tercatat oleh Tri Mulyana baru muncul setelah tahun 2000-an. Ia menegaskan apa yang sudah disampaikan oleh Ali dan Fahmi, bahwa masyarakat hari ini seolah-olah terbagi dalam 2 kutub besar yang selalu dibenturkan satu sama lain, dengan isu-isu yang terus menerus diperbaharui untuk membenturkan.

Tri Mulyana mengambil benang merah dari fenomena Pilkada Jakarta yang baru saja berlalu, bahwa dalam sebuah kompetisi pada akhirnya kesiapan mental untuk kalah jauh lebih utama untuk dilatih. Sebab, mental merayakan kemenangan sudah otomatis tertanam dalam diri manusia. Siapa yang tidak ingin bergembira? Siapa yang tidak ingin merayakan pesta kemenangan? Tetapi, mental untuk menerima kekalahan harus dilatih, harus dipersiapkan, harus dipupuk, karena pada faktanya semua orang tidak siap untuk merasakan kekalahan.

Sigit kemudian melengkapi paparan para narasumber di sesi prolog, seperti yang sudah pernah disampaikan oleh Cak Nun di Maiyahan beberapa tahun lalu, bahwa di atas Hukum ada Moral yang posisinya lebih utama. Cak Nun pernah mencontohkan apabila di jalan kita melihat ada orang jatuh atau kecelakaan, kemudian kita bersikap acuh untuk tidak menolongnya, maka secara Hukum kita tidak akan dinyatakan bersalah, tetapi tentu berbeda penilaiannya secara moral.

Sigit kemudian memberikan kesempatan kepada Jama’ah untuk merespon di sesi Prolog ini. Fahri, seorang Jama’ah asal Jakarta mengungkapkan bahwa mengambil jeda dari hiruk pikuk situasi politik itu ternyata cukup manjur untuk memberikan ketenangan dalam hidup. Satu contoh yang sudah ia lakukan adalah dengan memutuskan tidak mengakses internet hingga hari ini. Ia sudah menutup akun media sosial yang pernah dibuatnya, begitu juga dengan cara berkomunikasi yang ia gunakan, disaat banyak orang memilih untuk menggunakan aplikasi pengolah pesan di telepon seluler yang semakin canggih, ia justru memutuskan untuk kembali menggunakan fasilitas pesan singkat (SMS).

Lain lagi dengan Ismail Hasan, seorang Soekarnois yang berasal dari Blitar. Pengalaman yang ia alami adalah betapa susahnya menjalani kehidupan melawan arus diantara orang-orang yang memiliki ideologi seragam. Sebagai pengagum Bung Karno, ia bergaul dengan orang-orang yang mendukung Ahok dalam Pilkada Jakarta lalu, tetapi ia memilih untuk tidak mendukung Ahok. Akibatnya, ia dianggap sebagai orang yang Radikal dalam berislam. Ia juga tidak setuju dengan anggapan bahwa kekalahan Ahok adalah kekalaan NKRI, kekalahan Ahok adalah kekalahan Bhinneka Tunggal Ika. Ungkapan-ungkapan tersebut baginya tidak berguna sama sekali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Seakan menegaskan apa yang disampaikan oleh Tri Mulyana sebelumnya, bahwa mental untuk menerima kekalahan memang sangat perlu untuk ditanamkan dalam diri setiap manusia di muka bumi ini.

Selanjutnya, untuk jeda sebelum memasuki diskusi sesi pertama, Jimmi Hip Hop tampil membawakan beberapa nomor lagu karya mereka.

TIGA GOLONGAN MANUSIA YANG MERUGI

SETELAH PENAMPILAN Jimmi Hip Hop, Sigit mempersilahkan Kiai Muzammil dan Ust. Noorshofa untuk bergabung di depan. Kehadiran keduanya menjadi sebuah anugerah tersendiri, karena sudah lama mereka tidak bisa menghadiri Kenduri Cinta.

Di awal, dengan gaya ceramahnya yang jenaka, Ust. Noorshofa mengingatkan Jama’ah bahwa sebentar lagi kita akan menyongsong bulan suci Ramadhan dan sudah semestinya kita memasuki bulan penuh berkah itu dengan penuh kesyukuran atas segala nikmat yang sudah diberikan oleh Allah swt.

Mengutip salah satu pesan dari Rasulullah SAW, Ust. Noorshofa menyampaikan bahwa salah satu dari 3 golongan manusia yang paling rugi semasa hidup di dunia adalah mereka yang tidak mengucapkan sholawat ketika nama Rasulullah SAW disebut. Kenapa bersholawat, Ust. Noorshofa menegaskan, bahwa Allah beserta Malaikat pun bersholawat kepada Rasulullah SAW. Terlebih lagi kita sebagai manusia biasa, dimana syafaat Rasulullah SAW adalah syarat utama agar kelak kita mendapat rahmat Allah berupa surga. Dan, terkait surga, Ust. Noorshofa juga mengingatkan Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa bukan ibadah dan amal perbuatan yang kelak menyebabkan kita dimasukkan ke surga, melainkan atas rahmat Allah kita dimasukkan ke surga.

Ada sebuah cerita, tentang seorang hamba yang ahli ibadah, namun di Lauhul Mahfudz namanya tertulis sebagai salah satu ahli neraka. Suatu hari, Malaikat diizinkan untuk melihat Lauhul Mahfudz dan mendapati hamba Allah yang ahli ibadah tersebut tercantum namanya dalam daftar ahli neraka. Malaikat tersebut kemudian turun ke bumi dan menemui hamba Allah yang ahli ibadah itu dan menyampaikan bahwa dirinya ditakdirkan sebagai ahli neraka. Ketika informasi tersebut disampaikan oleh Malaikat, ia mengucapkan; Alhamdulillah. Ia sangat ridhlo jika memang kelak ia ditempatkan di neraka, ia menyadari bahwa ibadah yang ia lakukan bukanlah aktifitas yang bertujuan pamrih agar mendapatkan surga. Ia menyadari bahwa neraka pun milik Allah, maka ia ridhlo dan mengucapkan Alhamdulillah jika memang Allah mentakdirkannya untuk ditempatkan di neraka kelak. Setelah ia mengucapkan Alhamdulillah, Allah kemudian merubah takdir hambanya itu menjadi ditempatkan di surga. Malaikat pun kemudian bertanya kepada Allah mengapa takdir itu dirubah, Allah menjawab karena hambanya itu tadi mengucapkan Alhamdulillah.

Dari kisah tersebut, setidaknya kita bisa mengambil hikmah bahwa keridoan kita terhadap apa yang sudah digariskan dan ditakdirkan oleh Allah merupakan hal yang utama agar kita mendapat imbal balik rido dari Allah atas semua yang kita perbuat semasa hidup kita. Dan, sebaliknya, kita seringkali lebih mengutamakan agar apa yang kita perbuat mendapat ridhlo dari Allah, tanpa terlebih dahulu kita bersikap ridhlo atas semua yang ditakdirkan oleh Allah kepada kita.

Kemudian, golongan kedua yang paling merugi dalam hidupnya adalah orang yang hidup bersama orang tuanya tetapi ia tidak berbakti kepada kedua orang tuanya tersebut semasa hidupnya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa rido Allah tergantung pada rido kedua orang tua, begitu juga dengan murka Allah yang tergantung pada murka kedua orang tua kita.

“Dan, golongan ketiga manusia yang paling merugi dalam hidupnya ialah mereka yang diberi kesempatan bertemu dengan bulan Ramadhan tetapi dosa-dosanya tidak terampuni selama bulan Ramadhan karena ia menyia-nyiakan dan melewatkan bulan Ramadhan berlalu begitu saja, tanpa dipenuhi dengan ibadah yang semakin mendekatkan dirinya kepada Allah swt,” pungkas Ust. Noorshofa.

Sebelum memberikan kesempatan kepada Kiai Muzammil, Sigit mengajak jama’ah untuk bersholawat nariyah bersama-sama.

“Dan, golongan ketiga manusia yang paling merugi dalam hidupnya ialah mereka yang diberi kesempatan bertemu dengan bulan Ramadhan tetapi dosa-dosanya tidak terampuni selama bulan Ramadhan karena ia menyia-nyiakan dan melewatkan bulan Ramadhan berlalu begitu saja, tanpa dipenuhi dengan ibadah yang semakin mendekatkan dirinya kepada Allah swt,”
Noorshofa Tohir, Kenduri Cinta (Mei, 2017)

“DARI SEGI bahasa, kata Takfiri itu berasal dari kata Kufrun”, Kiai Muzammil pun mengawali paparannya. Kiai Muzammil menjelaskan dari segi bahasa bahwa kata Kafaro-Yakfuru-Kufrun artinya Kafir, kemudian dalam Ilmu Shorof mengalami perubahan menjadi kosa kata intransitif, menjadi Kaffaro-Yukaffiru-Takfiiron, yang artinya mengkafirkan. “Kalau Kafaro, maka memang orang tersebut melakukan perbuatan Kafir. Sementara Takfiiron, maka yang dimaksud adalah ada pihak yang mengkafirkan pihak lain. Sehingga, yang dikafirkan itu belum tentu Kafir, karena hanya berdasarkan persepsi dari orang lain”, tutur Kiai Muzammil.

Apabila ada orang yang dituduh Kafir oleh orang lain (Takfir), maka tidak usah berkecil hati. Karena tuduhan orang lain itu sejatinya tidak berpengaruh sedikitpun di hadapan Allah. Begitu juga, jika ada orang yang menganggap orang lain itu sangat Islami, orang yang dianggap sangat islami itu jangan berbangga hati, karena penilaian Islam atau tidaknya seseorang bukan dinilai oleh manusia. “Nggak perlu sebenarnya ada keinginan agar dianggap sebagai orang yang paling Islam diantara manusia. Karena yang seharusnya dilakukan adalah berusaha menjadi orang Islam”, lanjut Kiai Muzammil.

Kiai Muzammil berpendapat, bahwa adanya tambahan huruf “I” dibelakang kata Takfir, membuat kata Takfiri berubah menjadi kata sifat dari yang sebelumnya adalah kata kerja. Kata Takfiri, menurut Kiai Muzammil memiliki arti mudah mengkafir-kafirkan orang lain. Karena, jika Takfir, asalkan sudah melalui proses penelitian, kajian yang mendalam dan dalil-dalil yang kuat, menurut Kiai Muzammil aslinya tidak menjadi masalah. Tetapi, fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini, adalah mudahnya orang mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang kuat.

Begitu juga dengan kata Tamkiry. Kiai Muzammil mengajak jama’ah untuk mengembalikannya terlebih dahulu kedalam bahasa arab, karena pemahaman makar hari ini yang beredar di masyarkat berbeda dengan kata Makar yang ada di dalam Al Qur’an. Seperti halnya Takfiri, kata Tamkiry juga menjadi kata sifat yang memiliki pemahaman gampang menuduh orang lain berbuat Makar.

Kiai Muzammil kemudian membuka file digital Kitab Faisholu-t-tafriiqoh baina-l-islam wa-z-zandaqoh li-l-imam Abu Hanif Imam Al Ghazali, salah satu karya terbaik karya Imam Al Ghazali. Kitab yang disusun pada tahun 450 Hijriah ini menunjukkan bahwa fenomena Takfiri sudah muncul sejak saat itu. Pada era Al Ghazali, sudah banyak orang yang mudah mengkafirkan orang lain hanya karena berbeda dalam pandangan mazhab.

Dalam kitab tersebut AL Ghazali menyebut bahwa saat itu orang yang mengikuti As’ariyah sangat mudah mengkafirkan orang yang mengikuti Mu’tazilah. Begitu juga sebaliknya, kelompok Mu’tazilah mengkafirkan kelompok As’ariyah. Hal tersebut disebabkan karena fanatik buta di masing-masing kubu. Maka, Al Ghazali menyatakan bahwa tidak dibenarkan orang dengan mudah mengkafirkan orang lain, kecuali orang-orang yang memiliki sifat-sifat; jika hatinya sudah bersih dari kotoran-kotoran dunia, menjalani ritual ibadah yang sangat istiqomah baik wajib maupun sunnah, hatinya terbiasa berdzikir, akal fikirannya jujur, perilakunya terjaga dengan perbuatan-perbuatan syar’i. Maka syarat-syarat itulah yang harus dipenuhi oleh seseorang jika ingin mengklaim orang lain sebagai kafir.

Menjelaskan kata Makar melalui perpspektif Al Qur’an, Kiai Muzammil menjelaskan, bahwa dalam Al Qur’an yang dimaksud dengan Makar adalah perbuatan tipu daya. Maka, makar yang dimaksud di dalam Al Qur’an adalah perilaku yang menipu orang lain.

Kiai Muzammil mencontohkan dalam peristiwa yang sederhana, ketika ada orang yang memuji orang lain, tetapi tujuannya adalah hanya mengambil keuntungan untuk pribadinya semata, maka perilaku ini bisa dikategorikan dalam perbuatan makar. Begitu pula dengan orang yang berteriak mendukung Pancasila, NKRI harga mati dan lain sebagainya dengan teriakan-teriakan Nasionalisme, sementara secara fakta dia sebenarnya sedang menginjak-injak harga diri Bangsa dan Negara akibat perbuatan korupsinya, maka perilaku ini juga masuk dalam kategori makar dalam perspektif Al Qur’an.

Sebelum memasuki diskusi sesi selanjutnya, Sigit lalu mempersilahkan Bobby dan kelompok musiknya  yang bernama Biduan Semberengan membawakan beberapa nomor-nomor lagu sebagai jeda.

“Saya juga membawa kebenaran dari Tuhan. Karena tidak ada kebenaran yang tidak berasal dari Tuhan. Quli-l-haqqo min robbika, semua berasal dari Allah. Kita menafsirkannya, kita mencarinya, kita mencoba, meraba, mencoba menemukan. Tetapi, tidak ada kebenaran yang berasal dari kita”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2017)

PRESISI KEBENARAN, KEBAIKAN, DAN KEINDAHAN

Setelah penampilan Bobby and Friends, Sigit pun mempersilakan kepada Cak Nun, Jose Rizal Manua, Kiai Muzammil dan Ustad Noorshofa untuk naik melanjutkan kembali diskusi.

Cak Nun menyapa jama’ah dengan mengajak semua yang hadir bersyukur memiliki harapan tentang masa depan Jakarta dan juga Indonesia karena hampir seluruh rakyat Indonesia hari ini memiliki idolanya masing-masing, mulai dari Jokowi, Ahok, Anies, Prabowo, Habib Rizieq dan yang lainnya, yang dianggap mampu mewujudkan semua harapan dan cita-cita Bangsa Indonesia. Sekaligus, Cak Nun mengungkapkan kesepiannya, karena selama ini ia merasa sendirian dalam mengidolakan Allah dan Rasulullah SAW yang hingga hari belum pernah benar-benar ditemuinya.

“Saya ingin memulai dari kegembiraan dan rasa syukur. Anda orang Jakarta dan Bangsa Indonesia ini beruntung, anda punya idola, ada yang Habib Rizieq ada yang Ahok. Anda punya harapan dari mereka, anda punya sandaran hati, anda punya masa depan melalui pintu idola-idola anda itu. Anda punya Jokowi, anda punya semua yang sewajarnya dibutuhkan oleh manusia di bumi”, tutur Cak Nun.

“Saya bergembira karena saya tidak hidup untuk saya. Karena saya hidup untuk kegembiraan anda. Sebab kalau saya hidup untuk saya, kegembiraan anda itu menyiksa saya. Karena, saya tidak punya Ahok, saya tidak punya Jokowi, saya tidak punya Habib Rizieq, saya tidak punya idola, saya tidak punya harapan, saya tidak punya orang yang bener-bener saya percaya. Saya hanya punya Allah dan Rasulullah, itupun saya ndak ketemu bener-bener. Saya hanya mencintai dan merindukan mereka, tetapi saya tidak pernah mendapatkan apa yang saya cita-citakan, yang saya harap-harapkan secara pribadi. Alhamdulillah saya memang tidak turun ke bumi untuk membangun apa-apa demi diri saya, karena saya datang ke sini (Kenduri Cinta) untuk melaksanakan rasa berat hati saya kepada anda semua. Rasa tidak tega saya melihat anda semua. Itupun tidak bisa rata-rata seluruh Bangsa Indonesia. Hanya bisa saya sentuh orang-orang yang mau bersentuhan dengan saya, dengan sentuhan-sentuhan yang terbatas,” lanjut Cak Nun.

“Saya juga membawa kebenaran dari Tuhan. Karena tidak ada kebenaran yang tidak berasal dari Tuhan. Quli-l-haqqo min robbika, semua berasal dari Allah. Kita menafsirkannya, kita mencarinya, kita mencoba, meraba, mencoba menemukan. Tetapi, tidak ada kebenaran yang berasal dari kita”, Cak Nun melandasi diskusi sesi kedua dengan penjelasan tentang kebenaran sejati dari Allah.

Ada dimensi kehidupan dimana seseorang melakukan sesuatu karena diperintah oleh Allah dan ada yang melakukan sesuatu karena inisiatif pribadi dengan niat baik, dan apa yang dilakukan tersebut tidak dilarang oleh Allah. Dan, Cak Nun memilih posisi yang kedua. “Itulah sebabnya saya datang kesini untuk bersodaqoh. Dan, saya tidak menuntut apa-apa, saya tidak berharap apa-apa. Ibarat orang menanam saya tidak pernah ingin panen, dan kalaupun ada panen saya tidak pernah ikut-ikut mengambil padinya”, lanjut Cak Nun.

“Saya tidak membawa kebenaran kepada anda. Karena kebenaran bukan untuk saya bawa. Output kebenaran saya bukanlah kebenaran. Karena kebenaran itu sangat goyang, sangat bias. Manusia tidak punya kemampuan untuk menangkap dan menerima kebenaran Allah. Manusia sangat rendah software-nya untuk mengakses kebenaran yang sejati dari Allah. Dan karena manusia berabad-abad tidak mampu mengakses kebenaran dari Allah, akhirnya mereka lelah. Dan, karena mereka lelah, akhirnya mereka ngarang sendiri kebenarannya. Akhirnya mereka bertengkar berdasarkan karangan-karangan mereka masing-masing tentang kebenaran, meskipun mereka sangat yakin dengan karangan itu”, Cak Nun membuka secara perlahan di hadapan raut wajah yang serius menyimak.

“Bahkan yang disebut agama pun karangan-karangan. Yang disebut ideologi pun karangan-karangan. Itu karena ketidakmampuan ummat manusia untuk mengakses kebenaran Allah. Dalam teori dasar Maiyah anda sudah tau ada 3 macam kebenaran; kebenaran sendiri, kebenaran orang banyak dan kebenaran yang sejati. Kita hidup dalam dialektika vertikal kebenaran yang sejati, kebenaran orang banyak dan kebenaran sendiri.”

Cak Nun menjelaskan bahwa kebenaran sendiri tidak mungkin diterapkan dalam diri orang lain.  Dalam lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara, rakyat bersepakat mendirikan DPR, misalnya untuk mengakomodir kebenaran orang banyak. Dan, pada kenyataannya, kebenaran bersama ini tidak membawa kepada sesuatu yang sebelumnya kita harapkan dan cita-citakan. Karena, kebenaran bersama ini menceraikan dirinya dari kebenaran yang sejati. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia. Dan, kebenaran bersama ini dilakukan dengan cara “makar”, mengambil alih kekuasaan Allah. Mereka melakukan itu semua tanpa mau memikirkan dan menerima asal-usul kehidupan ini. Sembari perlahan mengajak jama’ah memasuki ruang pemahaman yang semakin mendalam, Cak Nun  kembali membongkar cara berfikir dari orang kebanyakan saat ini.

Keindahan dalam hal apapun saja, apakah ia termasuk bagian dari kebaikan dan kebenaran, atau keindahan-kebaikan-kebenaran adalah 3 hal yang akan selalu berdialektika terus menerus (?). Seperti halnya Pancasila, apakah difahami sebagai urutan nilai, filsafat, kata-kata mutiara ataukah ia merupakan sistem nilai, satuan harmoni dari kehidupan bersama atau poin-poin sifatnya eskalasi dari sila pertama, menjadi sila kedua dan seterusnya sampai tercapai sila kelima.

“Saya tidak membawa kebenaran kepada anda. Karena kebenaran bukan untuk saya bawa. Output kebenaran saya bukanlah kebenaran. Karena kebenaran itu sangat goyang, sangat bias. Manusia tidak punya kemampuan untuk menangkap dan menerima kebenaran Allah. Manusia sangat rendah software-nya untuk mengakses kebenaran yang sejati dari Allah. Dan karena manusia berabad-abad tidak mampu mengakses kebenaran dari Allah, akhirnya mereka lelah. Dan, karena mereka lelah, akhirnya mereka ngarang sendiri kebenarannya. Akhirnya mereka bertengkar berdasarkan karangan-karangan mereka masing-masing tentang kebenaran, meskipun mereka sangat yakin dengan karangan itu”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2017)

FESTIVAL ORANG SAKIT

DALAM PANDANGAN Cak Nun, di Indonesia hari ini, karena masing-masing individu menyombongkan kebenarannya sendiri-sendiri, maka ada sebuah fenomena dimana jika seseorang pro Pancasila akan dituduh anti Islam dan juga sebaliknya, yang pro Islam akan dianggap sebagai anti Pancasila. Kalau orang tergabung dalam 212 dianggap tidak Bhinneka Tunggal Ika, sementara kelompok 212 menganggap yang merasa Bhinneka Tunggal Ika bukan bagian dari 212, dan seterusnya. Semuanya telah berprasangka terhadap kata-kata yang diucapkannya sendiri. Padahal, Bhinneka Tunggal Ika itu seharusnya bukanlah nama kelompok, faksi, grup atau komunitas. Karena Bhinneka Tunggal Ika adalah menerima semuanya, merangkul semuanya, mengakomodir semuanya, menerima satu sama lain, karena mereka bersatu dalam perbedaan.

“Anda sedang menjalani yang dikontrakkan antara Allah dengan Iblis ketika menciptakan Adam. Sekarang yang berlangsung adalah regulasi itu. Yaitu, satu sistem nilai dimana orang bahagia dan yang lainnya menderita. Orang punya motor, tetangganya cemburu. Orang dapat istri cantik, orang lain cemburu. Kita hidup dalam sistem nilai dimana gelap menyiksa terang dan terang menyiksa gelap. Nah, manusia tugasnya adalah me-manage agar energi listrik positif dan negatif menjadi lampu”, lanjut Cak Nun.

Dalam teknologi, manusia mampu mengkonversi perpaduan energi listrik positif dan negatif menjadi cahaya yang menyala dalam lampu, tetapi energi positif dan negatif selama ini selalu gagal di-manage oleh manusia dalam kebudayaan dan peradaban. Dan, dua tahun terakhir di Indonesia, kita mengalami konslet-konslet yang terus menerus ketika positif dan negatif bertemu.

Kalau Malaikat, bahkan Iblis dan Setan tidak memiliki kemungkinan lain seperti manusia. Manusia apabila mengalami keburukan, ia memiliki kemungkinan untuk merubahnya menjadi kebaikan. Manusia memiliki probabilitas yang sedemikian rupa untuk berbuat baik atau buruk. Sedangkan Setan dan Iblis, hanya memiliki kemungkinan untuk berbuat buruk, dan Malaikat hanya memiliki kemungkinan untuk berbuat baik.

Dan, karena begitu canggihnya teknologi internal manusia tersebut –memungkinkan baik atau buruk-, manusia justru memiliki kecenderungan untuk berinisiatif berbuat buruk, bahkan lebih buruk dari apa yang setan menggodanya. Setan menyuruh manusia korupsi satu juta, ternyata manusia justru sudah melakukan korupsi satu milyar.

“Dan, ide sistem nilai itu berlangsung hari ini, dimana kebenaran dengan kebenaran saling berbenturan”, lanjut Cak Nun. Yang terjadi hari ini setiap manusia memamerkan kebenaran-kebenaran yang mereka yakini. Ahok sangat meyakini kebenaran dalam dirinya dan ia merasa yakin bahwa dirinya benar. Begitu juga dengan Habib Rizieq, ia juga meyakini kebenaran dalam dirinya dan ia yakin bahwa dirinya benar. Mereka masing-masing sangat yakin dengan kebenaran-kebenarannya. Tetapi, pada akhirnya, yang terjadi adalah kebenaran berbenturan dengan kebenaran di muka bumi ini.

Maka, ketika Iblis dahulu protes kepada Allah ketika Adam diciptakan, Allah menyatakan dengan tegas; Anta laa ta’lam wa ana a’lam. Bahwa Iblis sejatinya tidak mengetahui mengapa Allah menciptakan Adam. Iblis yang sebelumnya adalah Kanzul Jannah, dimana ia mengalami kehidupan di Surga yang tanpa konflik, berjalan gemah ripah loh jinawi pada akhirnya memahami mengapa Adam diciptakan. Kehidupan manusia berlangsung dalam dialektika baik-buruk, gelap-terang, hitam-putih, suami-istri dan lain sebagainya. Dialektika konflik dan persaingan berlangsung dalam kehidupan manusia saat ini dan akan berakhir pada hari kiamat kelak.

“Manusia menghabiskan waktunya untuk mempertengkarkan kebenarannya. Apa betul hidup itu untuk mempertengkarkan kebenaran? Apa betul hidup itu untuk mempertandingkan kebenaran?”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2017)

MEMBAHAS TENTANG kebenran, Allah telah memberikan satu pijakan; Quli-l-haqqu min robbika, bahwa Kebenaran itu datangnya dari Allah. Sementara, Allah kemudian juga memberikan regulasi yang sangat liberal; faman syaa’a falyu’min waman syaa’a falyakfur, barang siapa beriman maka berimanlah, barang siapa menghendaki ingkar maka kufurlah. Allah membebaskan manusia untuk meyakini kebenaran yang diturunkan atau untuk mengingkari kebenaran tersebut. Bebas.

Sementara, manusia hari ini menginginkan agar kebenaran yang ia yakini juga diyakini oleh orang lain. Manusia memaksakan kebenarannya untuk juga diyakini oleh orang lain sebagai kebenaran, sehingga yang terjadi saat ini kita melihat manusia satu sama lain saling bertengkar mempertentangkan kebenarannya masing-masing. Kompleksitas persoalan ini kemudian melahirkan sistem dimana yang berlaku adalah benar dan salah, bukan baik atau buruk, indah atau tidak indah.

Menurut Cak Nun, bahwa kebenaran pun pada akhirnya adalah sebuah eskalasi dari sebuah sistem nilai, bukan rumusan baku. Ia mengibaratkan bahwa kebenaran itu adalah tanah, yang diatasnya tumbuh sebuah pohon, yang tumbuh itulah kebaikan. Dan, di atas pohon kebaikan itu adalah keindahan yang berupa kesetiaan yang merawat pohon-pohon.

Manusia modern hari ini membeadakan eskalasi antara baik dan buruk adalah urusan agama, benar dan salah adalah urusan akademis, kemudian indah dan tidak indah hanya dibatasi dalam wilayah kesenian. Dan, di Maiyah, kita melatih diri kita untuk terus menerus terbiasa berdialektika antara kebenaran-kebaikan-keindahan. “Maksud saya sebenaranya adalah, anda jangan sampai terjebak oleh kebenaran. Anda harus bisa berpijak di atas kebenaran. Tetapi, kebenaran bukanlah rumah yang engkau bangun, apalagi kebenaran dunia,” tutur Cak Nun.

“Indonesia ini ndak punya masalah. Yang punya masalah itu orangnya. Yang bermasalah manusianya, pemerintahnya. Dan, puncak masalah manusia Indonesia adalah karena mereka merasa tidak punya masalah. Maka mereka tidak mencari solusi, mereka tidak mau bertanya”, kata Cak Nun.

“Sakit tetapi tidak mengerti kalau dia sakit, dan dia marah kalau dikasih tau bahwa dia sakit. Dan, saling menuduh orang lain yang sakit, padahal dirinya juga sakit. Jadi, ini festival orang sakit, dan puncak dari festival tersebut adalah tidak seorangpun bener-bener merasa sakit,” lanjut Cak Nun.

Salah satu harapan Cak Nun dari Jama’ah yang menyimak adalah bahwa sepulang dari Kenduri Cinta sanggup berfungsi sebagai ‘suspensi’ bagi Bangsa Indonesia. Suspensi adalah komponen yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan sebuah kendaraan, apapun medan jalan yang dilewati.

Cak Nun juga mengingatkan kepada Jama’ah agar tidak bersandar kepada sesama manusia, bahkan kepada Cak Nun juga. Karena, di Maiyah sejak awal sudah ditekankan tidak ada kultus individu kepada siapapun. Di Maiyah tidak ada tokoh sentral, tidak ada penokohan, tidak ada pengkultusan.  Karena yang utama di Maiyah adalah Allah dan Rasululllah SAW.

Maiyah menerima siapapun saja untuk datang, tanpa melihat latar belakangnya baik agama, pendidikan, suku, ras, bangsa dan sebagainya. Karena, yang ditanamkan di Maiyah adalah bahwa kebenaran yang diyakini oleh masing-masing individu hanyalah bekal, dan output dari kebenaran itu adalah keindahan. Keindahan itulah yang kemudian dinikmati bersama-sama.

Kebenaran itu input, bukan output. Kebenaran itu tanahnya, bukan tanamannya. Tanaman dari Kebenaran adalah Kebaikan, diatasnya adalah Kemuliaan dan Keindahan, dan puncaknya adalah Kemukten atau Mukti.

Selanjutnya, keoada Jose Rizal Manua, Cak Nun kemudian mempersilahkannya membaca beberapa puisi karya sendiri; Ibukota Kotaibu, Biarin Taipan dan Ini lagu terpendek di dunia. Puisi-puisi sarkasme yang sangat menyindir situasi dan kondisi Bangsa Indonesia hari ini.

“Saya ingin tegasakan kepada anda bahwa saya tidak anti Ahok. Saya tidak boleh anti Ahok. Allah melarangnya, karena dia juga ciptaan Allah. Saya tidak boleh anti makhluk Allah. Saya banyak tidak setuju dengan kelakuannya, saya banyak tidak kerasan dengan mulutnya, saya banyak tidak tenang dengan output-output sosial politiknya. Tetapi, itu tidak membuat saya anti kepada manusianya,” tutur Cak Nun sembari menambahkan bahwa dalam waktu dekat ada 12 perwakilan Pastur-pastur yang memiliki kecenderungan anti Ahok. Dan, Cak Nun juga akan menerima mereka.

“Silahkan engkau hidup dengan kebenaranmu masing-masing. Tentang iedologi politik, tentang pemerintahan, tentang Allah, tentang apapun saja. Tetapi simpan di dalam hatimu. Keluarnya dari dirimu adalah manfaat bagi orang lain, toleransi bagi orang lain, tidak memaksakan apapun kepada orang lain. Lindungi semua orang hartanya dari pencurianmu, lindungi semua harga diri orang dari penghinaanmu, lindungi nyawa semua orang dari pembunuhanmu,”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2017)

“KEBENARAN ITU silahkan dicari tetapi jangan diterapkan kepada orang lain,” Cak Nun kembali menegaskan bahwa kebenaran yang diyakini oleh masing-masing individu, merupakan input bagi setiap orang. Ibarat seperti dapurnya sebuah warung makan, yang diletakkan di depan warung adalah masakan hasil olahan dapurnya, bukan yang ada di dapur. Maka, output kebenaran adalah kebaikan, dan itulah yang kita perlihatkan dihadapan orang lain.

Merespon isu tentang Khilafah Islamiyah yang akhir-akhir ini kembali menjadi bahan pembicaraan banyak orang, Cak Nun sendiri sudah menulisnya dalam sebuah esai “Khilafah Islam dan Khilafah Silmi”. Cak Nun mengungkapkan ia tidak anti terhadap Khilafah Islamiyah, hanya saja karena di Indonesia sudah terlanjur disepakati terlebih dulu adanya sebuah ideologi dan sistem pemerintahan yang ada saat ini. Bahwa, kemudian ada kemungkinan kita memperbaikinya, mari dirembug bersama. Seperti sebuah mobil, mungkin harus ganti ban, mungkin harus ganti oli, mungkin harus dibersihkan interiornya. Begitu seharusnya yang kita lakukan.

Dalam Islam, Allah sudah menegaskan; Laa yukallifullaha nafsan illa wus’aha. Allah tidak akan member beban kepada manusia melebihi dari kemampuannya. Yang terpenting bagi manusia adalah menjaga kesucian sejak dalam fikiran, bahwa dalam kondisi apapun 4×4 adalah 16. Itulah kesucian yang harus kita jaga. Apapun kondisinya, siang maupun malam, siapapun koalisi partai politiknya, 4×4=16. Itulah kesucian.

Maka, kebenaran adalah bekal setiap orang untuk menghasilkan output berbuat baik kepada orang lain. Seperti halnya bumbu-bumbu masakan, baik kemiri, ketumbar, bawang putih, garam dan lain-lainnya outputnya bukan masing-masing bahan itu sendiri, tetapi outputnya bisa menjadi gado-gado, sayur lodeh, sayur asem dan lain sebagainya. Inilah yang disebut teknologi sosial untuk menciptakan harmoni dan keindahan dalam kebersamaan.

Menurut Cak Nun, tidak semua yang berlaku dalam kehidupan ini harus kita setujui. Tidak semua harus memenuhi sesuai kebenaran kita. Meskipun kita tahu bagaimana dunia seharusnya berlaku menurut kita, tetapi dunia tidak harus berlangsung seperti kemauan dan kebenaran kita. Biarkan dunia berlangsung apa adanya seperti ini, karena yang ditagih oleh Allah kelapangan dada kita, keikhlasan hati kita dan keluasan fikiran kita. Dan, kelak, Allah akan menerima kita atas dasar Rahmat dan perkenannya kepada kita.

NKRI HARGA MATI, WHAT NEXT?

KIAI MUZAMMIL kemudian dipersilahkan oleh Cak Nun untuk turut menambah khasanah keilmuan melengkapi yang disampaikan oleh Cak Nun sebelumnya.

“Jadi, kebenaran itu memang mestinya tidak dijadikan output. Kenapa ada fenomena pengkafiran dan pemakaran, karena ketika orang meyakini dirinya benar, terus kebenaran itu diaplikasikan sebagai output”. Lalu, Kiai Muzammil menambahkan Al Qur’an Surat Al Kahfi ayat 29; Wa quli-l-haqqu min robbikum, faman syaa’a fa-l-yu’min wa man syaa’a fa-l-yakfur, Dan, katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.

Dalam Ayat yang lain, yaitu dalam Surat Al Baqoroh ayat 147 disebutkan Al haqqu min robbika fala takuunanna mina-l-mumtariin, kebenaran itu datang dari Rabb mu, jangan sekali-kali kamu menjadi orang yang ragu. Maka, dalam pandangan Kiai Muzammil, teriakan NKRI harga mati itu bukanlah yang paling substansial dalam Nasionalisme. Karena, yang paling penting adalah output dari teriakan NKRI harga mati. Kenyataan bahwa Indonesia sudah merdeka adalah bukti bahwa NKRI harga mati, maka yang harus kita lakukan sekarang adalah memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk apa kita berteriak NKRI harga mati apabila akhirnya ketimpangan sosial masyarakat di Indonesia masih terus terjadi hingga hari ini. Begitu juga dalam skala ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Jangan yang dipertengkarkan adalah bagaimana masing-masing dari kita beribadah, karena itu hanyalah input. Yang dibutuhkan oleh masyarakat kita adalah efek dari ibadah yang kita lakukan setiap hari.

Akhir-akhir ini, banyak sekali gerakan sholat subuh berjama’ah di berbagai kota, menurut Kiai Muzammil, itu baik tapi bukan untuk dipamer-pamerkan. Karena, yang lebih substansial adalah apa yang dilakukan setelah Sholat Subuh berjama’ah itu. Kalau yang korupsi tetap korupsi, yang menyakiti orang lain tetap menyakiti orang lain, yang berlaku dzalim tetap berlaku dzalim, lantas untuk apa Gerakan Sholat Subuh berjama’ah dipamer-pamerkan?

Statemen NKRI Harga Mati, itu juga baik. Tetapi, yang lebih substansial adalah bagaimana kemudian Pemerintah mengelola Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dengan baik, sehingga tidak terjadi lagi ketimpangan sosial di masayarakat, kekayaan alam dikelola untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia, agar juga dinikmati oleh generasi yang akan datang, lapangan pekerjaan yang banyak sehingga semakin sedikit angka kemiskinan di Indonesia. Pada prinsipnya, sila ke 5 dari Pancasila itu harus terwujud.

Ust. Noorshofa lantas menambahkan bahwa yang menjadi kunci dari segala ibadah kita adalah keimanan kita. Ia mengisahkan ketika baju Nabi Yusuf AS berhasil menyembuhkan kebutaan Nabi Ayyub AS, hal itu dikarenakan keimanan kedua Nabiyullah tersebut yang sudah sangat tinggi. Seperti ketika Bilal yang sangat istiqomah menjaga sholat sunnah wudhu yang selalu ia lakukan, sehingga kemudian ada ungkapan bahwa langkah kaki Bilal sudah berada di langit sebelum ia wafat. Juga, seorang Sahabat Rasulullah SAW pernah memohon sebuah permintaan agar ia tetap bersama dengan Rasulullah SAW hingga di surga kelak, Rasulullah SAW kemudian berpesan agar ia menjaga sujudnya kepada Allah SWT, dalam kondisi apapun. Dengan ungkapan-ungkapannya Ust. Noorshofa serasa sedang menyampaikan sebuah pesan bahwa keindahan dari kebenaran Iman yang kita yakini adalah perilaku kita yang sehari-hari.

Cak Nun pun kembali menegaskan, bahwa kebenaran itu ibarat adalah sebuah benih, yang kemudian akan tumbuh tanaman atau pohon dari benih itu, yang kemudian menghasilkan buah. Buah inilah yang kemudian kita sebut sebagai kebaikan. Yang kita berikan kepada orang lain bukan pohonnya, melainkan buahnya. Benih yang diberikan oleh Allah berupa kebenaran adalah sesuatu hal yang memang harus kita yakini, tetapi bukan kemudian kita paksakan kepada orang lain untuk juga meyakininya, karena setiap orang memiliki media pencari kebenaran yang berbeda-beda.

“Saya ingin mengatakan kepada anda, mbok jangan bernafsu dengan kebenaran dalam dirimu. Yang penting outputmu menyayangi dan mendoakan mereka. Anda pikir anda harus setuju kalau anda jalan kemana-mana? Kalau anda di jalan raya apa anda setuju dengan kiri dan kanan anda? Kalau anda ke toko, apakah anda setuju dengan penataan barang-barangnya? Apakah anda setuju dengan harga-harga barang yang dijual di toko tersebut?”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2017)

KEMUDIAN, tentang Keadilan, Cak Nun mengibaratkannya dengan beberapa orang yang berkumpul, ada makanan, tetapi semua orang yang berkumpul itu merasakan keadilan makan bersama-sama meskipun tidak kenyang. Seperti halnya rakyat Indonesia, yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia sesungguhnya bukanlah semua bentuk hukum, melainkan keadilan. Maka, yang dibutuhkan adalah Supremasi Keadailan, bukan Supremasi Hukum.

Jika keadilan sudah terwujud, maka rakyat tidak akan menuntut materi yang tinggi kepada Pemerintah. Seadanya tidak masalah, asalkan memang benar-benar merupakan produk dari Keadilan. Tetapi, bagaimana kita bisa menyebutnya keadilan manakala hanya segelintir orang saja yang menikmati eksploitasi sumber daya alam yang ada di Indonesia ini?

Cak Nun lalu mengisahkan seorang teman semasa muda, yang karena keterbatasan biaya orang tuanya, ia tidak melanjutkan kuliah. Temannya ini kemudian memutuskan untuk menjual nomor-nomor undian judi. Karena kepiawaiannya menjual nomor-nomor tersebut, ia pun menjadi kaya raya. Kemudian, karena ia tidak memiliki kesiapan mental dengan kekayaan yang ia miliki, karena juga hasil perjudian, salah satu cara menghabiskan uangnya adalah dengan melacur.

Suatu ketika, setelah tidur dengan seorang pelacur, ia menginap di tempat pelacuran itu. Lewat tengah malam, ia terbangun mendengar suara seorang perempuan yang mengaji. Ternyata perempuan yang mengaji itu adalah pelacur yang ia tiduri malam itu. Akhirnya, ia bertanya kepada perempuan itu kok bisa sampai menjadi pelacur, padahal ia sangat pandai mengaji. Sebabnya, bahwa ia terpaksa menjadi pelacur, karena Bapaknya terlilit hutang yang sangat besar dari seorang rentenir, bahkan hingga rumahnya terjual. Sehingga ia bertekad mencari uang sebanyak-banyaknya untuk menolong orang tuanya membayar hutang-hutang tersebut. Ia memutuskan menjadi pelacur.

Teman Cak Nun itu kemudian bertanya; andaikan saya punya uang dan uang tersebut cukup untuk melunasi hutang orangtuamu, apakah kamu bersedia keluar dari tempat pelacuran ini? Perempuan itu menjawab; iya. Singkat cerita, pria tersebut akhirnya benar-benar diberi rizqi oleh Allah dan digunakan untuk membayar hutang orang tua si pelacur tadi.

Lalu, dari rentetan peristiwa tadi yang mana yang kebenaran, kebaikan, kebathilan? Cak Nun ingin menyampaikan bahwa hidup itu tidak bisa dinilai sepenggal-sepenggal. Peristiwa melacurnya pria tadi mungkin adalah perilaku yang buruk, karena ia berzina. Tetapi, pada faktanya, dari peristiwa itu ia justru berhasil menyelamatkan orang tua seorang pelacur dari lilitan hutang yang besar, sekaligus mengeluarkan perempuan tersebut dari tempat pelacuran. Maka, kita tidak berhak menuduh seseorang baik atau buruk hanya karena sepenggal peristiwa yang pernah kita lihat. Bahkan kita harus mempelajari dulu dengan proses yang sangat panjang sebelum menyimpulkan.

Kepada semua teman-temannya, dari dalam maupun luar negeri, sampai hari ini Cak Nun tidak pernah bertanya apakah ia sudah masuk islam apa tidak. Sebab, rumus yang selalu menjadi pijakannya adalah innaka lan tahdi man ahbabta walakinnallaha yahdi man yasyaa’, bahwa hidayah itu sepenuhnya hak prerogative milik Allah.

Termasuk Mas Toto Rahardjo, yang merupakan sahabat Cak Nun sejak lama, yang menemani sejak era Patangpuluhan, dan Mas Toto Rahardjo adalah sesepuhnya KiaiKanjeng, karena ia yang mendirikan KiaiKanjeng, puluhan tahun Cak Nun bersahabat dengan Mas Toto tidak sekalipun Cak Nun bertanya apa agama Mas Toto. Hingga suatu hari, Cak Nun berkesempatan mengajak KiaiKanjeng Umroh, Mas Toto kemudian mengirim pesan singkat kepada Mas Zakki, manajer KiaiKanjeng, yang intinya ia ingin diajak Umroh. “Saya taunya dia itu baik, sayang sama saya, sayang sama rakyat, hatinya tulus sama orang kecil. Saya ndak pernah masuk ke wilayah apakah dia sholat apa tidak, saya bahkan tidak menyelidiki apakah ibunya Islam apa tidak”, lanjut Cak Nun bercerita.

“Saya ingin mengatakan kepada anda, mbok jangan bernafsu dengan kebenaran dalam dirimu. Yang penting outputmu menyayangi dan mendoakan mereka. Anda pikir anda harus setuju kalau anda jalan kemana-mana? Kalau anda di jalan raya apa anda setuju dengan kiri dan kanan anda? Kalau anda ke toko, apakah anda setuju dengan penataan barang-barangnya? Apakah anda setuju dengan harga-harga barang yang dijual di toko tersebut?”, lanjut  Cak Nun.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut tertangkap pandangan bahwa hidup tidak mesti berjalan sesuai dengan hal-hal yang kita yakini sebagai kebenaran. Bahkan, hidup yang kita jalani ini sangat dipenuhi dengan hal-hal yang tidak cocok dengan kebenaran yang kita yakini.

Siapapun boleh berbicara dan mengungkapkan kebenaran di Maiyah, tetapi tidak boleh memaksakan kebenaran itu untuk juga diyakini oleh siapapun saja yang hadir di Maiyah. Mungkin ada yang sepakat, mungkin juga ada yang tidak. Semua berlaku secara relatif, bergantung pada ruang dan waktu.

Pada momentum yang tepat kebenaran yang sejati akan menjadi sebuah kesepakatan bersama yang bisa diterima oleh semua pihak, tanpa harus menyakiti satu sama lain. “Kalau mau kita terapkan semua yang kita anggap benar, hancurlah dunia ini. Makanya, ndak penting kebenaran kita keluarkan dari dalam diri kita, kebenaran itu untuk bekal di dalam diri kita”, Cak Nun kemudian mempersilahkan jama’ah untuk menyampaikan beberapa respon atau pertanyaan.

Dalam merespon Imron Wahyudi, yang menceritakan pengalaman spiritualnya setelah mengenal Maiyah, salah satunya adalah konsep memasukkan Mekkah dan Madinah dalam hatinya, Cak Nun menjelaskan bahwa di dalam atau di luar diri manusia, baik Mekkah, Madinah atau apapun saja itu tidak bisa dirumuskan secara materi. Berada di dalam atau di luar, sifatnya dialektis. Bergantung pada momentum ruang dan waktunya. Ada kalanya di luar ada juga saatnya berada di dalam.

Cak Nun juga mencontohkan sebuah ungkapan yang seringkali disampaikannya, Indonesia itu bukan jawa, bukan madura, bukan bugis, bukan dayak, bukan batak, bukan asmat dan lain sebagainya; atau, Indonesia itu ya jawa, ya madura, ya bugis, ya dayak, ya batak, ya asmat dan sebagainya?

Tentu saja akan lebih arif dan bijaksana jika kita memilih ungkapan yang kedua. Sama hal nya dengan ungkapan Indonesia bukan islam, bukan kristen, bukan hindu, bukan kebatinan dan sebagainya, tetapi akan lebih arif dan bijaksana jika ungkapan tersebut dirubah menjadi; Indonesia itu ya islam, ya kristen, ya hindu, ya kebatinan dan sebagainya.

Cak Nun mengakui bahwa orang-orang Maiyah yang mengalami pengalaman spiritual seperti Imron Wahyudi tadi sangat banyak di berbagai daerah. Ini yang kemudian sangat disyukuri oleh Cak Nun sendiri. Bahwa, seringkali orang datang ke Maiyah, hanya mendapat 1-2 ilmu, tetapi meresap dalam hatinya, menjadi pegangan hidup dan loading dalam dirinya. Bahkan, Cak Nun berkhusnudzon, andaikan ada orang yang datang ke Maiyahan itu tidur sepanjang acara, tetap saja Allah dan Malaikat berperan serta agar telinganya tetap mendengar apa yang disampaikan di Maiyahan, kemudian loading dalam dirinya.

Di Maiyah terdapat berbagai terminologi untuk meruhanikan materi. Maksudnya, adalah menjadikan hal yang bersifat materi bermanfaat bagi semua orang. Ada juga terminologi yang dikenal dengan mengakhiratkan dunia, karena pada hakikatnya dunia dan akhirat adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Orang modern menganggap bahwa dunia dan akhirat berbeda, sehingga banyak yang mempercayai bahwa kematian adalah akhir dari kehidupan, padahal jelas didalam Al Qur’an disebutkan; kholidina fiihaa abadaa. Kehidupan di dunia adalah satu sepisode dari episode panjang kehidupan manusia yang kekal dan abadi.

“Kebenaran itu silahkan dicari, tetapi jangan diterapkan kepada orang lain”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2017)

IBADAH PUASA di Bulan Ramadhan pun di materikan oleh orang saat ini. Kita melihat dan mengalami betapa konsumtifnya orang islam, berlipat-lipat bahkan ketika Bulan Ramadhan tiba. Semakin kita tidak menyadari bahwa ibadah Puasa adalah sebuah ritual yang suci, yang sebenarnya kita tidak menyukainya tetapi Allah memerintahkan kita untuk melakukannya. Seandainya manusia memahami makna Puasa yang sebenarnya, maka sesungguhnya manusia tidak perlu menanti datangnya Bulan Ramadhan untuk berpuasa. Karena, implementasi sosial dan budaya Puasa jauh lebih luas wilayahnya jika hanya dibandingkan sekadar ibadah menahan haus dan dahaga selama satu bulan lamanya.

Adam, seorang jama’ah, resah karena bekerja di sebuah hotel bintang 5 dan sering bahkan ia bertugas menyajikan wine, sampagne dan minuman keras lainnya untuk para tamu-tamu yang singgah di hotel itu. Ia resah, apakah pekerjaan yang ia lakukan itu halal atau tidak. Cak Nun pun meresponnya dengan nuansa yang tidak menghakimi, dengan presisi-presisi yang disesuaikan.

Cak Nun merespon dengan tanggapan bahwa boleh saja bekerja seperti itu, asal tidak dinikmati. Artinya, dengan ada rasa keresahan dalam hati saja itu sudah lumayan menandakan bahwa ia sadar bahwa bekerja seperti itu tidak membuatnya nyaman. Pertanyaan seperti ini sering juga dijumpai Cak Nun di beberapa Maiyahan di tempat lain. Jika pertanyaan Adam itu diperluas, maka bekerja di tempat orang yang tidak seiman dengan kita akan dipertanyakan juga secara syariat halal dan haramnya, sehingga tidak bisa dihakimi secara fragmen atau sepotong-sepotong.

Tentang pertanyaan tersebut, Cak Nun juga pernah membuat tulisan yang berjudul “Dosa Struktural”, tulisan yang terdapat di Buku “Tidak. Jibril Tidak Pensiun”. Sebuah tulisan yang menjelaskan pandangan Cak Nun salah satunya tentang dinamika orang-orang yang pekerjaannya bersentuhan dengan hal-hal yang haram, tetapi tidak ada pilihan lain untuk bekerja di tempat seperti itu. Ulama atau MUI mungkin memiliki pandangan bahwa bekerja di tempat seperti itu sebaiknya dihindari, tetapi MUI juga tidak mampu memberikan solusi lapangan pekerjaan bagi mereka yang ingin keluar dari tempat bekerja seperti itu. MUI hanya mampu menyampaikan hukum tertulisnya. Maka, yang ditawarkan oleh Allah adalah; Udkhulu fi-s-silmi kaaffah.

Cak Nun sendiri memiliki pendapat bahwa yang dimaksud dengan As-Silmi adalah berbuat sebisa-bisanya agar bermanfaat. Artinya, bukan kemudian menggampangkan, tetapi berusaha semampu-mampunya, mencapai batas kekuatan yang kita miliki.

Dimensi dosa itu adalah konsep Agama, sementara sekulrisme mengenalnya sebagai kesalahan. Sebuah kesalahan jika dilakukan maka harus dihukum. Sementara itu, dosa tidak serta merta dihukum begitu saja. Tetapi, Allah melihat kenapa seseorang itu mencuri, kenapa seseorang itu harus bekerja di hotel bintang 5 dimana setiap hari harus menyajikan minuman keras, sementara sebenarnya dalam hatinya ia sangat tidak menyetujui dengan pekerjaan yang ia jalani itu. Maka, yang disarankan oleh Cak Nun kepada Adam tadi adalah agar tetap berdo’a kepada Allah agar segera diberikan pekerjaan yang tidak bertentangan dengan hatinya, adapun saat ini ia harus bekerja seperti itu, Cak Nun juga memberikan saran untuk menyeimbangkannya dengan cara sebagian uang yang ia peroleh dari pekerjaan itu disedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Logikanya; kita berhak menikmati hasilnya jika kita sudah memberi kepada orang lain.

“Hidup itu seperti terseret di arus lautan. Masalahnya bukan anda najis atau tidak di lautan,”, Cak Nun mengibaratakan kehidupan di dunia seperti terseret di lautan yang luas, yang kita tidak bisa menghindari arus najis struktural.  Sebab, tidak ada yang bersih 100% prosesnya. Satu contoh, kendaraan yang kita gunakan sehari-hari, apakah proses masuknya kendaraan itu ke Indonesia dulu tidak melalui peristiwa suap-menyuap perusahaan kepada pejabat Negara yang berwenang di Indonesia? Apakah proses pengadaan transportasi publik yang kita gunakan sehari-hari bisa kita pastikan 100% bersih dari tindak pidana korupsi? Dan seterusnya.

Begitu juga misalnya, ketika suatu hari kita yang beragama Islam bertemu seorang Pastur yang sepeda motornya mengalami ban bocor, sementara dia sudah ditunggu jemaahnya di Gereja, kemudian kita mengantarkan dia ke Gereja. Apakah itu berdosa? Tukang ojek atau supir taksi yang harus mengantarkan penumpangnya ke Gereja pada setiap Ibadah Misa, misalnya, apakah ia berdosa? Apakah ketika kita menolong orang yang mengalami kecelakaan di jalan raya kita tanya terlebih dahulu apa agamanya? Tentu tidak.

Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya menyampaikan man kaana yu’minu billahi wa-l-yaumi-l-aakhir fa-l-yukrim dhoifahu. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormatilah tamu yang datang kepadanya. Tidak ada syarat apakah tamunya itu harus muslim, harus HTI, harus Muhammadiyah, NU dan sebagainya.

Pada akhirnya, ungkapan syukur yang terus menerus memang harus kita panjatkan kepada Allah atas segala limpahan nikmat dan anugerah-Nya. Tidak harus kemudian menuntut lebih dari apa yang sudah diberikan oleh Allah kepada kita. Dan, di Maiyah, kita terus menerus belajar untuk menemukan presisi keseimbangan dari apa yang selama ini kita lakukan, kita alami, kita salami di kehidupan dunia ini.

Menjelang pukul 4, Kenduri Cinta dipuncaki dengan do’a bersama yang dipimpin oleh Ust. Noorshofa Tohir.