HILANGNYA SANG PENTAFSIR

reportase kenduri cinta februari 2010

“Apabila kita hendak memahami suatu tafsir, maka kita harus berguru kepada alam, jiwa dan kepada intelektualitas. Semakin banyak tafsir yang kita ketahui, akan semakin banyak variasi pemahaman, hal itu semakin memudahkan kita untuk mendekat kepada Allah.”

Syekh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Feb, 2010)

Maiyahan Kenduri Cinta malam itu diawali dengan penampilan group musik yang menamakan dirinya KAMU (Komunitas Anak Musik Utara) yang berkolaborasi dengan Simfoni Etnik membawakan lagu Hujan Gerimis, sebuah karya lagu dari Benyamin S. Dilanjutkan dengan lagu Lenggak-Lenggok Jakarta. Sebelumnya, dilakukan pembacaan Alquran dan rangkaian selawat, hal ini merupakan sebuah pembaharuan dalam penyelenggaraan teknis acara.

Rusdianto dan Mathar Kamal malam itu bersama memoderatori forum. Rusdianto membuka diskusi dengan sebuah kekhawatiran akan langkanya sosok mufasir di Indonesia. Indonesia mulai kehilangan mufasir-mufasir handalnya, apalagi setelah berpulangnya Buya Hamka. Menurut Rusdianto, kini sudah jarang sekali sosok-sosok pembaharu dalam hal tafsir, tidak terkecuali Quraish Shihab. Hal itulah yang mendasari para penggiat Maiyah Kenduri Cinta untuk memulai kembali budaya tafsir dengan mengundang mufasir-mufasir Maiyah.

Malam itu, Syekh Nursamad Kamba membahas secara mendalam mengenai ilmu tafsir. Secara khusus, malam itu juga dijadikan sarana untuk menafsir Buku Maiyah karya Cak Fuad. Seperti yang tertulis dalam Buku Maiyah halaman 18, Maiyah Allah Dengan Para Hamba, kata maiyah berawal ketika Nabi melakukan perjalanan hijrah, Allah berfirman: La tahzan innallaha ma’ana — jangan bersedih Allah bersama kita. Ma’ana adalah bersama Allah. Dalam Alquran kata ma’a disebut sebanyak 161 kali.

Hal lain yang disampaikan oleh Syekh Nursamad Kamba adalah apabila kita hendak memahami suatu tafsir, maka kita harus berguru kepada alam, jiwa dan kepada intelektualitas. Semakin banyak tafsir yang kita ketahui, akan semakin banyak variasi pemahaman, hal itu semakin memudahkan kita untuk mendekat kepada Allah.

Merespon salah satu jamaah yang menanyakan mengapa Nabi Muhammad bukan “bersyariah” atau “berakidah” namun disebutnya sebagai “menyempurnakan akhlak”, Syekh Nursamad Kamba mengatakan, hal itu karena akhlak yang baik akan membuat akidah menjadi baik.

Beliau juga menambahkan perihal takholi, takhali dan tajali. Takholi adalah melepaskan dari yang buruk, takhali adalah bergabung dengan yang baik, tajali adalah menyatu dengan Allah.

Setelah melalui sesi tafsir, forum dilanjutkan dengan diskusi. Baginda Siregar dari Masyarakat Hukum Indonesia membahas persoalan hukum di Indonesia dan bagaimana norma dan sanksi dibuat dan diterapkan. Ia juga menjelaskan perbedaan antara hukum dan hukuman yang sejatinya berbeda. Hukum sampai kapanpun selalu adil, sedangkan yang selalu menjadi perdebatan adalah hukuman. Norma atau hukum sampai kapanpun tidak akan pernah berubah, namun sanksi atau hukuman lah yang berubah-ubah. Pada ranah hukuman inilah rasa keadilan bisa tercederai. Seringkali pencederaan itu justru dilakukan oleh aparat hukum yang tidak konsisten menjalankannya.

Baginda Siregar berpendapat, idealisme harus disiasati dengan masuk kedalam sistem dan mengubahnya dari dalam. Sebab jika semua orang yang berideologi tidak masuk ke dalam sistem maka hukum akan semakin rusak.

Menutup forum maiyahan Kenduri Cinta malam itu, bergiliran Restu, Wahyu, Pelompong dan KAMU membawakan karya-karya kesenian mereka, disambung dengan tampilnya Kyai Budi dengan petuah-petuah sufistik khasnya.